Akal
dan bukti tekstual (AlQuran dan hadits) menunjukkan bahwa hakikat manusia
adalah ruhnya, atau jiwanya. Sedangkan tubuhnya hanyalah kendaraan dan
perantara perbuatannya. Semua gerakan tubuh disebabkan oleh ruh.
Apabila ruh pergi, tubuh tidak bisa membuat gerakan apapun. Tetapi selepas
kematian sekalipun, ruh manusia tidak hilang. Ruh itu tidak fana dan tetap ada
selamanya. Seandainya di dunia ia menjadi penyebab bagi tubuh untuk melakukan
amal baik, setelah pelepasannya, ia akan menjadi sebab amal buruk melalui
tubuh, ia juga akan merasakan penderitaan dan kepedihan di akhirat.
Umumnya
manusia menganggap kehidupan material dan tubuhnya adalah segalanya dan dengan
kematian semuanya akan berakhir. Karena itulah ia melakukan berbagai hal
terhadap tubuhnya, tetapi tak ada yang ia lakukan demi jiwanya. Demi
kesejahteraan tubuh, ia rela menahan diri dari berbagai kesenangan dan bersedia
bersusah payah. Tetapi ia tidak melakukan apapun demi kesehatan jiwanya.
Ia
menjalani operasi besar untuk tubuhnya dan mengeluarkan banyak uang untuk itu,
tetapi ia memelihara berbagai penyakit spiritual. Ia tidak peduli jika nanti
merasakan azab selama ribuan tahun di alam barzakh atau di neraka kelak.
Manusia lalai dengan jiwanya, yaitu dirinya, dan ini karena ia melupakan Tuhan-Nya.Orang
yang mampu hidup tenang, mati senang dan
berumur panjang adalah orang yang pandai mencari keseimbangan yin dan yang,
atau mampu menjaga keseimbangan jasmani dengan ruh, atau menjaga keseimbangan
kepentingan dunia dengan kepentingan akhirat. Jika unsur unsur
keseimbangan yang di dalam diri mencapai kesempurnaan, barulah keadaan diri kita
bisa selaras dan sehat lahir dan bathin.
Sebaliknya,
jika kedua unsur ini tidak seimbang, akan terjadi ketidakselarasan, dan hidup
ini menjadi tidak sehat baik jasmani maupun ruhani.Jika hidup selalu diisi
dengan keluh kesah, terus kapan syukurnya? Jika waktu habis mengejar dunia
kapan ingat akhiratnya? Hidup memang tidak bisa diprediksi namun beramal shaleh
tidak menunggu prediksi kita.
Mengobati
jiwa ribuan kali lebih penting daripada mengobati tubuh. Kehidupan di akhirat
berkali kali lebih panjang dibandingkan dengan kehidupan di dunia yang singkat.
Kesulitan di sanapun berkali kali lebih hebat dibandingkan persoalan duniawi.
Kita harus berusaha menghindari kesulitan kesulitan itu. Penyakit spiritual
juga menimbulkan rasa sakit dan kesulitan di dunia, sedangkan sakit fisik tak
ada apa apanya dibandingkan dengan kesulitan yang akan kita hadapi di akhirat
kelak. Perhatikanlah hal ini. Kenyamanan material tak akan menghilangkan
penyakit spiritual.
Air
yang jernih tetap akan jernih walau diaduk berkali kali, mungkin hanya ada riak
riak kecil saja. Hidup kita pasti akan di aduk oleh berbagai ujian, namun hanya
mereka yang jernih (berjiwa muthmainnah) yang tak akan berubah keyakinannya.
Itulah yang dikehendaki Allah SWT kepada seluruh manusia. Jika
seekor tupai tak pernah jatuh, justru dia belum teruji. Jika manusia tidak
pernah salah, maka kesempurnaannya dan hidupnya tak teruji.Kita tidak tertarik
dengan orang yang mengatakan tidak pernah salah, kita terpesona dengan orang
yang jatuh lalu bangkit. Seperti permata atau berlian yang jatuh ketumpukan
pasir, tak mudah mencarinya namun ia takkan pernah tertukar dengan batu biasa.
Kita
selalu ingin mendapatkan yang terbaik, rezeki, jodoh, akhir hidup dan lain
lain. Telitilah mencarinya, karena yang terbaik tidak bisa didapatkan dengan
tergesa gesa. Disinilah dibutuhkan kesabaran, dan kebasaran adalah bagian dari
iman. Demikianlah hidup yang diciptakan oleh Allah SWT kepada umat manusia
dan melalui hidup ini pula akan ketahuan dua buah kualitas jiwa manusia, jiwa yang bersifat taqwa direpresenatasikan
dengan jiwa muthmainnah (jiwa yang tengan) dan jiwa yang bersifat fujur (jiwa
yang sesat).
Agar
diri kita memiliki panduan dan pedoman saat melaksanakan tugas sebagai abd’
(hamba)-Nya yang sekaligus khalifah-Nya di muka bumi, berikut ini akan kami
kemukakan bentuk atau penampilan dari jiwa muthmainnah, atau jiwa yang tenang yang
akan menjadi bentuk penampilan dari diri
kita, istri/suami kita, anak dan keturunan kita. Adapun bentuk bentuk dari
penampilan seseorang yang telah mampu menjadikan jiwanya jiwa muthmainnah,
dapat kami kemukakan di bawah ini, yaitu:
A. MAMPU MENINGGALKAN JEJAK KEBAIKAN.
Orang yang berjiwa muthmainnah adalah orang yang mampu
bercermin, atau mengambil hikmat dan pelajaran dari makhluk ciptaan Allah SWT
yang lainnya. Untuk itu ada baiknya kita bercermin dengan salah satu makhluk
Allah SWT yang bernama burung. Seekor burung, katakan seekor burung murai batu,
ia akan dikenal melalui kicaunya yang merdu lagi memiliki ciri khas tertentu
dan jika burung saja mampu dikenal lewat kicauannya yang merdu lagi khas.
Lalu apa yang akan dikenal dari diri kita sebagai abd’
(hamba) yang sekaligus khalifah-Nya jika tanpa pernah ada jejak jejak kebaikan
yang dibuat dan yang akan ditinggalkan? Ini yang terjadi maka keadaan ini
bukanlah yang dikehendaki oleh Allah SWT, tetapi yang dikehendaki oleh syaitan.
Orang yang memiliki jiwa Mutmainnah adalah orang yang menyadari
bahwa hakikat kelahiran setiap manusia adalah kemampuan meninggalkan jejak
kehidupan yang mendalam di muka bumi ini. Kehidupan seorang manusia takkan
berarti atau tidak akan meninggalkan jejak yang kuat serta pengaruh yang besar,
kecuali bila orang tersebut memiliki jiwa yang kuat, akal yang cerdas, tekad
yang membaja, dan kemauan yang tak lekang dikikis oleh waktu.
Orang yang berjiwa muthmainnah dapat dipastikan ia
berumur panjang karena mampu dikenang melalui kebaikan kebaikannya oleh orang
banyak secara lintas jaman, atau melalui karya karya nyata yang ditinggalkannya
yang bisa dinikmati oleh generasi yang datang dikemudian hari.
Menurut sejarah, ada banyak contoh-contoh kebaikan yang
umurnya sangat panjang, apakah itu?
Inilah jejak-jejak sejarah itu:
1. Ibunda Siti Hajar telah mampu meninggalkan
jejak jejak kebaikan yang bersifat sangat jangka panjang berupa air zam zam,
yang awalnya ada di gurun tandus yang sampai dengan hari ini masih ada dan
kitapun masih bisa merasakan air zam zam itu sebagai oleh oleh ibadah umroh dan
haji.
2. Sahabat Usman bin Affan ra, yang juga telah
meninggalkan jejak kebaikan berupa perkebunan kurma yang berada di kota Madinah
yang dikelola melalui wakaf Usman Foundation yang sampai hari masih berjalan
dengan baik serta mampu menghasilkan jutaan real setiap tahunnya.
3. Buya Hamka dengan karya Tafsir Al Azharnya.
4. Ir Soetami dengan jembatan semangginya, ada
Ir Juanda dengan waduk jatiluhurnya, ada Ir Soekarno dengan pohon mindinya yang
ada di Arafah serta dipemisahan jalur sa’i dan lain sebagainya.
Jika saat ini kita masih hidup adalah sesuatu yang
janggal lagi tidak mungkin terjadi jika kita masuk dalam kategori jiwa
muthmainnah tidak memiliki karya nyata karya nyata yang bisa dinikmati oleh
generasi yang akan datang. Ayo buktikan jika kita mampu berkarya nyata yang
menunjukkan nilai nilai kebaikan.
Adanya karya-karya nyata yang bisa dinikmati oleh
generasi yang datang di kemudian hari, ini menandakan umur orang yang berkarya
nyata dapat dipastikan berumur panjang. Semakin lama dikenang oleh banyak orang
dalam kebaikan maka semakin panjang pula umur yang berkarya- nyata sehingga
semakin banyak pula nilai- nilai kebaikan yang ia terima untuk kehidupan
akhiratnya kelak. Semoga kita mampu meninggalkan karya-karya nyata yang
bersifat jangka panjang dengan berani membayar mahal sesuatu untuk mewujudkan
karya-karya nyata ini. Sekarang semua terpulang kepada diri masing masing.
B. MAMPU MENJADI UMAT PERTENGAHAN (UMMATAN
WASHATAN).
Salah
satu bentuk dari penampilan dari orang orang yang berjiwa muthmainnah adalah
mampu menjadi umat pertengahan (ummatan washatan). Allah SWT berfirman dalam surat Al Baqarah (2) ayat 177
berikut ini: “bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu
kebajikan, akan tetapi Sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah,
hari Kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta
yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin,
musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan
(memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan
orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang
sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. mereka Itulah
orang-orang yang benar (imannya); dan mereka Itulah orang-orang yang bertakwa”.,
Lalu apa yang dimaksud dengan Ummatan Washatan itu?
Ummatan Washatan adalah umat
yang yang mampu seimbang dalam hidup dan kehidupannya yakni bukan umat yang
berlebihan (ekstrem) yang hanya cenderung ke kiri (maksudnya lebih condong
kepada kehidupan duniawi dengan mengabaikan kehidupan akhirat), atau hanya
cenderung ke kanan dengan mengabaikan ke kiri yang hanya cenderung kepada
kehidupan akhirat dengan mengabaikan kehidupan duniawi.
Hidup yang berkeseimbangan bukan pula hidup dan
kehidupan yang hanya condong ke Timur semata, ataupun yang hanya condong ke
Barat semata. Sehingga kita tidak boleh berat sebelah hanya mementingkan diri
sendiri atau hanya mementingkan orang lain. Konsep hidup inilah yang kami
istilahkan sebagai pola hidup yang berkeseimbangan. Hidup yang seimbang dapat
diibaratkan laksana neraca (timbangan) yang harus seimbang kondisinya, sehingga
saat ia dipergunakan mampu berbuat adil atau sesuai dengan fungsinya serta
tidak merugikan orang lain.
Sedangkan berdasarkan surat
Al Mulk (67) ayat 3 berikut ini: “yang telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis.
kamu sekali-kali tidak melihat pada ciptaan Tuhan yang Maha Pemurah sesuatu
yang tidak seimbang. Maka lihatlah berulang-ulang, Adakah kamu Lihat sesuatu
yang tidak seimbang?”. Pola hidup yang berkeseimbangan merupakan fitrah
dari penciptaan yang diciptakan oleh Allah SWT. Untuk itu renungkanlah apa yang
dikemukakan oleh Allah SWT “lihatlah
berulang ulang lalu adakah kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang?” Adanya
penegasan ini Allah SWT berkehendak agar kita belajar untuk memahami pola
keseimbangan yang ada di alam semesta ini dan lalu jangan coba coba untuk
merubah ketentuan akan keseimbangan ini karena akan membahayakan diri sendiri
dan juga umat manusia secara keseluruhan.
Sebagai abd’ (hamba)-Nya yang sekaligus khalifah-Nya
di muka bumi, pernahkah kita memikirkan adanya sesuatu yang berpasang-pasangan dalam
kontek keseimbangan baik yang ada di muka bumi ataupun yang ada pada diri kita?
Begitu banyak konsep berpasang pasangan dalam keseimbangan seperti lakilaki dan
perempuan, tua dan muda, kaya dan miskin, negatif dan positif, atas dan bawah,
proton dan neutron, langit dan bumi, jiwa taqwa dan jiwa fujur, ruh dan jasmani
dan lain sebagainya. Lalu apakah yang berpasang pasangan dalam keseimbangan itu
ada dengan sendirinya tanpa ada yang menciptakan? Berdasarkan surat Yaa Siin
(36) ayat 36 berikut ini: “Maha suci Tuhan yang telah
menciptakan pasangan-pasangan semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi
dan dari diri mereka maupun dari apa yang tidak mereka ketahui”. Bahwasanya Allah SWT lah yang telah
menciptakan segala sesuatu dengan berpasang-pasangan, baik apa apa yang ada di
muka bumi maupun yang ada pada diri manusia maupun dari apa apa yang tidak kita
ketahui.
Lalu apa yang dimaksud dengan berpasang-pasangan
dalam keseimbangan itu? Jika kita mau meneliti secara mendalam tentang
berpasangan-pasangan yang telah ditetapkan oleh Allah SWT maka kita akan
mendapati beberapa makna dari berpasang pasangan itu. Apa maksudnya?
1. Berpasang-pasangan bisa bermakna ibadah yang
tidak bisa dipisahkan antara ibadah yang satu dengan ibadah yang lainnya, seperti
mendirikan shalat dengan menunaikan zakat, habbluminallah dengan
habbluminanass, menerima dengan memberi, kesalehan diri dengan kesalehan
sosial, mendengar dengan melihat. Jika sampai diri kita memisahkan ketentuan
ini berarti kita telah menganiaya diri sendiri.
2. Berpasang-pasangan juga bisa bermakna
keselarasan dan keseimbangan antara yang satu dengan yang lainnya, seperti
mengurangi dengan menambah, atas dengan bawah, tua dengan muda, proton dengan
neutron, positif dengan negatif, aktiva dengan pasiva. Jika sampai diri kita
memisahkan ketentuan ini berarti kita telah merusak tatanan keseimbangan yang
ada di dalam kehidupan.
3. Berpasang-pasangan juga bermakna pilihan, mau
beriman ataukah mau kafir, apakah mau berbuat kebaikan ataukah keburukan,
apakah mau syurga ataukah neraka, apakah mau bahagia ataukah mau celaka, mau
halal ataukah mau haram, mau maju ataukah mau mundur dan lain sebagainya. Jika
kita sampai salah memilih atau salah dalam menentukan sikap maka hasil akhir
dari pilihan yang kita pilih akan memberikan dampak yang berbeda antara satu
dengan yang lainnya. Jika kita memilih kebaikan maka kebaikan yang akan kita
terima, namun jika kita memilih keburukan maka keburukan yang akan kita terima.
4. Berpasang-pasangan juga bermakna pembeda antara satu dengan yang lainnya seperti malam
dengan siang, pagi dengan petang, kaya dengan miskin, tua dengan muda, dan lain
sebagainya. Sekarang bisakah kita membayangkan jika di langit dan di bumi ini
tidak ada konsep berpasang pasangan, lalu apa yang bisa kita perbuat jika tidak
ada malam dan siang? Lalu apa yang bisa kita rasakan jika tidak ada konsep
positif dan konsep negatif atau jika tidak ada laki laki dan perempuan atau jika
tidak ada kebaikan dan keburukan? Semuanya sama sehingga yang ada hanyalah satu
tanpa ada perbedaan sedangkan perbedaan inilah yang menunjukkan betapa hebatnya
Allah SWT.
Sekarang mari kita perhatikan apa yang
dikemukakan oleh Allah SWT dalam surat Adz Dzariyaat (51) ayat 49 berikut ini: “dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan
supaya kamu mengingat kebesaran Allah”. Ayat ini mengemukakan bahwa Allah
SWT lah yang telah menciptakan segala sesuatu dengan berpasang-pasangan lalu
Allah SWT juga telah mengingatkan kita bahwa dibalik berpasang pasangan itu ada
kebesaran Allah SWT yang menyertainya.
Lalu sampai kapankah konsep ini berlaku?
Konsep berpasang-pasangan sebagai sebuah sunnatullah (ketetapan Allah SWT) yang
berlaku dalam kehidupan yang kita laksanakan saat ini akan berlaku terus sampai
dengan hari kiamat kelak. Begitu hebat Allah SWT dan begitu jelas dan
transfaran Allah SWT dalam menciptakan segala sesuatu dan tinggal bagaimana
kita menyikapinya.
Sekarang bagaimana dengan adanya kebaikan
yang telah dipasangkan dengan keburukan oleh Allah SWT, lalu bagaimana kita
harus menyikapinya? Sebagai abd’ (hamba)-Nya yang sekaligus khalifah-Nya di
muka bumi, kita harus bisa memilih dan menentukan sikap apakah menjadikan
kebaikan sebagai cerminan diri kita ataukah menjadikan keburukan sebagai
cerminan diri kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar