2. Hubbul
Istitlaq Yang Sudah Tidak Fitrah. Berikut ini akan
kami kemukakan kondisi dari keinginan untuk tahu yang sudah tidak fitrah lagi
atau yang sudah tidak sesuai lagi dengan Nilai-Nilai Kebaikan. Jika ini yang
terjadi maka keinginan untuk tahu yang ada di dalam diri sudah dikendalikan
atau sudah di bawah pengaruh ahwa (hawa nafsu) dan juga syaitan sehingga kita
berada di luar koridor kehendak Allah SWT. Adapun kondisi Keinginan untuk Tahu
yang sudah tidak fitrah lagi dapat kami kemukakan sebagai berikut :
a. Panjang Angan-Angan. Keinginan untuk tahu merupakan anugerah yang diberikan oleh Allah SWT
kepada setiap manusia, termasuk kepada diri kita sehingga diri kita mempunyai energi dan
dorongan untuk mendapatkan atau memperoleh ilmu dan juga pengetahuan dalam
rangka memudahkan diri kita menjadi khalifah di muka bumi. Salah satu ukuran bahwa diri kita telah berhasil mempergunakan
keinginan untuk tahu adalah timbulnya rasa optimis dan percaya diri saat
menghadapi problem atau tantangan hidup di muka bumi. Hal yang dilarang dan yang tidak diperkenan-kan di dalam mempergunakan
keinginan untuk tahu adalah manusia tidak diper-kenankan mempunyai sifat
panjang angan-angan, atau berpikir sempit atau melamun berkepanjangan dan jika
hal ini yang terjadi berarti ada sesuatu yang salah di dalam penggunaan
keinginan untuk tahu. Allah SWT berfirman: “Sesungguhnya orang-orang yang kembali ke
belakang (kepada kekafiran) sesudah petunjuk itu jelas bagi mereka, syaitan
telah menjadikan mereka mudah (berbuat dosa) dan memanjangkan angan-angan
mereka. (surat Muhammad (47) ayat 25)
Timbul sebuah pertanyaan, mengapa panjang angan-angan, atau berpikir
sempit dan juga melamun berkepanjangan tidak sesuai dengan kehendak Allah SWT? Adanya kondisi ini akan
membuat manusia malas untuk bekerja dikarenakan motivasi rendah atau manusia
lebih suka mengambil jalan pintas untuk mencapai sesuatu atau membuat manusia
terlena dengan kehidupan duniawi dan seterusnya. Sedangkan
yang dikehendaki oleh Allah SWT bukanlah hal yang seperti itu melain-kan aktif
dan giat bekerja, memiliki motivasi yang kuat serta tidak mengenal istilah
kalah sebelum berperang. Hal yang harus kita ingat adalah kebesaran dan kemahaan
Allah SWT hanya akan diberikan kepada orang yang aktif meminta kepada Allah
SWT. Dan jika kita diam saja kepada Allah SWT maka Allah SWTpun akan diam saja
kepada kita.
b. Penakut.
Penakut, pengecut dan rendah diri bukanlah hasil yang dikehendaki Allah SWT
dari penggunaan energi dan dorongan yang
berasal dari keinginan untuk tahu. Berilmu, penakluk, jujur dan percaya diri
serta diamalkan, diajarkan untuk kebaikan sesama manusia merupakan hasil yang dikehendaki dan
yang dibenarkan oleh Allah SWT atas penggunaan energi dan dorongan yang berasal
dari keinginan untuk tahu. Sekarang Penakutkah diri anda atau beranikah diri
anda atau rendah dirikah anda atau percaya dirikah anda saat menjadi khalifah
di muka bumi? Pilihan ada pada diri anda sendiri, yang pasti keinginan untuk tahu akan dimintakan pertanggung-jawabannya
oleh Allah SWT kelak.
c. Atheis
(Tidak Mempunyai Agama atau Tuhan). Adanya keinginan
untuk tahu mendorong manusia untuk memperoleh ilmu dan pengetahuan. Setelah
mempero-leh ilmu dan pengetahuan, apa yang harus kita lakukan? Setelah memiliki
ilmu dan pengetahuan maka dengan ilmu dan pengetahuan tersebut harus dapat
mendekatkan diri kita kepada Allah SWT atau membuat diri kita lebih beriman
kepada Allah SWT. Selanjutnya dengan adanya kondisi ini berarti pemanfaatan dan
penggunaan energi keinginan untuk tahu tidak boleh menjadikan diri kita menjadi
manusia yang bersifat Atheis, yaitu manusia yang tidak mempunyai agama atau
manusia tidak mempercayai adanya Allah SWT atau yang menjauhkan diri kita
kepada Allah SWT. Jika sampai diri kita tidak mampu mendekatkan diri
kepada Allah SWT setelah memiliki ilmu dan pengetahuan, cepat-cepatlah
melakukan “Taubatan Nasuha” sebab ada yang salah
di dalam diri kita.
Sebagai abd’ (hamba)-Nya yang sekaligus khalifah-Nya di muka bumi yang
saat ini sedang mempergunakan Hubbul Istitlaq dalam diri, ada satu hal yang
harus kita perhati-kan saat hidup di dunia ini, yaitu Allah SWT tidak
membutuhkan apapun juga dari penggunaan Hubbul Istitlaq sebab Allah SWT sudah
Maha dan akan Maha selamanya. Allah SWT juga tidak
memperdulikan apakah Hubbul Istitlaq mau dipergunakan dengan cara-cara Ilahiah
ataukah mau dipergunakan dengan cara-cara syaitani, yang pasti adalah Allah SWT
akan meminta pertanggungjawaban dari Hubbul Istitlaq yang ada pada diri kita selama diri kita menjadi abd’ (hamba)-Nya yang juga khalifah-Nya di muka
bumi.
D. HUBBUL JAM’I (INGIN BERKUMPUL)
Adakah Hubbul Jam’i di dalam diri kita? Di dalam setiap diri manusia baik
itu laki-laki maupun perempuan pasti mempunyai Hubbul Jam’i atau keinginan
untuk berkumpul. Adanya Hubbul Jam’i akan membuat manusia mempunyai energi untuk bergerak atau kekuatan atau dorongan
untuk bekerja sama atau bersama-sama melakukan sesuatu atau membangun
kebersamaan atau menumbuhkan rasa kekeluargaan atau gotong royong atau
toleransi atau saling percaya mempercayai atau tolong menolong dalam rangka
hidup berdampingan sebagai makhluk yang sama-sama diciptakan oleh Allah SWT. Setelah mengetahui
bahwa diri kita mempunyai keinginan untuk berkumpul apakah yang anda rasakan? Adanya keinginan untuk berkumpul akan
mendorong diri kita untuk berusaha hidup berdampingan dengan damai atau
menciptakan keamanan dan ketertiban bersama atau untuk selalu berbuat baik
kepada sesama melalui tolong menolong atau menumbuhkan rasa kekeluargaan dan
lain sebagainya sepanjang memenuhi koridor Nilai-Nilai Kebaikan.
Sekarang apa jadinya jika sampai Allah SWT tidak memberikan kepada kita keinginan
untuk berkumpul, dapatkah kita atau mampukah kita merasakan hidup berdampingan
dalam damai atau merasakan rasa aman dan damai atau merasakan adanya rasa kekeluargaan
dan rasa gotong royong merasakan adanya sikap toleransi atau merasakan saling percaya
mempercayai di tengah-tengah masyarakat? Semua yang kami kemukakan hanya ada di
dalam angan-angan. Setelah mempunyai keinginan untuk berkumpul, dapatkah energi
dan dorongan yang ada di dalam diri lalu kita pergunakan, atau kita dayagunakan
dengan cara-cara yang bertentangan dengan nilai-nilai kebaikan atau
menghasilkan hasil yang juga berkesesuaian dengan nilai nilai keburukan?
Keinginan untuk
berkumpul harus selalu dipergunakan dengan cara-cara yang sportif dan
bertanggung jawab atau tidak dengan cara-cara indimidasi atau tidak dengan cara
cara melecehkan dan merendahkan martabat orang lain, dengan mengatakan hanya
kelompok dialah yang benar serta orang lain salah dan bukan pula sebuah keberhasilan jika keinginan untuk berkumpul menjadikan
masyarakat atau individu saling bermusuh-musuhan, saling bantai membantai,
saling fitnah memfitnah dan saling adu jotos serta saling mementingkan
golongan. Dan keberhasilan atas
penggunaan energi dan dorongan yang berasal dari keinginan untuk berkumpul akan
terindikasi dari makin tingginya rasa toleransi di tengah masyarakat, tingginya
rasa aman dan damai di tengah masyarakat, tingginya rasa kekeluargaan di tengah
masyarakat dan pada akhirnya dapat mengurangi angka kemiskinan, akan dapat
mengurangi angka pengangguran dan akan mengurangi angka kebodohan, serta
berkurangnya angka buta aksara di tengah masyarakat. Sebagai abd’ (hamba)-Nya yang juga khalifah-Nya di muka bumi sudahkah
kita mempergunakan keinginan untuk berkumpul di dalam koridor nilai-nilai kebaikan?
1.
Hubbul Jam’i Yang Masih Fitrah. Sebagai makhluk yang terhormat kita harus menyadari bahwa Hubbul Jam'i
atau keinginan untuk berkumpul yang berasal dari Allah SWT, bukanlah barang
gratisan sehingga Hubbul Jam'i bisa
dipergunakan, bisa didaya-gunakan dengan
seenaknya saja tanpa menghiraukan maksud dan tujuan awal dari pemberian Hubbul
Jam'i. Selanjutnya agar diri kita jangan sampai salah di dalam mempergunakan
Hubbul Jam'i, berikut ini akan kami kemukakan beberapa kehendak Allah SWT yang
yang dapat kita jadikan pedoman di dalam mempergunakan Hubbul Jam'i sehingga
kita selalu berada di dalam kehendak Allah SWT atau jika kita ingin
mempertahankan kefitrahan Hubbul Jam'i,
yaitu :
a. Terpuji. Energi dan dorongan yang berasal dari keinginan untuk berkumpul harus di
lakukan dengan cara-cara terpuji sehingga akan menghasilkan kebaikan dan nilai
yang terpuji sebab dilaksanakan oleh orang-orang yang terpuji pula. Sekarang
sudahkah anda melaksanakan hal-hal yang terpuji atau sudahkah anda menghasil-kan
kebaikan dan nilai yang terpuji atau sudahkah anda menjadi orang yang terpuji?
Jika sekarang tidak ada satupun kriteria terpuji yang sudah anda dapatkan, apa
yang harus kita lakukan? Untuk itu jadikan nilai-nilai kebaikan yang berasal
dari Nilai-Nilai Ilahiah sebagai pedoman di waktu mempergunakan energi dan dorongan
yang berasal dari keinginan untuk berkumpul sehingga diri kita
selalu di dalam kehendak Allah SWT.
b. Dicintai Allah SWT. Maukah anda dicintai oleh Allah
SWT? Rasanya tidak ada satupun manusia di jagad raya ini yang tidak mau
dicintai oleh Allah SWT, yang tidak lain adalah Pencipta, Pemelihara, Pengayom,
Pengasih, Penyayang, Penyabar, serta Penolong bagi seluruh umatnya. Untuk dapat
dicintai oleh Allah SWT perlukah syarat dan ketentuan tertentu? Salah satu syarat dan ketentuan yang harus dimiliki oleh manusia untuk
dicintai oleh Allah SWT adalah selalu berbuat baik kepada sesama.
Agar diri kita dapat melakukan perbuatan baik kepada sesama, maka
pergunakanlah atau dayagunakanlah keinginan untuk berkumpul berdasarkan
Nilai-Nilai Kebaikan di tengah-tengah masyarakat seperti tolong menolong yang
pada akhirnya dapat mengurangi tingkat kemiskinan dan kebodohan atau
menciptakan rasa aman dan damai melalui aktifitas ronda bersama atau
terciptanya rasa kekeluargaan di antara tetangga dekat atau tumbuhnya rasa
kesetiakwanan sosial di tengah masyarakat dan seterusnya. Dan hal
yang harus kita perhatikan adalah penggunaan keinginan untuk berkumpul tidak
boleh menimbulkan gejolak di dalam masyarakat, tidak boleh melalui cara-cara
intimidasi, tidak boleh melecehkan apalagi merendahkan harkat dan martabat
manusia. Jika kita merasa sebagai abd’ (hamba)-Nya yang juga
khalifah-Nya di muka bumi, sudah sepantasnya dan sepantutnya kita mempergunakan
Hubbul Jam'i sesuai dengan apa yang dikehendaki Allah SWT, terkercuali jika
kita ingin pulang ke Neraka Jahannam.
c. Disayang Manusia dan
Namanya Abadi. Keinginan untuk berkumpul di dalam koridor Nilai-Nilai Kebaikan yang
berasal dari Nilai-Nilai Ilahiah akan menghasil-kan 2(dua) dimensi kebaikan dan
keberhasilan yaitu: (1) Dimensi yang berasal dari Allah SWT dan; (2) Dimensi yang
berasal dari manusia. Ini berarti kita tidak hanya dicintai oleh Allah SWT saja tetapi kitapun
disayang dan dicintai oleh sesama manusia sehingga kita akan selalu dikenang
oleh semua orang yang pada akhirnya nama kita akan abadi. Hal yang harus kita hindari
adalah jangan sampai diri kita dikenang oleh orang karena keburukan tingkah
laku kita. Sebagai abd’ (hamba)-Nya yang juga khalifah-Nya apa yang sudah kita
lakukan agar diri kita dikenang dalam kebaikan oleh masyarakat luas lalu
sudahkah kita memiliki karya nyata untuk kemaslahatan masyarakat banyak?
d. Ditolong Allah SWT dan Meneguhkan Kedudukan. Inilah salah satu janji Allah SWT kepada umatnya yang mau beriman dengan
melaksanakan amal shaleh terutama berbuat baik kepada sesama manusia melalui
keinginan untuk berkumpul, apakah itu? Allah SWT berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, jika menolong (agama) Allah, niscaya Dia
akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu. (surat Muhammad (47) ayat 7). Allah SWT akan memberikan pertolongan dan Allah SWT akan memberikan
bantuan kepada umatnya tersebut yang akhirnya akan meneguh-kan kedudukan kita.
Jika ini yang telah dijanjikan oleh Allah SWT saat diri kita mempergunakan
keinginan untuk berkumpul, sudahkah kita memenuhi syarat dan ketentuan agar
diri kita ditolong dan dibantu oleh Allah SWT? Sepanjang diri kita tidak pernah
dan tidak mau memenuhi segala syarat dan ketentuan maka Allah SWT pun tidak
akan pernah pula mau menolong dan membantu diri kita.
e. Mudah Sakratul Maut. Sakratul Maut adalah peristiwa yang pasti dialami oleh setiap manusia
tanpa terkecuali, dimana ruhani dan jasmani dipisah untuk dikembalikan ke
asalnya masing. Adanya peristiwa ini maka berakhirlah hidup manusia di muka
bumi. Hal yang harus kita ketahui adalah bahwa tata cara dan bentuk dari
peristiwa “Sakratul Maut” yang dialami oleh setiap orang akan berbeda-beda
antara manusia yang satu dengan manusia yang lain. Hal ini sangat tergantung
dari seberapa baik atau seberapa buruk amal perbuatan manusia yang bersangkutan,
sebagaimana firmanNya berikut ini: “(yaitu) orang-orang yang diwafatkan dalam keadaan
baik oleh para malaikat dengan mengatakan (kepada mereka): “Salaamun’alaikum,
masuklah kamu ke dalam surga itu disebabkan apa yang telah kamu kerjakan”. (surat
An Nahl (16) ayat 32). Sekarang maukah kita di
mudahkan saat “Sakratul Maut” atau maukah kita meninggal dalam keadaan husnul khatimah?
Jika kita mau dimudahkan saat Sakratul Maut maka pergunakanlah keinginan untuk berkumpul
di dalam koridor nilai-nilai kebaikan di tengah masyarakat sehingga masyarakat
menjadi aman, sehingga masyarakat menjadi tertolong oleh sebab keberadaan diri
kita.
2. Hubbul Jam’i Yang Sudah Tidak Fitrah. Berikut ini akan kami kemukakan kondisi dari keinginan untuk berkumpul
yang kondisinya sudah tidak fitrah lagi atau yang sudah tidak sesuai lagi
dengan Nilai-Nilai Kebaikan. Jika ini yang terjadi maka keinginan untuk berkumpul
yang ada di dalam diri sudah
dikendalikan atau sudah di bawah pengaruh ahwa (hawa nafsu) dan juga syaitan
sehingga kita berada di luar koridor kehendak
Allah SWT. Adapun keinginan untuk berkumpul yang sudah tidak fitrah lagi
dapat kami kemukakan sebagai berikut:
a. Taasub (taklid buta). Adanya energi dan dorongan yang
berasal dari keinginan untuk berkumpul bukan menjadikan diri kita atau kelompok
atau golongan kita saja yang benar sehingga orang lain selalu salah atau
menimbulkan fanatisme kedaerahan, atau fanatisme golongan atau fanatisme yang
merusak tatanan persatuan dan kesatuan bangsa. Hasil akhir dari ini semua adalah
rusaknya nilai kesatuan dan persatuan, rusaknya semangat kebersamaan, yang pada
akhirnya akan timbul hanya mementingkan satu golongan saja dengan mengorbankan
kepentingan umum. Allah SWT berfirman: “Dan apabila
orang-orang kafir itu melihat kamu, mereka hanya membuat kamu menjadi
olok-olok. (Mereka mengatakan): “Apakah ini orang yang mencela tuhan-tuhanmu?”,
padahal mereka adalah orang-orang yang inkar mengingat Allah Yang Maha Pemurah.
(surat Al Anbiyaa’ (21) ayat 36). Dan jika sampai diri kita mempergunakan keinginan untuk berkumpul yang hasil
akhirnya hanya memen-tingkan golongan tertentu saja atau hanya mau
berjuang untuk golongan tertentu saja
berarti diri kita telah mengekploitasi (mendayagunakan) keinginan untuk
berkumpul sesuai dengan kehendak ahwa (hawa nafsu) dan syaitan. Hasil akhir dari
ini semua adalah kita tidak akan mungkin pulang ke syurga sehingga kita tidak
mampu mempertahankan kehormatan yang telah kita miliki.
b. Bersifat seperti binatang. Lihatlah binatang, demi untuk mempertahankan
daerah kekuasaannya atau daerah teritorialnya, maka binatang akan
mempertaruhkan dan mempertahankan diri dengan cara berkelahi sampai babak belur
dan jika sampai manusia menjelek-jelekkan orang lain,
merendahkan martabat orang lain, menye-barkan berita bohong demi mempertahankan kedudukan dan jabatan
yang ada pada dirinya, sehingga tidak ada bedanya bedanya manusia dengan binatang. Sekarang berapa banyaknya manusia demi mempertahankan kekuasaan berbuat
dan berperi-laku lebih rendah dari binatang? Allah SWT berfirman: “Dan apabila manusia ditimpa bahaya dia berdo’a kepada Kami dalam
keadaan berbaring, duduk atau berdiri, tetapi setelah Kami hilangkan bahaya itu
daripadanya, dia (kembali) melalui (jalannya yang sesat), seolah-olah dia tidak pernah berdo’a kepada Kami untuk (menghilangkan) bahaya yang
telah menimpanya. Begitulah orang-orang yang melampaui batas itu memandang baik apa yang selalu mereka
kerjakan. (surat Yunus (10) ayat 12)
Ada sebuah contoh yang diperlihatkan oleh keledai, dimana keledai tidak
akan masuk ke dalam lubang yang sama dua kali. Jika keledai saja mampu
melakukan itu, sekarang bagaimana dengan diri kita? Jika diri kita tidak pernah kapok melakukan perbuatan keji, tidak
pernah kapok melakukan korupsi, tidak pernah kapok melakukan penipuan, tidak
pernah kapok menyakiti hati rakyat berarti keledai lebih baik dan lebih hebat
daripada manusia. Mudah-mudahan diri kita tidak sama dengan keledai.
c. Diktator. Penggunaan energi dan dorongan
atas keinginan untuk berkumpul tidak boleh menghasilkan atau melahirkan
diktator atau pemimpin yang tidak mementingkan kepentingan rakyat atau
melahirkan Fir’aun-Fir’aun generasi dengan gaya baru. Hal ini pun bukan pula
sebuah keberhasilan yang dibenarkan oleh Allah SWT jika kita melakukan hal
tersebut. Hal ini dikarenakan suatu kepemimpinan baru dapat
dikatakan memiliki suatu keberhasilan jika pemimpin tersebut amanah terhadap
rakyatnya, mampu mensejahterakan rakyatnya serta pemimpin tersebut mampu pula
dicintai pula oleh rakyatnya serta setiap doanya didengar
oleh Allah SWT.
Jika saat ini anda sedang menjadi pemimpin yang dihasilkan dari keinginan
untuk berkumpul, sudahkah diri kita menjadi orang amanah kepada rakyat? Allah SWT berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah
suatu kaum mengolok-olokkan kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang
diolok-olokkan) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olokkan) dan jangan pula
wanita-wanita (mengolok-olokkan) wanita-wanita lain (karena) boleh jadi
wanita-wanita (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari wanita (yang
mengolok-olokkan) dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri dan janganlah kamu
panggil memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan ialah (panggilan)
yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertaubat, maka mereka
itulah orang-orang yang zalim. (surat Al Hujuraat (49) ayat 11). Jika kita belum amanah maka segera perbaiki diri dengan melakukan upaya
perbaikan dan pembenahan diri dengan sebaik-baiknya atau memang anda telah
menjadi diktator atau telah menjadi firaun-firaun gaya baru sehingga malu untuk
mengakui kesalahan dihadapan rakyat?
d. Tidak Mempunyai Rasa
Malu. Penggunaan energi dan dorongan atas keinginan untuk berkumpul selama
berada di dalam koridor nilai-nilai kebaikan akan menghasilkan pemimpun yang
dicintai rakyatnya atau pemimpin yang mempunyai rasa malu jika berbuat salah
atau jika melanggar janjinya atau tidak mampu amanah terhadap rakyatnya. Sekarang berapa banyak pemimpin yang tidak mempunyai rasa malu jika
berbuat salah atau berapa banyak pemimpin yang tidak merasa bersalah jika
berbuat yang memalukan? Untuk itu
lihatlah kucing yang memakan makanan yang diambil secara mencuri maka kucing
itu tidak akan tenang dan ia selalu curiga terhadap makanan yang dicurinya
tersebut. Sekarang
bandingkan dengan kucing yang makanannya disediakan oleh manusia, apakah sama
perilakunya ataukah berbeda perilakunya? Jawabannya adalah
perilaku kucing berbeda.
Jika kucing saja mampu memberikan pelajaran kepada kita bahwa perbuatan
yang dilakukannya itu adalah salah dan jika kita tidak mampu berkaca dengan
kucing, lalu siapakah yang lebih baik antara kucing dengan diri kita yang suka mencuri, yang suka korupsi, yang suka mengambil hak orang lain
tanpa memiliki rasa malu? Sebagai abd’ (hamba)Nya yang juga adalah khalifahNya
yang telah diciptakan lebih terhormat daripada kucing, maka kita harus bisa
mempertahankan kehormatan yang kita miliki jika kita tidak mau dikalahkan oleh
kucing selaku binatang yang memiliki rasa malu dan tahu bahwa ia mencuri.
e. Fahsya
(Sesat)/Fahisyah. Keinginan untuk berkumpul akan menghasilkan masyarakat atau kelompok
masyarakat atau perkumpulan atau asosiasi dan lain sebagainya. Lalu jika
kelompok masyarakat, atau perkumpulan atau asosiasi mampu dikelola dengan baik
dan benar maka kelompok atau perkumpulan dapat berperan untuk kepentingan
bersama atau dapat pula memajukan Bangsa dan Negara. Pencapaian hasil yang
seperti ini baru di dapat jika keinginan untuk berkumpul dikelola, dibina, di
dayagunakan sesuai dengan nilai-nilai kebaikan. Dan jika sekarang yang terjadi
adalah perbuatan yang sesat dan menyesatkan, membodohi masyarakat, menipu
masyarakat, memalukan bangsa dan negara apakah yang demikian ini merupakan
sebuah keberhasilan atas penggunaan keinginan untuk berkumpul atau hasil dari
kebebasan berdemokrasi? Jika ini yang terjadi berarti Hubbul Jam'i sudah
dipergunakan berdasarkan nilai-nilai Syaitani.
Kebebasan berkumpul dan juga kebebasan berdemokrasi merupakan sunnatullah
yang berasal dari keinginan untuk berkumpul tidak serta merta dapat
dipergunakan dengan seenaknya saja tanpa memperhatikan syarat dan ketentuan
yang berlaku atau harus memperhatikan nilai-nilai kebaikan yang berlaku. Allah SWT berfirman: “Sebahagian diberi-Nya petunjuk dan
sebahagian lagi telah pasti kesesatan bagi mereka. Sesungguhnya mereka
menjadikan syaitan-syaitan pelindung
(mereka) selain Allah, dan mereka
mengira bahwa mereka mendapat petunjuk. (surat Al A’raaf (7) ayat 30). Sekarang mungkinkah masyarakat madani
yang “gemah ripah loh jinawi” dapat tercapai jika keinginan untuk berkumpul
didayagunakan, dikelola, dipergunakan berdasarkan nilai-nilai keburukan yang
dikehendaki oleh syaitan? Jawaban dari pertanyaan ini adalah jauh panggang
dari api, yang ada hanyalah kebohongan-kebohongan politik, korupsi berjamaah, hanya
mementingkan kelompok tertentu semakin tumbuh subur, yang pada intinya
kepentingan umum selalu dikalahkan oleh kepentingan pribadi dan kelompok.
Sebagai abd’ (hamba)-Nya yang juga khalifah-Nya di muka bumi yang sedang
mempergunakan Hubbul Jam'i (Keinginan untuk Berkumpul), ada satu hal yang harus
kita perhatikan saat hidup di dunia ini, yaitu Allah SWT tidak membutuhkan
apapun juga dari penggunaan Hubbul Jam'i tersebut sebab Allah SWT sudah Maha
dan akan Maha selamanya. Allah SWT juga tidak memperdulikan apakah Hubbul
Jam'i mau dipergunakan dengan cara-cara Ilahiah ataukah mau dipergunakan dengan
cara-cara syaitani, yang pasti adalah Allah SWT akan meminta pertanggungjawaban
dari Hubbul Jam'i yang ada pada diri kita selama diri kita
menjadi abd’ (hamba) yang sekalihus khalifah di muka bumi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar