Khusyu’ yang sempurna, terutama dalam shalat (yaitu
dalam membaca AlQuran, berdoa dan berdzikir) ada 3 (tiga) tingkatan:
1. Membaca dan melafazkan ayat-ayat
AlQuran dengan menghadirkan maknanya. Ini adalah tingkatan khusyu’ yang paling
terendah, seperti yang diriwayatkan oleh Al Auza’i dalam menjelaskan sabda
Rasulullah SAW: “semalam telah turun kepadaku beberapa ayat, celakalah bagi
orang orang yang membacanya tetapi tidak memikirkan artinya.” Ayat tersebut
adalah surat Ali Imran (3) ayat 190: “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan
bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi
orang-orang yang berakal,”
Orang yang tidak memahami apa yang ia ucapkan
dan lupa untuk memikirkan dan menghayati apa yang ia ucapkan, maka ia tekah
keluar dari kekhusyu’an dan menjadi lupa.Sehingga yang harus dilakukan oleh
seseorang dalam shalatnya adalah memahami dan juga menghayati apa yang ia
lakukan dalam shalat. Kondisi ini juga berlaku untuk ibadah lainnya seperti
puasa, zakat, haji dan umroh serta doa dan dzikir.
2. Tingkatan yang kedua adalah
orang yang membaca dan memahami apa yang ia baca dalam shalat karena
terpengaruh oleh makna makna yang ia pahami ketika ia membaca bacaan bacaan
tersebut. Tingkatan kedua ini memiliki nilai lebih dari yang pertama dalam hal
adanya pengaruh dari makna yang ia pahami, sehingga kekhusyu’annya bisa
diketahui dari suaranya dan orang yang mendengar bacaannya akan terpengaruh,
karena setiap lafazh yang muncul darinya keluar dari lubuk hati. Hal ini juga
berlaku untuk ibadah lainnya seperti ibadah puasa yang tidak hanya menahan
lapar haus serta menahan syahwat semata. Namun mampu meneguhkan hati sehingga
diri yang sesungguhnya menjadi fitrah dan orang lain melihat dan merasakan rasa
fitrah dari orang yang berpuasa. Demikian seterusnya dengan ibadah zakat,
ibadah haji dan umroh.
Sebagian besar ulama berkata: “Perkataan yang keluar dari hati akan masuk
ke hati dan perkataan yang keluar dari lisan hanya akan sampai di telinga.”
3. Tingkatan ketiga adalah orang
orang yang membaca dan sangat terpengaruhi oleh hakekat hakekat makna
bacaannya. Kelebihan tingkatan ketiga dari tingkatan tingkatan sebelumnya
adalah kuatnya pengaruh bacaan kepada diri orang yang membacanya dan kemampuan
dia dalam melihat hakekat hakekat makna dengan hati.
Untuk mempermudah memahami tingkatan-tingkatan
tersebut, dicontohkan dengan orang yang membaca ayat-ayat janji dan ancaman
atau syurga dan neraka yang terdapat dalam AlQuran:
1. Orang yang memiliki tingkatan
khusyu’ yang paling rendah, membaca ayat-ayat tersebut dan memahami makna-maknanya.
2. Orang yang memiliki tingkat
kekhusyu’an yang kedua, membaca ayat-ayat terse-but dan terpengaruh oleh makna-makna
yang ia baca sehingga ia menjadi senang (jika yang ia baca berupa ayat ayat
janji) dan menjadi takut (ketika yang ia baca ayat ayat ancaman).
3. Orang yang memahami tingkat
kekhusyu’an yang ketiga, membaca ayat-ayat ter-sebut dan terpengaruh dengan
pengaruh yang sangat kuat serta mampu untuk menghadirkan hakekat hakekat makna
dari ayat ayat tersebut sehingga ia bisa menyaksikan dengan hatinya seolah-olah
ia menyaksikan dengan kedua matanya, seperti yang dikatakan Hanzhalah kepada
Rasulullah: “Ya Rasulullah ketika kami di
sisi engkau, engkau mengingatkan kami akan syurga dan neraka, sehingga seolah
olah kami melihatnya dengan mata kami.” Dengan membaca ayat-ayat tersebut,
maka ia menjadi ingat akan kesalahan- kesalahannya dan mendorongnya untuk
memohon ampun kepada Allah serta memohon perlindungan dari adzab-Nya dengan
penuh rasa takut. Hal ini semua akibat pengaruh yang kuat dari apa yang ia
baca. Oleh karena itu Nabi Muhammad SAW dalam sebuah hadits yang diriwayatkan
oleh Huzaifah bin al Yaman: “Ketika
beliau mendapatkan ayat tasbih maka beliau bertasbih, ketika beliau mendapatkan
ayat tentang tasbih maka beliau bertasbih, ketika beliau mendapatkan ayat
tentang meminta maka beliau meminta, ketika beliau mendapatkan ayat ta’awwudz
(memohon perlindungan) maka beliau memohon perlindungan.”
Contoh lain selain membaca ayat-ayat Al Qur’an
adalah membaca bacaan “subhana rabiiyal adzim” (Mahasuci Allah Yang Mahaagung)
ketika ruku’ dalam shalat. Tingkatan khusyu’ yang paling rendah adalah orang
yang mengucapkan lafazh tersebut dan memahami maknanya yaitu mensucikan Allah
yang disifati dengan keagungan. Di atas
tingkatan tadi, adalah orang yang mengucapkan lafazh tersebut dengan memaha-minya
serta terpengaruh oleh makna tersebut sehingga tertanam di dalam hatinya makna
kesucian, keagungan dan ketuhanan.
Dan tingkatan yang lebih tinggi lagi adalah orang yang membaca lafazh tersebut dengan memahami hakekat makna lafazh tersebut dan hakekat makna tersebut sangat mempengaruhi dirinya dengan kuat sehingga ketika ia mengucapkan lafazh “subhana rabiiyal azhimi” (Mahasuci Allah Yang Mahaagung) rasa takut memenuhi hatinya. Orang dalam tingkatan ini sudah berada dalam level ikhsan, yaitu menyembah Allah seakan akan ia melihatNya.
Hal yang samapun saat membaca bacaan saat i’tidal, saat duduk di antara dua sujud, saat sujud, saat tasyahud awal atau tasyahud akhir, dan juga saat salam. Yang kesemuanya tidak terlepas dari tingkatan tingkatan khusyu’. Lalu apakah setiap orang akan sama kualitas kekhusyu’annya? Adanya perbedaan kemampuan untuk belajar tentang kekhusyua’an maka akan mempengaruhi tingkat pemahaman seseorang terhadap kekhusyu’an. Ini berarti kualitas dari kekhusyu’an seseorang tidak akan sama kualitasnya ditambah lagi kualitas keikhlasan dan ketertundukan seseorang maka hasil dari kekhusyu’an dapat dipastikan tidak akan sama bagi setiap orang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar