Apa itu shalat? Shalat adalah berkomunikasi langsung dengan Allah SWT
tanpa melalui perantara siapapun juga sehingga shalat merupakan kesempatan bagi
diri kita untuk melakukan komunikasi langsung dengan Allah SWT tanpa perantara. Apa dasarnya?
Berdasarkan surat Al Israa' (17) ayat 110 yang kami kemukakan berikut ini: “Katakanlah:
"Serulah Allah atau serulah
Ar-Rahman. dengan nama yang mana saja kamu seru, Dia mempunyai Al
asmaaul husna (nama-nama yang terbaik) dan janganlah kamu mengeraskan suaramu
dalam shalatmu dan janganlah pula merendahkannya[870] dan carilah jalan tengah
di antara kedua itu".
[870]
Maksudnya janganlah membaca ayat Al Quran dalam shalat terlalu keras atau
terlalu perlahan tetapi cukuplah sekedar dapat didengar oleh ma'mum.
Ayat di atas mengemukakan bahwa sewaktu diri kita mendirikan shalat maka kita
tidak diperkenankan untuk mengeraskan suara dan jangan pula terlalu merendahkan
suaramu akan tetapi pilihlah jalan tengah diantara keduanya. Hal ini menjadi
penting kita pahami karena berkomunikasi dengan Allah SWT tidak bisa
dilaksanakan secara apa adanya.
Untuk bisa melakukan komunikasi yang efektif dengan sesama manusia saja
komunikasi tidak bisa dilakukan dengan seenak-enaknya saja. Komunikasi harus ada tata caranya. Komunikasi harus ada etikanya.
Komunikasi harus bersifat dua arah. Hal yang samapun
berlaku pada saat diri kita melakukan komunikasi dengan Allah SWT melalui shalat
yang kita dirikan.Untuk melakukan komunikasi dengan Allah SWT tidak
bisa disamakan dengan komunikasi yang kita lakukan di dalam kehidupan
sehari-hari, dikarenakan kondisi dan kedudukan diri kita tidak sebanding dengan
kondisi dan kedudukan Allah SWT serta diri kitalah yang sangat membutuhkan
komunikasi dengan Allah SWT. Adanya kondisi ini berarti
antara diri kita dengan Allah SWT ada sebuah jurang perbedaan yang sangat dalam,
sehingga kita tidak bisa menyamakan posisi diri kita dengan Allah SWT sehingga
diri kita tidak bisa mensejajarkan diri kita dengan Allah SWT saat mendirikan shalat,
ataupun saat melakukan komunikasi dengan Allah SWT. Berdasarkan keadaan ini maka kitapun tidak bisa seenaknya saja berkomunikasi dengan Allah SWT,
kita harus tahu adab dan sopan santun saat berkomunikasi dengan Allah SWT.
Untuk itu jangan pernah berharap dapat berkomunikasi dengan Allah SWT
secara langsung jika kita tidak pernah mau melaksanakan perintah mendirikan
shalat yang sesuai dengan kehendak pemberi perintah mendirikan shalat, atau
memenuhi segala apa yang dikehendaki oleh Allah SWT melalui perintah mendirikan
shalat. Adanya kondisi ini berarti kita tidak bisa serta merta dapat berkomunikasi
dengan Allah SWT sebelum diri kita mampu memenuhi segala syarat dan ketentuan
yang telah ditetapkan oleh Allah SWT.
Sekarang mari kita perhatikan dengan baik hadits yang akan kami kemukakan
berikut ini: “Abu Hurairah ra
berkata, Nabi SAW bersabda, Allah Ta'ala berfirman: Apabila hamba-Ku ingin
menemui-Ku. Akupun ingin menemuinya dan bila ia enggan menemui-Ku, Akupun
enggan menemuinya. (Hadits Qudsi Riwayat
Bukhari, Malik dan Annasa'ie dari Abu Hurairah; 272:17). Hadits ini mengemukakan bahwa Allah SWT bertindak sesuai dengan apa yang
kita lakukan, atau Allah SWT berbuat
sesuai dengan apa yang kita perbuat, yaitu Apabila hamba-Ku ingin menemui-Ku.
Akupun ingin menemuinya dan bila ia enggan menemui-Ku, Akupun enggan
menemuinya, demikian seterusnya. Sebagai abd’
(hamba)-Nya yang sekaligus khalifah-Nya di muka bumi yang sangat membutuhkan
shalat, bersungguh-sungguhlah kita saat berkomunikasi langsung dengan Allah SWT
maka Allah SWT pun akan bersungguh-sungguh pula berkomunikasi dengan diri kita.
Selanjutnya dengan adanya perintah mendirikan shalat sebagai sarana untuk
berkomunikasi dengan Allah SWT, ini berarti jarak dan juga kualitas dari
komunikasi dengan Allah SWT hanya terhijab, atau sangat tergantung sejauh mana
diri kita mau memenuhi, mau melaksanakan perintah mendirikan shalat yang sesuai
dengan kehendak Allah SWT. Semakin baik kualitas shalat
yang kita dirikan, semakin baik pula komunikasi yang kita laksanakan kepada Allah
SWT. Demikian pula sebaliknya, semakin jelek kualitas shalat yang kita dirikan,
semakin jelek pula kualitas komunikasi yang kita laksanakan kepada Allah SWT.
Selain daripada itu, dibalik perintah mendirikan shalat terdapat maksud
dan tujuan tertentu yang lainnya yaitu Allah SWT hendak menjadikan shalat yang
kita dirikan sebagai sarana, atau alat bantu untuk menyeru, untuk memanggil,
untuk mengajukan doa dan permohonan kepada Allah SWT. Ini berarti jika kita tidak mau melaksanakan perintah mendirikan shalat
dengan baik dan benar maka jangan pernah berharap kita dapat melaksanakan
komunikasi dengan Allah SWT dengan baik
dan benar pula.
Selanjutnya, untuk dapat memperoleh sambungan komunikasi yang yang telah disiapkan oleh operator selular, kita harus memenuhi 4(empat) buah ketentuan secara sekaligus, yaitu kita harus memiliki handphone; yang kedua kita harus mengaktifasi kartu; yang ketiga kita harus mengisi pulsa dan yang ke empat kita harus selalu menjaga battery handphone agar selalu terjaga dari waktu ke waktu. Adanya kondisi ini terlihat dengan jelas bahwa segala fasilitas yang dimiliki oleh operator selular tidak serta merta akan diberikan kepada diri kita sebelum diri kita memenuhi syarat dan ketentuan yang telah ditetapkan oleh operator selular.
Sekarang apa jadinya
jika kita ingin melaksanakan komunikasi via handphone, tetapi handphone tidak pernah kita miliki, atau kita memiliki
handphone tetapi prasyarat yang diminta oleh operator selular tidak pernah kita
penuhi, atau jika kita memiliki handphone tetapi batterynya soak? Jika ini yang
terjadi maka jangan pernah berharap kita dapat melakukan komunikasi dengan
orang lain via handphone atau memperoleh segala fasilitas yang telah
dipersiapkan oleh operator selular. Jika kondisi ini berlaku kepada pengguna
handphone, lalu adakah syarat untuk berkomunikasi langsung dengan Allah SWT? Adapun
salah satu syarat untuk berkomunikasi dengan Allah SWT ada pada surat Al-A'raaf
(7) ayat 55 yang kami kemukakan berikut ini: “Berdoalah kepada Tuhanmu dengan berendah diri dan suara yang lembut.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas[549]. (surat Al A'raaf (7) ayat 55)
[549] Maksudnya: melampaui batas tentang yang
diminta dan cara meminta.
Salah satu syarat berkomunikasi dengan Allah SWT saat mendirikan shalat,
ataupun saat berdoa, dapat kami kemukakan sebagai berikut : Alla SWT itu dekat dan jika Allah SWT sudah dekat berarti kita
diharuskan oleh Allah SWT untuk berkata-kata dengan lemah lembut, bersuara
rendah lagi merendahkan diri yang diiringi dengan Af’idah, atau Perasaan saat
berkomunikasi dengan Allah SWT. Hal yang harus kita perhatikan adalah Allah SWT
adalah Maha sedangkan diri kita Hina sehingga kita harus sopan, kita harus
santun, kita harus merendahkan diri saat
berkomunikasi dengan Allah SWT karena diri kitalah yang sangat membutuhkan Allah
SWT dan juga kita tidak sebanding dengan Allah SWT.
Sekarang apa jadinya jika kita berkomunikasi dengan Allah SWT yang sudah
dekat dengan diri kita, tetapi justru kita mengeraskan suara, justru kita
terburu-buru saat berkomuniklasi dengan Allah SWT, kita tidak sabaran saat
berkumunikasi dengan Allah SWT, atau malah mempergunakan teknologi pengeras
suara saat berkomunikasi dengan Allah SWT? Jika ini yang terjadi pada diri kita
berarti kita telah keluar dari syarat dan ketentuan yang telah ditetapkan
oleh Allah SWT, atau kita telah
menganggap bahwa Allah SWT itu jauh, kita telah menganggap bahwa Allah SWT
tidak bisa mendengar, sehingga kita harus bersuara dengan keras saat
berkomunikasi dengan Allah SWT. Hasil akhir dari ini semua adalah komunikasi
yang kita lakukan, atau shalat yang kita dirikan belum sesuai dengan kehendak Allah
SWT. Sehingga Doa yang kita mohonkan belum sesuai dengan syarat dan ketentuan Allah
SWT.
Selain daripada itu, jika kita berpatokan, atau berpedoman dengan hadits
yang kami kemukakan berikut ini: “Abu Hurairah ra, berkata: Nabi SAW bersabda: Allah ta'ala berfirman:
Aku telah membagi Shalat menjadi dua bagian diantara Aku dan hamba-Ku dan Aku
beri hamba-Ku apa yang ia minta. Bila ia mengucapkan "Alhamdulillahi
Rabbil Alamin", berfirman Allah: Hamba-Ku telah mensyukuri-Ku dan bila
mengucapkan "Arrahmani Rahiem" berfirmanlah Allah: Hamba-ku yang
telah memuji-Ku dan bila ia mengucapkan "Maliki yau middin" berfirman
Allah: Hamba-Ku telah mengagungkan-Ku. Bila ia mengucapkan "Iyyaka na'budu
dan Iyyakanasta'in" berfirmanlah Allah: "Inilah persoalan antara Aku
dan Hamba-Ku dan Aku beri hamba-Ku apa yang ia minta" Dan mengucapkan
"Ihdinash shiratal mustaqiem dan seterusnya" berfirman Allah: Inilah
melulu untuk hamba-Ku dan Aku beri hamba-Ku apa yang ia minta. (Hadits Qudsi Riwayat Ahmad, Abu Dawud, Atthirmidzi, Annasa'ie, Ibnu
Hibban dan Ibnu Majah; 272:115)
Berdasarkan ketentuan hadits di atas ini, kita tidak bisa melaksanakan komunikasi dengan Allah SWT
secara asal-asalan, atau buru-buru, atau secara acak-acakan serta tanpa
perasaan. Sedangkan isi dari hadits di atas ini mengharuskan
diri kita bersikap merendahkan diri kepada Allah SWT yaitu dengan membaca surat
Al Fathihah dengan tartil dan tajwid yang benar serta penuh perasaan. Apa
dasarnya? Hal ini dikarenakan surat Al
Faatihah yang kita katakan kepada Allah SWT adalah kalam Allah SWT yang kita
katakan kembali kepada Allah SWT yang di dalamnya terdapat doa dan pengakuan
kita kepada Allah SWT.
Sekarang apa jadinya jika surat
Al Faatihah yang kita baca saat mendirikan shalat dilakukan
terburu-buru, dilakukan dengan satu napas, dilakukan dengan tidak mengindahkan
tartil dan tajwid yang benar serta tanpa perasaan? Jika ini yang terjadi berarti maksud dan tujuan yang terdapat di balik
bacaan Al Faatihah yang isinya adalah dialog, yang isinya adalah komunikasi
serta yang isinya adalah permohonan diri kita kepada Allah SWT, tidak akan
pernah tercapai karena diri kita tidak tahu adab, tidak tahu sopan santun,
tidak tahu tata krama, di dalam berkomunikasi langsung dengan Allah SWT.
Selanjutnya seperti apakah cara bekerjanya manfaat berkomunikasi dengan Allah
SWT yang terdapat di balik perintah mendirikan shalat sehingga kita dapat
merasakan hikmah yang hakiki yang terdapat di balik perintah mendirikan shalat?
Mendirikan shalat berarti kita berkomunikasi dengan
Allah SWT, dengan berkomunikasi dengan Allah SWT berarti kita telah melaporkan
segala rintangan, segala hambatan, segala persoalan kepada Allah SWT. Adanya
laporan minimal 5 (lima) kali yang kita lakukan kepada Allah SWT maka tindakan
ini dapat diartikan sebagai tindakan untuk
meminta pertolongan kepada Allah SWT, atau meminta Allah SWT turut
bertanggungjawab kepada diri kita. Yang pada
akhirnya akan memudahkan diri kita selamat sampai di tujuan, selamat dari
gangguan ahwa (hawa nafsu) dan syaitan serta mampu menjaga kefitrahan diri
tetap utuh dari waktu ke waktu.
Sebagai abd’ (hamba)-Nya yang sekaligus khalifah-Nya di muka bumi,
butuhkah kita berkomunikasi dengan Allah SWT melalui ibadah shalat yang kita
dirikan? Sebagai abd’ (hamba)-Nya yang sekaligus perpanjangan
tangan Allah SWT di muka bumi, akan sangat janggal, akan sangat aneh, akan
sangat lucu, jika kita tidak mau melakukan komunikasi dengan Allah SWT, selaku
pengutus, selaku pencipta diri kita sehingga diri kita ada di muka bumi ini. Hal lain kenapa kita harus berkomunikasi dengan Allah
SWT melalui ibadah shalat karena kita tidak bisa sendirian menghadapi ahwa
(hawa nafsu) dan juga tidak bisa
sendirian mengalahkan ayaitan yang jumlahnya sudah melebihi jumlah manusia. Jika ini kondisinya berarti hanya diri kita sendirilah yang tahu secara
pasti apakah kita membutuhkan komunikasi dengan Allah SWST ataukah tidak, dan
yang pasti Allah SWT tidak membutuhkan komunikasi dengan diri kita.
Agar shalat yang kita
dirikan dapat bermakna berkomunikasi dengan Allah SWT secara optimal yang
sesuai dengan syariat sehingga kita mampu mencapai hakekat, ada baiknya kita
bercermin kepada shalat yang kita dirikan, yakni:
1. Bila engkau anggap shalat itu hanya
sebagai penggugur kewajiban, maka engkau pasti akan terburu-buru mendirikannya
karena shalat adalah beban yang harus diselesaikan sehingga shalat berlalu tanpa
kesan.
2. Bila engkau anggap shalat hanya
sebagai sebuah kewajiban semata, maka kau ti-dak akan menikmati dan merasakan
hadirnya Allah SWT saat kau mendirikannya sehingga yang ada hanyalah rasa dari
lepasnya kewajiban.
3. Bila engkau anggap shalat itu hanya
untuk memperoleh pahala semata, maka kau akan melaksanakan shalat seperti
ibadahnya seorang pedagang, yang selalu hitung-hitungan dengan Allah
SWT dan jika ini yang terjadi maka Allah
SWT pun akan hitungan-hitungan pula dengan dirimu.
4. Ingatlah perintah mendirikan shalat
yang telah diperintahkan bukanlah tujuan akhir dari perintah itu sendiri, akan
tetapi sarana bagi dirimu yang diperintahkan shalat untuk merasakan rasa
hadirnya Allah SWT di dalam kehidupanmu.
Untuk itu jadikan shalat sebagai sebuah kebutuhan bagi diri, keluarga
serta anak keturunanmu.
LALU…………………………………………...
5. Berharaplah disetiap shalat yang
engkau dirikan menjadi sebuah pertemuan yang engkau nanti-nantikan dengan Allah
SWT.
6. Berharaplah shalat yang engkau
dirikan itu sebagai cara terbaik untuk bercerita dengan Allah SWT.
7. Berharaplah shalat yang engkau
dirikan itu sebagai cara terbaik untuk
berkomu-nikasi dengan Allah SWT
8. Berharaplah shalat yang engkau
dirikan itu sebagai kondisi terbaik untuk kau ber-keluh kesah dengan Allah SWT.
9. Berharaplah shalat yang engkau
dirikan itu sebagai cara terbaik untuk merasakan betapa dekatnya Allah SWT
dengan dirimu sehingga mampu merasakan nikmatnya bertuhankan kepada Allah SWT.
AKHIRNYA…………………………………….
10. Jika engkau mampu melaksanakan hal-hal
di atas, yang menjadi tujuan dari engkau mendirikan shalat berarti engkau harus
menjadikan shalat yang engkau dirikan menjadi sebuah kebutuhan yang hakiki bagi
dirimu yang tidak lain adalah Ruh. (Ingat, jati diri manusia yang sesungguhnya
adalah Ruh, Ruh adalah bagian dari Nur Allah SWT dan Ruh selalu ingin bersama
Allah SWT)
SELANJUTNYA…….………………………………...
11. Bayangkan ketika "adzan
berkumandang" tangan Allah SWT melambai kepadamu untuk mengajak engkau
untuk lebih dekat kepada-Nya selanjutnya rasakanlah kemenangan yang telah Allah
SWT persiapkan untukmu.
12. Bayangkan ketika engkau
"Takbir Allaahu Akbar seraya mengangkat ke dua belah tangan" Allah
SWT melihatmu lalu Allah SWT tersenyum
untuk mu dan Allah SWT bangga terhadapmu selanjutnya jadilah kebanggaan Allah
SWT.
13. Bayangkan ketika engkau “Membaca
Doa Iftitah” Allah SWT mendengarkan dengan takjub pernyataan sikapmu
selanjutnya jagalah sikapmu.
14. Bayangkan ketika engkau “Membaca
Surat Al Fatehah (dan setiap bacaan Shalat)” engkau mengatakan kembali kepada
Allah SWT kata-kata Allah SWT kepada Allah SWT lalu rasakan rasa berkomunikasi
melalui bahasa Allah SWT yang memperguna-kan huruf Arab.
15. Bayangkan ketika engkau "Rukuk
seraya mengatakan Maha Suci Engkau Ya Allah" lalu Allah SWT menopang
badanmu hingga engkau tidak terjatuh, selanjutnya Engkau merasakan damai dalam
sentuhan-Nya.
16. Bayangkan ketika engkau “I’tidal
seraya mengangkat kedua belah tangan” seraya mengatakan Sami’allahu liman
hamidah, Allah SWT mendengarkan orang yang memuji-Nya selanjutnya jangan pernah
menyembunyikan sesuatu apapun kepada-Nya.
17. Bayangkan ketika engkau “Sujud
seraya mengatakan Maha Suci Engkau Ya Allah" lalu Allah SWT mengelus kepalamu. Lalu
Dia berbisik lembut di kedua telingamu: "Aku mencintaimu wahai
hamba-Ku"
18. Bayangkan ketika engkau "duduk
diantara dua sujud seraya mengajukan per-mohonan Ya Allah, ampunilah aku,
kasihanilah aku, cukupilah aku, tunjukilah aku, berilah aku rezeki" Allah
SWT berdiri gagah di depanmu, lalu mengatakan: "Aku tak akan diam apabila
ada yang mengusikmu dan siap memberikan apapun yang engkau ajukan".
19. Bayangkan ketika engkau “duduk
Tasyahud seraya membaca doa yang dilanjutkan dengan membaca shalawat” Allah SWT
mengerti dan paham betul dengan apa yang kita rasakan dan kita butuhkan.
20. Bayangkan ketika kau memberi
"Salam" Allah SWT menjawab “Salam” pula kepada diri kita, selanjutnya engkau seperti manusia berhati
bersih setelah itu.
SUBHANALLAH, SUBHANALLAH, SUBHANALLAH……………………..
21.Sungguh nikmat shalat yang kita
dirikan sebagai sebuah kebutuhan diri
yang dilaksanakan ikhlas karena Allah SWT semata.
22. Beruntunglah orang-orang yang mampu
mendirikan Shalat sebagai sebuah ke-butuhan. Semoga diri kita, keluarga kita,
anak keturunan kita mampu merasakan nikmatnya bertuhankan kepada Allah SWT
melalui shalat yang kita dirikan.
23. Rasakan pembaharuan jati diri
melalui shalat adalah mi’rajnya orang mukmin sehingga jadilah pribadi-pribadi
yang perilaku dan perbuatannya selalu berada di dalam kehendak Allah SWT.
24. Jadilah pribadi-pribadi yang selalu
memelihara shalat dengan selalu bersikap men-dahulukan yang utama lalu
menentukan prioritas. Utamakan shalat. Dahulukan shalat, bila telah tiba
waktunya lalu berani mengatakan tidak terhadap hal-hal yang tidak penting.
25. Jadilah pribadi-pribadi tangguh
dalam menghadapi cobaan yang menghadang dengan tidak suka mengeluh selain
mengeluh hanya kepada Allah SWT.
26. Lalu jadilah pribadi-pribadi yang
selalu berbuatlah lebih banyak. Berpikir Lebih Banyak. Bekerja Lebih Banyak.
Belajar Lebih Banyak serta selalu Memberi Lebih Banyak dibandingkan dengan hari
kemarin.
27. Ya Allah Ampunilah dosa dan
kesalahan kami yang tak pernah memperhatikan kesempurnaan Shalat yang kami
dirikan. Amiin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar