4. Esensi Dari Jiwa
Fujur Sebagai Jiwa Yang Tidak Tenang, Kosong Lagi Lapar. Sekarang kita telah
mengetahui adanya jiwa taqwa sebagai jiwa yang tenang, lalu kita juga telah
membahas pula tentan apa itu jiwa fujur yang terdiri dari jiwa hewani, jiwa
amarah dan jiwa mushawwilah. Allah SWT berfirman: ““Sungguh beruntung orang yang
menyucikannya (jiwa itu), dan sungguh rugi orang yang mengotorinya” (surat Asy
Syams (91) ayat 9-10). Adanya ketentuan ini Allah SWT mengemukakan
bahwa sangat beruntung orang yang mampu menyucikan jiwanya (maksudnya
menjadikan jiwanya jiwa taqwa sebagai jiwa yang tenang) dan sungguh merugi
orang yang mengotori jiwa yang takwa sehingga menjadi jiwa fujur. Jika jiwa
taqwa telah menjadi kotor berarti jiwanya telah berubah menjadi jiwa dalam
bentuk yang lainnya yang
merepresentasikan kekotoran jiwa yang mengakibatkan hilangnya ketenangan dan
jiwa menjadi kosong dan lapar. Seperti apakah jiwa yang tidak tenang dan jiwa
yang kosong lapar itu dan inilah penjelasannya.
a. Jiwa Yang Tidak Tenang. Allah SWT dengan jelas mengemukakan hanya orang orang
yang menjadikan hawa nafsu sebagai tuhannya maka Allah SWT mengunci
pendengaran, mengunci penglihatan dan mengunci hatinya sehingga ia tidak bisa
membedakan lagi mana yang baik, mana yang benar, mana yang salah, semuanya sama
dihadapannya. Lalu jika sudah begini keadaannya maka ketenangan jiwa orang
tersebut menjadi hilang. Allah SWT berdasarkan surat Al Jaatsiyah (45) ayat 23
berikut ini mengemukakan bahwa: “Maka pernahkah kamu melihat orang yang
menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya, dan Allah membiarkannya sesat dengan
sepengetahuanNya dan Allah telah mengunci pendengaran dan hatinya serta
meletakkan tutup atas penglihatannya? Maka siapakah yang mampu memberinya
petunjuk setelah Allah (membiarkannya sesat)? Mengapa kamu tidak mengambil
pelajaran? (surat Al Jaatsiyah (45) ayat 23)”.
Melalui
ayat ini, Allah SWT juga membandingkan orang-orang musyrik yang selalu menuruti
hawa nafsunya dengan orang-orang beriman yang tunduk berserah diri hanya kepada
Allah. Bayangkan tiga komponen utama, dalam hal ini pendengaran, penglihatan
dan hati, yang ada di dalam diri kita sudah tidak berfungsi secara normal, lalu
apa yang terjadi selanjutnya? Maka ia akan sering membantah, sering bersikap
malas, atau enggan menjalani tuntunan Allah (baik perintah dan larangan Allah)
baik secara syariat apalagi secara hakekat, maka nilai ketuhanan kita kepada
Allah (keimanan kita kepada Allah) masih dapat dikalahkan oleh tuhan tuhan yang
lain, terutama mempertuhankan (menuruti) apa kata hawa nafsu/ahwa kita.
Sebagai orang yang
akan selalu berhadapan dengan musuh abadi selama hayat masih di kandung badan,
dalam hal ini adalah ahwa (hawa nafsu) dan juga syaitan. Ketahuilah bahwa ahwa
(hawa nafsu) memiliki balatentara (perangkat lunak), atau kendaraan yang akan
dipergunakannya, seperti: (1) rakus; (2) hasrat atau keinginan; (3)
kikir; (4) cinta dunia; (5)
menyimpang; (6) keras kepala; (7) buruknya budi pekerti; (8) berkhayal; (9) tamak, (10) malas. (11) hasud, (12) suka bergaya; (13)
ujub; (14) sombong; (15) keluh kesah; (16) tipu muslihat; (17) kekhawatiran; (18)
berseberangan dengan perintah; (19)
prasangka buruk, dan (20) membantah. Adanya kondisi ini berarti ahwa (hawa nafsu) adalah yang pertama kali
harus dikendalikan atau bahkan harus dikalahkan sehingga tuntutan dan keinginan
yang berasal dari ahwa (hawa nafsu) yang membawa dan mengarahkan manusia kepada
(jalan) selain Allah, dalam hal ini jalan syaitan. Mutlak tidak bisa dibiarkan,
harus dilawan, harus dihentikan dan harus pula dikalahkan.
Jika sampai ahwa
(hawa nafsu) tidak dikendalikan, jika ahwa (hawa nafsu) tidak dilawan, dan jika
ahwa (hawa nafsu) tidak dikalahkan maka hati kita akan kecewa karena hasratnya
yang tidak tercapai, hati akan berkeluh kesah oleh keadaan yang tidak nyaman,
jiwa akan terus menuntut dan menuntut hingga tercapai apa yang kita inginkan.
Inilah jiwa yang tidak tenang, bathin yang tidak suci karena banyaknya hasrat
dan keinginan. Disinilah pentingnya mensucikan jiwa dengan penempaan-penempaan
yang berlawanan dengan hasrat dan keinginan kita yang cenderung kepada
kenikmatan dunia yang rendah lagi hina, namun mulia dihadapan syaitan.
b. Jiwa Yang Kosong Lagi Lapar. Apa yang membuat orang begitu tertarik dengan kecantikan
seorang wanita? Apa yang membuat orang sangat antusias terhadap harta yang
melimpah?, Uang yang bertumpuk, atau rumah dan mobil mewah? Hingga mereka lupa
waktu, lupa diri dan keluarga dan lupa kepada Tuhannya? Jawabannya pasti dan
hanya satu, yaitu karena jiwanya yang suci itu kosong atau lapar dari konsumsi
yang sesuai dengan fitrahnya. Jiwa yang kosong, atau jiwa yang lapar, akan
mengkonsumsi hal-hal atau apapun pengetahuan yang tampak indah dan cantik
secara pandangan lahir. Padahal hal-hal yang indah atau nikmat dalam jangkauan
panca indera, akan mematikan hati dari nilai-nilai luhur kemanusiaan.
Jiwa
yang kosong, diibaratkan perut yang lapar, yang akan tertarik dengan makanan
apapun, dan memburu dengan penuh semangat makanan yang sangat menarik seleranya. Jiwa yang kosong
dari cahaya (hidayah) Allah, sangat antusias memandang dan memburu apapun
keindahan dan kenikmatan dunia. Sedangkan jiwa yang lapar, akan dengan rakus
mencari dan menuntut apapun yang bisa memuaskan hasratnya. Tapi sekalipun telah
tercapai apa yang diharapkannya, dia akan terus menuntut hal-hal baru yang
belum sempat dirasakannya. Demikian terus tanpa ada habis-habisnya, diibaratkan
orang kehausan tapi diberi minum air laut, semakin banyak yang diminum semakin
bertambah rasa hausnya.Jiwa yang demikian ini akan terus bergejolak panas,
membuat suasana panas lahir dan batinnya tanpa ada henti-hentinya.
Ketenangan dan
ketentraman jiwa tidak turun dari langit, ia ada karena kita sendirilah yang
mengupayakan ada di dalam diri. Ketenangan dan ketentraman jiwa adalah
kondisi dimana jiwa itu sudah berada pada tahap ketenangan sejati, rasa lapang,
tidak ada tekanan, menerima kenyataan, berpasrah diri pada Sang Khalik, bisa
merasakan manisnya iman, bisa mengendalikan diri dan hawa nafsu, jauh dari
kebencian, tenteram dan hati menjadi luas dan lepas. Manusia yang sudah bisa
mencapai tahap ketenangan jiwa ini adalah manusia yang mampu memahami hakikat
kehidupannya, tahu siapa dirinya dan siapa Allah SWT, sudah mengerti apa yang harus
dilakukan dan apa yang harus dihindari dan tahu tujuan akhir hidupnya. Dan
setiap manusia pada umumnya akan menjadi lebih tenang jika ia sudah berada di
dekat penciptaNya, jika manusia sudah mengenal dan meyakini bahwa ada
kekuatan amat besar di alam ini yang melampaui kekuatan apapun dan hanya Dia
yang maha berkuasa atas dirinya dan segala sesuatu yang ada di sekitarnya. Dan
itulah hakikat diciptakannya jiwa ini bagi seluruh mahluk, jiwa itu akan selalu mencari
kebenaran hakiki tentang sosok Penciptanya dan jiwa akan merasa tenang jika
sudah menemukan dan menjadikan Sang pencipta sebagai sandaran utama hidupnya.
Kemanapun jiwa itu
pergi dan sembunyi maka jiwa akan selalu berupaya mencari kebenaran hakiki,
karena itulah hakikat diciptakannya jiwa. Lalu seperti apa sebenarnya wujud dan
kiprah sosok jiwa yang tenang dalam diri manusia sebenarnya. Bila
kita ingin hidup memiliki jiwa yang tenang, atau bila ingin hidup tenang, maka
lebih baik bersikap sewajarnya saja, tidak menonjol nonjolkan diri.
Orang yang mempunyai pengetahuan luas, harusnya seperti air, selalu mengalir ke
tempat yang lebih rendah dan itu bisa kita lihat langsung dalam sistem
pengairan Subak di pulau Bali, atau seperti padi yang banyak buahnya, selalu
merunduk ke bawah. Kita juga bisa melihat rumpun bambu, dimana setinggi
tingginya rumpun bambu ujungnya akan ke bawah juga (merunduk ke tanah juga)
yang berarti jangan melupakan asal usul diri dan jangan pernah melupakan budi
baik orang lain.
Lalu kita hendaknya
belajar kepada matahari. Sang surya terbit dari ufuk timur, dari posisi
terendah di cakrawala. Perlahan naik sampai kurang lebih pukul 12 siang, saat
itulah matahari berada pada posisinya yang paling tinggi.Kemudian berangsur
turun ke barat sebelum akhirnya tenggelam di cakrawala yang terendah. Itulah
gejala alam, yang memberi tahu kita semua bahwa matahari saja ada saatnya
turun. Apakah manusia bisa melebihi alam, tidak mau turun? Ada awal, pasti ada
akhir. Ada kelahiran, pasti ada kematian. Bunga berkembang akan layu, rontok
dan habis. Jabatan, kedudukan, bahkan kekayaan juga demikian. Maka dikatakan:
Tidak ada pesta yang tidak berakhir. Bisa diangkat, juga bisa rela dilepaskan.
Jiwa yang tenang lagi
lapang bukan berarti yang berlaku lamban, melainkan cermat dalam berpikir dan
hati-hati dalam memilih.Tenang adalah tentang penyampaian kabar buruk dengan
cara yang bijak, penyampaian fakta keras dengan cara yang lembut. Tenang juga
dapat diartikan sebagai perealisasian sebuah kerumitan dengan cara yang
sederhana, pemberitahuan berita panas dengan cara yang dingin atau penolakan
berat dengan cara yang ringan dan lain sebagainya. Berdasarkan surat Ar
Ra’d (13) ayat 28 berikut ini: “Yaitu orang orang yang beriman dan hati
mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan
mengingat Allah hati menjadi tenteram. (surat Ar Ra’d (13) ayat 28)”. Allah
SWT mengemukakan bahwa hati adalah
tempat diletakkanya ketenangan dan ketentraman.Dimana ketenangan dan
ketentraman ini adalah buah dari mengingat Allah dari waktu ke waktu yang
dilandasi dengan keimanan yang berkualitas di dalam diri manusia.
Sekali lagi kami
tegaskan bahwa tenteram dan tenangnya hati adalah bukanlah sesuatu yang datang
begitu saja ke dalam hati manusia. Ketentraman dan ketenangan dalam hati hanya
bisa diraih oleh orang yang beriman yang selalu mengingat kepadaNya (dzikir)
dari waktu ke waktu yang dilanjutkan dengan melakukan perilaku dari yang kita
ingat mengenai Allah SWT sehingga tersenyumlah Allah kepada diri kita. Dan
adanya ketenangan dan ketentraman dalam hati akan menjadi obat dari segala
penyakit hati dan kekacauan hidup.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar