Wahai
para wargabinaan yang telah berkeluarga dan yang juga telah memiliki anak,
ketahuilah bahwa Allah SWT selaku inisiator, pencipta dan juga pemilik dari
keberadaan manusia di muka bumi ini, tidak memperkenankan diri kita untuk
meninggalkan anak keturunan sebagai generasi penerus yang lemah dalam berbagai
segi. Hal ini sebagaimana telah diingatkan oleh Allah SWT dalam firman-Nya
berikut ini: “Dan hendaklah takut (kepada Allah) orang-orang yang sekiranya mereka
meninggalkan keturunan yang lemah di belakang mereka yang mereka khawatir
terhadap (kesejahteraan)nya. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertaqwa kepada
Allah, dan hendaklah mereka berbicara dengan tutur kata yang benar. (surat An
Nisaa’ (4) ayat 9).”
Adanya
peringatan dari Allah SWT yang tertuang di dalam surat An Nisaa’ (4) ayat 9 di
atas, menunjukkan bahwa anak kita atau generasi penerus dari diri kita
seharusnya menjadi anak dan juga generasi
penerus yang kuat, sehat, bertauhid, berilmu, berpendidikan dan juga memiliki
tingkat ekonomi yang mapan. Dan jangan sampai kita hanya mampu menjadikan anak
keturunan kita semata-mata anak biologis tanpa mampu menjadikan anak kita
menjadi anak didik untuk menjadi generasi penerus keluarga, bangsa dan juga negara.
Untuk
menjadikan generasi penerus yang kuat, sehat, bertauhid, berilmu, berpendidikan
dan mampu secara ekonomi, bukanlah perkara mudah. Kondisi ini harus kita mulai
dari diri kita sendiri yang berakidah (beriman dan bertaqwa yang berkualitas)
serta memiliki penghasilan (kekayaan) yang halal lagi baik (thayyib). Kemudian
kita harus mendahulukan pendidikan ketauhidan (akidah) kepada diri sendiri lalu
kepada anak dan keturunan kita sendiri
sehingga kita tidak meninggalkan anak (generasi) yang lemah akidah (iman)nya
serta akhlaknya buruk. Jadi jangan pernah salahkan anak dan keturunan kita
berperilaku menyimpang dari kebenaran sehingga sesuai dengan kehendak
syaitan jika kita sendiri juga
berperilaku menyimpang dari kebenaran yang jauh dari kehendak Allah SWT.
Hal
ini dikarenakan akidah (keimanan dan ketaqwaan) merupakan sumber kekuatan,
sumber kenyamanan, pangkal kebahagiaan dalam hidup. Orang yang lemah akidah
(iman) nya akan mudah terpengaruh perbuatan syirik, musyrik dan juga munafik
sehingga hidup-nya tanpa memiliki pegangan (pendirian) yang teguh dan bahkan
mudah menjual imannya dengan cara digadaikan untuk kepentingan sesaat. Hal ini
sebagaimana dikemukakan oleh Allah SWT dalam surat Luqman (31) ayat 13 berikut
ini: “Dan ingatlah ketika Luqman berkata kepada anaknya, ketika dia memberi
pelajaran kepadanya, “Wahai anakku! Janganlah engkau memper-sekutukan Allah,
sesungguhnya mempersekutukan Allah adalah benar-benar kedzaliman yang besar.”
Dan hal berikutnya yang harus kita lakukan selaku orang-orang yang bertauhid
kepada anak keturunan kita adalah kita harus bisa menjadikan anak keturunan
kita menjadi generasi yang istiqamah dalam beribadah sehingga ia mampu memiliki
pegangan hidup dan tidak mudah untuk diintervensi (dipengaruhi) oleh orang lain.
Sebaliknya orang yang lemah (malas-malasan) dalam ibadahnya, maka hidupnya
tidak akan bahagia, terombang-ambing tanpa ada kejelasan.
Setelah
anak memiliki akidah (keimanan) yang dilanjutkan dengan mampunya anak istiqamah
dalam beribadah maka langkah berikut adalah jangan sampai kita meninggalkan
anak yang lemah ilmunya (rendah pendidikannya). Adanya kemampuan ilmu yang
mumpuni dari anak maka kesempatan anak untuk berbagi ilmu melalui program
belajar tanpa melupakan mengajar menjadi terlaksana. Sehingga ketersinambungan
antar generasi shaleh dan shalehah dapat terlaksana di tengah masyarakat
melalui ilmu yang dimiliki anak keturunan kita. Dan yang terakhir adalah jangan
sampai kita meninggalkan anak (generasi) yang lemah tingkat ekonominya
(sehingga menjadi mustahik), dan
hidupnya menjadi beban bagi orang lain.
Sekarang
bagaimana dengan anak keturunan kita sendiri, yang orang tuanya justru sekarang
berada di dalam lembaga pemasyarakatan karena melanggar ketentuan hukum negara
dan juga ketentuan hukum Allah SWT? Lalu apakah dengan masuk penjaranya orang
tua menjadi wargabinaan menjadikan diri Anda terbebas dari ketentuan surat An Nisaa’ (4) ayat 9 yang kami kemukakan
di diatas? Sampai kapanpun kewajiban orang tua adalah mendidik anak-anaknya
secara langsung dan bagaimana kita akan mempertanggungjawab-kan hal ini jika
kita sendiri sewaktu di dalam penjara masih tidak mau bertaubat kepada Allah
SWT? Jika sampai ini terjadi lengkap sudah penderitaan sang anak karena ulah
orang tuanya sendiri. Dan yang lebih tidak masuk akal adalah sudahlah tidak mau
mendidik anak keturunan dengan baik dan benar tetapi berharap kepada anaknya menjadi
anak shaleh dan shalehah yang seolah-olah anak shaleh dan shalehah turun dari
langit begitu saja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar