Sebelum
kami membahas tentang proses perbaikan dan perubahan diri dari jiwa fujur
menuju jiwa taqwa, perkenankan kami terlebih dahulu untuk membahas tentang
keterikatan iman dengan ahwa (hawa nafsu) berikut ini: Ahwa (hawa nafsu),
seperti didefinisikan oleh para ulama, adalah kecondongan jiwa terhadap sifat
sifat alamiah jasmani yang berasal dari tanah (alam) yang mencerminkan nilai
nilai keburukan, baik berupa cinta terhadap nafsu (syahwat dan keinginan),
merasa lebih hebat dari lainnya, benci terhadap segala beban kesulitan, pelit
sehingga tidak mau berbagi, malas
sehingga tidak mau beraktifitas atau enggan menerima kritik atau masukan
dari orang lain.
Ahwa
(hawa nafsu) itu seperti halnya iman (keimanan). Kedunya sama-sama merupakan
perasaan yang tertanam di dalam hati ini. Kondisi ini mengandung arti bahwa
perasaan manusia terbagi menjadi dua, yaitu antara iman (keimanan) dan juga
ahwa (hawa nafsu). Tergantung dari faktor akal serta penguasaan salah satu di
antara keduanya untuk mempengaruhi keinginan hati.
Paksalah
diri Anda dalam ketaatan kepada Allah dengan meninggalkan hawa nafsunya sebelum
ia mencemari ketaatan yang ada dalam diri Anda pada kesudahannya.
(Yahya
bin Muadz Ar Razi)
Katakan,
ada seseorang yang ingin belajar, tetapi ahwa (hawa nafsu)nya menginginkannya
untuk tidur atau bermain keluar rumah. Pada saat seperti ini, terjadilah
kontradiksi antara iman, yaitu mementingkan belajar karena sangat penting
(peran belajar) agar mendapatkan kelulusan dan kesuksesan, dan ahwa (hawa
nafsu) yaitu dengan menuruti keinginannya untuk beristirahat karena benci
terhadap beban berat atau dipengaruhi oleh rasa malas. Lalu, bagian yang lebih
kuat akan menjadi pemenang dalam pertempuran perasaan tersebut.. Kontradiksi
inilah yang sering terjadi saat mengambil suatu keputusan.
Jika
kita menerapkan pemahaman di atas, maka kita akan menemukan suatu dorongan yang
muncul dari rasa iman kepada Allah untuk melakukan ketaatan, seperti
mengerjakan shalat dhuha, shalat tahajjud misalnya. Pada saat seperti itulah akan
terjadi kontradiksi antara iman dan ahwa (hawa nafsu) di dalam diri.
Bagian
yang lebih kuat akan mendapatkan kemenangan, kemudian akan mengambil suatu
keputusan untuk melakukannya. Hal itulah yang ditegaskan oleh Rasulullah SAW, “seorang
hamba tidak bisa dikatakan beriman saat dia berzina, tidak dikatakan beriman
saat dia mencuri, dan tidak dikatakan beriman saat dia membunuh. (hadits
riwayat Ahmad). Keinginan
untuk berzina, mencuri, atau membunuh adalah bukti nyata kemenangan ahwa (hawa
nafsu) atas keimanan seseorang dan begitu kuatnya penguasaan hawa nafsu atas
perasaan saat melakukan pekerjaan dan perbuatan tersebut.
Jadi,
keputusan
keputusan yang keluar dari dalam hati terhadap anggota tubuh untuk melakukan
suatu pekerjaan adalah hasil dari kemenangan iman terhadap hawa nafsu atau pun
sebaliknya. Dengan kata lain, amal amal anggota tubuh itu menunjukkan
apa yang ada di dalam hati, baik itu berupa iman maupun hawa nafsu.
Tingkat
ketaatan dan amal baik yang dilakukan oleh seorang hamba menunjukkan kadar
keimanan di dalam hatinya. Jika keteguhan seorang hamba dalam perkataan dan
perbuatannya bertambah, maka ia menjadi bukti atas kuatnya keimanan yang
dimilikinya. Sebaliknya, tingkat kelalaian dan kemaksiatan yang dilakukan oleh
seorang hamba menunjukkan begitu kuatnya ahwa (hawa nafsu) di dalam hatinya.
Adanya kondisi yang kami kemukakan di atas ini, perkara yang menjadikan
seseorang menjauhkan diri dari dosa dalam muamalahnya adalah kuatnya keimanan
lemahnya ahwa (hawa nafsu). Sebaliknya, perkara yang menyebabkan mudah berbuat
dosa dalam bermuamalah adalah lemahnya keimanan atau kuatnya hawa nafsu.
Iman
yang hidup di dalam hati memiliki pengaruh yang sangat besar dalam kehidupan
manusia dan pemiliknya. Melalui keimanan, hati akan terbebas dari belenggu ahwa
(hawa nafsu) dan kemudian akan bebas untuk menuruti keinginannya. Jika
menginginkan kebaikan, maka ia akan segera melakukannya.
1. Setiap kali kadar keimanan bertambah, maka hati
akan terbangun dari kelalaiannya, mengingatkannya dari kekhilafan, menunjukkan
hakekat dunia yang sebenarnya bahwa ia hanyalah kehinaan yang patut disikapi
dengan zuhud (sikap menghindari dan tidak terlalu bergantung pada dunia dan
kemewahannya), memperlihatkan dan menarik perhatiannya untuk menghadapi
kehidupan akhirat.
2. Setiap kali kadar keimanan bertambah, maka
beberapa penyakit jiwa akan tertutup, menambah sigat altruism (mementingkan
orang lain), mengurangi sifat egois, dan mampu menjaga pengorbanannya di jalan
Allah.
3. Setiap kali kadar keimanan bertambah, maka
seorang hamba akan terbebas dari belenggu yang mengikatnya dengan dunia, dan ia
akan mencegahnya dari kebebasan yang tak terbatas.
Banyak
sekali yang dikerjakan oleh iman (keimanan) di dalam hati seseorang hamba yang
akan memberikan dampak besar dalam perangai dan cara berinteraksinya dalam
segala hal. Diantaranya adalah interaksi dengan dirinya sendiri. Anda akan
menemukan besarnya peran hati dalam menjaga ketakwaan, takbir (selalu bergegas
dan sikap tak mau ketinggalan) untuk melakukan shalat di masjid, menjaga shalat
malam, dan memperbanyak infak dan sedekah. Sedangkan dalam interaksi dengan
keluarganya, Anda akan menemukan keharmonisan antara suami istri, ayah terhadap
anaknya, anak terhadap orang tuanya dan sesama saudaranya.
Dalam
interaksi dengan masyarakatnya, Anda akan menemukan orang yang paling banyak
berjuang di ladang dakwah adalah dia yang memiliki kekuatan iman di dalam hati.
Dia akan hidup dengan mementingkan umatnya dan selalu berusaha untuk
menyebarkan ajaran Islam. Dengan jalan keimanan inilah, seseorang seakan akan
memiliki kedudukan yang menyamai satu umat di sisi Allah. Contohnya Abu Bakar
Ash Shiddiq ra, salah satu sahabat Nabi SAW, jika imannya diletakkan di salah
satu timbangan (mizan) Allah dan iman seluruh umat diletakkan di sisi lain, maka
iman Abu Bakar Ass Shiddiq akan lebih berat.
Ada
juga orang yang keimanannya menyamai iman sepuluh orang, seperti dikemukakan
dalam surat An Anfal (8) ayat 75, berikut ini: “Wahai Nabi (Muhammad)!
Kobarkanlah semangat para mukmin untuk berperang. Jika ada dua puluh orang yang
sabar di antara kamu, niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang musuh,
dan jika ada seratus orang (yang sabar) di antara kamu, niscaya mereka dapat
mengalahkan seribu orang kafir, karena orang yang kafir itu adalah kaum yang tidak
mengerti. (surat Al Anfal (8) ayat 65)”.
Adapula
orang yang keimanannya menyamai iman dua orang, seperti yang dikemukakan dalam
surat Al Anfal (8) ayat 66 berikut ini: Sekarang Allah telah meringankan kepadamu
dan Dia telah mengetahui padamu bahwa ada kelemahan. Maka jika ada diantaramu
seratus orang yang sabar, niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus (orang
musuh). (surat Al Anfal (8) ayat 66)”. Kelemahan yang dimaksud ayat di
atas ini adalah kelemahan iman, yang akhirnya menyebabkan menurunnya nilai
seorang individu hingga menjadi setara dengan dua bagian. Oleh karena itu,
diperlukan jumlah tambahan untuk menutupi kekurangan tersebut.
Begitu
juga sebaliknya, jika iman di dalam hati mulai melemah dan di saat itu ahwa
(hawa nafsu) dan kecintaannya terhadap dunia mulai menguasainya, maka timbangan
dan nilai individu itu akan menurun dan berbalik hingga seakan akan dia menjadi
sepersepuluh bagi dari satu orang, atau bahkan lebih sedikit lagi dari itu.
Kemerosotan ini akan terus bertambah hingga nilai itu lenyap sama sekali.
Sehingga berjuta juta orang yang seperti dirinya tidak akan bisa menyamai
timbangan keimanan dari satu orang di sisi Allah.
Kemerosotan
ini akan terus bertambah hingga seluruh umat manusia hampir tidak memiliki
suatu nilai apapun yang bisa dikenang, layaknya buih dalam ombak yang tidak
dapat dimanfaatkan, atau seperti mentimun bungkuk, ia ada namun tidak ada
nilainya.
Agar
diri kita mampu sesuai dengan kehendak Allah terutama di dalam menjaga keimanan
dalam diri atau di dalam kerangka melawan dan mengalahkan ahwa (hawa nafsu).
Berikut ini akan kami kemukakan 4 (empat) buah nasehat yang berasal dari “Yahya
bin Muadz Ar Razzi”, yaitu:
1. Berjihadlah melawan
ahwa (hawa nafsu) Anda dengan pedang riyadhah (latihan) dan riyadhah itu ada 4
(empat) macam, yaitu:
a. Sedikit
makan, dengan sedikit makan, akan matilah nafsu syahwat;
b. Sedikit tidur, dengan
sedikit tidur, terlahirlah iradah (kehendak) yang jernih;
c. Bicara
seperlunya, dengan sedikit bicara, terlahirlah keselamatan dari bencana ; dan
d. Sabar menghadapi
gangguan yang menyakitkan dari semua orang, dengan sabar menanggung gangguan
yang menyakitkan, akan terlahir kemudahan untuk mencapai tujuan.
2. Pertanda orang yang
bertakwa kepada Allah ada tiga, yaitu:
a.
Memprioritaskan
ridha-Nya;
b. Selalu bertakwa
kepada-Nya; dan
c.
Menentang
hawa nafsunya.
Dengan
kata lain, ridha Allah di atas kepuasan hawa nafsunya. Ia selalu menemani ketaqwaannya,
tidak pernah beranjak darinya, baik dalam keadaan suka maupun duka, gembira
maupun sedih, senang maupun marah. Ia selalu menentang hawa nafsu yang
menjauhkannya dari Allah dan merugikan pahala dari-Nya.
3. Janganlah Anda merasa tenang dengan ahwa (hawa
nafsu) Anda, sekalipun dia mengajak Anda pada hal hal yang disukai.
4. Berikanlah kepada orang mukmin tiga perkara
sebagai bagiannya, yaitu:
a.
Jika Anda tidak bermanfaat
baginya, janganlah membahayakannya;
b. Jika Anda tidak dapat menyenangkannya, janganlah
Anda menyusahkannya, dan
c.
Jika Anda tidak memujinya,
janganlah Anda mencacinya.
Inilah 4 (empat) buah nasihat
dari “Yahya bin Muadz Ar Razzi” semoga kita mampu melaksanakannya dengan baik.
Selain
daripada itu ketahuilah bahwa dalam kaitan iman dan ahwa (hawa nafsu) yang sama-sama
mempengaruhi kesucian dan kebersihan hati kita, ketahuilah bahwa:
“Iman itu bagaikan potongan kain berwarna putih di dalam hati. Setiap
kali iman seseorang bertambah, maka bertambah besar pula ukuran potongan putih tersebut.
Jika iman telah mencapai derajat kesempurnaan, maka semua hatinya akan menjadi
putih (fitrah). Sebaliknya, kemunafikan itu ibarat potongan kain berwarna hitam
di dalam hati. Setiap kali kemunafikan itu bertambah, maka bertambah besar pula
ukuran potongan hitam tersebut. Jika kemunafikan telah mencapai tingkat
sempurna, maka semua hatinya menjadi hitam. Demi Allah! Jika kalian tercipta
dengan hati seorang mukmin, maka kalian akan menemukan hati kalian menjadi
putih, dan jika kalian tercipta dengan hati seorang munafik, maka kalian akan
menemukan hati kalian menjadi hitam.” (Nasehat dari Ali bin Abi Thalib ra)”.
Jika
kenyataannya seperti itu, maka jalan apa yang harus ditempuh untuk
mengembangkan dan menyempurnakan iman di dalam hati atau menghilangkan ahwa
(hawa nafsu) di dalam hati? Untuk itu, ingatlah bahwa keimanan di dalam hati
yang tidak disertai dengan amal shaleh akan menjadi iman yang terus berkutat
dalam daerah yang sempit sehingga kekuatan ahwa (hawa nafsu) dan kedzaliman
akan terus menerus merongrong dan menguasai hati yang pada akhirnya
menghantarkan diri kita sesuai dengan kehendak syaitan sang laknatullah.
Perasaan
beriman membutuhkan ruangan untuk berkembang dan terus bertambah di dalam hati
agar terhindar dari belenggu ahwa (hawa nafsu) dan kedzaliman. Dan jika sampai
belenggu ahwa dan kedzaliman masih melingkupi diri kita maka jiwa kita masih
dalam kategori jiwa fujur (jiwa yang sesat). Jika saat ini, jiwa kita masih berada
di dalam kategori jiwa fujur, apakah itu jiwa hewani, jiwa amarah ataupun jiwa
mushawwilah, lalu ingin menuju ke jiwa taqwa, yang dimulai dari jiwa lawwamah
kemudian ke jiwa muthmainnah, apa yang harus kita lakukan?
Untuk itu kita diperintahkan oleh Allah SWT untuk melakukan jihad, atau
bersungguh-sungguh melawan ahwa (hawa nafsu) yang disenangi oleh syaitan.Dengan
sungguh-sungguh menundukkan dan mengalahkan keinginan-keinginan yang berada di dalam koridor nilai-nilai
keburukan menjadi nilai-nilai kebaikan sehingga berguna dan bermanfaat tidak
hanya untuk diri sendiri, tetapi juga bagi masyarakat, bangsa dan negara serta
mungkin untuk dunia yang kesemuanya harus sesuai dengan kehendak Allah SWT. Jika hal ini dapat
dicapai oleh manusia maka sukseslah manusia itu sebagai khalifah di muka bumi
yang sekaligus makhluk yang terhormat.
Di dalam surat Al Ma’arij (70) ayat 19, 20,
21 berikut ini: Sungguh, manusia diciptakan bersifat suka mengeluh. Apabila dia ditimpa
kesusahan dia berkeluh kesah. Dan apabila mendapat kebaikan (harta) dia jadi
kikir (surat Al Ma’arij (70) ayat 19, 20.21)”. Jika ini merupakan
kondisi dan keadaan diri kita saat ini, yaitu bukannya penampilan jiwa muthmainnah
seperti yang kami kemukakan di atas ini, justru yang tampil adalah perilaku
galau, suka mengeluh dan kikir yang nampak dalam keseharian kita (jiwa fujur),
lalu kenapa ini bisa terjadi?
Jika sampai diri kita masih terjangkiti
dengan sifat galau lagi suka mengeluh lagi kikir berarti penampilan jiwa
muthmainnah memang tidak ada pada diri kita dan ini berarti kita harus
melaksanakan ketentuan yang termaktub di dalam surat Al Ma’arij (70) ayat 22
sampai 34 berikut ini: “Kecuali orang orang yang melaksanakan
shalat, dan orang orang yang dalam hartanya disiapkan bagian tertentu, bagi
orang (miskin) yang meminta dan yang tidak meminta, dan orang yang mempercayai
Hari Pembalasan, dan orang orang yang takut terhadap azab Tuhannya.
Sesungguhnya terhadap azab Tuhan mereka, tidak ada seorangpun yang merasa aman
dari kedatangangannya, dan orang orang yang memelihara kemaluannya, kecuali
terhadap istri istri mereka atau hamba sahaya yang mereka miliki, maka
sesungguhnya mereka tidak tercela, maka barangsiapa mencari di luar itu
(seperti zina, homoseks, dan lesbian), mereka itulah orang orang yang melampaui
batas, Dan orang orang yang memelihara amanat dan janjinya, dan orang orang
yang berpegang teguh pada kesaksiannya, dan orang orang yang memelihara
shalatnya”.
Berdasarkan ketentuan surat Al Ma’arij (70)
ayat 22 sampai 34 di atas ini, orang yang jiwanya masih galau, suka berkeluh
kesah dan juga kikir berarti ia belum sempurna, belum bisa melaksanakan ibadah
sebagai sebuah kebutuhan sehingga ibadahnya belum sampai kepada ibadah
bathiniah yang tidak melanggar syariat, atau ibadahnya baru sampai melaksanakan
ibadah secara ragawi semata, atau baru mampu melaksanakan ibadah sebagai
kewajiban semata.
Hal ini dikarenakan hasil dari pelaksanaan
apa yang terdapat dalam surat Al Ma’arij (70) ayat 22 sampai 34 di atas yang
sesuai dengan kehendak Allah SWT ada pada ketentuan surat Al Ma’arij (70) ayat
35 berikut ini:”Mereka dimuliakan di dalam syurga. (surat Al Ma’arij (70) ayat 35)”. yaitu habis galau terbitlah tenang lalu dimuliakan
oleh Allah SWT di syurga kelak. Lalu apa yang harus kita lakukan jika usia
sudah di persimpangan jalan yaitu sudah berada di waktu Maghrib menuju waktu
Isya, tetapi masih juga galau, masih juga suka berkeluh kesah serta masih kikir
lalu kapan merasakan jiwa yang tenang jika tanpa perjuangan untuk
memperbaikinya?
Disinilah letaknya kita harus memiliki sikap
yang tegas, dengan mempertanyakan kepada diri sendiri, sanggupkah kita menahan
panasnya api neraka? Jika sanggup jangan lakukan jihad melalui hijrah untuk
menuju jiwa muthmainnah. Namun jika kita merasa tidak sanggup menahan panasnya
api neraka, tidak ada jalan lain untuk segera mengalahkan ahwa (hawa nafsu)
yang ada dalam diri kita karena hanya inilah yang bisa merubah kondisi kejiwaan
kita dari jiwa fujur menuju jiwa muthmainnah.
Agar proses untuk memperbaiki diri berjalan
dengan baik, berikut ini akan kami kemukakan hal hal yang harus kita perhatikan
terlebih dahulu sebelum melalukuan jihad melawan ahwa (hawa nafsu) melalui
proses hijrah, yaitu:
1. Untuk itu ketahuilah bahwa sepanjang ruh masih belum tiba
di kerongkongan, berarti kita masih diberi kesempatan oleh Allah SWT untuk
merubah apa- apa yang ada pada jiwa kita sepanjang dari kita kita sendiri mau
mengadakan perubahan.Allah SWT berkehendak kepada kita agar kita sendiri yang
aktif memulai terlebih dahulu untuk mengadakan perubahan maka barulah Allah SWT
menolong kita menuju kepada perubahan yang kita harapkan, dalam hal ini jiwa
muthmainnah.
Allah
SWT berfirman: “Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka
merubah keadaan diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan
suatu kaum maka tidak ada yang dapat menolaknya dan tidak ada pelindung bagi
mereka selain Dia. (surat Ar Rad (13) ayat 11)”. Allah SWT hanya akan
mengubah suatu keadaan diri kita apabila kita sendiri telah berupaya untuk
mengadakan perubahan yang ada pada diri kita sendiri. Apa maksudnya? Sepanjang
diri kita masih mempertahankan malas untuk berbuat kebaikan maka sepanjang kita
pula Allah SWT tidak merubah diri kita. Buang rasa malas ganti dengan sifat
aktif untuk berbuat kebaikan maka Allah SWT akan merubah diri kita sesui dengan
jihad atau kesungguhan diri kita untuk berbuat kebaikan.
2. Adanya rumus dasar sukses sejati tentang ketenangan
adalah menggapainya harus di awal perjalanan, bukan di akhir perjalanan. Rumus
ini harus kita hadapi dengan kuatnya tekad kita untuk berubah yang harus
diimbangi dengan menambah kecepatan, menambah kekuatan, menambah kesungguhan untuk
mengejar ketertinggalan, tanpa melanggar syariat dan hakekat yang berlaku. Hal
ini sangat diperlukan karena perubahan yang kita lakukan saat diri kita sudah
berada dipersimpangan jalan, atau sudah berada di sisa usia yang kita miliki.
3. Pendeknya waktu yang kita miliki yaitu hanya antara waktu
maghrib sampai waktu isya mengharuskan kita untuk lebih fokus dengan menambah
kualitas ibadah yang kita lakukan, yang tidak hanya ibadah wajib semata
melainkan harus ditambah dengan ibadah ibadah sunnah baik yang menyertai ibadah
wajib ataupun tidak. Agar proses ini menjadi lebih mudah dan cepat, maka segera
tambahkan jumlah infaq dan sedekah serta
jariah yang kita lakukan agar dengan tambahan ini mampu mempercepat kita menuju
jiwa muthmainnah.
Adanya 3 (tiga) buah ketentuan diatas ini,
disinilah proses hijrah harus kita lakukan, yaitu dengan melakukan suatu
tindakan dengan kesadaran dan dorongan yang berasal dari diri sendiri untuk
memperbaiki keadaan jiwa dari suatu kondisi tertentu menuju suatu kondisi yang
dikehendaki Allah SWT. Tanpa adanya kesadaran dari diri sendiri untuk merubah
keadaan jiwa maka jiwa muthmainnah jauh panggang dari api.
Ingat, hijrah ada batasan waktunya yaitu
hanya sampai menjelang ruh tiba di kerongkongan, yang berarti perubahan hanya
bisa kita lakukan di sisa usia yang kita miliki yang tidak kita ketahui berapa
jumlahnya yang tersisa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar