Label

MEMANUSIAKAN MANUSIA: INILAH JATIDIRI MANUSIA YANG SESUNGGUHNYA (79) SETAN HARUS JADI PECUNDANG: DIRI PEMENANG (68) SEBUAH PENGALAMAN PRIBADI MENGAJAR KETAUHIDAN DI LAPAS CIPINANG (65) INILAH ALQURAN YANG SESUNGGUHNYA (60) ROUTE TO 1.6.799 JALAN MENUJU MAKRIFATULLAH (59) MUTIARA-MUTIARA KEHIDUPAN: JALAN MENUJU KERIDHAAN ALLAH SWT (54) PUASA SEBAGAI KEBUTUHAN ORANG BERIMAN (50) ENERGI UNTUK MEMOTIVASI DIRI & MENJAGA KEFITRAHAN JIWA (44) RUMUS KEHIDUPAN: TAHU DIRI TAHU ATURAN MAIN DAN TAHU TUJUAN AKHIR (38) TAUHID ILMU YANG WAJIB KITA MILIKI (36) THE ART OF DYING: DATANG FITRAH KEMBALI FITRAH (33) JIWA YANG TENANG LAGI BAHAGIA (27) BUKU PANDUAN UMROH (26) SHALAT ADALAH KEBUTUHAN DIRI (25) HAJI DAN UMROH : JADIKAN DIRI TAMU YANG SUDAH DINANTIKAN KEDATANGANNYA OLEH TUAN RUMAH (24) IKHSAN: INILAH CERMINAN DIRI KITA (24) RUKUN IMAN ADALAH PONDASI DASAR DIINUL ISLAM (23) ZAKAT ADALAH HAK ALLAH SWT YANG HARUS DITUNAIKAN (20) KUMPULAN NASEHAT UNTUK KEHIDUPAN YANG LEBIH BAIK (19) MUTIARA HIKMAH DARI GENERASI TABI'IN DAN TABI'UT TABIIN (18) INSPRIRASI KESEHATAN DIRI (15) SYAHADAT SEBAGAI SEBUAH PERNYATAAN SIKAP (14) DIINUL ISLAM ADALAH AGAMA FITRAH (13) KUMPULAN DOA-DOA (10) BEBERAPA MUKJIZAT RASULULLAH SAW (5) DOSA DAN JUGA KEJAHATAN (5) DZIKIR UNTUK KEBAIKAN DIRI (4) INSPIRASI DARI PARA SAHABAT NABI (4) INILAH IBADAH YANG DISUKAI NABI MUHAMMAD SAW (3) PEMIMPIN DA KEPEMIMPINAN (3) TAHU NABI MUHAMMAD SAW (3) DIALOQ TOKOH ISLAM (2) SABAR ILMU TINGKAT TINGGI (2) SURAT TERBUKA UNTUK PEROKOK dan KORUPTOR (2) IKHLAS DAN SYUKUR (1)

Minggu, 19 Mei 2024

PENAMPILAN ORANG YANG BERJIWA MUTHMAINNAH (PART 4 of 5)

 

Apabila ruh sudah suci dan ringan (kembali fitrah) maka hati terasa ringan untuk mentaati Allah. Ahwa (hawa nafsu) akan berubah dari nafsu yang rendah (jiwa fujur) kepada jiwa taqwa (jiwa lawwamah lalu menuju jiwa muthmainnah). Di waktu itu kita akan senantiasa merasa kita adalah hamba Allah, yang ingin hidup sebagai hamba dan rela menerima apa saja atau tidak resah dan gelisah lagi. Dan adapun indikator dari hati yang tenang, lapang setelah mampu melaksanakan ibadah bathiniyah, sebagaimana dikemukakan oleh “Abuya Syeikh Imam Ashaari Muhammad At Tamimi,” dalam bukunya “Mengenal Diri Melalui Rasa Hati,” sebagaimana berikut ini:

 

1.  Timbulnya atau tumbuhnya rasa malu kepada Allah karena senantiasa merasa diawasi oleh Allah SWT.

 

2.    Rasa takut dan hebat pada Allah karena terasa diri selalu berada di dalam kuasa Allah, sehingga Allah bisa berbuat apa saja seperti sakit, miskin, mati dan lain lain.

 

3.  Selalu merasa berdosa pada Allah, bukan hanya di depan manusia karena ada kesalahan tersembunyi yang tidak dapat diketahui seperti dosa dosa hati. Sebab itu dia selalu menangis seorang diri, bukan di depan umum, karena takut dosanya tidak terampuni.

 

4.    Tidak menunda nunda urusan dengan Allah karena hati selalu merasa kedatangan maut itu bisa terjadi kapan saja.

 

5.   Setiap kali membuat kesalahan yang kecil hatinya merasa takut dan terhina di de-pan Allah, sehingga cepat cepat meminta ampun kepada Allah SWT.

 

6.   Setiap kali selesai beramal, hati merasa itu adalah karunia Allah, bukan kemam-puan dirinya. Dia tidak merasa bangga karena merasa amalannya tidak sempurna. Karena itu ia mengharapka belas kasihan dari Allah agar menerima amalannya.

 

7.   Kalau Allah menentukan satu peristiwa terjadi pada dirinya, hatinya akan ridha dengan apa yang terjadi tanpa kesal dan keluh kesah, Dia sadar dirinya yang rendah layak menerima apaun takdir Allah SWT.

 

8.   Setiap kali melihat pemandangan alam yang indah, hati segera merasakan kebesa-ran Allah.

 

9.   Kalau dia mendapat kekayaan atau nikmat, hatinya segera merasakan bahwa itu adalah pemberian dari Allah bukan kemampuan sendiri. Karena itu dia merasa takut kepada Allah, karena menyalahgunakan atau kurang mensyukuri nikmat yang diperoleh.

 

10. Kalau dia menderita kemiskinan atau tidak memperoleh nikmat, hatinya terasa tentram karena dia merasa bebas dari tanggungjawab untuk menjaga amanah Allah.

 

11. Kalau mendapat musibah seperti sakit, hati bisa merasa tenang karena merasakan bahwa bencana (musibah) adalah kifarah (balasan) dosanya. Dia merasa lebih baik dihukum di dunia daripada dihukum di akhirat. Penderitaan di dunia adalah pengampunan dosa di akhirat.

 

12. Bila mendapat pujian, hati merasa tidak senang sebab pujian itu tidak layak bagi-nya dan bisa merusak rasa kehambaannya.

 

13. Kalau dihina orang, hatinya merasa kasihan pada orang yang menghinanya dan segera memaafkan orang itu tanpa diminta. Dia merasa bahwa dosanya telah menyebabkan dia dihukum seperti itu. Kalau tidak begitu dia tidak akan mendapat pahala dari penghinaan itu. Sebab itu dia tidak berniat sama sekali untuk membalas perbuatan orang itu.

 

14. Dia selalu berlapang dada berhadapan dengan aneka ragam manusia dan kesu-sahan yang manusia timpakan ke atasnya.

 

15. Dia tidak bangga dengan nikmat, tidak gelisah dengan musibah, tidak merasa tenang dengan pujian dan tidak menderita dengan cacian. Hatinya selalu merasa sebagai hamba yang serba kekurangan dan sangat memerlukan Allah SWT dalm setiap keadaan.

 

16. Kalau dia melihat dan mengetahui orang membuat maksiat, dia bersyukur pada Allah karena dirinya selamat dari maksiat. Sebab itu dia tidak menghina orang itu bahwa dia merasa kasihan, ingin menolong dengan memberi nasihat. Bahkan dia tidak menaruh sangka buruk (jahat) pada orang itu. Dia menganggap kesalahan itu adalah karena tidak tahu, lupa ataupun tidak sengaja.

 

17. Ketika berhadapan dengan orang yang memarahinya, dia tidak ikut marah dan tidak melawan/berdebat sekalipun dia benar.

 

18. Bila berhadapan dengan kepandaian orang lain, dia akan menerima ilmu dan kebenaran sekalipun dari seorang kanak kanak. Kalau bermuzakarah dia tidak memperlihatkan bahwa dirinya pandai sehingga dia merasa bangga diri.

 

19.  Kalau ada orang yang memuji orang lain dihadapan dia tidak tidak sakit hati sebab dia paham bahwa kuasa hak Allah yang melebihkan dan mengurangkan nikmat pada hamba hambaNya.

 

20. Kalau ada orang lain menyelesaikan kerjanya, dia tidak menggerutu sebab dia merasa telah dibantu.

 

21. Kalau dia digemari oleh banyak orang, dia tidak merasa bangga sebaliknya dia bimbang kalau hal itu membuat dirinya riya.

 

22. Dia tidak makan seorang diri, kalau memberi bantuan pada seseorang, tidak dihadapan orang lain.

 

23. Beramal serta berbuat kebaikan betul betul beribadah karena Allah semata bukan lagi karena syurga ataupun neraka.

 

Alangkah nikmatnya hidup ini jika saja semua orang mampu memiliki jiwa muthmainnah, yang tercermin dari hati yang tenang nan lapang lagi tenteram yang ditunjukkan mampu berbuat seperti apa apa yang kami kemukakan di atas ini.

 

Semoga hal ini terjadi pada diri kita, pada keluarga kita, pada anak dan keturunan kita, pada masyarakat kita, pada bangsa dan negara kita.

 

J.       MAMPU MENIKMATI DAN MERASAKAN INDAHNYA KESULITAN HIDUP.

 

Orang yang memiliki jiwa Muthamainnah adalah orang yang mampu merasakan dan menikmati indahnya kesulitan hidup yang dihadapinya. Karena ia paham dengan rumus kehidupan di bawah ini:

 

1.       Seandainya hidup kita selalu indah, mungkin kita tidak akan mengenal akan gigih-nya bangkit dari kegagalan;

2.   Seandainya hidupmu selalu berjalan mulus, mungkin kita tidak akan menikmati nikmatnya sabar;

3.       Seandainya kita tidak pernah kecewa, mungkin kita tidak akan mengenal apa yang namanya ikhlas;

4.       Seandainya semua keinginan kita langsung terwujud, mungkin kita tidak akan bisa merasakan indahnya berdoa.

 

Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT berikut ini: “Jika kamu berbuat baik (berarti) kamu berbuat bagi bagi dirimu sendiri dan jika kamu berbuat jahat, maka (kejahatan) itu bagi dirimu sendiril. (surat Al Israa’ (17) ayat 7)”. Setiap musibah yang menimpa kita, meski ia terasa begitu membuat kita bersedih namun kenyataannya ia adalah guru yang baik bagi kehidupan kita. Karena setiap musibah yang menimpa kita dapat mengingatkan agar tidak menimpa kita kembali. Terkadang begitu banyak musibah dan kesusahan menimpa seseorang.

 

Bahkan musibah dan kesusahan itu datang dengan silih berganti. Saat satu musibah belum juga pergi telah datang lagi musibah yang baru. Namun ketahuilah bahwa dalam keadaan seperti ini salah satu hal yang harus dilakukan adalah berlindung kepada Allah SWT, berdoa kepada-Nya dan melakukan penyucian diri dengan apa yang selama ini dilakukan.

 

Sungguh dengan bersabar seseorang telah mendapati keadaan yang begitu luar biasa. Bahkan terkadang seorang yang bersabar dibuat terheran-heran dengan keistimewaan yang sangat luar biasa yang dialaminya, yang menunjukkan bahwa Allah SWT sayang kepada diri kita.


K.     MAMPU MENIKMATI PERBEDAAN ITU ADALAH INDAH.

 

Orang yang memiliki jiwa Muthmainnah adalah orang yang mampu menikmati perbedaan itu adalah indah, sehingga ia mampu hidup berdampingan dengan baik di tengah adanya perbedaan agama, warna kulit, perbedaan mahzab dan lain lain tanpa ada rasa kebencian.  Berdasarkan surat Yunus (10) ayat 99 berikut ini: “Dan jika Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang orang yang beriman semuanya?”. Allah SWT justru sengaja dan Allah SWT tahu bahwa perbedaan membuat dunia ini penuh dengan warna (tidak monoton).

 

Akhirnya perbedaan mampu menjadikan dunia dan seisinya penuh dengan keseimbangan, keserasian dan keselarasan. Inilah prinsip dasar dari heterogen. Allah SWT tidak menciptakan sesuatu dengan prinsip homogen, sebab Allah SWT menciptakan sesuatu secara berpasang pasangan (berbeda dalam keserasian). Untuk itu Allah SWT sudah merencanakan adanya syurga dan adanya neraka, yang berarti Allah SWT sudah mempersiapkan keduanya dalam kondisi heterogen (yaitu adanya perbedaan).

 

Adanya syurga dan adanya neraka menunjukkan akan adanya calon calon penghuni syurga dan calon calon penghuni neraka yang berarti ada hak hidup ke duanya di muka bumi ini dan inipun menunjukkan adanya heterogenitas. Katakan, kita sedang berusaha keras untuk konsisten menjadi calon calon penghuni syurga dan jika ini sikap kita maka kita tidak bisa memaksakan kehendak kita agar semua orang mengikuti kita, atau kita mengganggap orang orang yang tidak sepemahaman dengan diri kita lalu kita musuhi atau kita jauhi, atau bahkan kita aniaya. Hal ini tidak dibenarkan oleh Allah SWT.

 

Pilihan menempuh dan menjadi calon calon penghuni syurga atau calon calon penghuni neraka adalah pilihan masing masing orang, yang tidak boleh kita campuri. Kita hanya bisa menghimbau, hanya bisa mengingatkan selanjutnya biarkan mereka melaksanakan apa apa yang menjadi pilihannya. 

 

Adanya perbedaan perbedaan warna kulit, suku, agama, bahasa, sosial budaya, profesi, pangkat, jabatan, kekayaan yang ada di dunia ini, bukanlah sesuatu yang menghalangi kita untuk berbuat kebaikan kepada sesama, apalagi menjadikan diri kita saling bermusuh musuhan. Adanya perbedaan seharusnya menjadi hikmah yang indah dalam kehidupan ini. Apalagi Allah SWT selaku pemilik dan pencipta dari keberagaman ini tidak pernah menjadikan keberagaman sebagai dasar di dalam menilai kekhalifahan yang ada di muka bumi ini. Allah SWT telah memiliki parameter tersendiri di dalam menilai, yaitu melalui parameter ketaqwaan.

 

Sebagai orang yang berjiwa muthmainnah, tentu kita tidak akan pernah merusak tatanan keberagaman ini dengan mengatasnamakan suku tertentu, agama tertentu, warna kulit tertentu, keturunan tertentu, golongan tertentu, profesi tertentu, bahasa tertentu, dengan mengatakan kamilah yang terbaik, yang lain tidak ada apa apanya dibandingkan mereka. Padahal Allah SWT tidak pernah melihat bentuk penampilan phisik seseorang, melainkan taqwa yang menjadi ukurannya.

 

Untuk itu jadikan perbedaan yang ada sebagai anugerah dalam kehidupan ini karena masing masing yang berbeda memiliki karakteristik tersendiri yang saling melengkapi dan membuat sesuatu menjadi enak, indah dan nyaman. Untuk itu mari kita belajar kepada masakan yang kita masak dengan membayangkan jika masakan yang kita buat tidak ada garamnya atau kurang garam. Lalu apa yang terjadi?  Rasa dari masakan menjadi hambar dan kurang enak. Padahal di dalam masakan itu sudah ada berbagai macam macam bumbu, tetapi karena kurang garam, rusaklah rasa masakan tadi.

 

Kehidupan yang bersifat heterogen ini jangan sampai dirubah menjadi homogen karena ego sektoral dan memperturutkan ahwa (hawa nafsu). Ingat, konsep kehidupan yang kita jalani saat ini laksana makanan yang terdiri dari berbagai macam bumbu bumbu, yang masing masing bumbu membawa nilai nilai yang terkandung di dalamnya.

 

Semakin pandai kita meramu berbagai macam bumbu dalam ukuran tertentu maka lahirlah makanan yang lezat. Hal yang samapun berlaku dalam kehidupan ini, yaitu jika kita adalah orang yang berjiwa muthmainnah maka ia sangat pandai meramu nilai nilai perbedaan yang ada di dalam masyarakat untuk kemaslahatan umat, bukan untuk kehancuran umat. Alangkah indahnya kehidupan yang telah dipersiapkan Allah SWT untuk kita semua, sepanjang kita tahu dan mengerti cara mengolahnya. 

 

L.      MEMILIKI PRINSIP HIDUP SEKALI, HARUS BERARTI, LALU MATI.

 

Orang yang memiliki jiwa Muthamainnah adalah orang yang mampu menyadari dengan sepenuh hatinya bahwa hidupnya hanya sekali, harus berarti lalu mati sehingga ia mampu meninggalkan kenangan kebaikan yang baik bagi generasi yang datang di kemudian hari, melalui anak dan keturunan yang shaleh dan shalehah baik langsung ataupun tidak langsung, melalui pepohonan yang ditanamnya, dan melalui karya karya nyata baik yang nampak maupun yang tidak nampak seperti memberikan beasiswa, menyalurkan air, membangun masjid, melalui mushaf yang diwakafkan, memberikan modal usaha kepada usaha kecil dan lain sebagainya.

 

Allah SWT berfirman: “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar). (surat Ar Ruum (30) ayat 41)”. Orang yang berjiwa Muthmainnah mampu hidup selaras dengan lingkungan, karena ia tahu dan paham bahwa hewan, tumbuhan, tanah, air, dan udara adalah bagian dari hidup manusia, tanpa mereka kita tidak bisa hidup. Mereka adalah karunia Allah dan manusia berkewajiban berterima kasih kepada alam dengan cara merawat dan melestarikannya.

 

Orang yang berjiwa muthmainnah tidak akan mudah terperdaya oleh harta benda, kedudukan dan besarnya keluarga seseorang. Janganlah pula engkau tergiur olehnya, karena Allah SWT tidaklah memandang manusia dari segi harta benda dan kekuatannya. Melainkan Allah SWT melihat hati manusia.

 

Banyak orang fakir yang mana hatinya penuh kaya dengan anugerah dari Allah SWT. Sehingga jamuan makannya jauh lebih kaya dari seorang yang paling kaya sekalipun. Janganlah pula engkau lupa tentang orang yang berbuat kedzaliman bahwa takdir di ubun ubunnya adalah berada dalam genggaman Allah SWT. Allah SWT tidak akan berbuat dzalim kepada siapapun, dan Allah SWT juga tidak menyukai orang yang berbuat kedzaliman.

 

M.   MAMPU MENITI JALAN IKHLAS YANG DILANDASI NIAT YANG SUCI.

 

Orang yang memiliki jiwa muthmainnah adalah orang yang mampu meniti jalan ikhlas dalam hidup dan kehidupannya, yakni mampu meniti jalan bukan karena siapa siapa melainkan hanya karena Allah SWT semata. Ikhlas tidak akan terealisasi dalam amal, kecuali didukung oleh dua unsur pokok:

 

   .     1. Menghadirkan niat di dalam beramal tersebut, karena setiap amal itu tergantung niatnya. Orang yang mengerjakan suatu amal tanpa disertai niat, yang baik atau buruk, ia tidak akan masuk golongan orang yang ikhlas;

 

       2. Memurnikan niat dari semua motif yang bersifat pribadi atau duniawi, sehingga menjadi benar benar ikhlas karena Allah ta’ala.

 

Agar diri kita mampu mempertahankan keikhlasan yang sudah didukung oleh niat yang suci serta mampu bertambah kualitasnya dari waktu ke waktu, berikut ini akan mengajak pembaca buku ini untuk merenungi pernyataan dari “Albert Einstein”, berikut ini: “Dari bahan yang sama dan dengan cara yang sama, kita bisa menghasilkan sesuatu yang berbeda”. Pernyataan dari “Albert Einstein” ini bukanlah sebuah isapan jempol, akan tetapi sebuah kenyataan yang tidak bisa kita bisa sembunyikan. Adanya rumus ini akan menghasilkan adanya perbedaan perbedaan yang paling mendasar antar satu orang dengan orang lainnya sehingga terlihatlah kualitas manusia.

 

Adapun yang membuat hasil akhir dari sesuatu pekerjaan, atau suatu ibadah, atau pelaksanaan perintah dan larangan Allah SWT bukan semata mata karena “bahan yang sama dan dengan cara yang sama” melainkan ada faktor lain yang tidak kentara yang mengakibatkan hasil akhirnya berbeda. Adapun faktor faktor yang memegang peranan sangat penting itu adalah:

 

1.     Keikhlasan seseorang di dalam melaksanakan pekerjaan, atau ibadah tertentu.

2.   Niat yang melatarbelakangi seseorang untuk berbuat sesuatu, melaksanakan sesu-atu atau melaksanakan ibadah tertentu.

3.  Ilmu dan pemahaman yang dimiliki seseorang akan mempengaruhi kemampuan seseorang terhadap sesuatu hal, katakan ibadah, sehingga setiap orang akan melakukan ibadah sesuai dengan pemahaman yang dimilikinya. Semakin baik pemahamannya semakin baik ibadahnya, demikian pula sebaliknya.

4. Pengamalan seseorang terhadap pemahaman yang dimilikinya menjadikan seseorang memiliki pengalaman dan juga peningkatan penghayatan seseorang terhadap apa yang mereka kerjakan atau ibadah yang mereka laksanakan.

5.     Daya juang seseorang untuk melakukan sesuatu pekerjaan atau suatu ibadah. Atau kesungguhan di dalam melaksanakan suatu pekerjaan atau suatu ibadah akan menjadi pembeda kualitas antar satu orang dengan orang lainnya yang pada akhirnya akan menghasilkan hasil akhir yang berbeda.

6.     Seni (art) di dalam melakukan suatu pekerjaan atau suatu ibadah juga akan sangat mempengaruhi hasil akhir dari suatu pekerjaan dikarenakan masing masing orang memiliki latar belakang kemampuan yang berbeda beda.

 

Enam hal yang kami kemukakan di atas, merupakan persoalan yang paling hakiki yang dihadapi oleh setiap orang karena dari sinilah asal muasal kenapa hasil dari suatu pekerjaan, atau suatu ibadah tidak menghasilkan sesuatu yang sama atau tidak sesuai dengan yang telah diperintahkan oleh Allah SWT. 

 

Hal yang harus kita pahami dengan baik dan benar adalah setiap perintah yang telah diperintahkan oleh Allah SWT pasti untuk kemaslahatan diri kita. Namun berapa banyak orang yang telah melaksanakan perintah namun hasilnya diluar kehendak Allah SWT. Padahal kita telah tahu bahwa perintah Allah SWT nya  tidak pernah salah, namun kitalah yang salah di dalam melaksanakan perintah Allah SWT dimaksud. Dan yang paling hakiki adalah yang harus kita perbaiki terlebih dahulu adalah enam hal diatas barulah kita bisa sesuai dengan kehendak Allah SWT

 

Bagi orang orang yang telah mampu menjadikan jiwanya jiwa muthmainnah, ke enam hal di atas bukanlah sesuatu yang menjadi persoalan baginya karena ia telah mampu melewati masa masa itu dalam hidupnya. Keikhlasan dalam beribadah yang ditunjang dengan niat yang suci sudah santapan sehari hari mereka sehingga sudah menancap dalam hati nurani mereka. Mereka sadar betul bahwa niat yang suci itu adalah amalan hati, bukanlah amalan lisan.

 

Orang yang berjiwa muthmaninnah mampu menghadirkan niat yang suci yang dibarengi dengan mengosongkannya dari berbagai ambisi dan keinginan yang bersifat pribadi dan duniawi. Kita harus mengikhlaskan niat semata mata untuk Allah SWT dalam semua amal akhirat sehingga memperoleh penerimaan di sisi Allah.Hal ini karena setiap amal shaleh mempunyai dua rukun, Amal tersebut tidak akan diterima di sisi Allah, kecuali dengan memenuhi kedua rukun tersebut. Pertama, ikhlas dan memperbaiki niat. Kedua, sesuai sunnah dan cara cara yang diajarkan syariat.

 

Amal yang ikhlas tetapi tidak benar, maka ia tidak akan diterima. Dan jika amal itu benar tetapi tidak ikhlas, juga tidak diterima, sampai ia menjadi amal yang ikhlas dan benar. Ikhlas itu artinya semata mata untuk Allah, dan benar artinya sesuai dengan sunnah.Perkataan tidak berguna, kecuali dengan perbuatan. Perkataan dan perbuatan tidak berguna, kecuali dengan niat. Perkataan, perbuatan, dan niat tidak berguna, kecuali yang sesuai dengan sunnah/syariat yang berlaku. Amal tidak menjadi baik, kecuali dengan tiga perkara; (1) Taqwa kepada Allah; (2) Niat yang baik; (3) Benar, yakni dikerjakan dengan cara yang benar menurut syariat. Amal amal itu ibarat patung patung yang berdiri tegak, sedangkan ruhnya adalah keberadaan rahasia ikhlas di dalamnya. Jika demikian, tanpa ikhlas, amal tidak akan diterima betapapun pada lahirnya ia tampak baik dan shaleh. Contohnya pembangunan masjid dengan tujuan yang salah dan berjihad demi keuntungan duniawi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar