Label

MEMANUSIAKAN MANUSIA: INILAH JATIDIRI MANUSIA YANG SESUNGGUHNYA (79) SETAN HARUS JADI PECUNDANG: DIRI PEMENANG (68) SEBUAH PENGALAMAN PRIBADI MENGAJAR KETAUHIDAN DI LAPAS CIPINANG (65) INILAH ALQURAN YANG SESUNGGUHNYA (60) ROUTE TO 1.6.799 JALAN MENUJU MAKRIFATULLAH (59) MUTIARA-MUTIARA KEHIDUPAN: JALAN MENUJU KERIDHAAN ALLAH SWT (54) PUASA SEBAGAI KEBUTUHAN ORANG BERIMAN (50) ENERGI UNTUK MEMOTIVASI DIRI & MENJAGA KEFITRAHAN JIWA (44) RUMUS KEHIDUPAN: TAHU DIRI TAHU ATURAN MAIN DAN TAHU TUJUAN AKHIR (38) TAUHID ILMU YANG WAJIB KITA MILIKI (36) THE ART OF DYING: DATANG FITRAH KEMBALI FITRAH (33) JIWA YANG TENANG LAGI BAHAGIA (27) BUKU PANDUAN UMROH (26) SHALAT ADALAH KEBUTUHAN DIRI (25) HAJI DAN UMROH : JADIKAN DIRI TAMU YANG SUDAH DINANTIKAN KEDATANGANNYA OLEH TUAN RUMAH (24) IKHSAN: INILAH CERMINAN DIRI KITA (24) RUKUN IMAN ADALAH PONDASI DASAR DIINUL ISLAM (23) ZAKAT ADALAH HAK ALLAH SWT YANG HARUS DITUNAIKAN (20) KUMPULAN NASEHAT UNTUK KEHIDUPAN YANG LEBIH BAIK (19) MUTIARA HIKMAH DARI GENERASI TABI'IN DAN TABI'UT TABIIN (18) INSPRIRASI KESEHATAN DIRI (15) SYAHADAT SEBAGAI SEBUAH PERNYATAAN SIKAP (14) DIINUL ISLAM ADALAH AGAMA FITRAH (13) KUMPULAN DOA-DOA (10) BEBERAPA MUKJIZAT RASULULLAH SAW (5) DOSA DAN JUGA KEJAHATAN (5) DZIKIR UNTUK KEBAIKAN DIRI (4) INSPIRASI DARI PARA SAHABAT NABI (4) INILAH IBADAH YANG DISUKAI NABI MUHAMMAD SAW (3) PEMIMPIN DA KEPEMIMPINAN (3) TAHU NABI MUHAMMAD SAW (3) DIALOQ TOKOH ISLAM (2) SABAR ILMU TINGKAT TINGGI (2) SURAT TERBUKA UNTUK PEROKOK dan KORUPTOR (2) IKHLAS DAN SYUKUR (1)

Senin, 13 Mei 2024

HUBBUL YANG 7 SEBAGAI ENERGI PENGGERAK MANUSIA (PART 5 of 7)


F.   HUBBUL MAADAH (INGIN DIPUJI)

 

Adakah Hubbul Maadah di dalam diri kita? Di dalam setiap diri manusia baik itu laki-laki maupun perempuan pasti mempunyai Hubbul Maadah atau keinginan untuk dipuji. Adanya Hubbul Maadah akan membuat manusia mempunyai energi untuk bergerak atau kekuatan atau dorongan untuk melakukan suatu upaya meningkatkan kemampuan pribadi melebihi kemampuan orang lain atau melakukan upaya memiliki harga diri dan menjaga martabat atau melakukan kegiatan mempopulerkan diri atau melakukan sebuah prestasi yang gemilang dibandingkan orang lain atau melakukan upaya menonjolkan diri dibandingkan orang lain sehingga orang lain ataupun masyarakat umum menjadi tahu dan mengetahui diri kita atau menjadikan diri kita menjadi orang terkenal lagi terpandang.

 

Setelah mengetahu bahwa diri kita mempunyai keinginan untuk dipuji apakah yang anda rasakan? Adanya keinginan untuk dipuji akan mendorong manusia untuk berusaha memperbaiki diri, meningkatkan prestasi, meningkatkan image, meningkatkan popularitas atau meningkatkan hubunggan sosial kemasyarakatan atau melakukan upaya kampanye dan lain sebagainya sepanjang memenuhi koridor Nilai-Nilai Kebaikan. Sekarang apa yang akan terjadi jika sampai Allah SWT tidak memberikan kepada kita keinginan untuk dipuji? Kita tidak akan dapat merasakan menjadi idola masyarakat atau menjadi panutan masyarakat atau menjadi perhatian orang banyak atau menjadi tokoh masyarakat atau merasakan penghargaan dari masyarakat atau merasakan pujian dari masyarakat.

 

Setelah memiliki keinginan untuk dipuji, timbul pertanyaan, dapatkah energi dan dorongan yang ada di dalam diri kita dipergunakan dengan cara-cara yang bertentangan dengan Nilai-Nilai Kebaikan atau menghasilkan hasil yang juga bertentangan dengan Nilai-Nilai Kebaikan? Keinginan untuk Dipuji harus selalu dipergunakan dengan cara-cara yang sportif dan bertanggungjawab atau tidak dengan cara-cara intimidasi atau tidak dengan cara melecehkan dan merendahkan martabat orang lain dengan melaksanakan kampanye hitam.

 

Dan bukan pula sebuah keberhasilan jika Keinginan untuk Dipuji menjadikan diri kita sombong, congkak, angkuh  serta lupa akan janji-janji atau menjadikan diri kita hidup di menara gading yang jauh dari masyarakat atau menjadikan diri kita suka pamer atau  menjadikan diri kita dihujat dan menghujat masyarakat sehingga terjadi kegaduhan di dalam masyarakat yang pada akhirnya mengakibatkan saling bermusuh-musuhan, saling bantai membantai, saling fitnah memfitnah dan saling adu jotos serta saling mementingkan golongan. Keberhasilan atas penggunaan energi dan dorongan yang berasal dari keinginan untuk dipuji akan terindikasi dari makin banyaknya tokoh masyarakat atau panutan masyarakat  yang dapat dijadikan idola atas keteladanannya ataupun atas karyanya ataupun atas jasa-jasanya bagi agama, bangsa dan negara. Sudahkah anda mempergunakan keinginan untuk dipuji di dalam koridor nilai-nilai kebaikan yang berasal dari nilai-nilai Ilahiah saat hidup di dunia?

 

1.    Hubbul Maadah Yang Masih Fitrah. Sebagai makhluk yang terhormat kita harus menyadari bahwa keinginan untuk dipuji yang berasal dari Allah SWT, bukanlah barang gratisan sehingga keinginan untuk dipuji bisa dipergunakan, bisa didayagunakan dengan seenaknya saja tanpa menghiraukan maksud dan tujuan awal dari pemberian Hubbul Maadah. Selanjutnya agar diri kita jangan sampai salah di dalam mempergunakan keinginan untuk dipuji, berikut ini akan kami kemukakan beberapa kehendak Allah SWT yang yang dapat kita jadikan pedoman di dalam mempergunakan keinginan untuk dipuji sehingga kita selalu berada di dalam kehendak Allah SWT atau jika kita ingin mempertahankan kefitrahan Hubbul Maadah,  yaitu :

 

a. Bersyukur. Ungkapan rasa syukur merupakan bentuk dari manifestasi penghargaan dan pengharapan kepada Allah SWT atas nikmat yang telah diberikan sehingga kita dapat mencapai hasil yang kita idamkan. Melakukan ungkapan syukur kepada Allah SWT bukanlah suatu tindakan yang tercela apabila merendahkan diri kita. Akan tetapi tindakan mensyukuri nikmat yang telah diberikan Allah SWT merupakan ibadah dan penghormatan kepada diri kita sendiri serta dapat melanggengkan usaha-usaha yang kita lakukan, sebagaimana firman-Nya berikut ini:“Dan sesungguhnya telah Kami berikan hikmat kepada Luqman, yaitu: “Bersyukurlah kepada Allah. Dan barangsiapa yang bersyukur (kepada Allah), maka sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri; dan barangsiapa yang tidak bersyukur, maka sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji”. (surat Luqman (31) ayat 12). Jika kita berani dan berusaha untuk bersyukur atas apa-apa yang telah kita raih maka orang lainpun akan salut dan menaruh rasa hormat kepada diri kita. Hal yang harus di ingat adalah bagaimana orang lain akan hormat kepada kita jika kita sendiri tidak pandai bersyukur atau menghormati diri kita sendiri. Untuk itu pandai-pandailah kita bersyukur atas nikmat yang telah kita peroleh.

 

b. Tasbih & Tahmid (Penyembahan dan Pujian).Pencapaian hasil usaha berupa kesuksesan hidup atau ketenaran dalam kehidupan kesemuanya tidak terlepas dari kemudahan dan bantuan yang diberikan oleh Allah SWT kepada diri kita. Sebagai bentuk manifestasi dari pencapaian hasil usaha tersebut sudah selayaknya kita melakukan penyembahan (tasbih) dan pujian (tahmid)  kepada Allah SWT sebagai sebuah bentuk rasa syukur diri kita kepada Allah SWT, sebagaimana firmanNya berikut ini: “Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit, pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Tuhannya. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat.(surat Ibrahim (14) ayat 24-25). Tasbih dan Tahmid merupakan salah satu jalan bagi manusia untuk selalu ingat kepada Allah SWT atau jalan yang dapat menjadi-kan manusia merasa dekat dengan Allah SWT atau jalan yang akan membuat manusia menjadi Tenang di dalam melakukan segala aktivitas baik untuk kepen-tingan dunia maupun akhirat. Sebagai khalifah sudah sepantasnya dan sepatutnya mampu melakukan tasbih dan tahmid setiap saat.

 

c.  Cinta Allah SWT. Adanya keinginan untuk dipuji akan menghasilkan sebuah upaya di dalam diri manusia untuk tampil secara prima sehingga menjadi yang terbaik. Setelah menjadi yang terbaik dan mendapatkan kesuksesan dan pujian maka kita tidak boleh takabur dengan melupakan jasa-jasa orang lain serta diwajibkan kepada kita untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah SWT sebagai  wujud syukur diri kita kepada Allah SWT atas pencapaian sukses yang telah kita peroleh. Allah SWT berfirman: (yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.(surat Ar Ra’d (13) ayat 28). Adanya upaya untuk mengungkapkan rasa syukur untuk selalu dekat atau selalu mengingat Allah SWT dimanapun dan kapanpun maka kita akan mendapatkan manfaat dari itu semua seperti hati menjadi tenteram, pikiran menjadi tenang dan cerah, pancaran aura keluar dari dalam diri, serta lindungan Allah SWT akan selalu menyertai diri kita dimanapun kita berada.

 

d.  Taqarrub (Pendekatan). Adanya  keinginan  untuk dipuji di dalam diri harus selalu diimbangi dengan melakukan pendekatan atau taqarrub kepada Allah SWT. Adanya sikap taqarrub yang kita kembangkan di dalam diri kita maka kita akan dihindarkan atau terhindar dari sikap sombong, ujub, congkak, tamak, ataupun riya yang berasal dari kesuksesan yang kita raih di dalam kehidupan. Jika kita mau terhindar dari itu semua atau terhindar dari godaan-godaan yang ditimbulkan akibat eksploitasi dari keinginan  untuk dipuji, jangan pernah sekalipun kita memisahkan diri dengan Allah SWT atau sedapat mungkin kita selalu berada di dalam koridor Nilai-Nilai Kebaikan yang dikehendaki Allah SWT. Allah SWT berfirman: Maka ni’mat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan? (surat Ar Rahmaan (55) ayat 45). Dan apabila kita selalu di dalam lindungan Allah SWT maka kita akan dapat terhindar dari godaan dan gangguan syaitan yang berbentuk manusia maupun manusia yang telah berubah bentuk syaitan.

 

2.  Hubbul Maadah Yang Sudah Tidak Fitrah. Berikut ini akan kami kemukakan kondisi dari keinginan untuk dipuji  yang sudah tidak sesuai lagi dengan nilai-nilai kebaikan atau kondisi keinginan untuk dipuji yang di dalam pelaksanaanya sudah dikendalikan atau di bawah pengaruh sifat-sifat alamiah jasmani atau jasmani sudah menguasai keinginan untuk dipuji. Adapun keinginan untuk dipuji yang sudah tidak fitrah lagi dapat kami kemukakan sebagai berikut:

 

a.    Ujub/Sombong. Apabila keinginan untuk dipuji mengakibatkan diri kita menjadi ujub atau sombong, maka hal ini bukanlah sebuah keberhasilan. Akan tetapi kegagalan total atas penggunaan energi dan dorongan atas keinginan untuk dipuji sebab hal tersebut sudah tidak sesuai lagi dengan koridor Nilai-Nilai Kebaikan, akan tetapi sangat sesuai dengan kehendak syaitan sang laknatullah. Adanya kondisi ini, dapat dipastikan jasmani menjadi pengendali dan pengguna dari keinginan untuk dipuji. Allah SWT berfirman: Dan apabila dikatakan kepada mereka: “Sujudlah kamu sekalian kepada Yang Maha Penyayang”, mereka menjawab: “Siapakah Yang Maha Penyayang itu? Apakah kami akan sujud kepada Tuhan Yang kamu perintahkan kami (bersujud kepada-Nya)?”, dan (perintah sujud itu) menambah mereka jauh (dari iman). (surat Al Furqaan (25) ayat 60). Adanya kondisi jasmani menjadi penguasa di dalam diri maka hasilnya pasti sangat sesuai dan sangat didambakan oleh syaitan atau sangat memenuhi prinsip-prinsip syaitani atau nilai-nilai syaitani, yang pada akhirnya akan membawa diri kita ke neraka Jahannam.

 

b.  Mubazir/Pemboros. Penggunaan keinginan untuk dipuji jika menghasilkan tindakan mubazir atau menjadikan diri kita menjadi pemboros, bukanlah sebuah keberhasilan yang patut dipuji lagi dibanggakan. Jika anda mau menjadi saudaranya syaitan secara sukarela tanpa ada paksaan dari siapapun maka jadikanlah perbuatan mubazir dan pemboros menjadi kegiatan sehari-hari anda atau jadikan mubazir dan pemboros sebagai amal ibadah anda sehari-hari. Hasil akhir dari itu semua akan dapat menghantarkan diri kita ke kampung kesengsaraan dan kebinasaan. Allah SWT berfirman: “Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya. (surat Al Israa’ (17) ayat 27). Dan jika kita tidak menghendaki hal tersebut di atas maka lakukanlah perbuatan hemat, tindakan arif dan bijaksana saat menjadi abd’ (hamba)-Nya yang juga khalifah-Nya di muka bumi dan jangan serahkan kendali keinginan untuk dipuji kepada jasmani sebab diri kita yang sebenarnya adalah ruh bukannya jasmani.

 

c.      Prasangka Buruk. Keberhasilan menggunakan dan mendayagunakan energi dan dorongan yang berasal dari keinginan untuk dipuji dengan cara-cara buruk sangka kepada siapapun, tanpa analisa dan fakta serta bukti yang nyata bukanlah sebuah keberhasilan yang patut dibanggakan walaupun yang bersangkutan telah sukses menjadi tokoh ataupun panutan masyarakat. Prasangka buruk bukan saja mencerminkan bahwa diri kita tidak mampu atau bodoh atau tidak mempunyai ilmu atau tidak mempunyai rasa percaya diri yang tinggi namun dapat berarti bahwa kita telah menanamkan bibit-bibit permusuhan di tengah masyarakat serta bahkan dapat menumpahkan perang saudara di tengah masyarakat akibat diri kita mementingkan kepentingan sesaat, sebagaimana firman-Nya berikut ini: Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka iti adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebahagian kamu menggunjing sebahagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang. (surat Al Hujuraat (49) ayat 12). Prasangka buruk tidak akan membuat seseorang sukses untuk mencapai tujuannya, malah akan menjauhkan orang tersebut dari jalan yang diridhai oleh Allah SWT. Hasil akhir dari selalu berprsangka buruk adalah dalam kehidupan di dunia kita tidak disukai dan dibenci oleh banyak orang sedang di akhirat bukan syurga tempat kembali diri kita.

 

d.   Riya. Mempertontonkan atau memperlihat-lihatkan kembali apa yang telah dicapai dengan maksud untuk pamer atau untuk merendahkan harkat dan martabat orang lain atau untuk memberikan kesan bahwa ia saja yang baik dan orang lain tidak baik, hal ini merupakan kegiatan yang tidak sesuai dengan Nilai-Nilai Kebaikan yang berasal dari Nilai-Nilai Ilahiah. Allah SWT berfirman: “Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya (dengan shalat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali. (surat An Nisaa’ (4) ayat 142). Dan jika sampai tindakan riya kita lakukan, berarti kita sebenarnya ingin mempertontonkan kepada khalayak bahwa diri kita tidak mampu, diri kita tidak becus, diri kita tidak mempunyai rasa malu. Selanjutnya yang terjadi adalah syaitan sangat senang dan bergembira sebab ia mempunyai kawan dan saudara yang akan diajak pulang ke neraka Jahannam.

 

e.  Lemah. Keberhasilan mempergunakan energi dan dorongan dari keinginan untuk dipuji tidak akan menyebabkan atau tidak akan membuat Manusia menjadi lemah bin loyo apalagi tidak bersemangat serta hilang motivasi. Adanya Hubbul Maadah dalam dari diri seharusnya menjadikan diri kita memiliki semangat pantang menyerah serta mampu menghargai orang lain melalui cara-cara yang elegant serta bertanggung jawab. Allah SWT berfirman: Allah hendak memberikan keringanan kepadamu dan manusia dijadikan bersifat lemah. (Surat An Nisaa’ (4) ayat 28).  Lemah, lesu, lunglai, serta tidak bersemangat merupakan sifat-sifat dasar yang dimiliki oleh jasmani sehingga jika hal tersebut merupakan hasil dari jerih payah mempergunakan keinginan untuk dipuji berarti jasmani telah menjadi komandan atas keinginan untuk dipuji tersebut sedangkan yang harus terjadi adalah nilai-nilai kebaikan yang dibawa oleh ruh dan Amanah yang 7 harus tercermin di dalam diri kita.

 

Sebagai abd’ (hamba)-Nya yang juga adalah khalifah-Nya di muka bumi yang saat ini sedang mempergunakan Hubbul Maadah (keinginan untuk dipuji), ada satu hal yang harus kita perhatikan saat hidup di dunia ini, yaitu Allah SWT tidak membutuhkan apapun juga dari penggunaan dan pendayagunaan Hubbul Maadah sebab Allah SWT sudah Maha dan akan Maha selamanya. Allah SWT juga tidak akan memperdulikan apakah Hubbul Maadah mau dipergunakan dengan cara-cara Ilahiah ataukah mau dipergunakan dengan cara-cara syaitani, yang pasti adalah Allah SWT akan meminta pertanggungjawaban dari Hubbul Maadah yang ada pada diri kita selama diri kita menjadi abd’ (hamba)-Nya yang juga khalifah-Nya di muka bumi. 

 

G.    HUBBUL RIASAH (INGIN JADI PEMIMPIN)

 

Adakah Hubbul Riasah di dalam diri kita? Di dalam setiap diri manusia baik itu laki-laki maupun perempuan pasti mempunyai Hubbul Riasah atau keinginan untuk memimpin. Adanya keinginan untuk memimpin akan membuat manusia mempunyai energi untuk bergerak atau kekuatan atau dorongan untuk maju ke depan untuk memimpin atau menjadi pemuka atau menjadi yang terbaik atau menjadi ketua atau menjadi pimpinan baik untuk skala kecil maupun besar atau keinginan untuk berumah tangga atau menjadi kepala rumah tangga bagi laki-laki. Dan setelah mengetahui bahwa diri kita mempunyai keinginan untuk memimpin apakah yang anda rasakan?

 

Adanya Keinginan untuk memimpin akan mendorong manusia untuk mengatur atau memberi pengarahan kepada orang-orang untuk berbuat sesuatu atas arahan dan perintahnya sehingga yang bersangkutan akan selalu tampil lebih dahulu dari yang lain atau berusaha untuk menempatkan diri untuk selalu di muka. Sekarang jika sampai Allah SWT tidak memberikan kepada kita keinginan untuk memimpin, timbul pertanyaan dapatkah kita atau mampukah kita merasakan menjadi seorang atasan atau menjadi seorang komandan atau menjadi seorang ketua atau menjadi seorang direktur atau bahkan menjadi presiden yang memimpin sebuah bangsa ataupun perusahaan ataupun kelompok tertentu?

 

Setelah mempunyai keinginan untuk memimpin  dapatkah energi dan dorongan yang ada di dalam diri kita dipergunakan dengan cara-cara yang bertentangan dengan nilai-nilai kebaikan yang berasal dari sifat-sifat dasar ruh atau menghasilkan karya yang juga bertentangan dengan nilai-nilai kebaikan? Keinginan untuk memimpin harus selalu dipergunakan dengan cara-cara yang sportif dan bertanggung jawab serta memenuhi azas demokrasi atau  tidak dengan cara-cara intimidasi,  tidak dengan cara-cara melecehkan dan merendahkan harkat dan martabat orang lain dengan melakukan kampanye hitam. Dan bukan pula sebuah keberhasilan jika keinginan untuk memimpin menjadikan diri kita berlaku sombong, congkak, angkuh serta lupa akan janji-janji manis sewaktu kampanye atau menjadikan diri kita hidup di menara gading yang jauh dari masyarakat atau menjadikan diri kita suka pamer atau  menjadikan diri kita dihujat dan suka menghujat masyarakat sehingga terjadi kegaduhan di dalam masyarakat yang pada akhirnya mengakibatkan saling bermusuh-musuhan, saling bantai membantai, saling fitnah memfitnah dan saling adu jotos serta saling mementingkan golongan.

 

Pemimpin dan kepemimpinan yang dihasilkan melalui proses penggunaan energi dan dorongan atas keinginan untuk memimpin wajib memenuhi syarat dan ketentuan seperti  jujur, amanah, dapat dipercaya, berilmu yang tercermin dari ketajaman otak dan kecerdasan pikiran, berpandangan luas, adil, memiliki kehalusan perasaan, kedewasaan emosioanl, kekuatan ingatan, kekerasan kemauan, kepribadian yang tinggi serta berbudi luhur. Selanjutnya keberhasilan atas penggunaan energi dan dorongan yang berasal dari keinginan untuk memimpin akan terindikasi dari naiknya tingkat kesejahteraan masyarakat atau meningkatnya rasa aman di tengah masyarakat atau semakin sempitnya jurang antara yang kaya dan miskin atau makin tingginya tingkat keadilan di tengah masyarakat atau makin berkurangnya KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme) dan angka kriminalitas semakin menurun atau makin tumbuh dan berkembang-nya keluarga sakinah di tengah masyarakat. Selanjutnya sebagai abd’ (hamba)-Nya yang juga khalifah-Nya di muka bumi, sudahkah kita mempergunakan keinginan untuk memimpin di dalam koridor Nilai-Nilai Kebaikan?

 

1.   Hubbul Riasah Yang Masih Fitrah. Sebagai makhluk yang terhormat kita harus menyadari bahwa Hubbul Riasah atau keinginan untuk berkumpul yang berasal dari Allah SWT, bukanlah barang gratisan sehingga Hubbul Riasah bisa dipergunakan, bisa didayagunakan dengan seenak-enaknya saja tanpa menghiraukan maksud dan tujuan awal dari pemberian Hubbul Riasah tersebut. Selanjutnya agar diri kita jangan sampai salah di dalam mempergunakan Hubbul Riasah, berikut ini akan kami kemukakan beberapa kehendak Allah SWT yang yang dapat kita jadikan pedoman di dalam mem-pergunakan Hubbul Riasah sehingga kita selalu berada di dalam kehendak Allah SWT atau jika kita ingin mempertahankan kefitrahan Hubbul Riasah,  yaitu :

 

a.   Doanya diijabah oleh Allah SWT. Sebagai seorang pemimpin bertanyalah kepa-da diri sendiri, apakah ketentuan hadits yang kami kemukakan dibawah ini, sudah ada pada diri kita? Abu Hurairah ra, berkata bahwasanya Nabi Muhammad SAW menerangkan bahwa ada tiga orang yang sekali-kali tidak akan ditolak doanya oleh Allah SWT. Pertama, orang yang berpuasa sehingga ia berbuka. Kedua, kepala negara yang adil. Ketiga. Orang yan dianiaya. (Hadits Riwayat Ath Thirmidzi). Jika ketentuan hadits di atas ini, belum ada pada diri kita atau kita belum bisa menjadi pemimpin yang doanya diijabah oleh Allah SWT, berarti ada sesuatu yang salah di dalam diri kita dan juga di dalam kepemimpinan yang kita laksanakan. Segera perbaiki diri sehingga kita sesuai dengan ketentuan hadits di atas, terkecuali jika kita mampu memper-tanggungjawabkan kepeminpinan yang kita laksakanan dihadapan Allah SWT.

 

b.    Berani. Energi dan dorongan atas penggunaan keinginan untuk memimpin akan menghasilkan pemimpin yang berani berbuat untuk membela yang benar atau pemimpin yang dapat memberi contoh suri tauladan kepada rakyatnya di dalam setiap tindakan. Hal yang harus diperhatikan adalah berani bukanlah berarti berbuat sesuatu melalui tindak kekerasan atau penindasan ataupun perbuatan melawan hukum melainkan berani yang dilandasi dengan prinsip kebenaran, santun, bijak serta tidak melawan hukum  yang berlaku. Sebagaimana firman Allah SWT berikut ini: “Katakanlah: “Sekali-kali tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan oleh Allah bagi kami. Dialah pelindung kami, dan hanyalah kepada Allah orang-orang yang beriman harus bertawakkal”. (surat At Taubah (9) ayat 51)

 

Selain daripada itu, keberanian dapat dijadikan sebagai modal dasar bagi kesuksesan seorang pemimpin sepanjang keberanian tersebut berada di dalam koridor nilai-nilai kebaikan. Jika saat ini kita adalah seorang pemimpin, baik dalam skala kecil maupun dalam skala besar, keberanian yang seperti apakah yang anda miliki saat ini, apakah yang sejalan dan sesuai  dengan nilai-nilai keburukan yang paling dikehendaki oleh syaitan ataukah yang sesuai dengan nilai-nilai Kebaikan yang sesuai dengan kehendak Allah SWT? Jawaban dari pertanyaan ini andalah yang tahu, namun yang harus kita jadikan pedoman adalah kita akan dimintakan pertanggungjawaban atas penggunaan Hubbul Riasah oleh Allah SWT kelak. Sekarang mampukah kita mempertanggung jawabkan itu semua dihadapan Allah SWT?  

 

c.  Pengabdi dan Pelayan serta Tidak Memperdagangkan rakyat. Keinginan untuk memimpin harus bisa menjadikan diri kita yang telah diangkat menjadi khalifah di muka bumi menjadi seorang pemimpin atau penguasa yang mampu menjadi pengabdi, pelayan yang tidak memperdagangkan rakyat untuk kepentingan diri, kelompok tertentu dalam keadaan apapun juga. Rasulullah SAW bersabda: “Khianat paling besar adalah bila seorang penguasa/pemimpin memperdagangkan rakyatnya. (Hadits Riwayat Ath Thabarani)

 

Rasulullah SAW bersabda: “Pemimpin suatu kaum adalah pengabdi atau pelayan mereka. (Hadits Riwayat Abu Na’im)

 

Pemimpin sebagai pelayan dan rakyat sebagai tuan. Itulah kira-kira yang hendak disampaikan oleh hadits di atas. Meski tidak secara terang-terangan hadits di atas menyebutkan rakyat sebagai tuan dan pemimpin sebagai pelayan, namun setidaknya hadits ini hendak menegaskan bahwa Islam memandang seorang pemimpin tidak lebih tinggi statusnya dari rakyat, karena hakekat pemimpin ialah melayani kepentingan rakyat. Sebagai seorang pelayan, ia tentu tidak beda dengan pelayan-pelayan lainnya yang bertugas melayani kebutuhan-kebutuhan majikannya. Seorang pelayan rumah tangga, misalkan, harus bertanggung jawab untuk melayani kebutuhan majikannya. Demikian juga seorang pelayan kepentingan rakyat harus bertanggung jawab untuk melayani seluruh kepentingan rakyatnya. Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa yang diserahi kekuasaan urusan manusia lalu menghindar atau mengelak melayani kaum lemah dan orang yang membutuhkannya maka Allah SWT tidak akan mengindahkannya pada hari kiamat. (Hadits Riwayat Ahmad)

 

Dalam konteks Indonesia, sosok “pelayan” yang bertugas untuk memenuhi kepentingan  rakyat adalah presiden, menteri, dpr, mpr, ma, bupati, walikota, gubernur, kepala desa, dan semua birokrasi yang mendukungnya. Mereka ini adalah orang-orang yang kita beri kepercayaan (tentunya melalui pemilu) untuk mengurus segala kepentingan dan kebutuhan kita sebagai rakyat. Karena itu, bila mereka tidak melaksanakan tugasnya sebagai pelayan rakyat, maka kita sebagai “tuan” berhak untuk “memecat” mereka dari jabatannya. Jika sampai apa yang kami kemukakan di atas ini tidak mampu kita laksanakan, segeralah berhenti menjadi pemimpin saat ini juga karena ketentuan hadits yang akan kemukakan di bawah ini menjadi berlaku kepada diri kita. Sebagai pemimpin yang sedang memimpin bersegeralah taubat jika ketentuan yang kami kemukakan di atas belum bisa kita laksanakan sesuai dengan kehendak Allah SWT karena resiko yang akan kita hadapi sangatlah besar yaitu dimasukkan ke dalam Neraka.

 

d. Tidak Menuntut Suatu Jabatan. Penggunaan Hubbul Riasah tidak boleh ditunggangi oleh ambisi pribadi, karena ambisi pribadi merupakan cerminan dari Nilai-Nilai Keburukan yang tidak lain adalah sifat alamiah dari Jasmani yang sangat dikehendaki oleh syaitan, sebagaimana hadits berikut ini: Rasulullah saw berkata kepada Abdurrahman bin Samurah, janganlah engkau menuntut suatu jabatan. Sesungguhnya jika diberi karena ambisimu maka kamu akan menanggung seluruh bebannya. Tetapi jika ditugaskan tanpa ambisimu maka kamu akan ditolong mengatasinya. (Hadits Riwayat Bukhari, Muslim). Sebagai pemimpin, kita harus bisa mengendalikan ambisi yang ada di dalam diri, karena ambisi dapat menghancurkan, dapat meniadakan fasilitas bantuan yang siap diberikan oleh Allah SWT kepada diri kita.

 

e.  Jihad. Pengertian Jihad di dalam penggunaan keinginan untuk memimpin bukanlah berarti perang. Akan tetapi pengertian jihad dimaksud adalah sungguh sungguh di dalam melakukan suatu perbuatan atau sungguh-sungguh melakukan tindakan nyata yang keluar dari diri sendiri tanpa ada paksaan siapapun untuk memimpin, untuk melawan ahwa, untuk merubah diri secara total atau melaksanakan sebuah pernyataan untuk memperbaiki diri dari keadaan yang bergelimang dosa menjadi seorang yang berhasil keluar dari persoalan atau keluar dari keadaan yang tidak diinginkan tersebut. Hal ini sebagaimana dikemukakan dalam firman-Nya berikut ini: Dan berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya. Dia telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. (Ikutilah) agama orang tuamu Ibrahim. Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian orang-orang muslim dari dahulu, dan (begitu pula) dalam (Al Qur’an) ini, supaya Rasul itu menjadi saksi atas dirimu dan supaya kamu semua menjadi saksi atas segenap manusia, maka dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat dan berpeganglah kamu pada tali Allah. Dia adalah pelindungmu, maka Dialah sebaik-baik Pelindung dan sebaik-baik Penolong. (surat Al Hajj (22) ayat 78)

 

Contohnya menjadikan diri sebagai pemimpin sejati, berhenti total dari ketergan-tungan narkoba atau keluar dari kemiskinan dan kebodohan atau berhenti total dari judi dan tindakan Asusila sehingga manusia tersebut terbebas dari itu semua. Selanjutnya jihad yang keluar atas keinginan dari diri sendiri dapat menjadi sebuah motor penggerak yang luar biasa kekuatannya atau menjadi mesin pendorong bagi keinginan manusia manusia untuk keluar dari segala persoalan hidup, apakah itu ketergantungan narkoba, kemiskinan, dan juga kebodohan. Semakin kuat tekad dan kesungguhan hati untuk keluar dari segala persoalan yang melilit dan mendera manusia maka semakin besar pula kekuatan yang diperoleh manusia untuk terbebas dari segala persoalan. Akan tetapi jika keinginan dan motivasi jihad bukan atas kesadaran dari diri sendiri maka manusia akan susah dan sangat menderita sewaktu akan keluar dari segala persoalan tersebut dan yang lebih parah lagi manusia tersebut akan tetap bergelimang dosa sampai akhir hayatnya.

 

Selanjutnya ada apa dengan jihad sehingga jihad dapat menjadi motor penggerak atau mesin pendorong bagi manusia untuk keluar dari segala persoalan hidup? Jihad yang dilakukan oleh manusia di dalamnya terdapat kekuatan yang berasal dari Allah SWT sebab Allah SWT telah menetapkan atas dirinya kasih sayang kepada manusia (lihat kembali surat Al An’aam (6) ayat 54) dengan demikian jika manusia melakukan jihad maka Allah SWT pasti memberikan memberikan jalan keluar bagi umatnya yang mau berjihad atau bersungguh-sungguh melakukan sesuatu di dalam Nilai-Nilai Kebaikan. Jika saat ini anda seorang pemimpin, sudahkah anda melakukan jihad di jalan Allah SWT untuk kepentingan masyarakat, bangsa dan negara atau apakah anda seorang yang takut untuk melakukan jihad?

 

f.   Cepat Tanggap. Pemimpin yang baik adalah seorang pemimpin yang mempunyai sifat dan sikap untuk selalu bersegera melakukan introspeksi diri ataupun melakukan perbaikan terhadap hasil karyanya yang bertentangan dengan kepentingan rakyat atau pemimpin yang selalu bersegera meminta maaf jika melakukan kesalahan atau bersegera meminta ampun kepada Allah SWT jika kita melakukan sebuah kesalahan ataupun dosa. Sebagaimana dikemukakan dalam firmanNya berikut ini: “dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa. (surat Ali Imran (3) ayat 133).” Memohon ampun kepada Allah SWT. Melakukan Permintaan maaf kepada rakyat, melakukan introspeksi diri, melakukan perbaikan hasil karya wajib dilandasi dengan semangat untuk tidak mengulangi perbuatan-perbuatan tersebut atau kesalahan-kesalahan tersebut di masa akan datang. Selanjutnya bagaimana jika pemimpin memiliki konsep Kapok Lombok? Pemimpin yang kapok lombok bukanlah cermin kepemimpinan yang sesuai dengan Nilai-Nilai Kebaikan dikarenakan tidak bisa menjadikan keledai sebagai panutannya. Dimana keledai saja tidak akan masuk ke dalam lubang yang sama untuk kedua kalinya. Jika saat ini anda adalah seorang pemimpin yang masuk kategori kapok lombok berarti anda sudah di dalam koridor Nilai-Nilai Keburukan yang sesuai dengan kehendak syaitan sang laknatullah. 

 

g.   Saling Tolong Menolong. Keinginan untuk memimpin harus dilandasi semangat untuk saling tolong menolong atau saling kasih mengasihi. Untuk itu semangat tolong menolong harus dikembangkan dan dibina terus oleh setiap pemimpin  dan sedapat mungkin di dalam semangat persatuan dan kesatuan serta kekeluargaan. Keberhasilan seorang pemimpin atau kepemimpinan yang dilaksanakan akan tercermin dari banyaknya permasalahan dan persoalan kemasyarakatan yang terselesaikan dari adanya prinsip tolong menolong dan kasih mengasihi sesama manusia yang ditumbuh kembangkan oleh pemimpin tersebut saat kepemimpi-nannya lewat harta dan jiwanya. Sebagaimana dikemukakan dalam firman-Nya berikut ini: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjihad dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah, mereka itulah orang-orang yang benar. (surat Al Hujuraat (49) ayat 15).” Seorang Pemimpin atau suatu kepimimpinan diharuskan terlebih dahulu memiliki semangat untuk berkorban, kemudian harus dapat menumbuhkan semangat gotong royong serta menghilangkan prinsip mementingkan golongan, barulah hasil dari kepemimpinan yang dilakukannya dapat dirasakan oleh masyarakat luas. Akan tetapi jika seorang pemimpin tidak mampu menciptakan semangat kebersamaan bersiap-siaplah menuai hasil berupa kegagalan lalu pulang kampung ke neraka.

 

h.  Wakil Allah SWT. Manusia diciptakan oleh Allah SWT dalam kerangka besar untuk dijadikan khalifah di muka bumi. Untuk mempertegas pernyataan tersebut maka Allah SWT memberikan kepada setiap manusia apa yang disebut dengan keinginan untuk memimpin. Keinginan untuk memimpin akan menghasilkan dan menjadikan manusia menjadi pemimpin baik untuk skala kecil menjadi kepala keluarga ataupun skala besar menjadi lurah atau presiden. Pemimpin skala kecil mengayomi sebuah keluarga sedangkan pemimpin skala besar dapat mengayomi sebuah Negara. Sebagaimana dikemukakan dalam firmanNya berikut ini:“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi”. Mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”. (surat Al Baqarah (2) ayat 30).

 

Selanjutnya dengan adanya khalifah di muka bumi, maka khalifah tersebut secara tidak langsung adalah pelaksana tugas-tugas sehari-hari Allah atau perpanjangan tangan Allah SWT (Ex Officio dari Allah SWT) di muka bumi dengan demikian akan terciptalah kedamaian dan akan terciptalah ketentraman di muka bumi oleh sebab adanya khalifah. Adanya kondisi ini dapat dikatakan bahwa tujuan diberikannya keinginan untuk memimpin agar fungsi kekhalifahan di muka bumi dapat terlaksana dengan baik. Hal yang harus kita perhatikan adalah khalifah artinya adalah pengatur, pemelihara, penjaga, pengayom, pengawas terhadap apa-apa yang telah Allah SWT ciptakan di muka bumi.

 

Dan jika sekarang kita menjadi pemimpin baik dalam skala kecil maupun skala nasional ataupun skala international, berarti kita telah menjalankan fungsi kekhalifahan di muka bumi atau menjadi Wakil Allah SWT di muka bumi. Akan tetapi setelah menjadi khalifah atau Wakil Allah SWT apakah kedamaian, apakah ketertiban dan apakah ketentraman dalam skala kecil maupun skala besar telah dinikmati oleh masyarakat banyak oleh sebab kita dan anda menjadi khalifah atau Wakil Allah SWT? Jika apa yang kami kemukakan belum terjadi atau tidak terjadi berarti ada sesuatu yang salah saat diri kita menjadi khalifah di muka bumi atau ada sesuatu yang salah saat diri mempergunakan Hubbul Riasah.  


Jika saat ini kita masih hidup di muka bumi ini berarti saat ini kita adalah pemimpin dan sebagai pemimpin kita tidak bisa terlepas dari pemanfaatan dan pendayagunaan Hubbul Riasah. Sebagaimana dikemukakan dalam firman-Nya berikut ini: “Barang-siapa yang memberikan syafa’at yang baik, niscaya ia akan memperoleh bahagian (pahala) dari padanya. Dan barangsiapa yang memberi syafa’at yang buruk, niscaya ia akan memikul bahagian (dosa) dari padanya. Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. (surat An Nisaa’ (4) ayat 85).  Adanya kondisi ini berarti segala ketentuan tentang pemimpin dan kepemimpinan yang kami kemukakan di atas wajib berlaku pula bagi diri kita dan semoga kita mampu melaksanakan apa-apa yang harus kita pimpin sesuai dengan kehendak Allah SWT. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar