Hidup adalah masa atau saat bersatunya jasmani dengan ruh dan jika keduanya berpisah maka berakhirlah hidup manusia. Jasmani akan dikembalikan ke asalnya yaitu tanah dan ruh akan kembali kepada penciptanya yaitu Allah SWT dan untuk sementara waktu akan ditempatkan di alam barzakh sampai hari kiamat tiba. Selanjutnya jika jasmani telah kembali ke tanah, maka habislah jasmani kita ditelan bumi atau tanah. Akan tetapi apakah ruh juga akan habis atau binasa seperti halnya jasmani yang ditelah bumi? Jika ruh habis seperti jasmani yang ditelan oleh bumi dan juga dimakan cacing.
Timbul
pertanyaan siapakah yang sebenarnya ditemui oleh Nabi Muhammad SAW di langit
pertama sampai dengan langit ke tujuh pada waktu peristiwa Mi’raj atau siapakah
yang ditangisi dan ditertawakan oleh Nabi Adam as, di langit yang pertama?
Apakah jasmani kembali atau berpulang ke atas atau letak bumi ada di atas?
Mustahil di akal jika letak bumi ada di atas sebab arti dari kata Mi’raj itu
sendiri adalah perjalanan ke atas dari bumi (Masjidil Aqsa) menuju Arsy
(Sidratul Muntaha).
Sekarang jasmani telah hancur sedangkan ruh berdasarkan “hadist
Isra’ dan Mi’raj” ternyata masih utuh bentuknya sesuai dengan bentuk atau
cetakan jasmani itu sendiri. Ruh juga masih mempunyai mata dan juga penglihatan. Ruh
juga masih mempunyai telinga dan juga pendengaran. Ruh juga masih mempunyai
mulut dan juga berkata-kata. Ruh juga masih mempunyai hati dan juga perasaaan. Ruh
juga masih mempunyai ilmu dan juga pengetahuan. Ruh juga masih mempunyai
kekuatan yang berasal dari sifat Qudrat. Ruh juga masih mempunyai kehendak yang
berasal dari sifat Iradat dan Ruh juga mempunyai hayat yang berasal dari sifat Hayat (simak hadits
tentang Isra Mi'raj diatas, pada waktu Nabi Adam as, menangis jika menengok ke
kiri dan tertawa jika menengok ke kanan atau pada waktu Nabi Musa as,
memberikan nasehat kepada Nabi Muhammad SAW atau pada waktu Nabi kita
menerangkan ciri-ciri Nabi Musa as, dan Nabi Isa as dan Nabi Ibrahim as).
Jika ruh masih tetap utuh sedangkan jasmani telah hancur, jadi siapakah diri kita yang sesungguhnya atau siapakah yang sesugguhnya manusia itu? Apakah jasmani yang telah hancur dimakan cacing dalam tanah dapat merasakan seperti apa yang dirasakan oleh: (a) Nabi Adam as, yaitu menangis dan tertawa sewaktu melihat anak dan cucunya yang ahli syurga dan ahli neraka; (b) Nabi Musa as, yang dapat memberikan nasehat kepada Nabi Muhammad SAW; (c) Nabi Ibrahim as, yang dapat menyapa dan menyambut tamunya; (d) Nabi Isa as, yang dapat menyapa dan menyambut tamunya; (c) Nabi Muhammad SAW dapat menerangkan keadaan atau ciri-ciri phisik dari Nabi Musa as, Nabi Isa as, dan Nabi Ibrahim as,.
Berdasarkan kondisi yang terjadi pada saat peristiwa Mi'raj, akal
sehat manusia pasti dapat menyatakan bahwa yang dapat merasakan adalah sesuatu
yang masih utuh dan sempurna, dalam hal ini adalah ruh. Adanya kondisi ini yang
manakah diri kita yang sesungguhnya, ruh kah diri kita atau jasmanikah diri
kita? Untuk itu mari kita pelajari tentang Nabi Adam as, yang ditemui oleh Nabi
Muhammad SAW di langit yang pertama. Dimana beliau menangis pada waktu menengok
ke kiri serta beliau tertawa pada waktu menengok ke kanan.
Timbul pertanyaan, apa yang ditangisi dan apa
yang ditertawakan oleh Nabi Adam as,? Nabi Adam as, menangis pada waktu
menengok ke kiri karena yang di kiri beliau adalah anak cucunya yang ahli
Neraka sedangkan Nabi Adam as, tertawa
pada waktu beliau menengok ke kanan karena yang di kanan adalah anak cucunya
yang ahli syurga. Sekarang, ada anak cucu yang ahli syurga dan ada anak cucu
yang ahli neraka, siapakah yang dimaksud oleh Nabi Adam as, tersebut? Anak cucu
yang berupa jasmani tanpa ruhanikah, atau anak cucu yang berupa jasmani dengan ruhanikah,
ataukah anak cucu yang berupa ruhani tanpa jasmanikah? Yang pasti kejadian yang
dilihat oleh Nabi Muhammad SAW di langit yang pertama bukanlah jasmani dengan ruhani
dan bukan pula jasmani tanpa ruhani sebab keduanya pasti ada di bumi atau ada
di tanah atau ada di kuburan, jadi siapakah yang dimaksud? Anak cucu yang
dimaksud oleh Nabi Adam as, adalah anak cucu beliau yang berupa ruhani tanpa jasmani.
Berdasarkan hadits Isra’ & Mi'raj
terutama yang menerangkan tentang keberadaan Nabi Adam as, yang menangis pada
waktu menengok ke kiri dan tertawa pada waktu menengok ke kanan, terdapat
beberapa hal yang harus digarisbawahi, yaitu:
a. Ada dua kelompok anak cucu dari Nabi Adam as, yaitu anak
cucu yang ahli neraka atau yang akan hidup bertetangga dengan syaitan dan anak
cucu yang ahli syurga.
b. Ada dua tempat kembali bagi anak cucu dari Nabi Adam as,
yaitu Kampung Kesengsaraan dan Kebinasaan yang bernama neraka dan Kampung
Kebahagiaan yang bernama syurga.
c. Jika ada dua tempat untuk kembali bagi anak cucu dari
Nabi Adam as, maka pasti ada dua ketentuan yang akan berlaku bagi anak cucu
dari Nabi Adam as, yaitu ketentuan bagi
anak cucu yang ingin pulang ke Kampung Kesengsaraan dan Kebinasaan dan ketentuan
bagi anak cucu yang ingin pulang kampung
ke Kampung Kebahagiaan.
d. Adanya syurga sebagai Kampung Kebahagiaan dan neraka
sebagai Kampung Kesengsaraan dan Kebinasaan, sekarang bagaimana caranya untuk
mengisi ke dua kampung tersebut dengan seadil-adilnya.
e. Adanya syurga dan adanya neraka sebagai tempat kembali
berarti saat ini ada hak hidup bagi calon penghuni syurga dan calon penghuni neraka.
f. Adanya syurga dan neraka sebagai tempat kembali, maka ini
berarti ketentuan Rukun Iman tentang Hari Kiamat berlaku bagi anak cucu Nabi
Adam as.
Sekarang yang ditangisi dan yang ditertawakan oleh Nabi Adam as, adalah
ruh tanpa jasmani dan jika salah satu atau keduanya adalah diri kita sendiri,
lalu siapakah diri kita yang sesungguhnya? Jika yang ditangisi dan ditertawakan adalah
diri kita apakah yang berbentuk ruh tanpa jasmani, ataukah ruh dengan jasmani,
ataukah jasmani tanpa ruhi? Yang jelas dalam kasus ini pasti bukan ruh dengan jasmani
dan jasmani tanpa ruh, maka yang ditangisi atau yang ditertawakan oleh Nabi Adam as, adalah
diri kita dalam bentuk ruh tanpa jasmani. Adanya kondisi ini berarti jati diri kita yang sesungguhnya
adalah ruh.
Atas dasar apakah ruh dikatakan sebagai jati
diri kita yang sesungguhnya? Hal ini dikarenakan setelah berpisahnya jasmani dengan ruh maka ruh
yang akan menjadi penanggung jawab atas seluruh perbuatan, atau ruh yang akan
menerima hasil atas seluruh usaha dari perjalanan hidup manusia di muka bumi.
Jika ruh adalah penanggung jawab atas segala apa yang dilakukan diri kita
selama hidup di dunia maka ruh yang akan menerima ganjaran, atau ruh yang akan
memperoleh upah, atau ruh yang akan merasakan siksaan, atau ruh yang akan
memperoleh penilaian atas keberhasilan menjadi abd’ (hamba)Nya yang juga
khalifahNya di muka bumi sehingga jika ia berhasil maka ruh yang akan pulang ke
“Kampung Kebahagiaan” dan jika gagal maka ruh yang akan pulang ke “Kampung
Kesengsaraan dan Kebinasaan.”
Hal ini dikarenakan ruh masih tetap utuh
sampai kapanpun juga, ruh tidak berubah sedikitpun dan ruh tetap mempunyai
kemampuan sebab
ruh itu sendirilah kemampuan dan kekuatan bagi jasmani dan ini terbukti setelah
jasmani ditinggal oleh ruh maka jasmani tidak memiliki kekuatan apapun juga.
Adanya
kondisi ini maka kita semuanya adalah berasal dari Allah SWT, kita
semuanya adalah satu keturunan dan ini
berarti kita semua akan selalu berada dalam “Nilai-Nilai Kebaikan” yang
berasal dari “Nilai-Nilai Ilahiah.”
Lalu siapakah yang menjadi abd’ (hamba)Nya
dan yang juga menjadi khalifahNya di
muka bumi itu? Berdasarkan uraian di atas, maka yang menjadi abd’ (hamba) yang
juga adalah khalifah di muka bumi adalah ruh. Hal ini dikarenakan segala sifat
dan perbuatan dari ruh sesuai dengan kondisi dan keadaan dari sifat dan
perbuatan Allah SWT. Selain daripada itu, masih ada dua alasan lain yang
menjadikan jasmani bukan menjadi jati diri manusia yang sesungguhnya, yaitu:
a. Khalifah adalah
pengatur, pemelihara, pengawas dari alam sehingga dengan adanya kekhalifahan
terpeliharalah dan terjagalah alam dari kerusakan. Di lain sisi Jasmani asalnya
dari alam, sekarang bagaimana caranya
sesuatu yang berasal dari alam atau sama dengan alam dapat menjalankan tugas
sebagai khalifah di alam jika jasmani jika tidak memiliki kelebihan dari alam
itu sendiri?
b. Jasmani memiliki sifat
yang mencerminkan nilai-nilai keburukan yang asalnya dari alam, sedangkan khalifah
artinya pengganti atau perpanjangan tangan Allah SWT di muka bumi. Sekarang
dapatkah jasmani yang memiliki sifat-sifat keburukan mewakili atau menjadi
perpanjangan tangan dari Allah SWT yang hanya memiliki sifat dan perbuatan yang
mencerminkan nilai nilai kebaikan di dalam mengelola bumi? Sesuatu yang
memiliki sifat atau nilai keburukan tidak akan bisa mewakili apalagi menjadi
perpanjangan tangan dari pemilik kebaikan dikarenakan akan mencoreng pemilik
kebaikan itu sendiri.
Untuk itu perhatikanlah mayat atau jasmani yang telah dipisahkan
dengan ruh, dapatkah jasmani tadi berbicara atau tertawa atau menangis atau
berjalan? Jasmani tanpa ruh tidak mempunyai kemampuan apapun juga walau telah
dibantu dengan berbagai macam cara ataupun methode. Jika mayat atau jasmani
tanpa ruh dibiarkan saja tergeletak akan hancur dengan sendirinya.
Sekarang jika sesuatu yang tidak mempunyai kemampuan apapun lagi, mungkinkah
dapat dimintakan pertanggungjawaban oleh Allah SWT atau mungkinkah Nabi Adam
as, mau menangisi atau tertawa kepada mayat, atau jasmani tanpa ruh yang tidak
mempunyai kemam-puan apapun juga? Adanya kondisi ini maka dapat dikatakan bahwa
kedudukan jasmani lebih rendah dibandingkan dengan kedudukan ruh sehingga sesuatu
yang lebih rendah kedudukannya tidak pantas dijadikan khalifah di muka bumi
oleh Allah SWT.
Timbul pertanyaan, siapakah yang akan
dikhalifahi oleh ruh saat diri kita menjadi khalifah di muka bumi ini? Secara
pribadi-pribadi atau secara individual, setiap ruh akan menjadi khalifah bagi jasmani. Ruh secara
luas juga menjadi khalifah bagi seluruh ciptaan Allah SWT yang ada di muka bumi
ini termasuk di dalamnya menjadi khalifah bagi anak dan keturunan kita sendiri,
bagi istri atau suami, bagi masyarakat bangsa dan juga negara, sehingga dengan
adanya kekhalifahan yang ada di muka bumi ini terperiharalah segala ciptaan Allah
SWT. Hal yang harus kita perhatikan adalah baik kekhalifahan yang bersifat
individualistis ataupun yang bersifat luas, kedua-keduanya hanyalah ketentuan
umum semata yang tidak bisa menentukan hasil akhir dari kekhalifahan yang kita
lakukan. Hal ini dikarenakan sebuah ketentuan umum tidak bisa dipergunakan untuk
menilai keberhasilan dari kekhalifahan.
Untuk itu Allah SWT selaku pencipta dari kekhalifahan di muka bumi,
melalui surat Asy
Syams (91) ayat 7-8-9 berikut ini: “dan jiwa serta
penyempurnaannya (ciptaannya), Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan)
kefasikan dan ketakwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan
jiwa itu.” telah
menetapkan hanya ada dua kondisi saja keadaan ruhani setelah dipersatukan dengan
jasmani, yaitu Jiwa Taqwa dan Jiwa Fujur. Jiwa Taqwa adalah
kondisi dari ruhani setelah disatukan dengan jasmani dimana ruhani mampu
melaksanakan tugas mengkhalifahi jasmani, atau cerminan dari ruhani yang mampu
mengalahkan jasmani sehingga perbuatan diri kita sesuai dengan kehendak Allah
SWT.
Sedangkan Jiwa Fujur adalah kondisi dari ruh setelah disatukan dengan jasmani
dimana ruh tidak mampu menjalankan tugas mengkhalifahi jasmani, atau cerminan
dari jasmani yang mampu mengalahkan ruh sehingga perbuatan diri kita sesuai
dengan kehendak syaitan. Hasil akhir dari jiwa taqwa adalah mampu menjadikan
diri kita tetap sebagai makhluk yang terhormat sehingga dapat pulang kampung ke
tempat yang terhormat, dengan cara yang terhormat untuk bertemu dengan Yang
Maha Terhormat dalam suasana yang saling hormat menghormati. Sedangkan hasil
akhir dari jiwa fujur adalah menjadikan diri kita menjadi makhluk yang
terhormat dihadapan syaitan sehingga pulang kampung bersama syaitan ke neraka
Jahannam.
Selain daripada itu, masih ada indikator lain yang dapat kita pergunakan
untuk menilai apakah kekhalifahan yang kita laksanakan saat ini atau hasil dari
ruh mampu mengkhalifahi jasmani masih sesuai dengan kehendak Allah SWT adalah
kita harus mengacu kepada ketentuan hadits qudsi yang kami kemukakan di bawah
ini atau yang kami kemukakan di awal bab ini. Usman bin Affan
r.a. berkata: Nabi SAW bersabda: Allah SWT ta’ala berfirman; Apabikla
usia hamba-Ku telah mencapai empat puluh tahun, Aku bebaskan ia dari tiga
penyakit: Gila, Kusta dan sopak (belang). Dan bila mencapai lima puluh tahun
Aku menghisabnya seringan-ringannya. Bila mencapai enam puluh tahun Aku
gemarkan ia bertobat. Bila mencapai tujuh puluh tahun Aku jadikan Malaikat
cinta kasih kepadanya. Dan bila mencapai delapan puluh tahun, Aku catat
kebaikan dan Aku hapus dosa-dosanya. Dan bila mencapai sembilan puluh tahun,
maka berkatalah Malaikat kepadanya: Tawanan Allah diatas bumi, dan diampunkan
baginya dosa-dosanya yang lalu dan yang akan datang, dan diberi hak syafa’at.
Dan bila sampai pada usia yang terjelek (selemah-lemahnya), maka Allah mencatat
baginya pahala apa yang biasa dikerjakan di masa sehat kuatnya, dan bila
berbuat dosa tidak dicatat atasanya.(Hadits
Qudsi Riwayat Ath Thirmidzi; 272:16)
Allah SWT selaku pencipta konsep penghambaan dan juga konsep kekhalifahan
di muka bumi telah menetapkan indikator keberhasilan berdasarkan kelompok usia
seseorang. Sebagai hamba yang juga khalifah di muka bumi, dikelompok manakah
diri kita saat ini? Jika kita telah tahu, sudahkah indikator yang kami
kemukakan di atas kita sesuaikan dengan kondisi diri kita? Jika hasilnya sesuai
berarti keadaan diri kita masih sesuai dengan konsep awal diciptakannya
manusia. Akan tetapi jika indikator yang kami kemukakan di atas tidak sesuai
berarti ada sesuatu yang salah di dalam penghambaan dan juga dalam kekhalifahan
yang kita laksanakan saat ini. Untuk itu
jika kita masih hidup saat ini, maka pergunakanlah sisa waktu yang ada pada
saat ini untuk melakukan taubatan nasuha sebelum malaikat maut datang
melaksanakan tugas kepada diri kita.
Jika diri kita yang sesungguhnya adalah ruh berarti yang menjadi presiden, yang menjadi menteri, yang menjadi gubernur, yang menjadi bupati/walikota, yang menjadi eksekutif, yang menjadi legislatif, yang menjadi yudikatif, yang menjadi polisi, yang menjadi pengusaha dan yang menjadi rakyat semuanya adalah ruh. Hal dikarenakan jasmani tidak memiliki kemampuan apapun jika tanpa ruh. Adanya kondidi ini berarti Nilai-Nilai Kebaikan yang berasal dari Nilai-Nilai Ilahiah yang sesuai dengan kehendak Allah SWT adalah nilai-nilai yang harus selalu ada di muka bumi ini, dimanapun, kapanpun dan dalam keadaan apapun juga.
Dan jika yang terjadi saat ini nilai-nilai
keburukan, dan juga nilai-nilai kejahatan yang sesuai dengan kehendak syaitan,
maka dapat dipastikan ada yang salah di dalam diri manusia yang ada di muka
bumi ini. Sekarang bertanyalah kepada diri kita masing-masing dengan
mempertanyakan sudahkah kita mampu menjadikan ruh adalah jati diri kita yang
sesungguhnya yang kemudian kita buktikan saat kita hidup di dunia? Jika sampai
kita tidak bisa menjadikan diri kita yang sesungguhnya adalah ruh berarti kita
memang belum tahu diri, belum tahu aturan main dan belum tahu tujuan akhir.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar