F.
HUBBUL
MAADAH (INGIN DIPUJI)
Adakah Hubbul Maadah di dalam
diri kita? Di dalam setiap diri manusia baik itu laki-laki maupun perempuan
pasti mempunyai Hubbul Maadah atau keinginan
untuk dipuji. Adanya Hubbul Maadah akan
membuat manusia mempunyai energi untuk bergerak atau kekuatan atau dorongan
untuk melakukan suatu upaya meningkatkan kemampuan pribadi melebihi kemampuan
orang lain atau melakukan upaya memiliki harga diri dan menjaga martabat atau
melakukan kegiatan mempopulerkan diri atau melakukan sebuah prestasi yang
gemilang dibandingkan orang lain atau melakukan upaya menonjolkan diri
dibandingkan orang lain sehingga orang lain ataupun masyarakat umum menjadi
tahu dan mengetahui diri kita atau menjadikan diri kita menjadi orang terkenal
lagi terpandang.
Setelah mengetahu bahwa diri kita mempunyai keinginan untuk dipuji apakah
yang anda rasakan? Adanya keinginan untuk dipuji akan mendorong
manusia untuk berusaha memperbaiki diri, meningkatkan prestasi, meningkatkan
image, meningkatkan popularitas atau meningkatkan hubunggan sosial kemasyarakatan
atau melakukan upaya kampanye dan lain sebagainya sepanjang memenuhi koridor
Nilai-Nilai Kebaikan. Sekarang apa yang akan terjadi
jika sampai Allah SWT tidak memberikan kepada kita keinginan untuk dipuji? Kita
tidak akan dapat merasakan menjadi idola masyarakat atau menjadi panutan
masyarakat atau menjadi perhatian orang banyak atau menjadi tokoh masyarakat
atau merasakan penghargaan dari masyarakat atau merasakan pujian dari
masyarakat.
Setelah memiliki keinginan untuk dipuji, timbul pertanyaan, dapatkah energi
dan dorongan yang ada di dalam diri kita dipergunakan dengan cara-cara yang
bertentangan dengan Nilai-Nilai Kebaikan atau menghasilkan hasil yang juga
bertentangan dengan Nilai-Nilai Kebaikan? Keinginan untuk
Dipuji harus selalu dipergunakan dengan cara-cara yang sportif dan
bertanggungjawab atau tidak dengan cara-cara intimidasi atau tidak dengan cara
melecehkan dan merendahkan martabat orang lain dengan melaksanakan kampanye hitam.
Dan bukan pula sebuah
keberhasilan jika Keinginan untuk Dipuji menjadikan diri kita sombong, congkak,
angkuh serta lupa akan janji-janji atau
menjadikan diri kita hidup di menara gading yang jauh dari masyarakat atau
menjadikan diri kita suka pamer atau
menjadikan diri kita dihujat dan menghujat masyarakat sehingga terjadi
kegaduhan di dalam masyarakat yang pada akhirnya mengakibatkan saling
bermusuh-musuhan, saling bantai membantai, saling fitnah memfitnah dan saling
adu jotos serta saling mementingkan golongan. Keberhasilan atas penggunaan energi dan dorongan yang berasal dari keinginan
untuk dipuji akan terindikasi dari makin banyaknya tokoh masyarakat atau
panutan masyarakat yang dapat dijadikan
idola atas keteladanannya ataupun atas karyanya ataupun atas jasa-jasanya bagi agama,
bangsa dan negara. Sudahkah anda mempergunakan keinginan untuk dipuji
di dalam koridor nilai-nilai kebaikan yang berasal dari nilai-nilai Ilahiah
saat hidup di dunia?
1. Hubbul Maadah Yang Masih Fitrah. Sebagai makhluk yang terhormat kita harus menyadari bahwa keinginan untuk
dipuji yang berasal dari Allah SWT, bukanlah barang gratisan sehingga keinginan
untuk dipuji bisa dipergunakan, bisa didayagunakan dengan seenaknya saja tanpa
menghiraukan maksud dan tujuan awal dari pemberian Hubbul Maadah. Selanjutnya
agar diri kita jangan sampai salah di dalam mempergunakan keinginan untuk
dipuji, berikut ini akan kami kemukakan beberapa kehendak Allah SWT yang yang
dapat kita jadikan pedoman di dalam mempergunakan keinginan untuk dipuji
sehingga kita selalu berada di dalam kehendak Allah SWT atau jika kita ingin
mempertahankan kefitrahan Hubbul Maadah,
yaitu :
a. Bersyukur. Ungkapan rasa syukur merupakan
bentuk dari manifestasi penghargaan dan pengharapan kepada Allah SWT atas
nikmat yang telah diberikan sehingga kita dapat mencapai hasil yang kita
idamkan. Melakukan ungkapan syukur kepada Allah SWT bukanlah suatu tindakan yang
tercela apabila merendahkan diri kita. Akan tetapi tindakan mensyukuri nikmat yang telah diberikan Allah SWT merupakan
ibadah dan penghormatan kepada diri kita sendiri serta dapat melanggengkan
usaha-usaha yang kita lakukan, sebagaimana firman-Nya berikut
ini:“Dan
sesungguhnya telah Kami berikan hikmat kepada Luqman, yaitu: “Bersyukurlah
kepada Allah. Dan barangsiapa yang bersyukur (kepada Allah), maka sesungguhnya
ia bersyukur untuk dirinya sendiri; dan barangsiapa yang tidak bersyukur, maka
sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji”. (surat Luqman (31) ayat 12). Jika kita berani dan berusaha untuk bersyukur atas apa-apa yang telah
kita raih maka orang lainpun akan salut dan menaruh rasa hormat kepada diri
kita. Hal yang harus di ingat adalah bagaimana orang lain akan hormat kepada
kita jika kita sendiri tidak pandai bersyukur atau menghormati diri kita
sendiri. Untuk itu pandai-pandailah kita bersyukur atas nikmat yang telah kita
peroleh.
b. Tasbih & Tahmid
(Penyembahan dan Pujian).Pencapaian hasil usaha
berupa kesuksesan hidup atau ketenaran dalam kehidupan kesemuanya tidak
terlepas dari kemudahan dan bantuan yang diberikan oleh Allah SWT kepada diri
kita. Sebagai bentuk manifestasi dari pencapaian hasil usaha tersebut sudah
selayaknya kita melakukan penyembahan (tasbih) dan pujian (tahmid) kepada Allah SWT sebagai sebuah bentuk rasa
syukur diri kita kepada Allah SWT, sebagaimana firmanNya berikut ini: “Tidakkah kamu perhatikan
bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang
baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit, pohon itu memberikan
buahnya pada setiap musim dengan seizin Tuhannya. Allah membuat
perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat.(surat
Ibrahim (14) ayat 24-25). Tasbih dan Tahmid
merupakan salah satu jalan bagi manusia untuk selalu ingat kepada Allah SWT
atau jalan yang dapat menjadi-kan manusia merasa dekat dengan Allah SWT atau
jalan yang akan membuat manusia menjadi Tenang di dalam melakukan segala
aktivitas baik untuk kepen-tingan dunia maupun akhirat. Sebagai khalifah sudah
sepantasnya dan sepatutnya mampu melakukan tasbih dan tahmid setiap saat.
c. Cinta Allah SWT. Adanya keinginan untuk dipuji
akan menghasilkan sebuah upaya di dalam diri manusia untuk tampil secara prima
sehingga menjadi yang terbaik. Setelah menjadi yang terbaik dan mendapatkan
kesuksesan dan pujian maka kita tidak boleh takabur dengan melupakan jasa-jasa
orang lain serta diwajibkan kepada kita untuk lebih mendekatkan diri kepada
Allah SWT sebagai wujud syukur diri kita
kepada Allah SWT atas pencapaian sukses yang telah kita peroleh. Allah SWT
berfirman: “(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram
dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati
menjadi tenteram.(surat Ar Ra’d (13) ayat 28). Adanya upaya untuk mengungkapkan rasa syukur untuk selalu dekat atau
selalu mengingat Allah SWT dimanapun dan kapanpun maka kita akan mendapatkan
manfaat dari itu semua seperti hati menjadi tenteram, pikiran menjadi tenang
dan cerah, pancaran aura keluar dari dalam diri, serta lindungan Allah SWT akan
selalu menyertai diri kita dimanapun kita berada.
d. Taqarrub
(Pendekatan). Adanya keinginan untuk dipuji di dalam diri harus selalu diimbangi dengan
melakukan pendekatan atau taqarrub kepada Allah SWT. Adanya sikap taqarrub yang
kita kembangkan di dalam diri kita maka kita akan dihindarkan atau terhindar
dari sikap sombong, ujub, congkak, tamak, ataupun riya yang berasal dari
kesuksesan yang kita raih di dalam kehidupan. Jika kita mau terhindar dari itu
semua atau terhindar dari godaan-godaan yang ditimbulkan akibat eksploitasi
dari keinginan untuk dipuji, jangan
pernah sekalipun kita memisahkan diri dengan Allah SWT atau sedapat mungkin
kita selalu berada di dalam koridor Nilai-Nilai Kebaikan yang dikehendaki Allah
SWT. Allah SWT berfirman: “Maka ni’mat Tuhan kamu yang
manakah yang kamu dustakan? (surat Ar Rahmaan (55) ayat 45). Dan apabila kita selalu
di dalam lindungan Allah SWT maka kita akan dapat terhindar dari godaan dan
gangguan syaitan yang berbentuk manusia maupun manusia yang telah berubah
bentuk syaitan.
2. Hubbul Maadah Yang Sudah Tidak Fitrah. Berikut ini akan kami kemukakan kondisi dari keinginan untuk dipuji yang sudah tidak sesuai lagi dengan
nilai-nilai kebaikan atau kondisi keinginan untuk dipuji yang di dalam
pelaksanaanya sudah dikendalikan atau di bawah pengaruh sifat-sifat alamiah
jasmani atau jasmani sudah menguasai keinginan untuk dipuji. Adapun keinginan
untuk dipuji yang sudah tidak fitrah lagi dapat kami kemukakan sebagai berikut:
a. Ujub/Sombong. Apabila keinginan untuk dipuji mengakibatkan diri kita menjadi ujub atau
sombong, maka hal ini bukanlah sebuah keberhasilan. Akan tetapi kegagalan total
atas penggunaan energi dan dorongan atas keinginan untuk dipuji sebab hal
tersebut sudah tidak sesuai lagi dengan koridor Nilai-Nilai Kebaikan, akan
tetapi sangat sesuai dengan kehendak syaitan sang laknatullah. Adanya kondisi
ini, dapat dipastikan jasmani menjadi pengendali dan pengguna dari keinginan
untuk dipuji. Allah SWT berfirman: “Dan apabila dikatakan kepada mereka: “Sujudlah
kamu sekalian kepada Yang Maha Penyayang”, mereka menjawab: “Siapakah Yang Maha
Penyayang itu? Apakah kami akan sujud kepada Tuhan Yang kamu perintahkan kami
(bersujud kepada-Nya)?”, dan (perintah sujud itu) menambah mereka jauh (dari
iman). (surat Al Furqaan (25) ayat 60). Adanya
kondisi jasmani menjadi penguasa di dalam diri maka hasilnya pasti sangat
sesuai dan sangat didambakan oleh syaitan atau sangat memenuhi prinsip-prinsip
syaitani atau nilai-nilai syaitani, yang pada akhirnya akan membawa diri kita
ke neraka Jahannam.
b. Mubazir/Pemboros. Penggunaan keinginan untuk dipuji jika menghasilkan tindakan mubazir atau
menjadikan diri kita menjadi pemboros, bukanlah sebuah keberhasilan yang patut
dipuji lagi dibanggakan. Jika anda mau menjadi saudaranya syaitan secara
sukarela tanpa ada paksaan dari siapapun maka jadikanlah perbuatan mubazir dan
pemboros menjadi kegiatan sehari-hari anda atau jadikan mubazir dan pemboros
sebagai amal ibadah anda sehari-hari.
Hasil akhir dari itu semua akan dapat menghantarkan diri kita ke kampung
kesengsaraan dan kebinasaan. Allah SWT berfirman: “Sesungguhnya
pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah
sangat ingkar kepada Tuhannya. (surat Al Israa’ (17) ayat 27). Dan jika kita tidak menghendaki hal tersebut di atas maka lakukanlah perbuatan
hemat, tindakan arif dan bijaksana saat menjadi abd’ (hamba)-Nya yang juga
khalifah-Nya di muka bumi dan jangan serahkan kendali keinginan untuk dipuji
kepada jasmani sebab diri kita yang sebenarnya adalah ruh bukannya jasmani.
c. Prasangka Buruk. Keberhasilan menggunakan dan mendayagunakan energi dan dorongan yang
berasal dari keinginan untuk dipuji dengan cara-cara buruk sangka kepada
siapapun, tanpa analisa dan fakta serta bukti yang nyata bukanlah sebuah
keberhasilan yang patut dibanggakan walaupun yang bersangkutan telah sukses
menjadi tokoh ataupun panutan masyarakat. Prasangka buruk bukan saja
mencerminkan bahwa diri kita tidak mampu atau bodoh atau tidak mempunyai ilmu
atau tidak mempunyai rasa percaya diri yang tinggi namun dapat berarti bahwa
kita telah menanamkan bibit-bibit permusuhan di tengah masyarakat serta bahkan
dapat menumpahkan perang saudara di tengah masyarakat akibat diri kita mementingkan
kepentingan sesaat, sebagaimana firman-Nya berikut ini: ‘Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan
dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka iti adalah dosa dan janganlah
kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebahagian kamu
menggunjing sebahagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan
daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya.
Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha
Penyayang. (surat Al Hujuraat (49) ayat 12). Prasangka buruk tidak akan membuat seseorang sukses untuk mencapai
tujuannya, malah akan menjauhkan orang tersebut dari jalan yang diridhai oleh
Allah SWT. Hasil akhir dari selalu berprsangka buruk adalah
dalam kehidupan di dunia kita tidak disukai dan dibenci oleh banyak orang
sedang di akhirat bukan syurga tempat kembali diri kita.
d. Riya. Mempertontonkan atau memperlihat-lihatkan kembali apa yang telah dicapai
dengan maksud untuk pamer atau untuk merendahkan harkat dan martabat orang lain
atau untuk memberikan kesan bahwa ia saja yang baik dan orang lain tidak baik,
hal ini merupakan kegiatan yang tidak sesuai dengan Nilai-Nilai Kebaikan yang
berasal dari Nilai-Nilai Ilahiah. Allah SWT berfirman: “Sesungguhnya
orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka.
Dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas. Mereka
bermaksud riya (dengan shalat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut
Allah kecuali sedikit sekali. (surat An Nisaa’ (4) ayat 142). Dan jika sampai tindakan riya kita lakukan, berarti kita sebenarnya ingin
mempertontonkan kepada khalayak bahwa diri kita tidak mampu, diri kita tidak
becus, diri kita tidak mempunyai rasa malu. Selanjutnya yang terjadi adalah
syaitan sangat senang dan bergembira sebab ia mempunyai kawan dan saudara yang
akan diajak pulang ke neraka Jahannam.
e. Lemah. Keberhasilan mempergunakan energi dan dorongan dari keinginan untuk
dipuji tidak akan menyebabkan atau tidak akan membuat Manusia menjadi lemah bin
loyo apalagi tidak bersemangat serta hilang motivasi. Adanya Hubbul Maadah
dalam dari diri seharusnya menjadikan diri kita memiliki semangat pantang
menyerah serta mampu menghargai orang lain melalui cara-cara yang elegant serta
bertanggung jawab. Allah SWT berfirman: Allah hendak memberikan keringanan
kepadamu dan manusia dijadikan bersifat lemah. (Surat An Nisaa’ (4) ayat 28). Lemah, lesu, lunglai, serta tidak bersemangat merupakan sifat-sifat dasar
yang dimiliki oleh jasmani sehingga jika hal tersebut merupakan hasil dari
jerih payah mempergunakan keinginan untuk dipuji berarti jasmani telah menjadi
komandan atas keinginan untuk dipuji tersebut sedangkan yang harus terjadi
adalah nilai-nilai kebaikan yang dibawa oleh ruh dan Amanah yang 7 harus
tercermin di dalam diri kita.
Sebagai abd’ (hamba)-Nya yang juga adalah khalifah-Nya di muka bumi yang
saat ini sedang mempergunakan Hubbul Maadah (keinginan untuk dipuji), ada satu
hal yang harus kita perhatikan saat hidup di dunia ini, yaitu Allah SWT tidak membutuhkan apapun juga dari
penggunaan dan pendayagunaan Hubbul Maadah sebab Allah SWT sudah Maha dan akan
Maha selamanya. Allah
SWT juga tidak akan memperdulikan apakah Hubbul Maadah mau dipergunakan dengan
cara-cara Ilahiah ataukah mau dipergunakan dengan cara-cara syaitani, yang
pasti adalah Allah SWT akan meminta pertanggungjawaban dari Hubbul Maadah yang
ada pada diri kita selama diri kita menjadi abd’ (hamba)-Nya yang juga khalifah-Nya di muka
bumi.
G. HUBBUL RIASAH (INGIN
JADI PEMIMPIN)
Adakah Hubbul Riasah di dalam
diri kita? Di dalam setiap diri manusia baik itu laki-laki maupun perempuan pasti
mempunyai Hubbul Riasah atau keinginan
untuk memimpin. Adanya keinginan untuk memimpin akan membuat manusia mempunyai energi
untuk bergerak atau kekuatan atau dorongan untuk maju ke depan untuk memimpin
atau menjadi pemuka atau menjadi yang terbaik atau menjadi ketua atau menjadi
pimpinan baik untuk skala kecil maupun besar atau keinginan untuk berumah
tangga atau menjadi kepala rumah tangga bagi laki-laki. Dan setelah mengetahui
bahwa diri kita mempunyai keinginan untuk memimpin apakah yang anda rasakan?
Adanya Keinginan untuk memimpin
akan mendorong manusia untuk mengatur atau memberi pengarahan kepada
orang-orang untuk berbuat sesuatu atas arahan dan perintahnya sehingga yang
bersangkutan akan selalu tampil lebih dahulu dari yang lain atau berusaha untuk
menempatkan diri untuk selalu di muka. Sekarang jika
sampai Allah SWT tidak memberikan kepada kita keinginan untuk memimpin, timbul
pertanyaan dapatkah kita atau mampukah kita merasakan menjadi seorang atasan
atau menjadi seorang komandan atau menjadi seorang ketua atau menjadi seorang
direktur atau bahkan menjadi presiden yang memimpin sebuah bangsa ataupun
perusahaan ataupun kelompok tertentu?
Setelah mempunyai keinginan untuk memimpin dapatkah energi dan dorongan yang ada di
dalam diri kita dipergunakan dengan cara-cara yang bertentangan dengan nilai-nilai
kebaikan yang berasal dari sifat-sifat dasar ruh atau menghasilkan karya yang
juga bertentangan dengan nilai-nilai kebaikan? Keinginan untuk
memimpin harus selalu dipergunakan dengan cara-cara yang sportif dan
bertanggung jawab serta memenuhi azas demokrasi atau tidak dengan cara-cara intimidasi, tidak dengan cara-cara melecehkan dan
merendahkan harkat dan martabat orang lain dengan melakukan kampanye hitam. Dan bukan pula sebuah keberhasilan jika keinginan untuk memimpin
menjadikan diri kita berlaku sombong, congkak, angkuh serta lupa akan
janji-janji manis sewaktu kampanye atau menjadikan diri kita hidup di menara
gading yang jauh dari masyarakat atau menjadikan diri kita suka pamer atau menjadikan diri kita dihujat dan suka
menghujat masyarakat sehingga terjadi kegaduhan di dalam masyarakat yang pada
akhirnya mengakibatkan saling bermusuh-musuhan, saling bantai membantai, saling
fitnah memfitnah dan saling adu jotos serta saling mementingkan golongan.
Pemimpin dan
kepemimpinan yang dihasilkan melalui proses penggunaan energi dan dorongan atas
keinginan untuk memimpin wajib memenuhi syarat dan ketentuan seperti jujur, amanah, dapat dipercaya, berilmu yang
tercermin dari ketajaman otak dan kecerdasan pikiran, berpandangan luas, adil,
memiliki kehalusan perasaan, kedewasaan emosioanl, kekuatan ingatan, kekerasan
kemauan, kepribadian yang tinggi serta berbudi luhur. Selanjutnya keberhasilan atas penggunaan energi dan dorongan yang
berasal dari keinginan untuk memimpin akan terindikasi dari naiknya tingkat kesejahteraan
masyarakat atau meningkatnya rasa aman di tengah masyarakat atau semakin
sempitnya jurang antara yang kaya dan miskin atau makin tingginya tingkat
keadilan di tengah masyarakat atau makin berkurangnya KKN (korupsi, kolusi dan
nepotisme) dan angka kriminalitas semakin menurun atau makin tumbuh dan
berkembang-nya keluarga sakinah di tengah masyarakat. Selanjutnya sebagai abd’
(hamba)-Nya yang juga khalifah-Nya di muka bumi, sudahkah kita mempergunakan keinginan
untuk memimpin di dalam koridor Nilai-Nilai Kebaikan?
1. Hubbul Riasah Yang Masih Fitrah. Sebagai makhluk yang terhormat kita harus menyadari bahwa Hubbul Riasah
atau keinginan untuk berkumpul yang berasal dari Allah SWT, bukanlah barang
gratisan sehingga Hubbul Riasah bisa dipergunakan, bisa didayagunakan dengan
seenak-enaknya saja tanpa menghiraukan maksud dan tujuan awal dari pemberian
Hubbul Riasah tersebut. Selanjutnya agar diri kita jangan sampai salah di dalam
mempergunakan Hubbul Riasah, berikut ini akan kami kemukakan beberapa kehendak
Allah SWT yang yang dapat kita jadikan pedoman di dalam mem-pergunakan Hubbul
Riasah sehingga kita selalu berada di dalam kehendak Allah SWT atau jika kita
ingin mempertahankan kefitrahan Hubbul Riasah,
yaitu :
a. Doanya diijabah oleh Allah SWT. Sebagai seorang pemimpin bertanyalah kepa-da diri sendiri, apakah
ketentuan hadits yang kami kemukakan dibawah ini, sudah ada pada diri kita? Abu Hurairah ra, berkata
bahwasanya Nabi Muhammad SAW menerangkan bahwa ada tiga orang yang sekali-kali
tidak akan ditolak doanya oleh Allah SWT. Pertama, orang yang berpuasa sehingga
ia berbuka. Kedua, kepala negara yang adil. Ketiga. Orang yan dianiaya. (Hadits
Riwayat Ath Thirmidzi). Jika ketentuan
hadits di atas ini, belum ada pada diri kita atau kita belum bisa menjadi
pemimpin yang doanya diijabah oleh Allah SWT, berarti ada sesuatu yang salah di
dalam diri kita dan juga di dalam kepemimpinan yang kita laksanakan. Segera perbaiki
diri sehingga kita sesuai dengan ketentuan hadits di atas, terkecuali jika kita
mampu memper-tanggungjawabkan kepeminpinan yang kita laksakanan dihadapan Allah
SWT.
b. Berani. Energi dan dorongan
atas penggunaan keinginan untuk memimpin akan menghasilkan pemimpin yang berani
berbuat untuk membela yang benar atau pemimpin yang dapat memberi contoh suri
tauladan kepada rakyatnya di dalam setiap tindakan. Hal yang harus diperhatikan
adalah berani bukanlah berarti berbuat sesuatu melalui tindak kekerasan atau
penindasan ataupun perbuatan melawan hukum melainkan berani yang dilandasi
dengan prinsip kebenaran, santun, bijak serta tidak melawan hukum yang berlaku. Sebagaimana firman Allah SWT
berikut ini: “Katakanlah: “Sekali-kali tidak akan menimpa kami melainkan apa yang
telah ditetapkan oleh Allah bagi kami. Dialah pelindung kami, dan hanyalah
kepada Allah orang-orang yang beriman harus bertawakkal”. (surat At Taubah (9)
ayat 51)
Selain daripada itu, keberanian dapat dijadikan sebagai modal dasar bagi
kesuksesan seorang pemimpin sepanjang keberanian tersebut berada di dalam
koridor nilai-nilai kebaikan. Jika saat ini kita adalah seorang pemimpin, baik
dalam skala kecil maupun dalam skala besar, keberanian yang seperti apakah yang
anda miliki saat ini, apakah yang sejalan dan sesuai dengan nilai-nilai keburukan yang paling
dikehendaki oleh syaitan ataukah yang sesuai dengan nilai-nilai Kebaikan yang
sesuai dengan kehendak Allah SWT? Jawaban dari pertanyaan ini andalah yang tahu,
namun yang harus kita jadikan pedoman adalah kita akan dimintakan
pertanggungjawaban atas penggunaan Hubbul Riasah oleh Allah SWT kelak. Sekarang
mampukah kita mempertanggung jawabkan itu semua dihadapan Allah SWT?
c. Pengabdi dan Pelayan serta Tidak Memperdagangkan rakyat. Keinginan untuk memimpin harus bisa menjadikan diri kita yang telah
diangkat menjadi khalifah di muka bumi menjadi seorang pemimpin atau penguasa
yang mampu menjadi pengabdi, pelayan yang tidak memperdagangkan rakyat untuk
kepentingan diri, kelompok tertentu dalam keadaan apapun juga. Rasulullah SAW
bersabda: “Khianat paling besar adalah bila seorang penguasa/pemimpin
memperdagangkan rakyatnya. (Hadits Riwayat Ath Thabarani)
Rasulullah SAW bersabda: “Pemimpin
suatu kaum adalah pengabdi atau pelayan mereka. (Hadits Riwayat Abu Na’im)
Pemimpin sebagai pelayan dan rakyat sebagai
tuan. Itulah kira-kira yang hendak disampaikan oleh hadits di atas. Meski tidak
secara terang-terangan hadits di atas menyebutkan rakyat sebagai tuan dan
pemimpin sebagai pelayan, namun setidaknya hadits ini hendak menegaskan bahwa
Islam memandang seorang pemimpin tidak lebih tinggi statusnya dari rakyat,
karena hakekat pemimpin ialah melayani kepentingan rakyat. Sebagai seorang
pelayan, ia tentu tidak beda dengan pelayan-pelayan lainnya yang bertugas
melayani kebutuhan-kebutuhan majikannya. Seorang pelayan rumah tangga,
misalkan, harus bertanggung jawab untuk melayani kebutuhan majikannya. Demikian
juga seorang pelayan kepentingan rakyat harus bertanggung jawab untuk melayani
seluruh kepentingan rakyatnya. Rasulullah
SAW bersabda: “Barangsiapa yang
diserahi kekuasaan urusan manusia lalu menghindar atau mengelak melayani kaum
lemah dan orang yang membutuhkannya maka Allah SWT tidak akan mengindahkannya
pada hari kiamat. (Hadits Riwayat Ahmad)
Dalam konteks Indonesia, sosok “pelayan” yang
bertugas untuk memenuhi kepentingan
rakyat adalah presiden, menteri, dpr, mpr, ma, bupati, walikota,
gubernur, kepala desa, dan semua birokrasi yang mendukungnya. Mereka ini adalah
orang-orang yang kita beri kepercayaan (tentunya melalui pemilu) untuk mengurus
segala kepentingan dan kebutuhan kita sebagai rakyat. Karena itu, bila mereka
tidak melaksanakan tugasnya sebagai pelayan rakyat, maka kita sebagai “tuan”
berhak untuk “memecat” mereka dari jabatannya. Jika sampai apa yang kami kemukakan di atas ini tidak mampu kita
laksanakan, segeralah berhenti menjadi pemimpin saat ini juga karena ketentuan
hadits yang akan kemukakan di bawah ini menjadi berlaku kepada diri kita. Sebagai
pemimpin yang sedang memimpin bersegeralah taubat jika ketentuan yang kami
kemukakan di atas belum bisa kita laksanakan sesuai dengan kehendak Allah SWT
karena resiko yang akan kita hadapi sangatlah besar yaitu dimasukkan ke dalam
Neraka.
d. Tidak Menuntut Suatu Jabatan. Penggunaan Hubbul Riasah tidak boleh ditunggangi oleh ambisi pribadi,
karena ambisi pribadi merupakan cerminan dari Nilai-Nilai Keburukan yang tidak
lain adalah sifat alamiah dari Jasmani yang sangat dikehendaki oleh syaitan,
sebagaimana hadits berikut ini: Rasulullah saw berkata kepada Abdurrahman bin Samurah, janganlah engkau
menuntut suatu jabatan. Sesungguhnya jika diberi karena ambisimu maka kamu akan
menanggung seluruh bebannya. Tetapi jika ditugaskan tanpa ambisimu maka kamu
akan ditolong mengatasinya. (Hadits Riwayat Bukhari, Muslim). Sebagai pemimpin, kita harus bisa mengendalikan ambisi yang ada di dalam
diri, karena ambisi dapat menghancurkan, dapat meniadakan fasilitas bantuan
yang siap diberikan oleh Allah SWT kepada diri kita.
e. Jihad. Pengertian Jihad di
dalam penggunaan keinginan untuk memimpin bukanlah berarti perang. Akan tetapi
pengertian jihad dimaksud adalah sungguh sungguh di dalam melakukan suatu
perbuatan atau sungguh-sungguh melakukan tindakan nyata yang keluar dari diri
sendiri tanpa ada paksaan siapapun untuk memimpin, untuk melawan ahwa, untuk
merubah diri secara total atau melaksanakan sebuah pernyataan untuk memperbaiki
diri dari keadaan yang bergelimang dosa menjadi seorang yang berhasil keluar
dari persoalan atau keluar dari keadaan yang tidak diinginkan tersebut. Hal ini
sebagaimana dikemukakan dalam firman-Nya berikut ini: “Dan berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan jihad yang
sebenar-benarnya. Dia telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan
untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. (Ikutilah) agama orang tuamu Ibrahim.
Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian orang-orang muslim dari dahulu, dan
(begitu pula) dalam (Al Qur’an) ini, supaya Rasul itu menjadi saksi atas dirimu
dan supaya kamu semua menjadi saksi atas segenap manusia, maka dirikanlah
sembahyang, tunaikanlah zakat dan berpeganglah kamu pada tali Allah. Dia adalah
pelindungmu, maka Dialah sebaik-baik Pelindung dan sebaik-baik Penolong. (surat
Al Hajj (22) ayat 78)
Contohnya menjadikan diri sebagai pemimpin sejati, berhenti total dari
ketergan-tungan narkoba atau keluar dari kemiskinan dan kebodohan atau berhenti
total dari judi dan tindakan Asusila sehingga manusia tersebut terbebas dari
itu semua. Selanjutnya jihad yang keluar atas keinginan dari diri sendiri dapat
menjadi sebuah motor penggerak yang luar biasa kekuatannya atau menjadi mesin
pendorong bagi keinginan manusia manusia untuk keluar dari segala persoalan
hidup, apakah itu ketergantungan narkoba, kemiskinan, dan juga kebodohan. Semakin kuat tekad dan kesungguhan hati
untuk keluar dari segala persoalan yang melilit dan mendera manusia maka
semakin besar pula kekuatan yang diperoleh manusia untuk terbebas dari segala
persoalan. Akan tetapi jika keinginan dan motivasi jihad bukan atas
kesadaran dari diri sendiri maka manusia akan susah dan sangat menderita
sewaktu akan keluar dari segala persoalan tersebut dan yang lebih parah lagi
manusia tersebut akan tetap bergelimang dosa sampai akhir hayatnya.
Selanjutnya ada apa dengan jihad sehingga jihad dapat menjadi motor penggerak
atau mesin pendorong bagi manusia untuk keluar dari segala persoalan hidup? Jihad yang dilakukan oleh manusia di
dalamnya terdapat kekuatan yang berasal dari Allah SWT sebab Allah SWT telah
menetapkan atas dirinya kasih sayang kepada manusia (lihat kembali surat Al
An’aam (6) ayat 54) dengan demikian jika manusia melakukan jihad maka Allah SWT
pasti memberikan memberikan jalan keluar bagi umatnya yang mau berjihad atau
bersungguh-sungguh melakukan sesuatu di dalam Nilai-Nilai Kebaikan. Jika
saat ini anda seorang pemimpin, sudahkah anda melakukan jihad di jalan Allah
SWT untuk kepentingan masyarakat, bangsa dan negara atau apakah anda seorang
yang takut untuk melakukan jihad?
f. Cepat Tanggap. Pemimpin yang baik adalah seorang pemimpin yang mempunyai sifat dan sikap
untuk selalu bersegera melakukan introspeksi diri ataupun melakukan perbaikan
terhadap hasil karyanya yang bertentangan dengan kepentingan rakyat atau
pemimpin yang selalu bersegera meminta maaf jika melakukan kesalahan atau
bersegera meminta ampun kepada Allah SWT jika kita melakukan sebuah kesalahan
ataupun dosa. Sebagaimana dikemukakan dalam firmanNya berikut ini: “dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari
Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan
untuk orang-orang yang bertakwa. (surat Ali Imran (3) ayat 133).” Memohon
ampun kepada Allah SWT. Melakukan Permintaan maaf kepada rakyat, melakukan
introspeksi diri, melakukan perbaikan hasil karya wajib dilandasi dengan
semangat untuk tidak mengulangi perbuatan-perbuatan tersebut atau
kesalahan-kesalahan tersebut di masa akan datang. Selanjutnya bagaimana
jika pemimpin memiliki konsep Kapok Lombok? Pemimpin yang kapok lombok bukanlah cermin
kepemimpinan yang sesuai dengan Nilai-Nilai Kebaikan dikarenakan tidak bisa
menjadikan keledai sebagai panutannya. Dimana keledai saja tidak akan masuk ke dalam lubang yang sama untuk
kedua kalinya. Jika saat ini anda adalah seorang pemimpin yang masuk
kategori kapok lombok berarti anda sudah di dalam koridor Nilai-Nilai Keburukan
yang sesuai dengan kehendak syaitan sang laknatullah.
g. Saling Tolong Menolong. Keinginan untuk memimpin harus dilandasi semangat untuk saling tolong
menolong atau saling kasih mengasihi. Untuk itu semangat tolong menolong harus
dikembangkan dan dibina terus oleh setiap pemimpin dan sedapat mungkin di dalam semangat
persatuan dan kesatuan serta kekeluargaan. Keberhasilan seorang pemimpin atau
kepemimpinan yang dilaksanakan akan tercermin dari banyaknya permasalahan dan
persoalan kemasyarakatan yang terselesaikan dari adanya prinsip tolong menolong
dan kasih mengasihi sesama manusia yang ditumbuh kembangkan oleh pemimpin
tersebut saat kepemimpi-nannya lewat harta dan jiwanya. Sebagaimana dikemukakan
dalam firman-Nya berikut ini: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman hanyalah orang-orang yang
beriman kepada Allah dan Rasul-Nya kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka
berjihad dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah, mereka itulah
orang-orang yang benar. (surat Al Hujuraat (49) ayat 15).” Seorang Pemimpin atau suatu kepimimpinan diharuskan terlebih dahulu
memiliki semangat untuk berkorban, kemudian harus dapat menumbuhkan semangat
gotong royong serta menghilangkan prinsip mementingkan golongan, barulah hasil
dari kepemimpinan yang dilakukannya dapat dirasakan oleh masyarakat luas. Akan tetapi jika
seorang pemimpin tidak mampu menciptakan semangat kebersamaan bersiap-siaplah
menuai hasil berupa kegagalan lalu pulang kampung ke neraka.
h. Wakil Allah SWT. Manusia
diciptakan oleh Allah SWT dalam kerangka besar untuk dijadikan khalifah di muka
bumi. Untuk mempertegas pernyataan tersebut maka Allah SWT memberikan kepada
setiap manusia apa yang disebut dengan keinginan untuk memimpin. Keinginan
untuk memimpin akan menghasilkan dan menjadikan manusia menjadi pemimpin baik
untuk skala kecil menjadi kepala keluarga ataupun skala besar menjadi lurah
atau presiden. Pemimpin skala kecil
mengayomi sebuah keluarga sedangkan pemimpin skala besar dapat mengayomi sebuah
Negara. Sebagaimana dikemukakan dalam firmanNya berikut ini:“Ingatlah ketika
Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan
seorang khalifah di muka bumi”. Mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak
menjadikan (khalifah) di bumi orang yang akan membuat kerusakan padanya dan
menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan
mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang
tidak kamu ketahui”. (surat Al Baqarah (2) ayat
30).
Selanjutnya dengan adanya khalifah di muka bumi, maka khalifah tersebut
secara tidak langsung adalah pelaksana tugas-tugas sehari-hari Allah atau
perpanjangan tangan Allah SWT (Ex Officio dari Allah SWT) di muka bumi dengan
demikian akan terciptalah kedamaian dan akan terciptalah ketentraman di muka
bumi oleh sebab adanya khalifah. Adanya kondisi ini dapat dikatakan bahwa
tujuan diberikannya keinginan untuk memimpin agar fungsi kekhalifahan di muka
bumi dapat terlaksana dengan baik. Hal yang harus kita perhatikan adalah
khalifah artinya adalah pengatur, pemelihara, penjaga, pengayom, pengawas
terhadap apa-apa yang telah Allah SWT ciptakan di muka bumi.
Dan jika sekarang kita menjadi pemimpin baik dalam skala kecil maupun skala nasional ataupun skala international, berarti kita telah menjalankan fungsi kekhalifahan di muka bumi atau menjadi Wakil Allah SWT di muka bumi. Akan tetapi setelah menjadi khalifah atau Wakil Allah SWT apakah kedamaian, apakah ketertiban dan apakah ketentraman dalam skala kecil maupun skala besar telah dinikmati oleh masyarakat banyak oleh sebab kita dan anda menjadi khalifah atau Wakil Allah SWT? Jika apa yang kami kemukakan belum terjadi atau tidak terjadi berarti ada sesuatu yang salah saat diri kita menjadi khalifah di muka bumi atau ada sesuatu yang salah saat diri mempergunakan Hubbul Riasah.
Jika saat ini kita masih hidup di muka bumi ini berarti saat ini kita adalah pemimpin dan sebagai pemimpin kita tidak bisa terlepas dari pemanfaatan dan pendayagunaan Hubbul Riasah. Sebagaimana dikemukakan dalam firman-Nya berikut ini: “Barang-siapa yang memberikan syafa’at yang baik, niscaya ia akan memperoleh bahagian (pahala) dari padanya. Dan barangsiapa yang memberi syafa’at yang buruk, niscaya ia akan memikul bahagian (dosa) dari padanya. Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. (surat An Nisaa’ (4) ayat 85). Adanya kondisi ini berarti segala ketentuan tentang pemimpin dan kepemimpinan yang kami kemukakan di atas wajib berlaku pula bagi diri kita dan semoga kita mampu melaksanakan apa-apa yang harus kita pimpin sesuai dengan kehendak Allah SWT.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar