Saat ini kita sudah memiliki jasmani yang
berasal dari sari pati tanah dan juga memiliki ruh yang berasal dari Allah SWT.
Timbul
pertanyaan, apakah dengan telah dimilikinya jasmani dan ruh maka sudah cukup
bagi diri kita sukses melaksanakan tugas sebagai abd’ (hamba) yang juga
khalifah di muka bumi? Adanya jasmani dan ruh pada diri kita baru
menghantarkan diri kita sebagai manusia. Akan tetapi untuk menjadikan diri kita sukses menjadi abd’
(hamba)-Nya yang juga khalifah-Nya di muka bumi yang sesuai dengan kehendak Allah
SWT sehingga mampu pulang kampung ke syurga, tidaklah cukup hanya mengandalkan serta
bermodalkan jasmani dan ruh semata.
Di lain sisi, saat diri kita menjadi abd’
(hamba)-Nya yang juga khalifah-Nya di muka bumi kita wajib menghambakan diri
kepada Allah SWT selaku Rabb bagi diri kita. Namun kita juga mempunyai musuh
yaitu ahwa (hawa nafsu) dan juga syaitan yang keduanya harus kita kalahkan.
Sebagai wujud tanggung jawab Allah SWT untuk mensukseskan rencana besar penciptaan
manusia di muka bumi serta untuk memudahkan serta melancarkan diri kita menjadi
abd’ (hamba)-Nya yang juga khalifah-Nya di muka bumi, maka Allah SWT memberikan
tambahan ataupun memberikan perlengkapan atau perhiasan kepada manusia selain jasmani
dan ruhani yang telah ada. Lalu apakah yang diberikan Allah SWT itu? Allah SWT memberikan
kepada setiap manusia tanpa terkecuali, dapat kami kemukakan sebagai berikut:
a. Setiap manusia diberikan modal dasar yang berasal dari sifat Ma’ani Allah SWT (seperti sifat qudrat, sifat iradat, sifat kalam, sifat
hayat, sifat ilmu, sifat sami’, sifat bashir) atau yang kami istilahkan dengan Amanah yang 7, yang
kesemuanya akan dimintakan pertanggung jawaban oleh Allah SWT di hari kiamat
kelak.
b. Setiap ruh telah
disibghah atau telah disifati dengan sifat sifat ilahiah yang berasal dari Nama Nama Allah SWT yang indah lagi baik yang
mencerminkan nilai nilai kebaikan. Sedangkan jasmani memiliki sifat sifat
alamiah yang mencerminkan nilai nilai keburukan sehingga pada saat keduanya
bersatu (adanya terjadinya hidup) terjadilah apa yang dinamakan dengan tarik
menarik kepentingan antara ruh dengan kepentingan jasmani.
c. Adanya pertarungan
antara jasmani dengan ruh di dalam diri manusia yang berakibat akan timbulnya
apa yang dinamakan dengan kondisi jiwa manusia, dimana jiwa manusia dapat
digolongkan menjadi 2(dua) yaitu: jiwa
Fujur (seperti jiwa hewani,
jiwa amarah, jiwa mushawwilah) dan jiwa Taqwa (seperti jiwa
lawwamah dan jiwa muthmainnah).
d. Setiap manusia telah
diberikan apa yang dinamakan dengan af’idah
atau perasaan serta akal yang diletakkan di dalam hati nurani.
e. Adanya Hubbul
(keinginan) sebagai energi dan motor penggerak untuk berbuat dan bertindak
seperti Hubbul Syahwat (ingin berhubungan dengan lawan
jenis), Hubbul Hurriyah (ingin
bebas), Hubbul Istitlaq (ingin
tahu), Hubbul Jam’i (ingin
berkumpul), Hubbul Maal (ingin
harta), Hubbul Maadah (ingin
dipuji) dan Hubbul Riasah
(ingin jadi pemimpin).
f. Setiap manusia telah diberikan pula modal berupa waktu
dan seberuntung beruntung-nya manusia adalah orang yang memanfaatkan waktunya
untuk keuntungan dunia dan akhiratnya. Allah SWT berfirman dalam surat Anbiyaa
(21) ayat 34 berikut ini: “Kami tidak menjadikan hidup abadi bagi
seorang manusiapun sebelum kamu (Muhammad); Maka Jikalau kamu mati, Apakah
mereka akan kekal?” setiap manusia tidak ada yang kekal atau abadi
selamanya hidup di dunia ini.
g. Adanya Setan yang selalu menyertai setiap manusia
termasuk juga kepada Nabi dan Rasul dan juga adanya Malaikat pencatat atau
Malaikat Pengawas pada diri setiap manusia. Sebagaimana firmanNya berikut ini: “Barangsiapa yang berpaling
dari pengajaran Tuhan yang Maha Pemurah (AlQuran), Kami adakan baginya syaitan
(yang menyesatkan) Maka syaitan Itulah yang menjadi teman yang selalu
menyertainya. (surat Az Zukhruf (43) ayat 36).” Dan juga berdasarkan firmanNya berikut ini: “Dan datanglah tiap-tiap diri, bersama
dengan dia seorang malaikat, penggiring dan seorang malaikat penyaksi.Yang
menyertai dia berkata (pula): “Ya Tuhan kami, aku tidak menyesatkannya tetapi
dialah yang berada dalam kesesatan yang jauh”. (surat Qaaf (50) ayat 21-27)
h. Setiap manusia tanpa terkecuali dapat dipastikan
memerlukan makanan dan minuman untuk kepentingan jasmani (phisik/jasad). Tanpa
adanya asupan makanan dan minuman bagi kepentingan jasmani, maka phisik/jasad
manusia akan menjadi lemah dan tidak mempunyai tenaga saat menjadi abd’
(hamba)Nya yang juga khalifahNya di muka bumi. Sebagaimana dikemukakan dalam
surat Al Mu’minuun (23) ayat 33 berikut ini: “dan berkatalah pemuka-pemuka
yang kafir di antara kaumnya dan yang mendustakan akan menemui hari akhirat
(kelak) dan yang telah Kami mewahkan mereka dalam kehidupan di dunia:
"(Orang) ini tidak lain hanyalah manusia seperti kamu, Dia Makan dari apa
yang kamu makan, dan meminum dari apa yang kamu minum.”
i. Setiap ruh manusia tanpa terkecuali sudah mengakui
bertuhankan kepada Allah SWT.
Sebagaimana dikemukakan dalam surat Al A’raf (7) ayat 172 berikut ini: “dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan
keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian
terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah aku ini Tuhanmu?"
mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuban kami), Kami menjadi saksi".
(kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan:
"Sesungguhnya Kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini
(keesaan Tuhan)."
Selain daripada itu semua, Allah SWT menciptakan manusia di muka bumi bukan sekedar untuk menciptakan manusia dan juga sekedar adanya regenerasi abd’ (hamba) dan juga khalifah yang ada di muka bumi. Akan tetapi agar kemahaan dan kebesaran Allah SWT aktif dan juga terlihat dengan jelas di dalam diri manusia sepanjang manusia itu tahu siapa dirinya yang sesungguhnya dalam hal ini adalah:
(1) Manusia sebagai penampilan Allah SWT di muka bumi;
(2) Manusia adalah gambaran dari sifat dan asma-Nya;
(3) Manusia adalah bayangan Allah SWT di muka bumi (khalifah);
(4) Manusia adalah pemandangan bagi penampilan keindahan Allah SWT;
(5) Manusia adalah eksistensi Allah SWT bagi tersingkapnya hijab Allah SWT;
(6) Manusia adalah gudang perbendaharaan Allah SWT.
Dan Allah SWT juga tidak berkehendak kepada manusia yang dijadikannya abd’ (hamba)-Nya dan khalifah-Nya gagal dalam melaksanakan tugasnya di muka bumi.
Jika ini adalah konsep dasar dari keberadaan
manusia di muka bumi, lalu sudahkah kita memiliki ilmu dan pemahaman yang
sesuai dengan kehendak Allah SWT terutama tentang diri kita sendiri yang salah
satunya adalah bentuk penampilan Allah SWT di muka bumi? Semoga kita termasuk orang yang
lebih banyak belajar mengenai diri sendiri, daripada menilai orang lain
sehingga kita tahu diri dan tahu aturan main dan tahu tujuan akhir. Dan agar diri kita selalu sesuai dengan konsep Allah SWT dan selalu berada di
dalam kefitrahan dari waktu ke waktu maka kita harus selalu berada di dalam
kefitrahan, dalam hal ini selalu berada di dalam konsep Diinul Islam sebagaimana
dikemukakan dalam surat Ar Ruum (30) ayat 30 yang kami kemukakan berikut ini: “Maka
hadapkanlah wajahmu dengan Lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah
Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada peubahan
pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak
mengetahui.” Diinul Islam adalah sebuah konsep Ilahiah
yang diciptakan dari fitrah Allah oleh Allah SWT untuk kepentingan rencana
besar kekhalifahan yang ada di muka bumi. Agar diri kita yang juga khalifah
Allah SWT di muka bumi selalu di dalam konsep kefitrahan maka Allah SWT
memerintahkan kepada seluruh khalifahnya untuk menghadapkan wajahnya kepada
Diinul Islam dengan lurus, mantap, tidak goyah selama hayat masih di kandung
badan kita.
Selanjutnya agar konsep tahu diri dan tahu aturan main dan tahu tujuan akhir yang sesuai dengan kehendak Allah SWT dapat terlaksana dengan baik dan benar maka kita harus mengetahui terlebih dahulu hal hal sebagai berikut yang terdapat di dalam surat Ar Ruum (30 ayat 30 di atas:
(1) Adanya istilah Nass yang maksudnya adalah manusia dalam arti kata Ruh/Ruhani;
(2) Adanya istilah Diin (Diinul Islam) yang berasal dari fitrah Allah SWT;
(3) Adanya istilah fitrah Allah SWT yang tidak lain adalah Allah SWT itu sendiri Dzat Yang Maha Fitrah.
Lalu Allah SWT selaku pemilik dari kefitrahan memerintahkan
kepada Nass (manusia dalam arti kata ruh) yang juga diciptakan dari fitrah
Allah SWT untuk selalu dihadapkan kepada Diin (Diinul Islam) yang juga berasal
dari fitrah Allah SWT sehingga dengan adanya kondisi ini maka terjadilah apa
yang dinamakan dengan konsep segitiga
yang tidak terpisahkan antara Nass (manusia dalam arti kata ruh) dengan fitrah
Allah SWT melalui Diinul Islam yang juga berasal dari fitrah Allah SWT.
Inilah konsep dasar yang harus kita pahami dengan baik dan benar bahwa
diri kita yang sesungguhnya adalah nass (dalam hal ini adalah ruh yang
merupakan bahagian dari Nur Allah SWT)
sehingga Nass ini jangan pernah dipisahkan dengan asal usulnya dalam hal ini
fitrah Allah SWT melalui Diinul Islam yang juga berasal dari fitrah Allah SWT.
Jika sampai Nass (ruh diri kita) dipisahkan dengan Diinul Islam dan juga dengan
fitrah Allah SWT maka terjadilah hal hal sebagai berikut : (1) kita
telah keluar dari konsep bahwa diri kita adalah bentuk penampilan Allah SWT
dimuka bumi; (2) kita
tidak mampu membuat Allah SWT tersenyum bangga kepada diri kita (3) hilangnya
kefitrahan dalam diri sehingga konsep datang fitrah kembali fitrah tidak akan
pernah terjadi. Padahal syarat untuk bertemu dengan Allah SWT selaku Dzat
Yang Maha Fitrah di tempat yang fitrah adalah ruh datang fitrah kembalinyapun harus
fitrah pula dan jika sampai tidak fitrah akan difitrahkan oleh Allah SWT
melalui jalur Neraka Jahannam.
Agar proses mengenal diri sendiri tidak hanya
sekedar basi basi dihadapan Allah SWT atau hanya ala kadarnya, ada baiknya kita
melakukan hal hal sebagai berikut:
a. Hargai
diri sendiri sambil melihat cermin lalu bertanyalah kepada diri sendiri masih
sesuaikah diri kita dengan konsep Allah;
b. Berhentilah untuk
menilai setiap tindakan yang kita lakukan;
c. Jangan
minder karena penilaian orang lain karena kita tidak bertanggungjawab
kepadanya;
d. Berhentilah mencari
kesalahan diri sendiri;
e. Lupakan
kenangan buruk masa lalu dan jadikan kenangan
itu sesuatu yang hanya kita lihat melalui kaca spion lalu fokuslah ke masa
depan;
f. Jangan
mencoba untuk mengubah diri sendiri dengan cara cara kita sendiri;
g. Menghargai
ketrampilan dan bakat kita lalu berbuatlah kebaikan;
h. Lakukan hal hal yang
kita sukai dan jangan lupa buatlah Allah SWT selalu tersenyum lebar kepada diri
kita atau buatlah diri kita menjadi kebanggaan Allah SWT lalu kita mampu
menemukan dan bertemu Allah SWT dalam diri kita masing.
Untuk mempertegas uraian di atas, berikut ini
akan kami kemukakan kisah Nabi Musa, as yang bisa kita jadikan pelajaran saat
hidup di muka bumi. Suatu saat Nabi Musa as berkomunikasi dengan Allah SWT. Nabi
Musa as.: "Wahai Allah aku sudah melaksanakan ibadah. Lalu manakah
ibadahku yang membuat engkau senang?". Allah SWT: “Syahadat mu itu untuk
dirimu sendiri, karena dengan engkau bersyahadat maka terbukalah pintu bagimu
untuk bertuhankan kepada Ku. Allah SWT: "Shalat mu bukan untuk Ku
tetapi untukmu sendiri, karena dengan kau mendirikan shalat, engkau terpelihara
dari perbuatan keji dan munkar. Dzikir? Dzikirmu itu membuat hatimu menjadi
tenang. Puasa? Puasamu itu melatih dirimu untuk memerangi hawa nafsumu".
Zakat itu untuk membersihkan apa apa yang telah engkau miliki. Menunaikan Haji
untuk menjadikan kamu menjadi lebih dekat kepadaKu setelah berkunjung
kerumahKu. Nabi Musa as: "lalu apa ibadahku yang membuatmu
senang ya Allah?" Allah SWT: "Sedekah, Infaq, Wakaf serta
akhlaqul karimah-mu yang menceriminkan Asmaul Husna. Itulah yang membuat
aku senang, Karena tatkala engkau membahagiakan orang yang sedang susah,
kelaparan, aku hadir disampingnya. Dan aku akan mengganti dengan ganjaran
kepadamu”. Jika kehadiran kita di muka bumi ini bisa membuat Allah SWT
tersenyum bangga kepada diri kita berarti kita sejalan dengan kehendak Allah
SWT atau sesuai dengan konsep Allah SWT dan berarti kita juga telah mampu
menampilkan penampilan Allah SWT melalui diri kita dan kitapun mampu merasakan
adanya Allah SWT dalam diri kita. Namun apabila kehadiran diri kita di muka
bumi membuat Allah SWT benci dan marah berarti ada yang salah dalam diri kita.
Untuk itu jangan pernah memiliki konsep menunda sampai tua baru melakukan
kebaikan karena kita tidak tahu sampai kapan kita hidup di dunia ini.
Untuk itu selama diri kita masih diberikan kesempatan
untuk berbuat kebaikan, ambil kesempatan itu lalu lakukan kebaikan, atau ambil
peran di masyarakat dan jangan pikirkan ukuran dari kebaikan, lakukan kebaikan
seperti mengalirnya air. Jika kita terlalu banyak berfikir untuk berbuat
kebaikan, kesempatan yang ada bisa terbang melayang karena ulah kita sendiri
yang terlalu banyak pertimbangan pertimbagan yang pada akhirnya kita mengundang
syaitan hadir dalam diri kita dan melaksanakan aksinya. Jadikanlah setiap perintah yang telah diperintahkan oleh Allah SWT
bukan sebagai kewajiban melainkan sebagai sebuah kebutuhan karena ini adalah
kunci kesuksesan hidup di dunia dan akhirat kelak dan juga dalam kerangka
memberikan asupan atau nutrisi bagi kepentingan ruh serta menjaga keimanan yang
sangat dibutuhkan oleh ruh. Ingat, ruh juga memiliki sifat yang mana sifat
yang telah disifati ruh harus menjadi perilaku atau perbuatan ruh. Ruh baru
bisa menjadikan sifatnya menjadi perbuatan jika ruh ternutrisi dengan baik dan
benar dan juga ruh tidak pernah dipisahkan dengan keimanan dan ketaqwaan.
Sekarang
mari kita perhatikan hadits yang kami kemukakan berikut ini: “Abu
Hurairah ra, meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Pada hari Kiamat,
Allah SWT berfirman: Wahai anak Adam, Aku sedang sakit, kenapa kamu tidak
menjengukKu. Anak Adam menjawab, Wahai Tuhan, bagaimana hamba bisa menjengukMu,
sedangkan Engkau adalah Tuhan semesat alam? Allah berkata, ‘Apakah kamu tidak
menyadari jika hambaKu, fulan, sedang sakit tapi kamu tidak mau menjenguknya? Apakah kamu tidak
mengetahuinya, seandainya kamu menjenguknya, kamu akan mendapatkanKu sedang
bersamanya? Allah berkata lagi, Wahai anak Adam, Aku meminta makanan kepadamu,
tapi mengapa kamu tidak mau memberi Ku makanan? Anak Adam menjawab, Wahai
Tuhan, bagaimana hamba bisa memberi Mu makanan, sedangkan Engkau adalah Tuhan
semesta alam? Allah berkata, ‘Apakah kamu tidak menyadari, ketika ada hamba Ku
yang meminta makanan kepadamu, tapi kamu tidak mau memberinya makanan? Apakah
kamu tidak mengetahui, seandainya kamu memberinya makanan niscaya kamu akan
mendapatkan itu di sisi Ku? Allah
berkata lagi, “Wahai anak Adam, Aku meminta minum kepadamu, tapi kamu tidak
memberi Ku minuman? Anak Adam menjawab, Wahai Tuhan, bagaimana hamba bisa
memberi Mu minum, sedangkan Engkau adalah Tuhan semesta alam? Allah berkata,
“Salah seorang hamba Ku meminta minum kepadamu, tapi kamu tidak memberinya
minum. Apakah kamu tidak mengetahui, seandainya kamu memberinya minum niscaya
kamu mendapatkan itu di sisi Ku.” (Hadits Riwayat Muslim)
Sudahkah kita mampu
melaksanakan apa apa yang tertuang di dalam ketentuan hadits riwayat Muslim
yang kami kemukakan di atas ini? Jika sudah berarti kita sedang berusaha untuk
membuat Allah SWT tersenyum kepada diri kita dan jika belum berarti ada sesuatu
yang salah dalam diri kita. Lalu apakah hanya kepada orang yang sakit, apakah
hanya kepada orang kelaparan dan kehausan saja kita berbuat kebaikan? Berbuat
kebaikan tidak hanya pada apa yang dikemukakan di hadits tersebut di atas, namun
masih banyak lagi yang bisa kita lakukan kepada orang banyak seperti memberi
pengajaran dengan menjadi guru tanpa bayaran, menjadi motivator bagi tumbuh
kembangnya bisnis wirausaha, menjadi dokter bagi keluarga tidak mampu, menjadi
sukarelawan bencana alam dan lain sebagainya yang intinya kita harus mengambil
peran masing yang sesuai dengan minat dan bakat yang ada pada diri kita.
Jika saat diri kita
mampu berbuat kebaikan dalam kerangka membuat Allah SWT tersenyum bangga kepada
diri kita maka hal hal sebagai berikut harus kita jadikan pedoman, yaitu:
a. kebaikan
yang kita lakukan sudah tanpa disuruh suruh lagi oleh siapapun melainkan
dilakukan karena kesadaran diri sendiri;
b. kebaikan yang kita
lakukan tanpa ada paksaan dari siapapun
serta tanpa ada pamrih kecuali ikhlas hanya karena Allah SWT semata;
c. kebaikan
yang kita lakukan bukan untuk unjuk diri atau untuk dipandang orang lain
melainkan karena melaksanakan cerminan diri kita saat hidup di dunia;
d. kebaikan yang kita
lakukan haruslah konsisten dari waktu ke waktu walaupun kecil atau sedikit dan
yang terakhir adalah setelah berbuat kebaikan jangan pernah diungkit kembali
agar orang lain tahu bahwa kita telah berbuat sesuatu atau dengan kata lain apa
yang pernah kita lakukan jangan pernah diingat kembali.
Sudahkah kita
mengambil peran di dalam masyarakat sehingga masyarakat terbantu dan tertolong
atas peran yang kita ambil. Semakin banyak peran yang diambil oleh setiap
anggota masyarakat semakin banyak orang yang akan terbantu dan tertolong.
Ayo buktikan bahwa diri
kita berguna dengan mengambil peran yang sesuai dengan kemampuan diri kita saat
ini juga. Jangan pernah menunda nunda berbuat kebaikan karena menunda nunda
pekerjaan baik berarti kita telah memberikan kesempatan kepada perampok perampok
waktu melaksanakan aksinya dihadapan diri kita sendiri. Semakin cepat kita
berbuat kebaikan maka semakin baik dihadapan Allah SWT semakin cepat pula
masyarakat terbantu oleh diri kita. Ingat, waktu tidak pernah menunggu kita. Sekarang
mari kita lanjutkan pembahasan tentang apa yang terjadi setelah ruhani dan
jasmani dipersatukan, yang pertama adalah terjadinya perseteruan atau adanya
tarik menarik antara jasmani vs ruh yang akan menghasilkan dua keadaan yaitu:
adanya jiwa taqwa dan adanya jiwa fujur. Untuk itu mari kita bahas itu semua.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar