E. HUBUNGAN MANUSIA DENGAN HATINYA.
Hati merupakan anugerah yang
tidak dapat dihitung berdasarkan rumus matematika atau dapat dikonversi dalam
bentuk mata uang.
Hati bagi jasmani merupakan komponen ataupun bagian anggota tubuh yang sangat
vital sehingga jika manusia tidak mempunyai hati maka tubuh manusia tidak dapat
berfungsi sebagaimana mestinya. Hati bagi ruh merupakan tempat diletakkannya
apa yang disebut dengan perasaan, akal, petunjuk, pengobat, alat berkomunikasi
dengan Allah SWT sehingga jika manusia tidak mempunyai hati bagi ruhnya maka
manusia tidak akan dapat merasakan apa yang dinamakan kesedihan, kegembiraan,
ketenangan, serta merasakan nikmat
bertuhankan kepada Allah SWT.
Banyaknya manfaat dan kegunaan dari hati baik
ditinjau dari sisi jasmani dan ruh maka sudah selayaknya kita harus
memperhatikan, menjaga, memelihara hati dengan sebaik-baiknya, mulai saat ini
juga. Sebagai
abd’ (hamba)Nya yang juga khalifahNya di muka bumi yang sangat membutuhkan
keberadaan hati baik dalam bentuk jasmani maupun ruh, langkah pertama yang
harus kita lakukan adalah kita harus memiliki ilmu tentang hati terlebih
dahulu. Adanya ilmu tentang hati maka kita akan tahu bagaimana caranya
mempergunakan hati tersebut dengan baik dan benar. Sehingga kita tahu bagaimana
caranya memperlakukan hati ini dalam hubungannya dengan sesama manusia maupun
kepada Allah secara baik dan benar. Sekarang sudahkah diri kita memiliki ilmu
tentang hati!
1. Yang Dijinakkan atau Yang Dipegang harus Hatinya. Hal yang dapat
dipegang dari seseorang adalah janji yang keluar dari hati seseorang yang
kemudian menjadi janji yang keluar dari mulut. Untuk itu jika kita melakukan
sebuah kemufakatan atau mengadakan sebuah pernyataan untuk kebersamaan atau
mengadakan perikatan tentang janji setia, maka kita jangan terlampau percaya kepada
pernyataan atau ucapan secara lisan oleh mulut saja. Sebagaimana dikemukakan
dalam surat Al Fath (48) ayat 18
berikut ini: “Sesungguhnya Allah telah ridha terhadap orang-orang mu’min ketika
mereka berjanji setia kepadamu di bawah pohon, maka Allah mengetahui apa yang
ada dalam hati mereka lalu menurunkan ketenangan atas mereka dan memberi
balasan kepada mereka dengan kemenangan yang dekat (waktunya).” Ingat di dalam kemufakatan, di dalam
pernyataan, di dalam mengadakan perikatan kesemuanya akan menimbulkan hak dan
kewajiban dari para pihak yang pada akhirnya akan mengikat diri kita untuk
memenuhi janji tersebut.
“Mulutmu
adalah Harimaumu dan ujung jarimu adalah harimaumu” sebuah peribahasa
yang sering kita dengar dalam kehidupan sehari-hari. Peribahasa di atas
mempunyai arti yaitu berhati-hatilah dengan ucapanmu, berhati-hatilah dengan
perkataanmu, berhati-hatilah dengan omonganmu karena ia dapat menjadi musuh
bagi diri kita sendiri. Sebagai contoh, jika kita tidak dapat memenuhi apa
yang pernah kita ucapkan atau jika kita
tidak dapat memenuhi apa yang pernah kita janjikan maka orang lain tidak akan
mempercayai diri kita lagi. Selanjutnya jika omongan atau perkataan tidak dapat
dijadikan pegangan, apa yang harus kita pegang? Janji hati (dalam hal ini janji
hati ruhani) dan janji mulut adalah dua kenyataan yang berbeda dan jika kita
menghadapi hal tersebut maka kita harus terlebih dahulu mengadakan janji hati
kepada para pihak sebelum menandatangani sebuah kesepakatan. Apabila kita telah
dapat mengikat atau memegang janji hati para pihak jadikan janji hati tersebut
sebagai sebuah pedoman, sebagai sebuah kesamaan pandang, sebagai sebuah
kesamaan motivasi, sebagai sebuah kesamaan untuk mencapai apa yang telah
disepakati bersama.
2. Ahwa (Hawa Nafsu) Membuat Hati Lalai. Memperturutkan ahwa
(hawa nafsu) dapat membuat hati menjadi lalai dari mengingat Allah SWT.
Sebagaimana dikemukakan dalam surat Al Kahfi (18) ayat 28 berikut ini: “Dan bersabarlah kamu
bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari
dengan mengharap keridhaan-Nya; dan janganlah kedua matamu berpaling dari
mereka (karena) mengharapkan perhiasan kehidupan dunia ini; dan janganlah kamu
mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati Kami, serta
menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas.” Dan juga berdasarkan surat Muhammad (47) ayat
16 yang kami kemukakan berikut ini: “Dan
di antara mereka ada orang yang mendengarkan perkataanmu sehingga apabila
mereka keluar dari sisimu orang-orang berkata kepada orang yang telah diberi
ilmu pengetahuan (sahabat-sahabat Nabi): "Apakah yang dikatakannya
tadi?" mereka Itulah orang-orang yang dikunci mati hati mereka oleh Allah
dan mengikuti hawa nafsu mereka.”
Mengendalikan
atau melawan atau perang melawan ahwa (dalam hal ini adalah perang melawan jiwa
hewani, jiwa amarah, jiwa mushawwilah) dikategorikan oleh Allah SWT sebagai jihad.
Hal ini disebabkan karena untuk dapat mengalahkan ahwa (hawa nafsu) dibutuhkan
perjuangan yang sangat berat, penuh pengorbanan dan juga penuh dengan ketabahan
di dalam menghadapinya. Jika manusia tidak dapat melawan ahwa (hawa nafsu) maka
tindakan yang kita lakukan tersebut akan berakibat kepada kondisi hati nurani
kita. Hati nurani akan menjadi kotor, lalai, penuh noktah dan titik-titik
hitam, yang mengakibatkan diri kita jauh dari jalan Allah SWT sebab kita berada
di dalam koridor nilai-nilai keburukan. Dan jika hati ruhani kita ingin tetap
bersih, tanpa titik dan noktah hitam, jangan pernah sekalipun memperturutkan ahwa
(hawa nafsu) atau memberikan kesempatan kepada jasmani untuk menjajah dan
mendayagunakan Amanah yang 7 dan Hubbul yang 7 di luar koridor Nilai-Nilai
Kebaikan.
Hal
yang harus kita perhatikan bahwa apa yang kita lakukan akan memberikan dampak
kepada hati ruhani yang kita miliki, jika nilai-nilai kebaikan yang kita
lakukan maka bersihlah hati ruhani sedangkan jika nilai-nilai keburukan yang
kita lakukan maka hati ruhani menjadi kotor sehingga kita menjadi lalai serta
jauh dari jalan yang di ridhai oleh Allah SWT. Selain daripada itu perang
melawan Ahwa atau keluar dari jiwa fujur menuju jiwa taqwa akan lebih mudah
kita lakukan jika melaksana kannya bersama atau mengajak Allah SWT. Hal ini
dikarenakan hanya Allah SWT sajalah yang tahu dan yang mengerti apa dan
bagaimana ahwa (hawa nafsu) yang disenangi oleh syaitan dapat dikalahkan.
Sekarang sudahkah diri kita meminta pertolongan Allah SWT saat menjadi abd’
(hamba)-Nya yang juga khalifah-Nya di muka bumi sehingga jiwa kita dikatego-rikan
jiwa taqwa.
3. Hati Yang Sakit Anti Islam. Salah satu dampak
dari hati nurani yang sakit akan
menjadikan manusia antipati kepada ajaran dan agama Islam. Sebagaimana
dikemukakan dalam surat Al Ahzab (33) ayat 60 berikut ini: “Sesungguhnya jika tidak berhenti
orang-orang munafik, orang-orang yang berpenyakit dalam hatinya dan orang-orang
yang menyebarkan kabar bohong di Madinah (dari menyakitimu), niscaya Kami
perintahkan kamu (untuk memerangi) mereka, kemudian mereka tidak menjadi
tetanggamu (di Madinah) melainkan dalam waktu yang sebentar.” Hal ini di akibatkan
oleh manusia yang tidak dapat lagi membedakan mana yang baik, mana yang salah
lalu yang salah dikatakan baik sedangkan yang baik dikatakan salah. Jika
manusia telah sampai pada tahap seperti ini, maka yang ada di dalam diri
manusia itu hanyalah rasa tidak suka ataupun rasa permusuhan kepada kebaikan dan
kebenaran sehingga yang terpikirkan adalah tindakan balas dendam atau tindakan
provokasi atau menyebarkan berita bohong atau akan berusaha di dalam koridor
Nilai-Nilai Keburukan. Kerusakan hati nurani
yang sudah rusak atau sudah tidak fitrah lagi, tidak dapat disembuhkan dengan
begitu saja tanpa bantuan dan pertolongan Allah SWT. Hal ini dikarenakan
hanya Allah SWT sajalah yang mampu memperbaiki dan mengembalikan fungsi hati nurani.
Selanjutnya jika kita merasa sangat membutuhkan pertolongan Allah SWT, merasa
butuh berkomunikasi dengan Allah SWT maka lakukanlah Taubatan Nasuha sebelum
meminta pertolongan Allah SWT.
4. Awas Syaitan. Memelihara, merawat
serta mempergunakan hati, baik itu hati jasmani maupun hati nurani tidaklah
mudah seperti membalik telapak tangan. Untuk itu diperlukan sebuah niat yang
tulus dan ikhlas serta kesungguhan yang di dasari oleh motivasi yang tinggi
sehingga berdampak bagi kesehatan
jasmani maupun kesehatan (kefitrahan) ruh. Hal yang harus diperhatikan atau
wajib dicermati di dalam memelihara kesehatan hati jasmani dan juga hati nurani
yaitu adanya musuh bebuyutan manusia sampai akhir jaman yaitu ahwa (hawa nafsu)
dan syaitan. Allah SWT berfirman: ‘Tetapi kamu menyangka bahwa Rasul dan orang-orang mu’min tidak
sekali-kali akan kembali kepada keluarga mereka selama-lamanya dan syaitan
telah menjadikan kamu memandang baik dalam hatimu persangkaan itu, dan kamu
telah menyangka dengan sangkaan yang buruk dan kamu menjadi kaum yang binasa.
(surat Al Fath (48) ayat 12)
Syaitan
sang pembisik
dan penggoda manusia tidak akan tinggal diam serta berpangku tangan terhadap
aktivitas manusia di dalam menjaga kesehatan hati. Syaitan akan mengganggu,
akan terus menggoda manusia melalui makanan dan minuman yang kita konsumsi
serta perilaku gaya hidup sehingga kesehatan hati jasmani menjadi tidak prima
lagi atau mengalami gangguan. Syaitan juga melakukan aktivitas untuk menggangu
kesehatan hati nurani dengan menanamkan kepada manusia untuk selalu
berprasangka buruk kepada yang baik atau berprasangka baik kepada yang buruk,
menampakkan perbuatan bagus terhadap apa yang dilakukan manusia walaupun
perbuatan itu nyata-nyata adalah sesat, menjadikan mengantuk sebagai penentram
hati. Allah SWT berfirman: Agar Dia menjadikan apa yang dimasukkan oleh syaitan itu, sebagai
cobaan bagi orang-orang yang di dalam hatinya ada penyakit dan yang kasar
hatinya. Dan sesungguhnya orang-orang yang zalim itu, benar-benar dalam
permusuhan yang sangat. (surat Al Hajj (22) ayat 53)
Adanya
gangguan syaitan kepada hati ruhani akan menjadikan manusia bimbang, penakut,
tidak percaya diri, motivasi rendah, bertindak dan berfikir hanya untuk jangka
pendek atau untuk kepentingan sesaat dan lain sebagainya. Allah SWT berfirman: “Maka mengapa mereka tidak
memohon (kepada Allah) dengan tunduk merendahkan diri ketika datang siksaan
Kami kepada mereka, bahkan hati mereka telah menjadi keras dan syaitanpun
menampakkan kepada mereka kebagusan apa yang selalu mereka kerjakan. (surat Al
An’aam (6) ayat 43). Adanya gangguan dari syaitan kepada setiap manusia akan
mempengaruhi kualitas hati Jasmani dan juga kualitas hati nurani. Adanya
kondisi ini maka kita harus selalu waspada terhadap gangguan syaitan tersebut,
sebagaimana Allah SWT berfirman berikut ini: “(Ingatlah), ketika Allah menjadikan kamu mengantuk sebagai suatu
penentraman hati daripada-Nya, dan Allah menurunkan kepadamu hujan dari langit
untuk menyucikan kamu dengan hujan itu dan menghilangkan dari kamu
gangguan-gangguan syaitan dan untuk menguatkan hatimu dan memperteguh dengannya
telapak kaki(mu). (surat Al Anfaal (8) ayat 11). Untuk itu jangan
pernah tinggalkan Allah SWT sedetikpun di dalam menghadapi gangguan syaitan
dikarenakan hanya dengan bersama Allah SWT sajalah kita dapat mengalahkan syaitan.
Selanjutnya
ada baiknya kita memperhatikan sebuah pesan yang disampaikan oleh Ali bin Abi
Thalib r.a, yang mungkin dapat dijadikan renungan bagi diri kita saat
menghadapai gangguan syaitan yaitu: ”syaitan-syaitan
manusia dan jin menyerang nafsu manusia dengan dua senjata yaitu: (a) Syubhat,
yaitu untuk mengacaukan pikirannya, lalu menyesatkannya (termasuk menanamkan
keraguan, memperindah yang buruk, dan lain-lain); (b) Syahwat, yaitu untuk merusak perilakunya sehingga ia terjerumus.
Akan tetapi seorang mukmin yang waspada terhadap kelemahan dirinya, sanggup
melawan musuh-musuhnya dengan dua senjata yang lebih ampuh, yaitu: (a) Keyakinan yang kokoh untuk menghancurkan
syubhat (keragu-raguan) dan; (b) Kesabaran untuk menghancurkan godaan syahwat
yang angkara murka. Selain
daripada itu, perlu kita ketahui bersama bahwa menghadapi syaitan yang telah
berubah wujud menjadi manusia atau manusia yang telah berubah wujud menjadi
syaitan, lebih berat dibandingkan menghadapi syaitan dalam bentuk aslinya.
Dengan
mengucapkan “A’udzubillahiminasy-syaithanir-rajim”,
syaitan dalam bentuk asli akan lari tunggang langgang atau menghindar dari
diri kita kerena ia tidak mempunyai kepentingan pribadi dan pada saat manusia
lengah ia akan kembali lagi menggoda manusia. Hal ini dikarenakan syaitan dalam
bentuk asli, hanya berusaha menyesatkan manusia dan menjerumuskan manusia ke
neraka sebanyak-banyaknya. Sedangkan syaitan yang telah berubah bentuk menjadi
manusia atau manusia yang telah berubah bentuk menjadi syaitan, banyak sekali
kebutuhannya, seperti hidup mewah, menempati kedudukan tinggi, memenuhi syahwat
perut dan seks, dan memperoleh jaminan hari tua. Meskipun kepadanya telah
diucapkan “A’udzubillahiminasy-syaithanir-rajim”
berkali-kali, syaitan manusia atau manusia syaitan, tidak akan segera pergi
dan lari tunggang langgang.
Sebagai
abd’ (hamba)-Nya yang juga khalifah-Nya di muka bumi, sadarkah diri kita bahwa syaitan
sangat berkepentingan untuk membawa diri kita pulang kampung ke Neraka
Jahannam? Lalu tahukah diri kita bahwa syaitan
sebagai musuh tidak akan senang kepada musuhnya jika sampai musuhnya
memenangkan pertarungan? Untuk itu jangan pernah jadikan syaitan sebagai pemimpin, jangan pernah
jadikan syaitan sebagai konsultan, jangan pernah jadikan syaitansebagai atasan,
jangan pernah jadikan syaitan sebagai ajudan, jangan pernah jadikan syaitan
sebagai suri tauladan saat diri kita menjadi abd’ (hamba)-Nya yang juga khalifah-Nya
di muka bumi. Musuh tetaplah musuh, sejak awal sampai hayat di kandung
badan serta hanya dengan bantuan Allah SWT sajalah kita mampu mengalahkan syaitan
karena hanya Allah SWT sajalah yang tahu, yang mengerti serta yang ahli tentang
syaitan.
5. Yang Akan Dipersatukan Hati. Untuk membangun
sebuah kebersamaan di dalam masyarakat atau menyatukan langkah antar sesama
manusia, hal yang harus di lakukan oleh manusia adalah bagaimana mempersatukan
niat atau kehendak yang keluar dari hati ruhani manusia. Adanya kesatuan dan
kesamaan niat atau adanya kesamaan pandang yang keluar dari kesadaran diri
manusia, akan memudahkan manusia untuk membangun sebuah kebersamaan sebab di
dalam niat baik yang keluar dari hati ruhani merupakan perwujudan dari
Nilai-Nilai Ilahiah yang diisi oleh Allah SWT ke dalam hati ruhani sehingga
secara tidak langsung Allah SWT ikut berperan atau Allah SWT turut memberikan
andil di dalam membangun kebersamaan yang dimiliki oleh Allah SWT.
Hal
ini sesuai dengan firman Allah SWT yang tertuang di dalam surat Al Anfaal (8)
ayat 63 berikut ini: “dan Yang mempersatukan hati mereka (orang-orang yang beriman).
Walaupun kamu membelanjakan semua
(kekayaan) yang berada di bumi, niscaya kamu tidak dapat mempersatukan hati
mereka, akan tetapi Allah telah mempersatukan hati mereka, Sesungguhnya Dia
Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” dan
juga yang tertuang di dalam surat Ali Imran (3) ayat 103 yang kami kemukakan
berikut ini: “dan Yang mempersatukan hati mereka (orang-orang yang beriman).
Walaupun kamu membelanjakan semua (kekayaan) yang berada di bumi, niscaya kamu
tidak dapat mempersatukan hati mereka, akan tetapi Allah telah mempersatukan
hati mereka, Sesungguhnya Dia Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” yaitu Allah SWT lah yang dapat mempersatukan
hati manusia.
Hal
yang harus kita jadikan patokan adalah Allah SWT adalah pemberi Hubbul Jam’i
(keinginan untuk berkumpul) kepada manusia, di lain sisi Allah SWT juga
memiliki nama Al Jaami’ (maha
mengumpulkan). Adanya persamaan asal usul dari kedua hal yang kami kemukakan di
atas ini, tentunya sangat mudah bagi Allah SWT untuk mempersatukan umat
manusia, kapanpun, dimanapun, dalam kondisi apapun juga. Allah SWT adalah Maha
Mengumpulkan sehingga Allah SWT mampu mengumpulkan berbagai hakekat yang telah
bercerai-berai, termasuk di dalamnya mengumpulkan dan menyatukan persamaan dan
perbedaan yang ada di dalam diri manusia
dan Allah SWT juga mampu
mengumpulkan umat manusia kelak di akhir zaman. Adanya kemampuan Allah SWT yang seperti ini, seharusnya dapat
menyadarkan diri kita betapa besar kemahaan dan kebesaran Allah SWT.
6. Hati Yang Baik Selalu Ingat Allah SWT. Salah satu ciri dari hati yang masih baik
(fitrah) adalah selalu ingat kepada Allah SWT karena hati telah mengetahui,
telah memahami dan telah pula merasakan rasa kebesaran dan kemahaan Allah SWT.
Sebagaimana dikemukakan dalam surat Az Zumar (39) ayat 22, 23 berikut ini:
“Maka
apakah orang-orang yang dibukakan Allah hatinya untuk (menerima) agama Islam
lalu ia mendapat cahaya dari Tuhannya (sama dengan orang yang membatu hatinya)?
Maka kecelakaan yang besarlah bagi mereka yang telah membatu hatinya untuk
mengingat Allah. Mereka itu dalam kesesatan yang nyata. Allah telah menurunkan
perkataan yang paling baik (yaitu) AlQuran yang serupa (mutu ayat-ayatnya) lagi
berulang-ulang, gemetar karenanya kulit orang-orang yang takut kepada Tuhannya,
kemudian menjadi tenang kulit dan hati mereka di waktu mengingat Allah. Itulah
petunjuk Allah, dengan kitab itu Dia menunjuki siapa yang dikehendakiNya. Dan
barangsiapa yang disesatkan Allah, maka tidak ada seorangpun pemberi petunjuk
baginya.”
Sebagai
contoh, Allah SWT adalah Al Mujiib yaitu Yang Maha Mengabulkan maka kita akan
mengingat (akan teringat) terus tentang hal ini sehingga jika kita mengalami
sesuatu cobaan ataupun kesusahan secara otomatis kita langsung ingat Al Mujiib
dan kemudian kita menyambungkan diri kepada Allah SWT untuk segera ditolong
untuk menyelesai-kan persoalan yang kita hadapi dengan berdoa yang kita
panjatkan kepada-Nya. Hal yang samapun berlaku kepada Allah SWT adalah Al Haadi yaitu Yang Maha Pemberi Petunjuk
maka kita pun akan dapat diberi petunjuk oleh Allah SWT sepanjang kita mau
meminta petunjuk kepada Allah SWT dengan memenuhi syarat dan ketentuan yang
berlaku atau menyamakan gelombang dan frekuensi yang sesuai dengan kehendak
Allah SWT.
Dan
dikabulkannya permohonan manusia atau diberikannya petunjuk oleh Allah SWT
kepada manusia sangat tergantung dengan pemenuhan dan kesesuaain gelombang dan
frekuensi hati nurani manusia dengan syarat dan ketentuan dari Allah SWT. Tanpa
itu semua maka apa yang dimohonkan oleh manusia tidak akan pernah tersambung
kepada Allah SWT. Adanya kesesuaian frekuensi dan gelombang dari hati nurani
dengan syarat dan ketentuan dari Allah SWT akan menjadikan hati nurani tenang
dan selalu ingat kepada Allah SWT dimanapun, kapanpun, dalam kondisi apapun.
7. Menasehati Harus Melalui Hati. Allah SWT memberikan petunjuknya kepada diri
kita, apabila kita ingin menasehati, atau ingin menanamkan kesan yang mendalam
ke seseorang maka harus melalui hati atau berkenan di hati sehingga berbekas ke
dalam hati. Sebagaimana
dikemukakan dalam surat An Nisaa’ (4) ayat 63 berikut ini: Mereka itu adalah orang-orang
yang Allah mengetahui apa yang di dalam hati mereka. Karena itu berpalinglah
kamu dari mereka, dan berilah mereka pelajaran, dan katakan kepada mereka
perkataan yang berbekas pada jiwa mereka.”
Hal
ini menjadi penting dikarenakan di dalam hubungan antar sesame manusia kita
sering memberikan nasehat ataupun pembelajaran kepada orang lain. Nasehat dan
pembelajaran yang kita berikan kepada orang lain adakalanya dapat diterima
dengan baik walaupun hanya satu kali disampaikan, namun adakalanya nasehat dan
pembelajaran yang kita berikan walaupun sudah berkali-kali atau sudah berulang
tidak dapat diterima dengan baik.
Timbul
pertanyaan kenapa hal itu dapat terjadi? Untuk dapat menyampaikan nasehat atau pembelajaran
kepada orang lain, Allah SWT melalui surat An Nisaa’ (4) ayat 63 memberikan
pedoman kepada kita jika ingin menasehati dan memberikan pembelajaran kepada
orang lain yaitu sampaikan ucapan dan perkataan kita sampai berbekas kehatinya
atau sampai membekas ke jiwa mereka. Ingat, hati nurani yang bersih jika
diumpamakan sebagai cermin maka sinar yang dipancarkan oleh senter dapat dipantulkan
dengan baik.
Demikian
pula dengan hati nurani yang bersih maka ia dapat menerima nasehat dan pembelajaran
yang disampaikan oleh orang lain. Jika hal ini merupakan pedoman dari Allah SWT
kepada setiap manusia maka jika kita ingin menasehati atau memberikan
pembelajaran kepada orang lain lakukanlah melalui hati nurani mereka.
Selanjutnya bagaimana dengan yang ingin menyampaikan sesuatu atau yang akan
menasehati? Hal yang samapun berlaku kepada yang ingin menyampaikan sesuatu hal
atau yang akan menasehati, juga harus menasehati dengan hati nurani, sehingga
apa yang akan disampaikannya tidak akan
menyakiti perasaan orang atau menyakiti hati orang lain.
8. Janji Yang Akan Dipegang Janji Hati. Allah SWT juga telah memberikan ketentuan
tentang janji yaitu saat diri kita berjanji atau mengadakan suatu perjanjian
maka janji yang harus dipegang oleh para pihak adalah janji hati. Hal ini
berdasarkan surat At Taubah (9) ayat 8, 9, 10 berikut ini: “Bagaimana bisa (ada perjanjian dari sisi
Allah dan Rasul-Nya dengan orang-orang musyrikin), padahal jika mereka
memperoleh kemenangan terhadap kamu, mereka tidak memelihara hubungan
kekerabatan terhadap kamu dan tidak (pula mengindahkan) perjanjian. Mereka
menyenangkan hatimu dengan mulutnya, sedang hatinya menolak. Dan kebanyakan
mereka adalah orang-orang yang fasik (tidak menetapi janjinya). Mereka tidak
memelihara (hubungan) kerabat terhadap orang-orang mu’min dan tidak (pula
mengindahkan) perjanjian. Dan mereka itulah orang-orang yang melampaui batas.”.
Kondisi
ini sesuai dan sejalan dengan peribahasa yang berbunyi “Mulutmu adalah Harimaumu dan juga Ujung Jarimu adalah Harimaumu” merupakan nasehat kepada diri kita
untuk selalu berhati-hati pada waktu berbicara atau pada saat memberikan
janji-janji manis sebab jika kita tidak dapat memenuhi apa yang kita sampaikan
akan menjadi bumerang bagi diri kita sendiri.
Timbulnya
peribahasa ini akibat dari tidak adanya kesesuaian antara apa yang diucapkan
dan yang dinyatakan oleh mulut dalam bentu lisan dengan apa yang terbentuk di
dalam hati nurani. Ketika mulut mengatakan “ya” namun jika hati nuraninya
mengatakan “tidak” maka hasilnya adalah “tidak” demikian pula sebaliknya jika
mulut mengatakan “tidak” sedangkan hati nuraninya mengatakan “ya” maka hasilnya
adalah “ya”’ lalu bagaimana dengan mulut dan hati ruhani yang mengatakan “tidak
dan ya” dalam posisi yang berkesesuaian? Patokan utama yang harus diambil
adalah yang sesuai dengan perkataan hati nurani. Adanya kondisi seperti ini
menandakan di dalam diri manusia, hati nurani memegang peranan penting di dalam
mengambil sebuah keputusan atau memenuhi sebuah janji sehingga jika kita ingin
mendapatkan sebuah kepastian dari janji seseorang maka yang harus dipegang
adalah janji yang berasal dari hati nurani.
Sekarang bagaimana
dengan diri kita jika menerima sebuah janji yang bukan berasal dari janji hati nurani
atau janji yang keluar dari mulut melalui lisan seseorang? Tertipu janji-janji palsu, wan prestasi, dusta, khianat merupakan hasil
yang sering kita dapatkan dan peroleh dari janji yang berasal dan keluar dari mulut secara
lisan. Untuk itu jika kita berhadapan dengan orang yang akan memberikan janji
kepada kita, maka lihatlah dan pelajarilah hati nurani mereka melalui tingkah
laku, perbuatan serta tindakan-tindakan yang telah mereka lakukan, apakah
sesuai dengan Nilai-Nilai Kebaikan. Jika tingkah laku, perbuatan serta
tindakan-tindakan yang mereka lakukan sudah berada di luar koridor nilai nilai
kebaikan, berhati-hatilah dengan janji-janji yang telah mereka kemukakan atau
jangan pernah mempercayai janji tersebut sepenuh hati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar