D. ADANYA KESAKSIAN RUH
KEPADA ALLAH SWT.
Apa yang akan ruh
lakukan pada waktu pertama kali masuk atau bergabung di dalam jasmani manusia
disaat masih dalam rahim ibu? Apakah ruh berontak? Apakah ruh tunduk dan patuh
kepada Allah SWT? Apakah ruh diam saja pada saat ruh masuk (dipersatukan)
dengan jasmani? Jawaban dari pertanyaan ini ada pada surat Al A’raaf (7) ayat
172 berikut ini: “Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam
dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya
berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan
kami), kami menjadi saksi”. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari
kiamat kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang
yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)”.
Berdasarkan surat Al
A’raaf (7) ayat 172 yang kami kemukakan
di atas terdapat 3(tiga) buah ketentuan dan keterangan yang wajib kita jadikan
pedoman saat melaksanakan rencana besar kekhalifahan di muka bumi, yaitu:
1. Adanya Pernyataan Allah SWT Bahwa Allah SWT Adalah Tuhan
Bagi Diri Kita. Allah
SWT melalui surat Al A'raaf (7) ayat 172 dengan tegas menyatakan bahwa Allah
SWT adalah Tuhan bagi diri kita. Jika ini adalah pernyataan Allah SWT berarti Allah
SWT telah langsung menunjukkan kebesaranNya yang meliputi kehendak, kemampuan,
ilmu serta kehebatan, keperkasaan yang dimiliki oleh Allah SWT. Melalui
pernyataan ini maka Allah SWT dengan tegas
menyatakan bahwa Akulah Tuhan,
Akulah Pencipta, Aku Pemelihara, Aku Pengawas, Akulah Penguasa, Akulah
Pengayom, Akulah Pembimbing, Akulah Penjaga, Akulah Pemberi dan seterusnya
sesuai dengan Asmaul Husna di mana itu semuanya bersifat Baqa, bersifat
Qiyamuhu Binafsih, bersifat Wahdaniah, bersifat Mukhalafatul Lil Hawadish,
dalam satu kesatuan yang tidak terpisahkan.
Dan jika sekarang
Allah SWT sudah memberikan kesaksian dan pernyataan tentang diriNya sendiri
seperti ini, selanjutnya maka : (1) Ilmu
Allah SWT selalu ada di tengah dan di sekeliling kita; (2) Pendengaran dan penglihatan Allah SWT
selalu ada di tengah dan di sekeliling kita; (3) Qudrat dan Iradat selalu ada di tengah dan di sekeliling kita; (4) Kalam dan Hayat selalu ada di tengah dan
disekeliling kita; (5) Kasih sayang,
pengawasan, pemeliharaan dari Allah SWT selalu ada di tengah dan di sekeliling
diri kita.
Akhirnya kita tidak
dapat dipisahkan dari ilmu, pendengaran, penglihatan, qudrat, iradat, kalam,
hayat, kasih sayang, pengawasan dan pemeliharaan Allah SWT. Jika itu semua
adalah posisi dan juga keadaan dari pernyataan dan kesaksian Allah SWT kepada
seluruh makhluk-Nya, selanjutnya apakah kita akan menyianyiakannnya atau apakah
kita akan mengabaikannya atau apakah kita mau menerima pernyataan dan kesaksian
Allah SWT dengan sebenar-benarnya? Sekarang tinggal
bagaimana kita menyikapi kesaksian dan pernyataan Allah SWT itu, maukah kita
menerima dan mempercayai atau menolak atau apakah kita akan menggantinya dengan
yang lain? Yang pasti kita yang sangat membutuhkan Allah SWT sedangkan Allah
SWT tidak butuh sama sekali dengan diri kita.
2. Adanya Pernyataan Ruh
kepada Allah SWT. Inilah
pengakuan ruhi di dalam rahim ibu kita pada waktu berumur 120 (seratus dua
puluh) hari atau setelah ruh ditiupkan ke dalam jasmani yaitu ruh memberikan
kesaksian bahwa Allah SWT adalah Tuhan. Adanya kondisi seperti ini dapat
dikatakan bahwa setiap ruh secara individual atau secara pribadi-pribadi tanpa
terkecuali, telah mengakui, telah menyatakan dengan tegas tanpa ada paksaan dari siapapun juga bahwa Allah SWT
adalah Tuhan bagi seluruh umat manusia. Selanjutnya apa yang terjadi setelah
ruh mengakui bahwa Allah SWT adalah Tuhan? Adanya pengakuan ruh secara
individual kepada Allah SWT berarti ruh telah memberikan kesaksian tentang
Allah SWT sehingga ruh telah beriman kepada Allah SWT dan adanya kondisi ini terlihat dengan jelas
bahwa ajaran Islam tidak mengenal konsep reinkarnasi.
Sekarang timbul
pertanyaan, atas dasar apakah ruh mengakui bahwa Allah SWT adalah Tuhan
sehingga ruh telah beriman kepada Allah SWT? Pengakuan dan kesaksian ruh kepada
Allah SWT bahwa Allah SWT adalah Tuhan dikarenakan ruh mengenal siapa Allah
SWT; Ruh tahu apa dan bagaimana Allah SWT; Ruh tahu dari mana ia berasal serta
Ruh tahu bahwa Allah SWT-lah yang menciptakannya. Lalu apakah hanya itu saja
sehingga Ruh mengakui Allah SWT adalah Tuhan? Ruh adalah bagian dari Allah SWT, jika suatu
bagian dipisahkan dari asalnya maka bagian yang dipisahkan pasti akan tahu,
pasti akan mencari sesuatu yang sama dengan dirinya, pasti akan menuju kepada
asalnya dan selanjutnya pasti akan mengetahui siapa asalnya tersebut.
Jika ruh tahu bahwa Allah SWT adalah Tuhan dimana pernyataan itu sudah
dinyatakan sejak awal kehidupan manusia atau sejak dipersatukannya ruh dengan
jasmani maka apakah hal ini tidak cukup bagi kita untuk beriman kepada Allah
SWT selama-lamanya.
Selain adanya dua
pernyataan di atas, masih terdapat informasi dan ketentuan lain yang dapat kita
peroleh dari surat Al A’raaf (7) ayat
172 yang telah kami kemukakan di atas, yaitu :
a. Allah SWT adalah perencana handal atas kekhalifahan di
muka bumi, sudah mempertimbangkan dan memperhitungkan dengan matang bahwa di
kemudian hari pasti akan terjadi hal-hal yang kami sebutkan di atas seperti
menyanggah adanya kesaksian. Untuk itulah Allah SWT sejak awal sudah menutup
pintu atau tidak memberikan kesempatan lagi jika dikemudian hari terjadi sanggahan
yang disampaikan oleh manusia.
b. Ruh-pun sudah tahu
dan sudah mengerti akan adanya hari kiamat atau hari pembalasan. Jika ruh sudah
tahu akan adanya hari kiamat, ini berarti ruhpun sudah tahu akan adanya Rukun
Iman yang Enam, dan ini juga berarti bahwa ruh-pun tahu tentang Percaya kepada
Rasul, Percaya kepada Malaikat, Percaya kepada Kitab, Percaya kepada Qhada dan
Qadar serta Taqdir dan yang Pasti adalah Ruh pun telah percaya kepada Allah
SWT.
c.
Jika ruh telah beriman dengan Rukun Iman yang enam dalam satu kesatuan yang tidak
terpisahkan antara ketentuan satu dengan ketentuan yang lain, lalu bagaimana
dengan jasmani, Apakah jasmani tahu
dengan Rukun Iman? Berdasarkan sifat-sifat jasmani yang kami sebutkan di atas, dapat
di pastikan bahwa jasmani tidak mengetahui akan adanya hari kiamat apalagi
adanya Rukun Iman.
Hal yang harus kita
perhatikan tentang pernyataan ruh kepada Allah SWT adalah apakah kualitas
pernyataan yang telah kita lakukan kepada Allah SWT masih tetap sama kondisinya
seperti saat pertama kali menyatakan Allah SWT adalah Tuhan bagi diri kita? Sebagai makhluk yang terhormat sudah sepatutnya
dan sepantasnya jika pernyataan ruh kita kepada Allah SWT tetap terpelihara,
tetap terjaga kualitasnya dari waktu ke waktu.
3. Sampai Kapankah Masa Berlakunya Pernyataan Ruh Kepada Allah SWT.
Sekarang bagaimana dengan masa berlakunya pernyataan
ruh kepada Allah SWT, apakah memiliki masa berlaku? Pernyataan ruh kepada Allah
SWT juga memiliki masa berlaku, yaitu masa berlaku dalam arti umum dan masa berlaku dalam arti khusus.
Secara umum masa berlakunya sepanjang manusia ada di muka bumi atau sepanjang
di muka bumi ini masih ada manusia atau sepanjang masih ada kehidupan manusia
di muka bumi maka pernyataan ruh untuk bertuhankan kepada Allah SWT masih
berlaku sampai dengan hari kiamat.
Lalu bagaimana dengan masa berlaku pernyataan
ruh dalam arti khusus yaitu masa berlaku bagi individual atau bagi
pribadi-pribadi? Bagi individual atau
secara pribadi-pribadi masa berlaku pernyataan ruh kepada Allah SWT dapat
dibedakan menjadi 2(dua) yaitu dimulai dari saat ditiupkannya ruh ke dalam
jasmani sampai dengan sebelum ruh tiba dikerongkongan atau dimulai dari saat
ditiupkannya ruh dalam jasmani sampai dengan diri kita sendiri yang memutuskan
untuk tidak mau melaksanakan pernyataan yang telah kita buat atau diri kita
sendiri yang memutuskan hubungan dengan Allah SWT dengan tidak mau lagi
melaksanakan komitmen bertuhankan kepada Allah SWT.
Selanjutnya jika dalam kehidupan sehari-hari ada
istilah anak durhaka, yaitu suatu istilah bagi anak yang memutuskan hubungan
dengan orang tua, maka istilah anak durhakapun (maksudnya adalah orang yang kafir) akan terjadi jika diri kita
tidak mau melaksanakan pernyataan bertuhankan kepada Allah SWT yang berarti kita
telah memutus hubungan dengan Allah SWT. Adanya kondisi yang kami kemukakan di
atas ini, maka dapat dikatakan bahwa masa berlaku pernyataan bertuhankan kepada
Allah SWT bagi individual sangat
tergantung kepada individu-individu itu sendiri, yaitu: (1) Apakah ia mau menerima, apakah ia mau melaksanakan
komitmen ruh untuk bertuhan-kan kepada Allah SWT ataukah; (2) Apakah ia tidak mau menerima dan tidak mau melaksanakan komitmen ruh
untuk bertuhankan kepada Allah SWT.
Berdasarkan 2(dua) buah kondisi yang kami kemukakan
di atas ini, berarti jika kita mau berkomitmen untuk melaksanakan pengakuan ruh
untuk bertuhankan kepada Allah SWT maka masa berlaku pernyataan bertuhankan
hanya kepada Allah SWT (syahadat) yang kita lakukan akan panjang, selama
pengakuan tersebut terus kita lakukan dari waktu ke waktu selama hayat di
kandung badan. Demikian pula sebaliknya, jika kita memutuskan untuk tidak mau
melaksanakan komitmen ruh untuk bertuhankan hanya kepada Allah SWT maka sampai
disitulah masa berlaku syahadat yang kita lakukan atau berakhirlah pernyataan diri kita kepada Allah SWT.
Sekarang pilihan untuk melaksanakan atau tidak
melaksanakan komitmen yang telah ruh lakukan untuk bertuhankan hanya kepada Allah
SWT tergantung pada diri kita sendiri. Selanjutnya jika diri kita telah menyatakan
dan memberikan pernyataan kontrak secara permanen, selanjutnya bagaimanakah
kita harus bersikap? Kita wajib mematuhi pernyataan yang telah diucapkan pada waktu kita
masih di dalam rahim ibu sampai ruh tiba dikerongkongan.
Lalu
bagaimana dengan pernyataan Allah SWT yang telah siap menjadi Tuhan bagi
seluruh ciptaannya? Yang Jelas dan teramat jelas adalah bahwa Allah SWT tidak akan pernah ingkar janji
terhadap penyataan tentang ketuhanan yang melekat dalam dzatnya Allah SWT.
Sekarang setelah menjalani hidup di dunia atau setelah menjadi abd’ (hamba)Nya
yang juga adalah khalifahNya di muka bumi, bagaimanakah kualitas dari pernyataan
diri kita kepada Allah SWT, apakah masih tetap utuh seperti sediakala
ataukah sudah berubah ataukah kita telah melanggar janji dengan berubah
Sikap sehingga tidak lagi mau mengakui Allah SWT sebagai Tuhan? Mudah-mudahan kualitas dari pernyataan diri
kita kepada Allah SWT tidak berubah sedikitpun sehingga kemudahan menjadi
khalifah di muka bumi yang sekaligus makhluk pilihan dapat kita rasakan dan
nikmati dan selanjutnya dapat menghantarkan diri kita ke “Kampung Kebahagiaan”.
Terkecuali jika kita hendak pulang ke” Kampung Kesengsaraan dan Kebinasaan” maka lakukanlah ingkar
janji atau berpalinglah dari pernyataan dan kesaksian kita kepada Allah SWT.
Selamat memilih dan menentukan sikap.
.
E. SEPERTI APAKAH BENTUK
RUH DIRI KITA.
Pernahkah
kita merenung dan bertanya kepada diri sendiri, seperti apakah wujud dan bentuk
ruh yang ditiupkan Allah SWT ke dalam jasmani diri kita? Apakah bentuk ruh sama
dengan bentuk jasmani diri kita? Jika ruh dan jasmani sama bentuknya, apakah ruh
dapat melihat, dapat mendengar serta merasakan seperti yang terjadi dengan jasmani
kita? Untuk mengetahui itu semua, mari
kita pelajari tentang ruh dimaksud walaupun hanya sedikit melalui hadits
yang kami kemukakan di bawah ini:
Abu Dzar r.a
berkata: Rasulullah SAW bersabda: Pada suatu malam terbuka atap rumahku di
Mekkah, lalu turun Jibril, dan membelah dadaku, kemudian membasuhnya dengan air
zam-zam, kemudian ia membawa mangkok emas yang penuh berisi hikmat dan iman
lalu dituangkan ke dalam dadaku, lalu ditutup kembali. Kemudian ia membimbing
tanganku dan menaikkan aku ke langit dunia, dan ketika sampai di langit, Jibril
berkata kepada penjaganya: Bukalah. Lalu ditanya: Siapakah itu? Jawabnya:
Jibril. Lalu ditanya: Apakah bersama lain orang? Jawabnya: Ya, bersamaku
Muhammad SAW. Ditanya: Apakah dipanggil? Jawabnya: Ya. Ketika telah dibuka,
kami naik ke langit dunia tiba-tiba bertemu dengan orang yang duduk sedang di
kanan, kirinya banyak gerombolan, bila ia melihat ke kanan tertawa, bila
melihat kekiri menangis, maka ia menyambut: Marhaban (selamat datang) nabi yang
salih dan putra yang salih. Saya Tanya kepada Jibril: Siapakah itu? Jawabnya:
Itu Adam a.s, sedang gerombolan yang kanan-kirinya anak cucunya, yang di kanan
ahli sorga dan yang di kirinya ahli neraka, karena itu ia tertawa bila melihat
ke kanan, dan menangis bila melihat ke kirinya.
Kemudian
dinaikkan ke langit kedua, dan minta buka pada penjaganya, juga dikatakan oleh
penjaganya sebagaimana langit pertama, lalu dibuka. Anas r.a. berkata: Maka
menyebut bahwa di langit-langit itu telah bertemu dengan Adam, Idris, Musa,
Isa, Ibrahim a.s. tetapi tidak dijelaskan tempat masing-masing, hanya
menyebut bahwa Adam di langit pertama
dan Ibrahim di langit ke enam.Anas r.a. berkata: Ketika Jibril bersama Nabi
Muhammad SAW jumpa dengan nabi Idris maka disambut: Marhaban (selamat datang)
nabi yang salih dan saudara yang salih. Lalu saya tanya: Siapakah ini?
Jawabnya: Ini Idris, kemudian melalui nabi Musa juga disambut: Marhaban
binnabiyissalih, dan saya bertanya: Siapakah ini? Jawab Jibril: Itu Musa, lalu
melalui Isa juga menyambut selamat datang nabi yang salih dan saudara yang
salih, ketika saya tanya: Siapakah itu? Jawab Jibril: Itu Isa a.s.
Kemudian melalui
Ibrahim juga menyambut: Selamat datang nabi yang salih dan putra yang salih.
Lalu saya tanya: Siapakah itu? Jawab Jibril: Itu Ibrahim a.s. Kemudian aku
dibawa naik sehingga ke atas mustawa, dimana aku mendengar suara kalam yang
mencatat dilauh mahfudh. Maka Allah mewajibkan atas ummatku lima puluh kali
sembahyang. Lalu aku kembali membawa perintah kewajiban itu sehingga melalui
Musa, maka ia tanya: Apakah yang diwajibkan Tuhan atas ummatmu? Jawabku: Lima
puluh kali sembahyang, langsung ia berkata: Kembalilah kepada Tuhan untuk minta
keringanan, sebab ummatmu takkan kuat melakukan itu, maka aku kembali kepada
Tuhan minta keringanan dan diringankan separuhnya, lalu kembali kepada Musa dan
saya terangkan padanya telah diringankan separuhnya, tetapi Musa tetap berkata:
Mintalah keringanan karena ummatmu tidak akan kuat, maka kembali aku minta
keringanan kepada Tuhan dan mendapat keringanan separuhnya, kemudian kepada Musa
saya katakan telah mendapat keringanan separuhnya, tetapi Musa tetap
menganjurkan supaya minta keringanan karena ummatmu tidak akan kuat melakukan
itu, maka kembalilah aku minta keringanan kepada Tuhan, sehingga Allah
berfirman: Itu hanya lima kali dan berarti lima puluh, tidak akan berubah lagi
putusanku maka aku kembali kepada Musa dan Musa tetap menganjurkan supaya minta
keringanan, tetapi aku jawab bahwa aku malu kepada Tuhan. Kemudian aku dibawa
ke sidratul muntaha yang diliputi oleh berbagai warna sehingga aku tidak
mengerti apakah itu. Kemudian aku dimasukkan sorga, mendadak kubah-kubahnya
dari mutiara dan tanahnya kasturi (misik). (Hadits Riwayat Bukhari, Muslim, Al Lulu Wal Marjan: 102)
Malik bin Sha’sha’ah r.a. berkata: Nabi SAW bersabda: Ketika aku
di dekat Ka’bah di antara tidur dan jaga, tiba-tiba aku mendengar suara salah
seorang, yaitu yang di antara dua orang , lalu disediakan mangkok emas yang
berisi hikmat dan iman, lalu dibelah dari bawah tenggorokan hingga perutku,
kemudian dibasuh dadaku dengan air zamzam, lalu dipenuhi dengan hikmat dan
iman, lalu didatangkan untukku binatang yang putih lebih besar dari himar dan
di bawah keledai (baghel) bernama buraq, lalu berangkat bersama Jibril hingga
sampai langit dunia, dan ketika ditanya: Siapakah itu? Jawabnya: Jibril.
Ditanya: Bersama siapa? Jawabnya: Muhammad. Ditanya: Apakah dipanggil?
Jawabnya: Ya. Maka disambut selamat datang, maka aku bertemu dengan Adam a.s.
dan memberi salam, dan menyambutku dengan Selamat datang putraku dan nabi.
Kemudian kita naik ke langit kedua, dan ditanya:
Siapakah itu? Jawabnya: Jibril. Ditanya: Siapa yang bersamamu? Jawabnya:
Muhammad. Ditanya: Apakah dipanggil? Jawabnya: Ya. Lalu disambut: Selamat
datang, di sana kami bertemu dengan Isa dan Yahya a.s. keduanya menyambut:
Selamat datang saudara sebagai nabi. Kemudian kami naik ke langit ketiga, lalu
ditanya: lalu ditanya: Siapakah itu? Jawab: Jibril. Ditanya: Dan siapa yang
bersamamu? Jawabnya: Muhammad. Ditanya: Apakah dipanggil? Jawabnya: Ya. Maka
disambut dengan selamat datang, dan disitu bertemu dengan Yusuf a.s. dan setelah memberi salam padanya ia
menyambut: Selamat datang saudara sebagai nabi. Kemudian kami naik ke langit
keempat, dan ditanya: Siapakah itu? Jawab: Jibril. Ditanya: Apakah dipanggil?
Jawabnya: Ya. Maka disambut dengan selamat datang, dan disitu bertemu dengan
Idris a.s. Sesudah saya beri salam, ia menyambut: Selamat datang saudara
sebagai nabi. Kemudian kami naik ke langit kelima, dan ditanya: Siapakah itu?
Jawabnya: Jibril. Dan ditanya: Siapakah yang bersamamu? Jawabnya: Muhammad.
Ditanya pula: Apakah dipanggil? Jawabnya: Ya. Maka disambut: Selamat datang.
Disitu kami bertemu dengan Harun a.s. maka aku
memberi salam, dan ia menyambut: Selamat datang saudara sebagai nabi. Kemudian
kami naik ke langit keenam, juga ditanya: Siapakah itu? Jawab: Jibril. Lalu
ditanya: Dan siapa yang bersamamu? Dijawab: Muhammad. Ditanya: Apakah
dipanggil? Jawabnya: Ya. Maka disambut: Selamat datang, dan disitu bertemu
dengan Musa a.s. setelah aku memberi salam, ia menyambut dengan ucapan: Selamat
datang saudara sebagai nabi. Dan ketika kami meninggalkannya ia menangis, dan
ketika ditanya: Mengapakah ia menangis? Jawabnya: Ya Rabbi itu pemuda yang
Tuhan utus sesudahku akan masuk sorga dari ummatnya lebih banyak dari ummatku.
Kemudian kami naik ke langit ketujuh, maka ditanya: Siapakah itu? Jawab:
Jibril, Ditanya: Siapa yang bersamamu? Jawabnya: Muhammad. Ditanya: Apakah ia
dipanggil? Jawabnya: Ya. Maka disambut: Selamat datang, dan disitu kami bertemu
dengan Nabi Ibrahim a.s .Sesudah aku memberi salam, maka ia sambut dengan:
Selamat datang putraku sebagai nabi.
Kemudian tampak padaku albaitul ma’mur, maka aku
tanya kepada Jibril. Jawabnya: Ini baitul ma’mur tiap hari dimasuki oleh tujuh
puluh ribu Malaikat untuk sembahyang, jika telah keluar tidak akan masuk lagi
untuk selamanya. Kemudian diperlihatkan kepadaku Sidratul Muntaha, mendadak
buahnya bagaikan gentong (tempat air) Hajar, sedang daunnya bagaikan telinga
gajah dan dibawahnya menyumber empat sungai, dua kedalam dan dua keluar. Aku
bertanya kepada Jibril. Jawabnya: Yang dalam itu di sorga, sedang yang keluar
itu yaitu sungai Nil dan Furat. Kemudian diwajibkan atasku lima puluh kali
sembahyang. Lalu aku turun bertemu Musa, lalu ia bertanya: Apakah yang anda
dapat? Jawabku: Diwajibkan atasku lima puluh kali sembahyang. Musa berkata: Aku
lebih berpengalaman dari padamu, aku telah bersusah payah melatih Bani Israil,
dan ummatmu tidak akan kuat, karena itu kembali minta keringanan, dan
diringankan sepuluh sehingga tinggal empat puluh, kemudian dikurangi lagi
sepuluh sehingga tinggal tiga puluh, kemudian diringankan lagi sepuluh sehingga
tinggal dua puluh, kemudian diringankan lagi sepuluh sehingga tinggal sepuluh,
dan aku kembali kepada Musa dan ia tetap menganjurkan supaya minta keringanan,
maka aku minta keringanan, dan dijadikannya lima kali. Maka aku bertemu Musa
dan menyatakan bahwa kini tinggal lima, maka ia tetap menganjurkan supaya minta
keringanan, tetapi saya jawab: Aku telah menerima dengan baik. Maka terdengar
seruan: Aku telah menetapkan kewajibanKu, dan meringankan pada hamba-hambaKu,
dan akan membalas tiap hasanat dengan sepuluh lipat gandanya. (Hadits Riwayat
Bukhari, Muslim,Al Lulu Wal Marjan: 103). “
Itulah hadits isra mi’raj. Apa yang jamaah
pikirkan? Mungkin jamaah sekalian bertanya-tanya di dalam hati, untuk apakah hadits
isra mi’raj yang panjang-panjang kami kemukakan dalam pembahasan tentang ruh.
Secara sepintas memang tidak ada hubungan antara permasalahan ruh dengan perjalanan
isra’ mi’raj yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW. Seperti kita ketahui bersama, perjalanan isra’
mi’raj terbagi atas dua perjalanan yaitu perjalanan isra’ yaitu perjalanan dari
Masjidil Haram menuju Masjidil Aqsa dan perjalanan mi’raj yaitu perjalanan dari
Masjidil Aqsa menuju tempat bertahtanya Allah SWT. Dalam perjalanan mi’raj
inilah yang nanti akan ada hubungannya dengan ruh manusia.
Untuk itu mari kita pelajari perjalanan mi'raj
yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW. Perjalanan mir’aj yang dilakukan oleh
Nabi Muhammad SAW dimulai dari Masjidil Aqsa menuju Arsy. Dalam perjalanan
menuju Arsy tersebutlah Nabi Muhammad SAW melewati langit yang pertama sampai
dengan langit yang ketujuh serta melewati sidratul muntaha. Selanjutnya apa
yang Nabi Muhammad SAW lihat dan alami di dalam perjalanan itu?
Pada waktu Nabi Muhammad SAW sampai di langit
yang pertama, beliau bertemu dengan seseorang dan orang tersebut menyambutnya
seraya berkata “Marhaban
(selamat datang) Nabi yang salih dan Putra yang salih”. Nabi Muhammad
SAW bingung kenapa orang tersebut mengenalnya sedangkan Beliau tidak
mengenalnya. Kemudian Nabi bertanya kepada Malaikat Jibril “Siapakah itu?”
Jawab Malaikat Jibril: ”Itu Adam a.s, sedang gerombolan yang berada di kanan dan di kirinya
adalah anak cucunya, yang di kanan ahli syurga dan yang di kirinya ahli neraka,
karena itu ia tertawa bila melihat ke kanan, dan menangis bila melihat ke kiri”.
Demikian seterusnya Nabi Muhammad SAW bertemu dengan Nabi dan Rasul terdahulu di setiap tingkatan langit sebelum
Beliau bertemu langsung dengan Allah SWT.
Berdasarkan uraian yang tertuang dalam hadits
yang kami kemukakan di atas, ada beberapa hal yang patut kita perhatikan dengan
seksama untuk memudahkan kita menjawab pertanyaan tentang bentuk ruh/ruhani
manusia seperti apa, yaitu: (a) Siapakah
yang sebenarnya ditemui oleh Nabi Muhammad SAW di langit yang pertama sampai
dengan langit yang ke tujuh?; (b) Setiap
Nabi yang ditemui atau setiap Nabi yang bertemu dengan Nabi Muhammad SAW selalu
Nabi tersebut mengenal Nabi Muhammad SAW sedangkan Beliau sendiri tidak
mengenalnya?. Berdasarkan kondisi ini, sebenarnya apa yang terjadi? seperti
kita ketahui bersama setiap manusia pasti mengalami kematian atau ruh pasti
berpisah dengan jasmani, dimana jasmani akan dimakamkan di bumi atau kembali ke
tanah sedangkan ruh kembali ke asalnya yaitu kepada pencipta-Nya.
Sekarang jika Nabi Muhammad SAW di langit
yang pertama bertemu dengan Nabi Adam as, maka siapakah yang ditemui oleh
Beliau, apakah Nabi Adam as, dalam bentuk ruh tanpa jasmani atau apakah Nabi
Adam as, dalam bentuk jasmani dengan ruh atau apakah Nabi Adam as, dalam bentuk
jasmani tanpa ruh? Jika yang ditemui
oleh Nabi Muhammad SAW adalah Nabi Adam as, dalam bentuk jasmani dengan ruh ini
berarti bahwa Nabi Adam as, masih hidup sedangkan kenyataannya Nabi Adam as,
sudah meninggal. Lalu jika yang ditemui oleh Nabi Muhammad SAW adalah Nabi
Adam as, dalam bentuk jasmani tanpa ruh,
lalu siapakah yang dikuburkan atau yang telah dimakamkan di muka bumi sedangkan
pada saat itu Nabi Muhammad SAW sedang berada dalam perjalanan Mi'raj atau
berada di atas bumi.
Adanya kondisi ini berarti yang ditemui oleh
Nabi Muhammad SAW adalah bukan Nabi Adam as, dalam bentuk jasmani tanpa ruh
atau bukan pula Nabi Adam as, dalam bentuk jasmani dengan ruh, jadi siapakah
itu? Sekarang jika Nabi Adam as, adalah manusia yang diciptakan oleh Allah SWT,
maka Nabi Adam as, pasti terdiri dari ruh dan jasmani. Adanya kondisi ini maka
yang ditemui oleh Nabi Muhammad SAW di langit yang pertama adalah Nabi Adam as,
dalam bentuk ruh tanpa jasmani atau disebut juga dengan ruh Nabi Adam as,
karena jasmani Nabi Adam as, telah di kuburkan di bumi dan mungkin telah hancur
di makan tanah.
Berdasarkan uraian di atas, berarti yang ditemui dan yang mengenal
terlebih dahulu Nabi Muhammad SAW adalah Nabi Adam as, dalam bentuk ruh tanpa jasmani. Sekarang jika ruh Nabi Adam as, tidak mempunyai bentuk
mungkinkah Nabi Muhammad SAW mengenalnya dan bertanya kepada Malaikat Jibril
“Siapakah Itu?” Sebuah pertanyaan jika disampaikan dengan kata “Siapakah
Itu”, maka ada sesuatu yang mempunyai bentuk atau mempunyai rupa serta nyata
ada dihadapan Nabi Muhammad SAW. Berdasarkan
kondisi ini, maka kita dapat menyimpulkan bahwa Nabi Adam as, dalam bentuk ruh
dari Nabi Adam as, mempunyai rupa atau bentuk (ingat pertanyaan dari Nabi
Muhammad SAW serta jawaban dari Malaikat Jibril).
Lalu seperti apakah bentuk ruh tersebut?
Untuk menjawab pertanyaan, mari kita perhatikan hadits yang kami kemukakan
berikut ini: “Ibn Abbas ra berkata: Nabi SAW bersabda: Ketika malam Isra’ aku melihat Nabi Musa
seorang yang coklat rupanya, tinggi dan keriting rambutnya, bagaikan orang dari
suku Syanu’ah, juga aku melihat Isa a.s orang yang sedang tidak tinggi dan
tidak pendek sedang bentuk badannya berkulit putih kemerah-merahan lurus
rambutnya. Juga saya melihat Malaikat Malik penjaga neraka dan Dajjal, dalam
beberapa ayat-ayat (bukti kebesaran) Allah yang telah diperlihatkan kepadaku,
karena itu maka jangan ragu anda pasti bertemu padaNya. (Hadits Riwayat Bukhari, Muslim, Al
Lulu Wal Marjan: 104)
Abuhurairah r.a. berkata: Rasulullah SAW
bersabda: Ketika malam Israa’ saya
melihat Musa seorang yang kurus, sedang, seakan-akan orang dari suku Syanu’ah,
juga melihat Isa juga sedang, putih kemerahan bagaikan orang yang baru keluar
dari pemandian, dan aku sangat menyerupai Ibrahim. Kemudian dihidangkan
kepadaku dua bejana satu berisi susu dan yang kedua berisi khamer, dan
diperintahkan kepadaku supaya memilih salah satu yang mana aku suka, maka aku
ambil susu lalu aku minum, maka diberitahu: Anda telah mengambil fitrah agama,
andaikan anda mengambil khamer pasti ummatmu akan tersesat. (Hadits Riwayat Bukhari, Muslim, Al Lulu Wal Marjan: 106)
Berdasarkan hadits
yang diriwayatkan oleh Bukhari,
Muslim yang terdapat dalam kitab Al Lulu Wal Marjan No.104 dan No. 106 di atas, didapat keterangan sebagai berikut: (a) Nabi
Musa as, digambarkan mempunyai warna kulit coklat dengan perawakan tinggi serta
keriting rambutnya serta seakan-akan
orang dari suku Syanu’ah,; (b)
Nabi Isa as,
digambarkan mempunyai warna kulit putih
kemerah-merahan dengan perawakan sedang serta rambut yang lurus; (c) Sedangkan Nabi Muhammad SAW menggambarkan bahwa dirinya seperti Nabi
Ibrahim as. Jika Nabi Musa as, dan Nabi Isa as, serta Nabi Ibrahim as,
dapat digambarkan oleh Nabi Muhammad SAW seperti itu, ini berarti bahwa ruh juga mempunyai tinggi
(dalam hal ini tinggi badan); warna (dalam hal ini warna kulit) serta rambut
(dalam hal ini ikal dan lurus). Sedangkah khusus untuk Nabi Musa as, dipertegas
dengan pernyataan bahwa Nabi Musa as, seperti orang dari suku Syanu’ah.
Sekarang jika Nabi
Muhammad SAW sudah menyatakan bahwa Nabi Musa as, seperti orang dari suku
Syanu’ah, ini berarti bahwa Nabi Muhammad SAW tahu betul dengan kondisi phisik
dari orang-orang suku Syanu’ah. Dan Jika Nabi Muhammad SAW tidak tahu dan tidak
mengenal orang-orang dari suku Syanu’ah maka Beliau tidak akan mungkin dapat
memberikan keterangan dan pernyataan yang pasti tentang bentuk serta ciri-ciri
dari Nabi Musa as. Adanya informasi tentang hal ini maka kita dapat
menyimpulkan bahwa
ruh mempunyai bentuk seperti yang dikemukakan Nabi Muhammad SAW pada waktu
menggambarkan ruh tanpa jasmani dari Nabi Musa as, seperti orang-orang suku
Syanu’ah.
Selanjutnya jika kita
mengambil perumpaan dalam membuat kue, bentuk kue yang kita buat akan sama
bentuknya dengan loyang kue yang kita sediakan. Demikian pula dengan ruh. Bentuk
ruh sama persis dengan bentuk phisik seseorang karena phisik seseorang
adalah cetakan atau loyang dari bentuk ruh itu sendiri. Jika bentuk ruh
sama bentuknya dengan bentuk phisik atau bentuk jasmani seseorang, masih ada
pertanyaan lagi yang harus kita jawab yaitu mempunyai matakah ruh, mempunyai mulutkah ruhani,
mempunyai hati atau perasaankah ruh? Untuk menjawabnya, mari kita
lanjutkan pembahasan kita. Nabi Muhammad SAW pada saat bertemu pertama kali dengan Nabi-Nabi baik di langit
pertama sampai dengan langit yang ke tujuh, Beliau selalu tidak mengenal
Nabi-Nabi tersebut sedangkan Nabi-Nabi yang ditemui Beliau selalu mengenalnya
dan selalu menyampaikan salam terlebih dahulu kepada Nabi Muhammad SAW.
Salam yang diucapkan
oleh para Nabi-Nabi yang ditemui oleh Nabi Muhammad SAW selalu hampir sama
yaitu “Marhaban (selamat datang) Nabi yang salih dan Putra yang salih” atau
“Selamat datang saudara sebagai nabi”. Dan jika seseorang menyampaikan salam terlebih dahulu kepada
tamunya, mungkinkah orang yang memberikan salam tidak mempunyai mata, tidak
mempunyai mulut, tidak mempunya telinga? Berdasarkan hadits di atas maka dapat
dipastikan bahwa ruh para Nabi-Nabi mempunyai mata karena dia dapat melihat
tamunya, ruh juga memiliki mulut karena dia bisa berbicara kepada tamunya, ruh juga memiliki telinga karena dia bisa
mendengar ucapan atau respon tamunya. Adanya kondisi ini dapat dikatakan
bahwa ruh setiap manusia mempunyai mata, mulut dan telinga.
Apakah ruh juga memiliki perasaan (af’idah)? Berdasarkan surat As
Sajdah (32) ayat 9 berikut ini: “kemudian Dia menyempurnakan
dan meniupkan ke dalamnya roh (ciptaan)-Nya dan Dia menjadikan bagi kamu
pendengaran, penglihatan dan hati; (tetapi) kamu sedikit sekali bersyukur.” Setiap manusia pasti
memiliki perasaan yang diberikan oleh Allah SWT setelah peniupan ruh ke dalam jasmani
manusia. Kondisi ini juga dibuktikan pada waktu Nabi Muhammad SAW sampai di
langit yang pertama Beliau melihat Nabi Adam as, menangis jika menengok ke kiri
dan tertawa jika menengok ke kanan. Menangis dan tertawa merupakan bagian dari suatu
perasaan, tanpa ada perasaan yang mendalam tidak akan mungkin kita akan tertawa
ataupun menangis. Jika Nabi Adam as, yang dilihat oleh Nabi
Muhammad SAW di langit yang pertama
menangis dan tertawa, maka hal ini sudah dapat dipastikan bahwa ruh/ruhani dari
Nabi Adam as, mempunyai perasaan (af’idah).
Lalu apakah ruh
mempunyai ilmu dan pengetahuan? Ruh dapat dipastikan memiliki ilmu dan pengetahuan,
apa buktinya? Setelah Nabi Muhammad SAW bertemu dengan Allah SWT di Arsy, Nabi
Muhammad SAW mendapatkan sebuah pesan yang wajib dilaksanakan yaitu mendirikan shalat
sebanyak 50 (lima puluh) waktu sehari semalam. Sewaktu Nabi Muhammad SAW turun
Beliau bertemu dengan Nabi Musa as, dan Nabi Musa as, menanyakan apa pesan yang
dikemukakan oleh Allah SWT. Pesan dan
wasiat yang telah diterima oleh Nabi Muhammad SAW lalu disampaikan kepada Nabi
Musa as, pada waktu Beliau bertemu dengan Nabi Musa as, di langit yang ke enam.
Nabi Musa as, lalu memberikan masukan, memberikan nasehat, memberikan wejangan
kepada Nabi Muhammad SAW tentang kewajiban mendirikan shalat sebanyak 50 (lima
puluh) waktu.
Nabi Musa as,
menyuruh dan meminta kepada Nabi Muhammad SAW menghadap Allah SWT kembali
supaya mengurangi kewajiban shalat tersebut dikarenakan umat tidak akan mampu
melaksanakannya. Sekarang jika Nabi Musa as, memberikan masukan, nasehat dan wejangan
kepada Nabi Muhammad SAW untuk meminta pengurangan atau dispensasi atas
kewajiban shalat 50 (lima puluh) waktu dalam sehari semalam, apakah mungkin
Nabi Musa as, tidak mempunyai ilmu dan pengetahuan serta tidak mempunyai
pemikiran dan pandangan yang luas? Adanya
wejangan, masukan, yang disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW menunjukkan kepada
kita bahwa Ruh Nabi Musa as, mempunyai ilmu dan pengetahuan serta pemikiran dan
pandangan yang luas.
Lalu jika ruh para
Nabi-Nabi yang kami sebutkan di atas mempunyai bentuk sesuai dengan bentuk atau
tampilan phisik atau jasmani mereka sendiri, maka apakah ruh kita juga sama
seperti bentuk phisik atau jasmani kita sendiri? Jika para Nabi dan diri kita sama-sama adalah
manusia yang diciptakan dalam kerangka rencana besar untuk dijadikan abd’ (hamba)
yang juga khalifah di muka bumi maka ruh kitapun pasti mempunyai bentuk, pasti
mempunya ciri-ciri phisik seperti tinggi, warna dan rambut. Ruh kita pun pasti
mempunyai mata, mulut, kuping, ilmu dan pengetahuan, perasaan dan juga memiliki
kemampuan dan pandangan luas. Disinilah letak keadilan Allah SWT selaku
pencipta kekhalifahan yang bertindak adil dengan tidak membeda-bedakan kualitas
ruh yang ditiupkan ke dalam jasmani setiap manusia. Sudahkah kita memahaminya!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar