Banyak orang yang
salah kaprah dengan hidup tenang, kebanyakan orang mengira ketenangan dalam
hidup akan didapatkan manakala mereka sudah mendapatkan segalanya, baik itu
karir, asmara, keluarga, keuangan dan lain sebagainya. Barulah kemudian hidup
mereka menjadi tenang. Banyak orang yang terkena imbas dari doktrin yang
seperti itu. Dan lebih banyak lagi yang percaya dengan gambaran-gambaran yang
diciptakan oleh media mengenai kesuksesan hidup. Kunci hidup tenang akan
membuat anda memiliki hidup yang tenang di awal perjalanan anda meraih kejayaan
dalam hidup ini. Banyak guru-guru kehidupan yang berkata bahwa kehidupan ini
adalah panggung sandiwara, hanyalah permainan belaka, hanya sekedarnya saja,
tanpa harus diambil atau dimasuk-kan ke dalam hati.
Bagaimanakah cara
untuk bisa mengaplikasikan ini dalam kehidupan kita sendiri sehing-ga kita bisa
menjadi manusia yang lebih baik yang dapat mewujudkan impian dan cita-cita
menjadi pribadi yang sukses dalam setiap hal yang kita lakukan? Kunci
yang paling harus kita pahami adalah: dapatkan terlebih dahulu ketenangan dalam
hati sehingga kebahagiaan muncul. Baru kemudian berjalanlah, beraktifitaslah
seperti biasanya, jemputlah kesuksesan duniawi dengan modal ketenangan. Adanya modal ketenangan ketentraman
jiwa akan melahirkan khusyu’ dalam beribadah dan ketaatan, meningkatkan
kesadaran dalam beribadah dan mengagungkan Allah dan juga melahirkan sikap
mawas diri (introspeksi), bersyukur, selalu merasa diawasi oleh Allah Sang Maha
Pencipta, bermuamalah secara baik dengan semua makhluk dan ridha terhadap qadha
dan qadar. Dan Ingat, sukses sejati adalah menggapai ketenangan dan kelapangan itu
di awal perjala-nan, bukan di akhir perjalanan. Barulah kemudian
pelajaran dari guru guru tadi bisa diaplikasikan, barulah kemudian kita akan
menjadi lebih mudah menggapai keberhasi-lan mewujudkan setiap rencana dan cita
cita kita. Banyak orang yang mungkin sudah dipenghujung usianya, mereka sudah
dapatkan berbagai macam keberhasilan, baik dalam keluarga, karir, usaha,
bisnis, dan berbagai macam hal lainnya. Tapi, mereka masih mencari cari
ketenangan hidup yang hakiki.
Dulu mereka menilai
bahwa dengan dapatkan uang yang berlimpah dari usaha atau karirnya bisa membuat
hidupnya tenang, dulu mereka mengira bahwa dengan memiliki keluarga yang baik,
yang memiliki tingkat pendidikan tinggi serta anak dan keturunan-nya mampu memiliki karir, usaha, harta, bisnis
yang baik, mereka akan menjadi tenang. Akan tetapi sayang ternyata itu hanya semu
saja. Karena didalam hati mereka ternyata masih merasa kekeringan, tapi sayang
mereka hanya merasakan bahagia yang semu saja, karena pada suatu titik bahagia
itu hilang, karena inilah mereka berkesimpulan bahwa bahagia yang mereka
rasakan dalam hati hanya semua belaka. Pada masa akhir usianya mereka tetap
mengejar ketenangan hidup dan bahagia yang sejati.
Saat ini, katakanlah
kita sudah memiliki harta kekayaan berupa uang yang banyak, belum tentu uang
yang banyak mampu mendatangkan kebahagiaan apalagi ketenangan. Untuk itu
ketahuilah bahwa kebahagian memiliki uang yang banyak bukanlah dari banyaknya
jumlah saldo uang di dalam rekening, atau sudah keliling dunia. Kebaha-giaan
itu ada pada saat kita mampu berbagi kepada sesama melalui saldo uang yang kita
miliki. Lalu apakah semua orang bisa seperti ini? Tidak semua orang bisa
merasakan kebahagiaan melalui uang yang banyak, yang bisa merasakan kebahagiaan
memiliki itu hanyalah orang orang yang jiwanya berjiwa muthmainnah.
Akhirnya mereka memperoleh kebahagian dan ketenangan
bathin melalui berbagi kepada yang memerlukan baik yang bersifat materiil
maupun yang immateriil. Mereka akhirnya bisa merasakan hal-hal yang hakiki,
yang tak lagi semu.
Dan akhirnya mereka memberikan pesan dan wejangan kepada kita semua. Karena
mereka sadar, ketenangan yang sejati itu bisa didapat di awal perjalanan mereka
dahulu, bukan hanya bisa didapat di akhir saja. Mereka sadar bahwa ketenangan
yangs sejati ini merupakan landasan hidup yang bisa membuat selalu munculnya
kebahagiaan yang pada akhirnya mampu membahagiaan banyak orang.
Lalu apakah hanya
melalui uang yang berlebih saja kita bisa memperoleh kebahagiaan memiliki
kekayaan? Kebahagiaan memiliki sesuatu tidak hanya disalurkan melalui berbagi
lewat infak, sedekah dan jariah semata. Namun bisa pula melalui mengajar kepada
sesama atas kelebihan ilmu yang kita miliki. Tidak terbatas hanya ilmu agama
semata, juga bisa mengajar ilmu ilmu lainnya yang berguna bagi masyarakat
dengan cara mewakafkan waktu tertentu untuk kemaslahatan orang baik. Ayo segera
ambil bagian sesuai dengan kemampuan, minat dan bakat masing masing lalu Allah
SWT tersenyum bangga kepada diri kita.
Katakan, saat ini
kita sudah terbiasa berbagi melalui infak, sedekah dan jariah, atau sudah
terbiasa menjadi sukarelawan mengajar kelas-kelas khusus semisal di panti
rehabilitasi, di panti jompo, di panti tuna daksa atau mengajar di dalam
penjara, atau kita telah terbiasa mewakafkan waktu untuk kebajikan bagi orang
banyak lalu kegiatan itu kita berhentikan. Apa yang terjadi? Akan ada sesuatu
yang hilang dalam diri, ada rasa yang tidak enak, serta ada rasa tidak nyaman
dan jika ini yang terjadi berarti kita sudah berada di dalam rel kebaikan yang
benar. Dan agar diri kita mampu mempertahankan kebaikan yang sudah terbiasa
kita laksanakan, jadikanlah diri kita menjadi orang orang yang hebat karena
orang hebat adalah:
a.
orang yang mampu meninggalkan dunia sebelum ia meninggal
dunia;
b.
dia bersedekah sampai kaya bukan kaya dahulu baru
bersedekah;
c.
dia berdakwah sampai alim bukan sudah alim baru
berdakwah;
d.
dia datang ke masjid sampai tua bukan tua baru ke masjid,
dan:
e.
dia beramal sampai ikhlas bukan ikhlas dahulu baru
beramal.
Lalu balaslah
kejahatan dengan kebaikan serta balas pula kebajikan dengan kebajikan. Jika
kejahatan dibalas kejahatan maka itu adalah dendam. Jika kebaikan dibalas
kebaikan itu adalah perkara biasa. Jika kebaikan dibalas kejahatan itu adalah
kedzaliman. Dan jika kejahatan dibalas kebaikan itu mulia dan terpuji. Dan
jangan lupa, berilah kepada musuhmu maaf, kepada penantangmu toleransi, kepada
sahabatmu hatimu, kepada istrimu cinta dan kasih sayang, kepada anakmu suri
tauladan yang baik, kepada ayahmu rasa hormat, kepada ibumu perilaku yang
membuat ibumu bangga terhadapmu dan kepada dirimu kehormatan serta kepada semua
orang amal kebaikan. Tapi sayang seribu sayang, kunci hidup tenang lagi
beruntung ini gagal kita pahami, yang kita lihat dan pahami dari mereka yang
sudah dapatkan segalanya itu hanyalah kulit luarnya saja, bahwa kita harus
dapatkan keberhasilan pada bidang keuangan, karir, usaha/bisnis, keluarga
terlebih dahulu baru bisa mendapatkan kebahagiaan dan ketenangan sejati. Bukan
disitu pointnya. Karena point yang utama adalah pada pesan mereka bahwa,
kebahagian dan ketenangan yang sejati seharusnya didapatkan di awal perjalanan
meraih kesuksesan hidup, bukan hanya di akhir saja.
Bila saat ini anda
merasakan hal-hal sebagai berikut :
a. Merasa hidup Anda jauh dari ideal dan kondisi yang
diimpikan;
b. Tidak bersemangat dan kurang bergairah dalam menjalani
hidup;
c. Segala sesuatu terasa hampa dan tak bermakna, apa yang
dilakukan sekedar rutinitas;
d. Bingung dengan tujuan hidup Anda dan sepertinya tidak ada
hal yang menarik untuk dilakukan;
e. Meyimpan kemarahan yang mendalam, sakit hati dan dendam
terhadap sesorang atau suatu peristiwa;
f. Tidak memahami orang-orang di sekeliling Anda, atau
sebaliknya, merasa Orang-orang disekeliling Anda tidak memahami Anda;
g.
Memiliki trauma atau fobia yang menghambat;
h. Tidak percaya diri dalam hal-hal tertentu, bergaul,
berbicara di depan umum, mendekati lawan jenis, dan lain lain;
i. Menyimpan perasaan bersalah atau merasa dipersalahkan;
j. Cemas
dan mengkhawatirkan apa yang akan terjadi besok;
k. Merasa selalu gagal dan mengalami hal-hal yang tidak
diinginkan;
l. Sulit mengontrol emosi dan mengelola amarah;
m. Sulit mengambil
keputusan dan/atau selalu ragu dan berbagai macam mental block, permasalahan
emosi dan pikiran lain.
Jika apa yang kami
kemukakan di atas ini lebih dominan ada di dalam diri ini berarti kita sudah
mulai punya hambatan dalam meraih ketenangan dan ketentraman yang sejati yaitu
jiwa muthmainah. Itu juga sebuah pertanda bahwa kita masih mempunyai hambatan
dalam meraih dan merasakan nikmatnya bertuhankan kepada Allah SWT. Kondisi ini
harus dihilangkan terlebih dahulu, barulah ketenangan dan ketentraman serta
kelapangan hati bisa kita raih dan rasakan.
C. APA ITU JIWA FUJUR.
Sekarang mari kita pelajari dengan seksama tentang tentang jiwa fujur ataupun jiwa yang
penuh dengan kejelekan dan juga keburukan (jiwa yang sesat) yang dapat
dibedakan menjadi tiga kategori yaitu jiwa
Hewani, jiwa Amarah dan jiwa Mushawwilah. Adapun perincian dari ketiga
jiwa fujur dimaksud adalah sebagai berikut:
1. Jiwa Hewani. Untuk dapat menggambarkan atau menunjukkan
seperti apakah ji-wa hewani itu, akan kami ilustrasikan sebagai berikut: di
waktu matahari terik membakar, kondisi ini akan mempengaruhi jasmani yaitu
menimbulkan rasa haus dan lapar. Adanya rasa haus dan lapar yang dialami oleh
jasmani akan menggerakkan Hubbul Hurriyah untuk membebaskan diri dari rasa haus
dan lapar yang dialami dan yang dirasakan oleh jasmani. Setelah Hubbul Hurriyah
bergerak di dalam diri maka diri kita yang sesungguhnya (maksudnya ruh) beserta
Amanah yang 7 mulai bertindak atau bergerak untuk melakukan upaya mengatasi
rasa haus dan lapar yang dialami dan dirasakan oleh jasmani. Jika cara untuk mengatasi rasa haus dan lapar
yang dilakukan oleh diri kita yang sesungguhnya tanpa melihat apakah air atau
makanan yang akan dikonsumsi itu halal ataupun haram, atau tanpa melihat air
atau makanan itu milik siapa, dengan mengabaikan af’idah (perasaan), atau
mengabaikan fungsi hati nurani sebagai pengendali diri sehingga yang penting
rasa haus dan lapar yang dirasakan jasmani terselesaikan. Jika ini yang
terjadi, maka tindakan yang kita lakukan sudah menyerupai binatang, atau sama
dengan binatang. Untuk itu lihatlah kambing sewaktu lapar, semua
dimakan, tanpa pandang bulu. Kondisi inilah yang dikatakan dengan jiwa hewani.
Orang yang
berperilaku jiwa hewani adalah manusia yang hanya mementingkan persoalan yang
dihadapi cepat selesai dengan mengabaikan ketentuan hukum yang berlaku.
Sehingga sepanjang problem yang dirasakan oleh jasmani dapat terselesaikan
(dalam contoh di atas adalah keinginan untuk bebas dari rasa haus dan lapar)
sudah tidak melihat unsur kepantasan dan kepatutan, atau tanpa memandang baik
dan buruk lagi, atau tanpa melihat halal dan haram lagi, yang penting urusan
beres dan cepat selesai. Jika manusia bertindak seperti seperti itu maka hati
nurani telah hilang manfaatnya karena fungsinya sebagai pengendali tidak bisa
berjalan sesuai kehendak Allah SWT. Amanah yang 7 dan Hubbul yang 7 yang ada di
dalam diri sudah tidak lagi dipergunakan sesuai dengan kehendak Allah SWT
sehingga kita berada di dalam koridor nilai-nilai keburukan yang paling
dikehendaki oleh syaitan sang laknatullah.
Sekarang mari kita perhatikan kehidupan hewan. Hewan di dalam
kehidupannya di alam selalu mementingkan
diri sendiri, atau hanya mementingkan kelompoknya saja serta yang kuat memakan
yang lemah. Hewan memakan apa saja tanpa melihat halal dan haram serta
bertindak tanpa melihat apakah itu baik ataupun salah, semuanya dilakukan tanpa
pandang bulu ataupun tanpa malu-malu. Dilain sisi hewan, atau binatang
diberikan oleh Allah SWT mempunyai kelebihan seperti susu. Akan tetapi hewan
tersebut tidak tahu dan tidak mengerti atau tidak dapat memanfaatkan kelebihan
yang diberikan oleh Allah SWT untuk dirinya sendiri. Dan jika manusia
dikelompokkan ke dalam jiwa hewani, atau mempunyai bentuk kejiwaan laksana
hewan berarti tindak tanduk, pola tingkah laku ataupun perbuatan yang dilakukan
oleh manusia sudah memenuhi unsur-unsur negatif dari hewan.
Hal
ini dikarenakan manusia lalai ataupun telah gagal mempergunakan sesuatu yang
baik yang berasal dari Allah SWT, dalam hal ini Amanah yang 7, Hubbul yang 7,
serta hati nurani di dalam koridor nilai-nilai kebaikan yang sesuai dengan
kehendak Allah SWT. Hal ini sebagaimana dikemukakan dalam firman-Nya: “Sesungguhnya binatang
(makhluk) yang seburuk-buruknya pada sisi Allah ialah orang-orang yang pekak
dan tuli yang tidak mengerti apa-apapun. (surat
Al Anfaal (8) ayat 22)”. Dan jika sekarang kita sering melakukan perbuatan selalu
mementingkan diri sendiri, atau hanya memen-tingkan golongan tertentu saja,
atau yang kuat memakan yang lemah, atau menindas, atau menipu yang lemah maka
kondisi kejiwaan kita dipersamakan dengan jiwa hewani atau memiliki kejiwaan
yang sama dengan hewan. Sekarang maukah kita dipersamakan dengan hewan? Jawaban
dari pertanyaan ini sangat tergantung kepada pilihan kita sendiri.
Saat ini hewan sudah
diciptakan Allah SWT dan kita pun sudah pula mengetahuinya. Timbul pertanyaan
adakah pelajaran yang dapat kita petik dari keberadaan hewan? Allah SWT
menciptakan hewan bukanlah tanpa maksud dan tujuan yang jelas. Jika ini
keadaannya, maka dibalik keberadaan hewan dapat dipastikan ada sesuatu yang
dapat kita jadikan pelajaran. Sebagai khalifah kita harus dapat memilah dan
memilih pelajaran yang di dapat dari hewan. Kita tidak diperbolehkan meniru sifat-sifat
negatif dari hewan. Akan tetapi kita boleh bercermin kepada hewan melalui
sifat-sifatnya yang positif seperti: keberanian singa dan beruang;
kegigihan dan keuletan macan saat berkelahi; kekompakkan serigala saat
menyerbu; gotong-royong semut; kesetiaan dan amanah anjing; kesabaran keledai; ketabahan dan ketegaran
unta; cemburunya merpati jantan; Pengabdian dan kesetiakawanan kuda.
Hal yang paling gampang kita tiru dari hewan adalah contohlah lebah, ia makan
yang baik-baik (tidak mau sembarang makan) sehingga mampu menghasilkan sesuatu
yang baik untuk makhluk yang lain.
Selanjutnya sudahkah
pelajaran positif dari hewan ini kita praktekkan dalam kehidupan sehari-hari?
Untuk itu perhatikanlah dengan
seksama surat Al A’raaf (7) ayat 179 yang kami kemukakan berikut ini: “Dan sesungguhnya Kami jadikan
untuk isi neraka Jahannam kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai
hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka
mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda
kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya
untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan
mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.(surat Al A’raaf (7) ayat 179)”. Bayangkan Allah SWT mempersamakan
manusia dengan binatang ternak bahkan lebih sesat lagi dari binatang ternak
kepada manusia-manusia yang kondisinya sebagai berikut:
a. Sudah diberi hati nurani tempat diletakkanya af’idah
(perasaan) dan iradat ser-ta pemahaman, tetapi tidak bisa mempergunakannya untuk
memahami apa-apa yang dikehendaki Allah SWT;
b. Sudah diberi mata dan juga penglihatan, tetapi tidak
dipergunakannya untuk melihat tanda-tanda kekuasaan Allah;
c. Sudah diberi telinga dan juga pendengaran, tetapi
tidak dipergunakannya untuk mendengarkan ayat-ayat Allah.
Semoga kita yang telah tahu diri yang sesungguhnya tidak mengalami hal
yang kami kemukakan di atas.
Selain dari pada itu, berdasarkan surat Al Furqaan (25) ayat 44 berikut
ini: “atau
apakah kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau memahami. Mereka
itu tidak lain hanyalah seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat
jalannya (dari binatang ternak itu)”. Dikemukakan bahwa Allah SWT menyamakan manusia dengan binatang ternak
karena manusia memang sama tingkah laku dan perbuatannya dengan binatang
ternak. Apa buktinya? Lihatlah binatang ternak, ia mempunyai manfaat, ia
memiliki kelebihan yang ada di dalam dirinya, akan tetapi binatang ternak
tersebut tidak dapat mempergunakan atau memakai kelebihan itu untuk kepentingan
dirinya sendiri atau mengambil manfaat atas kelebihan yang diberikan oleh Allah
SWT untuk keselamatan dirinya sendiri. Apa contohnya? Lihatlah sapi dan kambing
yang menghasilkan susu namun ia tidak dapat mengambil manfaat susunya sendiri
untuk kepentingan dirinya sendiri. Demikian pula dengan lebah yang menghasilkan
madu, dimana madunya justru bermanfaat bagi manusia.
Bayangkan manusia dikatakan oleh Allah SWT sebagai zhalim lagi bodoh,
sebagaimana dikemukakan dalam surat Al Ahzab (33) ayat 72 berikut: “Sesungguhnya Kami telah menawarkan amanat
kepada langit, bumi dan gunung gunung, tetapi semuanya enggan untuk memikul
amanat itu dan mereka khawatir tidak akan melaksanakannya (berat), lalu
dipikullah amanat itu oleh manusia. Sungguh, manusia itu sangat zalim dan
sangat bodoh.” Bayangkan manusia
dikatakan oleh Allah SWT sebagai dzalim lagi bodoh. Hal ini dikarenakan hanya
manusia sajalah yang memiliki amanah yang 7 secara lengkap, hanya manusia
sajalah yang memiliki hubbul yang 7 dan hanya manusia sajalah yang memiliki
hati nurani tempat diletakkannya af’idah (perasaan) dan kehendak, yang
kesemuanya berasal dari Allah SWT.
Namun kita tidak mampu mempergunakan apa yang diberikan oleh Allah SWT
sesuai dengan kehendak Allah SWT yang tercermin dari perbuatan yang kita
lakukan berkese-suaian dengan kehendak syaitan. Dan jika kita tidak mau
dipersamakan dengan binatang ternak, dan juga diberi label dzalim lagi bodoh,
padahal aslinya adalah makhluk yang terhormat, jangan pernah serahkan
pengelolaan atas Amanah yang 7 dan Hubbul yang 7 dan juga hati nurani kepada jasmani. Namun
pergunakanlah Amanah yang 7 dan Hubbul yang 7 dan juga hati nurani di dalam koridor Nilai-Nilai Kebaikan yang
sesuai dengan kehendak Allah SWT.
2. Jiwa Amarah. Untuk dapat menggambarkan Jiwa Amarah di dalam diri manusia, contohnya
ada di dalam surat Yusuf (12) ayat 23-28
berikut ini: Dan wanita (Zulaikha) yang
Yusuf tinggal di rumahnya menggoda Yusuf untuk menundukkan dirinya (kepadanya)
dan Dia menutup pintu-pintu, seraya berkata: "Marilah ke sini." Yusuf
berkata: "Aku berlindung kepada Allah, sungguh tuanku telah memperlakukan
aku dengan baik." Sesungguhnya orang-orang yang zalim tiada akan
beruntung. Sesungguhnya wanita itu telah bermaksud (melakukan perbuatan itu)
dengan Yusuf, dan Yusufpun bermaksud (melakukan pula) dengan wanita itu
andaikata Dia tidak melihat tanda (dari) Tuhannya. Demikianlah, agar Kami
memalingkan dari padanya kemungkaran dan kekejian. Sesungguhnya Yusuf itu
Termasuk hamba-hamba Kami yang terpilih. Dan keduanya berlomba-lomba menuju pintu
dan wanita itu menarik baju gamis Yusuf dari belakang hingga koyak dan
Kedua-duanya mendapati suami wanita itu di muka pintu. wanita itu berkata:
"Apakah pembalasan terhadap orang yang bermaksud berbuat serong dengan
isterimu, selain dipenjarakan atau (dihukum) dengan azab yang pedih?"
Yusuf berkata: "Dia menggodaku untuk menundukkan diriku (kepadanya)",
dan seorang saksi dari keluarga wanita itu memberikan kesaksiannya: "Jika
baju gamisnya koyak di muka, Maka wanita itu benar dan Yusuf Termasuk
orang-orang yang dusta. Dan jika baju gamisnya koyak di belakang, Maka wanita
Itulah yang dusta, dan Yusuf Termasuk orang-orang yang benar." Maka
tatkala suami wanita itu melihat baju gamis Yusuf koyak di belakang berkatalah
dia: "Sesungguhnya (kejadian) itu adalah diantara tipu daya kamu,
Sesungguhnya tipu daya kamu adalah besar."
Ayat di atas ini, menceritakan
tentang Zulaikha, istri dari pembesar kerajaan yang hendak mempergunakan hubbul
syahwat di luar nilai-nilai kebaikan sehingga ia ingin melampiaskan hubbul syahwatnya kepada Nabi Yusuf a.s (yaitu anak
angkatnya sendiri, yang juga dibesarkan oleh dirinya sendiri). Kondisi ini
membuat Zulaika berusaha dengan berbagai macam cara untuk mendapatkan Nabi
Yusuf as, tanpa memikirkan baik dan buruk dari perbuatan yang akan dilakukannya
tersebut.
Adanya hasrat untuk melampiaskan hasrat dari hubbul syahwat kepada Nabi
Yusuf as, mendorong Zulaikha bertindak dan berbuat dengan mempergunakan Amanah
yang 7 yang dimilikinya tanpa menghiraukan kedudukannya sendiri, tanpa
menghiraukan siapa yang akan diajaknya melampiaskan hubbul syahwat, tanpa
menghiraukan lagi martabat suaminya, sehingga yang ada di dalam diri Zulaikha
hanyalah keinginan untuk berbuat sesuatu atau keinginan untuk menyuruh orang
lain berbuat sesuatu bersama dirinya di luar koridor nilai-nilai kebaikan,
dalam hal ini adalah memenuhi kehendak dari hubbul syahwatnya yang tidak sesuai
dengan syariat yang berlaku, sebagaimana firmanNya berikut ini: “Dan aku tidak membebaskan
diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada
kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (surat
Yusuf (12) ayat 53)”.
Sekarang timbul pertanyaan, apa yang menyebabkan jiwa amarah timbul dalam
diri manusia? Timbulnya jiwa amarah dalam diri yang diakibatkan oleh tindakan
manusia itu sendiri yang memperalat Amanah
yang 7 serta hati ruhani untuk memenuhi hasrat hubbul syahwat untuk kepentingan
sesaat, di luar batas kepantasan dan kepatutan guna memenuhi kenikmatan
sementara, tanpa memikirkan dampak jangka panjang dari apa yang diperbuatnya
sehingga hasil usaha yang diperbuat akan nampak mewah dalam sementara waktu
atau sukses di dalam pandangan manusia tetapi gagal dalam panda-ngan Allah SWT
serta yang mengakibatkan hati dipenuhi oleh noktah hitam akibat perbuatan dosa.
Di dalam kehidupan sehari-hari banyak contoh yang dapat dijadikan
pelajaran tentang jiwa amarah akibat manusia yang hanya memperturutkan hubbul
melalui penggunaan Amanah yang 7 secara negatif dengan mengabaikan af’idah,
atau perasaan yang diletakkan di dalam hati nurani sehingga manusia berbuat
sesuatu yang tidak dibenarkan oleh Allah SWT yang akan membawa malapetaka bagi
kehidupan manusia, seperti : (1) Ijasah Palsu, Menyebarkan Berita Bohong,
Susuk, Pelet, akibat memenuhi Hubbul Maadah; (2) Selingkuh,
Hidup bersama tanpa tali pernikahan, homoseks, lesbian, akibat dari memenuhi
Hubbul Syahwat; (3) Korupsi, Manipulasi, serta KKN akibat dari
memenuhi Hubbul Maal; (4) Narkoba,
Judi, pesta pora akibat dari memenuhi Hubbul Jam’i; (5) Kudeta,
Siap Menang tidak Siap Kalah, Kampanye Hitam akibat dari memenuhi Hubbul
Riasah; (6) KKN, menipu, mencuri, akibat dari memenuhi
Hubbul Hurriyah; (7) Plagiat, Ijasah Palsu akibat dari memenuhi
Hubbul Istitlaq. Adanya 7 (tujuh) kondisi yang kami kemukakan di
atas ini, dapat dipastikan orang yang melakukan hal tersebut pasti mengabaikan
ketentuan, pasti melanggar norma-norma serta hukum yang berlaku, asal tetap
bisa mempertahankan jabatannya atau asal tetap bisa menikmati apa yang telah
didapatkannya, dengan mengorbankan sesuatu yang baik yang berasal dari Allah
SWT dan yang pasti sesuai dengan kehendak syaitan.
Sebagai abd’ (hamba)-Nya yang juga adalah khalifah-Nya di muka bumi, kita
tidak dibenarkan untuk memiliki kondisi yang kami kemukakan di atas dalam
rangka mencapai suatu tujuan. Hal yang harus kita perhatikan
adalah untuk memperoleh sesuatu yang baik, harus dimulai dari niat yang baik
dibarengi dengan cara yang baik yang sesuai dengan syariat yang berlaku. Dan yang tidak akan mungkin terjadi adalah untuk memperoleh hasil yang
baik dilakukan dengan cara-cara yang tidak baik walaupun niatnya baik.
3. Jiwa Mushawwilah. Untuk dapat menggambarkan Jiwa Mushawwilah di dalam diri manusia, contohnya ada pada surat Thaahaa (20)
ayat 96 berikut ini: “Samiri menjawab: “Aku mengetahui sesuatu yang mereka tidak
mengetahuinya, maka aku ambil segenggam dari jejak rasul lalu aku
melemparkannya, dan demikianlah nafsuku membujukku”.Diceritakan bahwa Samiri dengan kelicikan dan tipu daya yang dilakukannya
bermaksud untuk mempengaruhi umat Nabi Musa as, dalam hal ini adalah Bani
Israil agar kembali menyembah berhala, dalam hal ini menyembah patung emas anak
sapi yang dibuat oleh Samiri sendiri. Dan untuk mencapai tujuan yang diharapkan
oleh Samiri, maka ia melakukan tindakan provokasi kepada umat Nabi Musa as.
atau kepada Bani Israil dengan mengatakan bahwa Nabi Musa as, telah
meninggalkan mereka semua, untuk itu
sebaiknya kita semua kembali lagi menyembah berhala setelah sebelumnya
menyembah Allah SWT.
Upaya Samiri memprovokasi akhirnya berhasil mengajak umat Nabi Musa as,
atau Bani Israil kembali menyembah berhala. Keberhasilan Samiri mempengaruhi
umat Nabi Musa as, atau Bani Israil dikarenakan Samiri mampu mempergunakan
kemampuan Amanah yang 7 yang dimilikinya namun penggunaan Amanah yang 7
tersebut tidak dilandasi dengan niat yang baik. Akan tetapi dengan maksud dan
tujuan yang busuk serta penuh kelicikan yaitu melalui tindakan provokasi mengajak
manusia kembali ke jalan yang sesat setelah mendapatkan atau menyatakan beriman
kepada Allah SWT. Jiwa Mushawwilah adalah bentuk atau kondisi kejiwaan
seseorang dimana manusia yang melakukan hal ini selalu berbuat dalam keadaan
tenang dan tidak emosional namun dilandasi dengan niat busuk, penuh tipu daya,
iri, dengki serta penuh kelicikan sehingga segala apa yang dikerjakan akan
terlihat halus namun akibat yang ditimbulkan sangat luar biasa. Sebagaimana
firman Allah SWT berikut ini: “Sesungguhnya orang-orang yang
kembali ke belakang (kepada kekafiran) sesudah petunjuk itu jelas bagi mereka,
syaitan telah menjadikan mereka mudah (berbuat dosa) dan memanjangkan
angan-angan mereka”. (surat Muhammad (47) ayat 25)”.
Adapun ciri utama dari orang yang mempunyai jiwa mushawwilah (jiwa yang
licik) adalah di dalam bertindak, atau berbuat, atau berkehendak, atau berfikir
selalu di dalam ketenangan, penuh perhitungan dan berhat-hati di dalam berbuat,
atau bersifat munafik dikarenakan niat atau maksud dan tujuan dari itu semua
untuk menjatuhkan orang lain, untuk menipu orang lain, untuk berbuat kejahatan,
untuk bermufakat di dalam kejahatan, untuk melakukan kolusi dan lain sebagainya
sehingga mendatangkan keuntungan bagi pelaku itu sendiri dan merugikan orang
lain, merugikan masyarakat bahkan bangsa dan negara. Timbul pertanyaan,
bagaimanakah prosesnya sampai jiwa mushawwilah terjadi di dalam diri manusia?
Jiwa Mushawwilah terjadi akibat dari manusia yang hanya mementingkan jasmani
atau mendahulukan kepentingan jasmani dibandingkan kepentingan ruh dengan
memperalat dan mendayagunakan Amanah yang 7 melalui cara-cara yang baik tetapi
dilandasi dengan niat atau maksud dan tujuan yang jelek, cara-cara yang buruk,
penuh kelicikan atau berada di dalam koridor nilai-nilai keburukan melalui
cara-cara fitnah, menyebarkan berita bohong, memperalat manusia untuk
mencapai maksud dan tujuan yang di
inginkannya, yang tentunya mengabaikan af’idah atau perasaan yang ada di dalam
hati nurani.
Contoh jiwa mushawwilah (jiwa yang licik) dalam kehidupan sehari-hari
adalah kejahatan kerah putih (white collar crime) dan berbuat korupsi.
Seseorang yang ingin melaksanakan dan mensukseskan kejahatan kerah putihnya
(korupsi), biasanya ia akan mempergunakan kelebihan-kelebihan yang dimilikinya
terutama yang berasal dari Amanah yang 7 tetapi dengan niat untuk menipu atau
untuk mengakali orang lain demi keuntungan dan kepentingan diri sendiri ataupun
kelompoknya saja, tanpa pernah memperdulikan kepentingan orang lain, masyarakat
dan bangsa serta negara.
Manusia yang memiliki jiwa mushawwilah biasanya akan terlihat sopan lagi
santun, pendiam, mempunyai pengetahuan luas, akan tetapi kesemuanya dibalut di
dalam kemunafikan, kepura-puraan, kelicikan dalam rangka menutupi atau
mengelabui niat jahat yang akan dilakukannya, dan juga karena Af’idah
(perasaannya) sudah hilang ditelan oleh niat jahat. Selanjutnya jika saat ini
kita mengalami hal tersebut atau jika saat ini kita menjadi pelaku kejahatan
kerah putih, tolong renungkan apa yang
akan kami kemukakan di bawah ini, yaitu: (1) Barangsiapa
mengintrospeksi diri sendiri dia pasti akan beruntung; (2) Barangsiapa
lupa diri dia akan merugi; (3)
Barangsiapa mengantisipasi akibat
dari segala perbuatannya dia akan selamat; (4) Barangsiapa yang
memperturutkan ahwanya (hawa nafsunya) dia akan sesat dan disesatkan. Untuk itu jika kita ingin berbuat sesuatu
pikirkanlah masak-masak baik dan buruk dari tindakan yang akan kita ambil,
tetapi tidak terbatas hanya untuk diri sendiri melainkan juga untuk orang
banyak. Hal ini dikarenakan waktu tidak bisa diputar ulang serta menyesal tidak
bisa dilakukan di muka.
Jiwa fujur, yang terdiri dari jiwa hewani, jiwa amarah dan jiwa
mushawwilah merupakan bentuk kejiwaan manusia yang paling sesuai, yang paling
pas, yang paling diminati, dan yang paling disukai serta yang paling mirip
dengan perilaku syaitan, dan yang paling dikehendaki oleh syaitan serta yang
paling mulia dihadapan syaitan. Dan untuk itu ketahuilah
bahwa manusia-manusia yang sukses melaksanakan, melakukan, menjalankan,
mengamalkan jiwa fujur di dalam kehidupan sehari-harinya, akan diberikan hadiah
dan penghargaan oleh Allah SWT berupa tempat kembali yaitu kampung kebinasaan
dan kesengsaraan. Jika
sampai manusia ditempatkan dan dipulangkan ke kampung kesengsaraan dan
kebinasaan, yang pasti adalah syaitan sangat senang, syaitan sangat gembira,
syaitan sangat bersuka cita sebab ia mendapatkan teman dan sahabat yang baik di
dalam mengarungi kehidupan di neraka jahannam.
Untuk itu jadikan kewaspadaan bahwa syaitan asalnya
dari api dan jika syaitan kembali ke api, maka hal tersebut bukanlah menjadi
sebuah persoalan bagi syaitan dikarenakan syaitan pulang kampung. Neraka adalah
kampung halaman syaitan yang asli. Sekarang beranikah
kita yang telah mengaku sebagai khalifah di muka bumi untuk pulang kampung
bersama syaitan ke neraka Jahannam kelak dan jika kita tidak berani dan tidak
mau pulang kampung ke neraka Jahannam maka taubatlah dengan taubatan nasuha
saat ini juga sebelum ruh tiba dikerongkongan, karena sampai disitulah
kesempatan untuk bertaubat berlaku kepada setiap manusia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar