Label

MEMANUSIAKAN MANUSIA: INILAH JATIDIRI MANUSIA YANG SESUNGGUHNYA (79) SETAN HARUS JADI PECUNDANG: DIRI PEMENANG (68) SEBUAH PENGALAMAN PRIBADI MENGAJAR KETAUHIDAN DI LAPAS CIPINANG (65) INILAH ALQURAN YANG SESUNGGUHNYA (60) ROUTE TO 1.6.799 JALAN MENUJU MAKRIFATULLAH (59) MUTIARA-MUTIARA KEHIDUPAN: JALAN MENUJU KERIDHAAN ALLAH SWT (54) PUASA SEBAGAI KEBUTUHAN ORANG BERIMAN (50) ENERGI UNTUK MEMOTIVASI DIRI & MENJAGA KEFITRAHAN JIWA (44) RUMUS KEHIDUPAN: TAHU DIRI TAHU ATURAN MAIN DAN TAHU TUJUAN AKHIR (38) TAUHID ILMU YANG WAJIB KITA MILIKI (36) THE ART OF DYING: DATANG FITRAH KEMBALI FITRAH (33) JIWA YANG TENANG LAGI BAHAGIA (27) BUKU PANDUAN UMROH (26) SHALAT ADALAH KEBUTUHAN DIRI (25) HAJI DAN UMROH : JADIKAN DIRI TAMU YANG SUDAH DINANTIKAN KEDATANGANNYA OLEH TUAN RUMAH (24) IKHSAN: INILAH CERMINAN DIRI KITA (24) RUKUN IMAN ADALAH PONDASI DASAR DIINUL ISLAM (23) ZAKAT ADALAH HAK ALLAH SWT YANG HARUS DITUNAIKAN (20) KUMPULAN NASEHAT UNTUK KEHIDUPAN YANG LEBIH BAIK (19) MUTIARA HIKMAH DARI GENERASI TABI'IN DAN TABI'UT TABIIN (18) INSPRIRASI KESEHATAN DIRI (15) SYAHADAT SEBAGAI SEBUAH PERNYATAAN SIKAP (14) DIINUL ISLAM ADALAH AGAMA FITRAH (13) KUMPULAN DOA-DOA (10) BEBERAPA MUKJIZAT RASULULLAH SAW (5) DOSA DAN JUGA KEJAHATAN (5) DZIKIR UNTUK KEBAIKAN DIRI (4) INSPIRASI DARI PARA SAHABAT NABI (4) INILAH IBADAH YANG DISUKAI NABI MUHAMMAD SAW (3) PEMIMPIN DA KEPEMIMPINAN (3) TAHU NABI MUHAMMAD SAW (3) DIALOQ TOKOH ISLAM (2) SABAR ILMU TINGKAT TINGGI (2) SURAT TERBUKA UNTUK PEROKOK dan KORUPTOR (2) IKHLAS DAN SYUKUR (1)

Senin, 20 Mei 2024

PROSES PERBAIKAN DAN PERUBAHAN DIRI (PART 1 of 5)

 

Sebelum kami membahas tentang proses perbaikan dan perubahan diri dari jiwa fujur menuju jiwa taqwa, perkenankan kami terlebih dahulu untuk membahas tentang keterikatan iman dengan ahwa (hawa nafsu) berikut ini: Ahwa (hawa nafsu), seperti didefinisikan oleh para ulama, adalah kecondongan jiwa terhadap sifat sifat alamiah jasmani yang berasal dari tanah (alam) yang mencerminkan nilai nilai keburukan, baik berupa cinta terhadap nafsu (syahwat dan keinginan), merasa lebih hebat dari lainnya, benci terhadap segala beban kesulitan, pelit sehingga tidak mau berbagi, malas  sehingga tidak mau beraktifitas atau enggan menerima kritik atau masukan dari orang lain.

 

Ahwa (hawa nafsu) itu seperti halnya iman (keimanan). Kedunya sama-sama merupakan perasaan yang tertanam di dalam hati ini. Kondisi ini mengandung arti bahwa perasaan manusia terbagi menjadi dua, yaitu antara iman (keimanan) dan juga ahwa (hawa nafsu). Tergantung dari faktor akal serta penguasaan salah satu di antara keduanya untuk mempengaruhi keinginan hati.

 

Paksalah diri Anda dalam ketaatan kepada Allah dengan meninggalkan hawa nafsunya sebelum ia mencemari ketaatan yang ada dalam diri Anda pada kesudahannya.

(Yahya bin Muadz Ar Razi)

 

Katakan, ada seseorang yang ingin belajar, tetapi ahwa (hawa nafsu)nya menginginkannya untuk tidur atau bermain keluar rumah. Pada saat seperti ini, terjadilah kontradiksi antara iman, yaitu mementingkan belajar karena sangat penting (peran belajar) agar mendapatkan kelulusan dan kesuksesan, dan ahwa (hawa nafsu) yaitu dengan menuruti keinginannya untuk beristirahat karena benci terhadap beban berat atau dipengaruhi oleh rasa malas. Lalu, bagian yang lebih kuat akan menjadi pemenang dalam pertempuran perasaan tersebut.. Kontradiksi inilah yang sering terjadi saat mengambil suatu keputusan.

 

Jika kita menerapkan pemahaman di atas, maka kita akan menemukan suatu dorongan yang muncul dari rasa iman kepada Allah untuk melakukan ketaatan, seperti mengerjakan shalat dhuha, shalat tahajjud misalnya. Pada saat seperti itulah akan terjadi kontradiksi antara iman dan ahwa (hawa nafsu) di dalam diri.

 

Bagian yang lebih kuat akan mendapatkan kemenangan, kemudian akan mengambil suatu keputusan untuk melakukannya. Hal itulah yang ditegaskan oleh Rasulullah SAW, “seorang hamba tidak bisa dikatakan beriman saat dia berzina, tidak dikatakan beriman saat dia mencuri, dan tidak dikatakan beriman saat dia membunuh. (hadits riwayat Ahmad). Keinginan untuk berzina, mencuri, atau membunuh adalah bukti nyata kemenangan ahwa (hawa nafsu) atas keimanan seseorang dan begitu kuatnya penguasaan hawa nafsu atas perasaan saat melakukan pekerjaan dan perbuatan tersebut.

 

Jadi, keputusan keputusan yang keluar dari dalam hati terhadap anggota tubuh untuk melakukan suatu pekerjaan adalah hasil dari kemenangan iman terhadap hawa nafsu atau pun sebaliknya. Dengan kata lain, amal amal anggota tubuh itu menunjukkan apa yang ada di dalam hati, baik itu berupa iman maupun hawa nafsu.

 

Tingkat ketaatan dan amal baik yang dilakukan oleh seorang hamba menunjukkan kadar keimanan di dalam hatinya. Jika keteguhan seorang hamba dalam perkataan dan perbuatannya bertambah, maka ia menjadi bukti atas kuatnya keimanan yang dimilikinya. Sebaliknya, tingkat kelalaian dan kemaksiatan yang dilakukan oleh seorang hamba menunjukkan begitu kuatnya ahwa (hawa nafsu) di dalam hatinya. Adanya kondisi yang kami kemukakan di atas ini, perkara yang menjadikan seseorang menjauhkan diri dari dosa dalam muamalahnya adalah kuatnya keimanan lemahnya ahwa (hawa nafsu). Sebaliknya, perkara yang menyebabkan mudah berbuat dosa dalam bermuamalah adalah lemahnya keimanan atau kuatnya hawa nafsu.

 

Iman yang hidup di dalam hati memiliki pengaruh yang sangat besar dalam kehidupan manusia dan pemiliknya. Melalui keimanan, hati akan terbebas dari belenggu ahwa (hawa nafsu) dan kemudian akan bebas untuk menuruti keinginannya. Jika menginginkan kebaikan, maka ia akan segera melakukannya.

 

1.   Setiap kali kadar keimanan bertambah, maka hati akan terbangun dari kelalaiannya, mengingatkannya dari kekhilafan, menunjukkan hakekat dunia yang sebenarnya bahwa ia hanyalah kehinaan yang patut disikapi dengan zuhud (sikap menghindari dan tidak terlalu bergantung pada dunia dan kemewahannya), memperlihatkan dan menarik perhatiannya untuk menghadapi kehidupan akhirat.

 

2.   Setiap kali kadar keimanan bertambah, maka beberapa penyakit jiwa akan tertutup, menambah sigat altruism (mementingkan orang lain), mengurangi sifat egois, dan mampu menjaga pengorbanannya di jalan Allah.

 

3.  Setiap kali kadar keimanan bertambah, maka seorang hamba akan terbebas dari belenggu yang mengikatnya dengan dunia, dan ia akan mencegahnya dari kebebasan yang tak terbatas.

 

Banyak sekali yang dikerjakan oleh iman (keimanan) di dalam hati seseorang hamba yang akan memberikan dampak besar dalam perangai dan cara berinteraksinya dalam segala hal. Diantaranya adalah interaksi dengan dirinya sendiri. Anda akan menemukan besarnya peran hati dalam menjaga ketakwaan, takbir (selalu bergegas dan sikap tak mau ketinggalan) untuk melakukan shalat di masjid, menjaga shalat malam, dan memperbanyak infak dan sedekah. Sedangkan dalam interaksi dengan keluarganya, Anda akan menemukan keharmonisan antara suami istri, ayah terhadap anaknya, anak terhadap orang tuanya dan sesama saudaranya.

 

Dalam interaksi dengan masyarakatnya, Anda akan menemukan orang yang paling banyak berjuang di ladang dakwah adalah dia yang memiliki kekuatan iman di dalam hati. Dia akan hidup dengan mementingkan umatnya dan selalu berusaha untuk menyebarkan ajaran Islam. Dengan jalan keimanan inilah, seseorang seakan akan memiliki kedudukan yang menyamai satu umat di sisi Allah. Contohnya Abu Bakar Ash Shiddiq ra, salah satu sahabat Nabi SAW, jika imannya diletakkan di salah satu timbangan (mizan) Allah dan iman seluruh umat diletakkan di sisi lain, maka iman Abu Bakar Ass Shiddiq akan lebih berat.

 

Ada juga orang yang keimanannya menyamai iman sepuluh orang, seperti dikemukakan dalam surat An Anfal (8) ayat 75, berikut ini: “Wahai Nabi (Muhammad)! Kobarkanlah semangat para mukmin untuk berperang. Jika ada dua puluh orang yang sabar di antara kamu, niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang musuh, dan jika ada seratus orang (yang sabar) di antara kamu, niscaya mereka dapat mengalahkan seribu orang kafir, karena orang yang kafir itu adalah kaum yang tidak mengerti. (surat Al Anfal (8) ayat 65)”.

 

Adapula orang yang keimanannya menyamai iman dua orang, seperti yang dikemukakan dalam surat Al Anfal (8) ayat 66 berikut ini: Sekarang Allah telah meringankan kepadamu dan Dia telah mengetahui padamu bahwa ada kelemahan. Maka jika ada diantaramu seratus orang yang sabar, niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus (orang musuh). (surat Al Anfal (8) ayat 66)”. Kelemahan yang dimaksud ayat di atas ini adalah kelemahan iman, yang akhirnya menyebabkan menurunnya nilai seorang individu hingga menjadi setara dengan dua bagian. Oleh karena itu, diperlukan jumlah tambahan untuk menutupi kekurangan tersebut.

 

Begitu juga sebaliknya, jika iman di dalam hati mulai melemah dan di saat itu ahwa (hawa nafsu) dan kecintaannya terhadap dunia mulai menguasainya, maka timbangan dan nilai individu itu akan menurun dan berbalik hingga seakan akan dia menjadi sepersepuluh bagi dari satu orang, atau bahkan lebih sedikit lagi dari itu. Kemerosotan ini akan terus bertambah hingga nilai itu lenyap sama sekali. Sehingga berjuta juta orang yang seperti dirinya tidak akan bisa menyamai timbangan keimanan dari satu orang di sisi Allah.

 

Kemerosotan ini akan terus bertambah hingga seluruh umat manusia hampir tidak memiliki suatu nilai apapun yang bisa dikenang, layaknya buih dalam ombak yang tidak dapat dimanfaatkan, atau seperti mentimun bungkuk, ia ada namun tidak ada nilainya.

 

Agar diri kita mampu sesuai dengan kehendak Allah terutama di dalam menjaga keimanan dalam diri atau di dalam kerangka melawan dan mengalahkan ahwa (hawa nafsu). Berikut ini akan kami kemukakan 4 (empat) buah nasehat yang berasal dari “Yahya bin Muadz Ar Razzi”, yaitu:

 

1.    Berjihadlah melawan ahwa (hawa nafsu) Anda dengan pedang riyadhah (latihan) dan riyadhah itu ada 4 (empat) macam, yaitu:

 

a.    Sedikit makan, dengan sedikit makan, akan matilah nafsu syahwat;

b.     Sedikit tidur, dengan sedikit tidur, terlahirlah iradah (kehendak) yang jernih;

c.     Bicara seperlunya, dengan sedikit bicara, terlahirlah keselamatan dari bencana ; dan

d.  Sabar menghadapi gangguan yang menyakitkan dari semua orang, dengan sabar menanggung gangguan yang menyakitkan, akan terlahir kemudahan untuk mencapai tujuan.

 

2.       Pertanda orang yang bertakwa kepada Allah ada tiga, yaitu:

 

a.        Memprioritaskan ridha-Nya;

b.       Selalu bertakwa kepada-Nya; dan

c.        Menentang hawa nafsunya.

 

Dengan kata lain, ridha Allah di atas kepuasan hawa nafsunya. Ia selalu menemani ketaqwaannya, tidak pernah beranjak darinya, baik dalam keadaan suka maupun duka, gembira maupun sedih, senang maupun marah. Ia selalu menentang hawa nafsu yang menjauhkannya dari Allah dan merugikan pahala dari-Nya.

 

3. Janganlah Anda merasa tenang dengan ahwa (hawa nafsu) Anda, sekalipun dia mengajak Anda pada hal hal yang disukai.

 

4.     Berikanlah kepada orang mukmin tiga perkara sebagai bagiannya, yaitu:

 

a.        Jika Anda tidak bermanfaat baginya, janganlah membahayakannya;

b.       Jika Anda tidak dapat menyenangkannya, janganlah Anda menyusahkannya, dan

c.        Jika Anda tidak memujinya, janganlah Anda mencacinya.

 

Inilah 4 (empat) buah nasihat dari “Yahya bin Muadz Ar Razzi” semoga kita mampu melaksanakannya dengan baik.

 

Selain daripada itu ketahuilah bahwa dalam kaitan iman dan ahwa (hawa nafsu) yang sama-sama mempengaruhi kesucian dan kebersihan hati kita, ketahuilah bahwa:

 

Iman itu bagaikan potongan kain berwarna putih di dalam hati. Setiap kali iman seseorang bertambah, maka bertambah besar pula ukuran potongan putih tersebut. Jika iman telah mencapai derajat kesempurnaan, maka semua hatinya akan menjadi putih (fitrah). Sebaliknya, kemunafikan itu ibarat potongan kain berwarna hitam di dalam hati. Setiap kali kemunafikan itu bertambah, maka bertambah besar pula ukuran potongan hitam tersebut. Jika kemunafikan telah mencapai tingkat sempurna, maka semua hatinya menjadi hitam. Demi Allah! Jika kalian tercipta dengan hati seorang mukmin, maka kalian akan menemukan hati kalian menjadi putih, dan jika kalian tercipta dengan hati seorang munafik, maka kalian akan menemukan hati kalian menjadi hitam.” (Nasehat dari Ali bin Abi Thalib ra)”.

 

Jika kenyataannya seperti itu, maka jalan apa yang harus ditempuh untuk mengembangkan dan menyempurnakan iman di dalam hati atau menghilangkan ahwa (hawa nafsu) di dalam hati? Untuk itu, ingatlah bahwa keimanan di dalam hati yang tidak disertai dengan amal shaleh akan menjadi iman yang terus berkutat dalam daerah yang sempit sehingga kekuatan ahwa (hawa nafsu) dan kedzaliman akan terus menerus merongrong dan menguasai hati yang pada akhirnya menghantarkan diri kita sesuai dengan kehendak syaitan sang laknatullah.

 

Perasaan beriman membutuhkan ruangan untuk berkembang dan terus bertambah di dalam hati agar terhindar dari belenggu ahwa (hawa nafsu) dan kedzaliman. Dan jika sampai belenggu ahwa dan kedzaliman masih melingkupi diri kita maka jiwa kita masih dalam kategori jiwa fujur (jiwa yang sesat). Jika saat ini, jiwa kita masih berada di dalam kategori jiwa fujur, apakah itu jiwa hewani, jiwa amarah ataupun jiwa mushawwilah, lalu ingin menuju ke jiwa taqwa, yang dimulai dari jiwa lawwamah kemudian ke jiwa muthmainnah, apa yang harus kita lakukan?

 

Untuk itu kita diperintahkan oleh Allah SWT untuk melakukan jihad, atau bersungguh-sungguh melawan ahwa (hawa nafsu) yang disenangi oleh syaitan.Dengan sungguh-sungguh menundukkan dan mengalahkan keinginan-keinginan  yang berada di dalam koridor nilai-nilai keburukan menjadi nilai-nilai kebaikan sehingga berguna dan bermanfaat tidak hanya untuk diri sendiri, tetapi juga bagi masyarakat, bangsa dan negara serta mungkin untuk dunia yang kesemuanya harus sesuai dengan kehendak Allah SWT. Jika hal ini dapat dicapai oleh manusia maka sukseslah manusia itu sebagai khalifah di muka bumi yang sekaligus makhluk yang  terhormat.

 

Di dalam surat Al Ma’arij (70) ayat 19, 20, 21 berikut ini: Sungguh, manusia diciptakan bersifat suka mengeluh. Apabila dia ditimpa kesusahan dia berkeluh kesah. Dan apabila mendapat kebaikan (harta) dia jadi kikir (surat Al Ma’arij (70) ayat 19, 20.21)”. Jika ini merupakan kondisi dan keadaan diri kita saat ini, yaitu bukannya penampilan jiwa muthmainnah seperti yang kami kemukakan di atas ini, justru yang tampil adalah perilaku galau, suka mengeluh dan kikir yang nampak dalam keseharian kita (jiwa fujur), lalu kenapa ini bisa terjadi?

 

Jika sampai diri kita masih terjangkiti dengan sifat galau lagi suka mengeluh lagi kikir berarti penampilan jiwa muthmainnah memang tidak ada pada diri kita dan ini berarti kita harus melaksanakan ketentuan yang termaktub di dalam surat Al Ma’arij (70) ayat 22 sampai 34 berikut ini: Kecuali orang orang yang melaksanakan shalat, dan orang orang yang dalam hartanya disiapkan bagian tertentu, bagi orang (miskin) yang meminta dan yang tidak meminta, dan orang yang mempercayai Hari Pembalasan, dan orang orang yang takut terhadap azab Tuhannya. Sesungguhnya terhadap azab Tuhan mereka, tidak ada seorangpun yang merasa aman dari kedatangangannya, dan orang orang yang memelihara kemaluannya, kecuali terhadap istri istri mereka atau hamba sahaya yang mereka miliki, maka sesungguhnya mereka tidak tercela, maka barangsiapa mencari di luar itu (seperti zina, homoseks, dan lesbian), mereka itulah orang orang yang melampaui batas, Dan orang orang yang memelihara amanat dan janjinya, dan orang orang yang berpegang teguh pada kesaksiannya, dan orang orang yang memelihara shalatnya”.

 

Berdasarkan ketentuan surat Al Ma’arij (70) ayat 22 sampai 34 di atas ini, orang yang jiwanya masih galau, suka berkeluh kesah dan juga kikir berarti ia belum sempurna, belum bisa melaksanakan ibadah sebagai sebuah kebutuhan sehingga ibadahnya belum sampai kepada ibadah bathiniah yang tidak melanggar syariat, atau ibadahnya baru sampai melaksanakan ibadah secara ragawi semata, atau baru mampu melaksanakan ibadah sebagai kewajiban semata.

 

Hal ini dikarenakan hasil dari pelaksanaan apa yang terdapat dalam surat Al Ma’arij (70) ayat 22 sampai 34 di atas yang sesuai dengan kehendak Allah SWT ada pada ketentuan surat Al Ma’arij (70) ayat 35 berikut ini:”Mereka dimuliakan di dalam syurga. (surat Al Ma’arij (70) ayat 35)”.  yaitu habis galau terbitlah tenang lalu dimuliakan oleh Allah SWT di syurga kelak. Lalu apa yang harus kita lakukan jika usia sudah di persimpangan jalan yaitu sudah berada di waktu Maghrib menuju waktu Isya, tetapi masih juga galau, masih juga suka berkeluh kesah serta masih kikir lalu kapan merasakan jiwa yang tenang jika tanpa perjuangan untuk memperbaikinya?

 

Disinilah letaknya kita harus memiliki sikap yang tegas, dengan mempertanyakan kepada diri sendiri, sanggupkah kita menahan panasnya api neraka? Jika sanggup jangan lakukan jihad melalui hijrah untuk menuju jiwa muthmainnah. Namun jika kita merasa tidak sanggup menahan panasnya api neraka, tidak ada jalan lain untuk segera mengalahkan ahwa (hawa nafsu) yang ada dalam diri kita karena hanya inilah yang bisa merubah kondisi kejiwaan kita dari jiwa fujur menuju jiwa muthmainnah.

 

Agar proses untuk memperbaiki diri berjalan dengan baik, berikut ini akan kami kemukakan hal hal yang harus kita perhatikan terlebih dahulu sebelum melalukuan jihad melawan ahwa (hawa nafsu) melalui proses hijrah, yaitu:

 

1.   Untuk itu ketahuilah bahwa sepanjang ruh masih belum tiba di kerongkongan, berarti kita masih diberi kesempatan oleh Allah SWT untuk merubah apa- apa yang ada pada jiwa kita sepanjang dari kita kita sendiri mau mengadakan perubahan.Allah SWT berkehendak kepada kita agar kita sendiri yang aktif memulai terlebih dahulu untuk mengadakan perubahan maka barulah Allah SWT menolong kita menuju kepada perubahan yang kita harapkan, dalam hal ini jiwa muthmainnah.

 

Allah SWT berfirman: “Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka merubah keadaan diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan suatu kaum maka tidak ada yang dapat menolaknya dan tidak ada pelindung bagi mereka selain Dia. (surat Ar Rad (13) ayat 11)”. Allah SWT hanya akan mengubah suatu keadaan diri kita apabila kita sendiri telah berupaya untuk mengadakan perubahan yang ada pada diri kita sendiri. Apa maksudnya? Sepanjang diri kita masih mempertahankan malas untuk berbuat kebaikan maka sepanjang kita pula Allah SWT tidak merubah diri kita. Buang rasa malas ganti dengan sifat aktif untuk berbuat kebaikan maka Allah SWT akan merubah diri kita sesui dengan jihad atau kesungguhan diri kita untuk berbuat kebaikan.

 

2.   Adanya rumus dasar sukses sejati tentang ketenangan adalah menggapainya harus di awal perjalanan, bukan di akhir perjalanan. Rumus ini harus kita hadapi dengan kuatnya tekad kita untuk berubah yang harus diimbangi dengan menambah kecepatan, menambah kekuatan, menambah kesungguhan untuk mengejar ketertinggalan, tanpa melanggar syariat dan hakekat yang berlaku. Hal ini sangat diperlukan karena perubahan yang kita lakukan saat diri kita sudah berada dipersimpangan jalan, atau sudah berada di sisa usia yang kita miliki.

 

3.    Pendeknya waktu yang kita miliki yaitu hanya antara waktu maghrib sampai waktu isya mengharuskan kita untuk lebih fokus dengan menambah kualitas ibadah yang kita lakukan, yang tidak hanya ibadah wajib semata melainkan harus ditambah dengan ibadah ibadah sunnah baik yang menyertai ibadah wajib ataupun tidak. Agar proses ini menjadi lebih mudah dan cepat, maka segera tambahkan jumlah  infaq dan sedekah serta jariah yang kita lakukan agar dengan tambahan ini mampu mempercepat kita menuju jiwa muthmainnah.

 

Adanya 3 (tiga) buah ketentuan diatas ini, disinilah proses hijrah harus kita lakukan, yaitu dengan melakukan suatu tindakan dengan kesadaran dan dorongan yang berasal dari diri sendiri untuk memperbaiki keadaan jiwa dari suatu kondisi tertentu menuju suatu kondisi yang dikehendaki Allah SWT. Tanpa adanya kesadaran dari diri sendiri untuk merubah keadaan jiwa maka jiwa muthmainnah jauh panggang dari api.

 

Ingat, hijrah ada batasan waktunya yaitu hanya sampai menjelang ruh tiba di kerongkongan, yang berarti perubahan hanya bisa kita lakukan di sisa usia yang kita miliki yang tidak kita ketahui berapa jumlahnya yang tersisa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar