Allah SWT lah yang
memberikan Shibghah atau Allah SWT sumber utama dari Shibghah yang akan
dishibghahkan. Lalu kepada siapa shibghah yang akan dishibghahkan itu, apakah
kepada ruh ataukah kepada jasmani karena setiap manusia pasti terdiri dari 2
(dua) hal ini? Jika kita meyakini dan mengimani bahwa jasmani asalnya dari
tanah/alam maka jasmani pasti akan memiliki sifat yang sesuai dengan asal
usulnya, yaitu tanah/alam. Jika jasmani asalnya dari alam/tanah lalu bagaimana
dengan ruh? Ruh asalnya dari Allah SWT maka ruh akan memiliki sifat yang sesuai
dengan asal usulnya yaitu Allah SWT. Jika sekarang ruh asalnya dari Allah SWT
maka melalui proses shibghah inilah ruh akan memiliki sifat yang sesuai dengan
asal usulnya. Hal ini sebagaimana dikemukakan dalam surat Al Baqarah (2) ayat
138 yang kami kemukakan berikut ini: “Shibghah Allah[91]. dan siapakah yang lebih baik shibghahnya dari pada
Allah? dan hanya kepada-Nya-lah Kami menyembah.”
[91] Shibghah artinya
celupan. Shibghah Allah: celupan Allah yang berarti iman kepada Allah yang
tidak disertai dengan kemusyrikan.
Ayat di atas ini
mengemukakan bahwa Allah SWT lah yang mensibghah atau mencelup setiap manusia
dengan shibghah yang berasal dari pada Allah SWT. Adanya konsep shibghah ini maka
akan ada hal-hal yang harus kita jadikan perhatian yaitu: (1) Allah SWT adalah
pemberi shibghah, (2) Penerima Sbibghah, (3) Shibghah, (4) Kapan proses
Shibghah dilakukan oleh Allah SWT, (5) Tujuan dari pemberian Shibgah. Untuk itu
mari kita lanjutkan pembahasan ini. Berdasarkan uraian di atas ini maka
Shibghah dapat dikatakan sebagai proses pewarnaan atau mencelup ruh yang pada
akhirnya ruh akan memiliki sifat-sifat ilahiah yang berasal dari af’al Allah
SWT sehingga melalui proses ini akan tampillah penampilan Allah SWT di muka
bumi melalui ruh manusia sepanjang manusia mampu menampilkan hal tersebut.
Inilah salah satu tujuan dari menshibghah manusia.
Sekali lagi kami
kemukakan, Allah SWT menshibghah Ruh/Ruhani dengan nama nama Allah SWT yang
indah lagi baik yang termaktub dalam Asmaul Husna sehingga dengan adanya proses
shibghah ini maka ruh akan memiliki sifat yang berkesesuaian dengan Asmaul
Husna. Lalu kapan proses shibghah dilakukan oleh Allah SWT kepada Ruh/Ruhani? Allah
SWT berfirman: “yang membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-baiknya dan yang
memulai penciptaan manusia dari tanah. kemudian Dia menjadikan keturunannya
dari saripati air yang hina. kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke
dalamnya roh (ciptaan)-Nya dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan
dan hati; (tetapi) kamu sedikit sekali bersyukur. (surat As Sajdah (32) ayat 7,
8, 9).”
Proses menshibghah ruh
berdasarkan ketentuan surat As Sajdah (32) ayat 7 sampai 9 terjadi bersamaan saat
ruh mulai dipersartukan dengan Jasmani saat masih dalam rahim seorang ibu
melalui proses peniupan. Sekarang untuk apa Allah SWT menshibghah ruh setiap
manusia dengan Asmaul Husna? Sebagai abd’ (hamba)-Nya yang sekaligus khalifah-Nya
di muka bumi yang tidak lain adalah pengganti, perpanjangan tangan Allah SWT
maka sudah sepantasnya orang yang menjadi pengganti dan yang menjadi
perpanjangan tangan Allah SWT memiliki pola dan perbuatan yang mencermin Allah
SWT selaku pengutusnya.
Adalah sebuah
kejanggalan jika yang menjadi pengganti dan yang menjadi perpanjangan tangan
Allah SWT memiliki sifat yang berlainan dengan Allah SWT, dalam hal ini
bersifat alam. Sebagai abd’ (hamba) yang sekaligus khalifah-Nya di muka bumi,
kita harus tahu dan paham tentang hal ini karena hal ini adalah asal usul dari
diri kita. Jika kita tahu asal usul diri kita maka akan memudahkan kita
melaksanakan tugas baik sebagai seorang hamba-Nya yang sekaligus sebagai
seorang khalifah-Nya di muka bumi.
Sekarang mari kita
pertegas dan perjelas tentang shibghah yang ada pada diri kita. Untuk itu
ketahuilah bahwa setiap dzat memiliki sifat. Sifat yang ada pada dzat akan menjadi
perbuatan bagi dzat serta setiap dzat juga memilik kemampuan. Hal yang samapun
terjadi pada jasmani dan ruh yang ada pada diri kita, yang mana setiap ruh dan
juga jasmani juga memiliki sifat, dimana
sifatnya akan menjadi perbuatan bagi ruh dan juga jasmani. Selain itu setiap
ruh dan juga jasmani pasti memiliki kemampuan.
Jasmani jika ditinjau
dari sifatnya, di dalam AlQuran dikatakan sebagai ‘insan’ sedangkan dari sisi
perbuatannya di dalam AlQuran dikatakan sebagai ‘ahwa’. Sedangkan kemampuan
Jasmani disebut sebagai “bashyar’. Di dalam AlQuran dimukakan bahwa salah satu
sifat jasmani adalah pelit dan jika ini sifat dari jasmani nya maka perbuatannya
adalah memelitkan sehingga orang yang bersangkutan akan mementingkan
kepentingan dirinya sendiri tanpa menghiraukan orang lain. Sedangkan kemampuan
dari memelitkan sangat tergantung besar atau kecilnya pengaruh ahwa yang ada
dalam diri seseorang. Semakin besar kekuatan ahwanya semakin kuat mementingkan
diri sendiri, demikian pula sebaliknya. Lalu bagaimana dengan ruh. Ruh jika
ditinjau dari sisi sifatnya dinamakan dalam AlQuran sebagai Nass. Ruh akan
dinamakan dengan Nafs/Anfuss jika ditinjau sisi perbuatannya sedangkan
kemampuannya tetap dinamakan dengan Ruh..
Sekarang katakan
sifat dari garam adalah asin yang akan mengasinkan segala sesuatu yang
diliputinya. Akan tetapi akan menjadi sebuah persoalan jika garam yang
seharusnya bersifat asin justru tidak asin. Jika hal ini terjadi maka garam
sudah tidak bisa lagi sebagai garam karena sudah tidak mencerminkan lagi sifat
dan perbuatannya. Lalu bagaimana dengan Ruh yang tidak lain adalah jati diri
kita yang sesungguhnya yang telah disifati dishibghah dengan Ar Rahmaan dan Ar
Rahiem lalu justru berbuat semena-mena terhadap orang lain, hanya mementingkan
diri sendiri. Jika ini terjadi maka kejadian yang menimpa garam di atas terjadi
pula kepada diri kita yaitu sudah tidak pantas lagi menyandang predikat Nass
ataupun sudah tidak bisa lagi dianggap sebagai khalifah Allah SWT karena sudah
menyimpang dari sifat dan perbuatan yang hakiki.
Hal yang harus kita
perhatikan adalah perbuatan adalah kemasan, sedangkan sifat adalah isi.
Perbuatan merupakan akibat dari adanya sifat sehingga sifatlah yang akan
menurunkan suatu bentuk perbuatan. Perbuatan bisa diketahui oleh panca indera,
sedangkan sifat hanya bisa dirasakan. Perbuatan bisa menipu isi (sifat). Sifat
identik dengan kesadaran atau pikiran atau rasa jiwa. Sifat yang baik akan
menghasilkan perbuatan yang baik. Sedangkan perbuatan yang baik, belum tentu
sifatnya baik (munafik). Maka yang paling utama dalam hal ini contohlah
Rasulullah Muhammad dari sifat sifatnya, baru kemudian perbuatan perbuatannya.
Bisa saja terjadi ada orang yang perbuatannya seperti Rasulullah, tapi sifat
sifatnya seperti syaitan (munafik).
Sifat Rasulullah
Muhammad SAW adalah sifat sifat yang baik terpuji seperti jujur, sabar, syukur,
cinta kasih, bijaksana, rendah hati, pemaaf, pintar, ikhlas, zuhud, suka
menolong, tidak mementingkan diri sendiri, dan lain-lain. Kemudian sifat-sifat
Rasulullah menurunkan perbuatan-perbuatan (hadits). Yang mana hadits dapat
dikatakan sebagai segala ketetapan, segala perkataan, dan perbuatan sahabat
yang direstui oleh Rasulullah Muhammad SAW.
Setiap orang Islam
harus mengikuti ajaran Rasulullah Muhammad SAW. Tapi sayangnya, banyak orang
Islam yg tidak mengerti tentang Rasulullah Muhammad SAW. Banyak orang Islam
yang terlalu kaku dalam memahami hadits, sedangkan memahami sifat-sifat
Rasulullah Muhammad SAW malah banyak yang diabaikan. Ini termasuk sebuah
kesesatan. Perbuatan Rasulullah SAW termasuk kemasan, dan ini masih berupa
kebenaran semu. Kebenaran sejati dalam mengikuti sunah Rasulullah Muhammad SAW adalah
mencontoh atau mengikuti sifat-sifat Rasulullah Muhammad SAW, baru kemudian
mengikuti perbuatan perbuatannya. Bagi orang Islam yang mengikuti sifat-sifat
Rasulullah Muhammad SAW, tentu akan memperoleh pengalaman spiritual yang hampir
sama dengan Rasulullah Muhammad SAW. Mereka inilah orang orang yang berada
dalam kebenaran sejati, seperti para waliyullah dan orang orang mukmin yang
disucikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar