Label

MEMANUSIAKAN MANUSIA: INILAH JATIDIRI MANUSIA YANG SESUNGGUHNYA (79) SETAN HARUS JADI PECUNDANG: DIRI PEMENANG (68) SEBUAH PENGALAMAN PRIBADI MENGAJAR KETAUHIDAN DI LAPAS CIPINANG (65) INILAH ALQURAN YANG SESUNGGUHNYA (60) ROUTE TO 1.6.799 JALAN MENUJU MAKRIFATULLAH (59) MUTIARA-MUTIARA KEHIDUPAN: JALAN MENUJU KERIDHAAN ALLAH SWT (54) PUASA SEBAGAI KEBUTUHAN ORANG BERIMAN (50) ENERGI UNTUK MEMOTIVASI DIRI & MENJAGA KEFITRAHAN JIWA (44) RUMUS KEHIDUPAN: TAHU DIRI TAHU ATURAN MAIN DAN TAHU TUJUAN AKHIR (38) TAUHID ILMU YANG WAJIB KITA MILIKI (36) THE ART OF DYING: DATANG FITRAH KEMBALI FITRAH (33) JIWA YANG TENANG LAGI BAHAGIA (27) BUKU PANDUAN UMROH (26) SHALAT ADALAH KEBUTUHAN DIRI (25) HAJI DAN UMROH : JADIKAN DIRI TAMU YANG SUDAH DINANTIKAN KEDATANGANNYA OLEH TUAN RUMAH (24) IKHSAN: INILAH CERMINAN DIRI KITA (24) RUKUN IMAN ADALAH PONDASI DASAR DIINUL ISLAM (23) ZAKAT ADALAH HAK ALLAH SWT YANG HARUS DITUNAIKAN (20) KUMPULAN NASEHAT UNTUK KEHIDUPAN YANG LEBIH BAIK (19) MUTIARA HIKMAH DARI GENERASI TABI'IN DAN TABI'UT TABIIN (18) INSPRIRASI KESEHATAN DIRI (15) SYAHADAT SEBAGAI SEBUAH PERNYATAAN SIKAP (14) DIINUL ISLAM ADALAH AGAMA FITRAH (13) KUMPULAN DOA-DOA (10) BEBERAPA MUKJIZAT RASULULLAH SAW (5) DOSA DAN JUGA KEJAHATAN (5) DZIKIR UNTUK KEBAIKAN DIRI (4) INSPIRASI DARI PARA SAHABAT NABI (4) INILAH IBADAH YANG DISUKAI NABI MUHAMMAD SAW (3) PEMIMPIN DA KEPEMIMPINAN (3) TAHU NABI MUHAMMAD SAW (3) DIALOQ TOKOH ISLAM (2) SABAR ILMU TINGKAT TINGGI (2) SURAT TERBUKA UNTUK PEROKOK dan KORUPTOR (2) IKHLAS DAN SYUKUR (1)

Jumat, 17 Mei 2024

KONDISI DIRI MANUSIA SETELAH RUH DIPERSATUKAN DENGAN JASMANI (PART 3 of 5)

 

Berikut ini akan kami kemukakan hasil dari pertarungan antara jasmani dengan ruh yang menghasilkan adanya jiwa taqwa dan adanya jiwa fujur, sebagiamana yang akan kami uraikan berikut ini.

 

B.      APA ITU JIWA TAQWA.

 

Seperti telah kita ketahui bersama bahwa hidup adalah saat bersatunya ruh yang berasal dari Allah SWT melalui proses peniupan ke dalam jasmani dengan jasmani itu sendiri yang berasal dari tanah melalui proses mengkonsumsi makanan dan minuman. Adanya perbedaan yang hakiki antara ruh dengan jasmani, baik diri sisi dzat, sifat, perbuatan dan juga daya atau kemampuannya  masing-masing maka pada saat dipersatukan akan terjadi suatu keadaan dimana dzat, sifat,perbuatan serta daya dari ruh dan juga jasmani saling berkontraksi, saling pengaruh mempengaruhi akhirnya terlihat dengan jelas bahwa dzat ruh dan dzat jasmani yang berbeda asal-usul saling berketidaksesuaian. Lalu, seperti apakah kondisi diri kita yang sesungguhnya, atau seperti apakah kondisi ruh setelah dipersatukan dengan jasmani yang disebut dengan jiwa itu?

 

Berdasarkan surat Asy Syams (91) ayat 7-8-9 yang kami kemukakan berikut ini: “dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu.” Jiwa manusia atau kondisi ruh setelah dipersatukan dengan jasmani dapat dibedakan menjadi 2(dua) bentuk yaitu jiwa fujur dan jiwa taqwa. Adanya 2 (dua) bentuk kejiwaan yang terdapat di dalam diri setiap manusia mengakibatkan tingkah laku, perbuatan serta tindak tanduk manusia sesuai dengan bentuk atau keadaan kejiwaan yang dialaminya. Apabila manusia berbuat, berkehendak atau melakukan tindakan yang sesuai dengan nilai-nilai keburukan yang dibawa oleh jasmani maka keadaan ini dikategorikan sebagai jiwa fujur (jiwa yang sesat). Sedangkan apabila manusia berbuat, berkehendak atau melakukan tindakan yang sesuai dengan nilai-nilai kebaikan yang dibawa oleh ruh maka keadaan ini dikategorikan sebagai jiwa yang taqwa.

 

Untuk itu mari kita pelajari dengan seksama tentang jiwa taqwa, yang terdiri dari jiwa lawwamah dan juga jiwa muthmainnah, yang keduanya sangat berhubungan dengan erat dengan musuh dalam selimut yaitu ahwa (hawa nafsu) dan juga ketaqwaan, sebagaimana berikut ini:

 

1.     Jiwa Lawwamah.  Salah satu bentuk jiwa manusia adalah jiwa lawwamah, dalam hal ini berdasarkan ketentuan surat Al Qiyaamah (75) ayat 2 berikut ini, “Dan aku bersumpah dengan jiwa yang amat menyesali (dirinya sendiri)”. Lalu seperti apakah jiwa lawwamah itu? Jiwa Lawwamah berdasarkan ketentuan yang ada pada surat An Naazi’aat (79) ayat 40 berikut ini: “Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya”. Berdasarkan ayat ini, jiwa lawwamah adalah  suatu kondisi jiwa manusia, dimana ruh belum dapat sepenuhnya mampu mengendalikan Amanah yang 7 dan Hubbul yang 7 sehingga kondisi orang yang seperti ini masih terus berupaya untuk selalu mengendalikan, serta untuk selalu menahan ahwanya (hawa nafsunya) karena orang ini sudah mampu takut akan kebesaran Allah SWT.

 

Salah satu ciri dari orang yang telah memiliki kondisi jiwa lawwamah adalah ruh kadang mampu mengendalikan Amanah yang 7 dan Hubbul yang 7. Hal ini tercermin dari hati nurani yang melaksanakan fungsinya dengan baik. Namun kadang kadang ruh tidak (belum) mampu mengendalikan Amanah yang 7 dan Hubbul yang 7 yang tercermin dari hati nurani yang belum bisa melaksanakan fungsinya dengan baik. Adanya kondisi ini maka akan timbul di dalam diri sebuah perasaan menyesal atau timbul penyesalan jika kita tidak mampu mengendalikan Amanah yang 7 dan Hubbul yang 7.  Suatu penyesalan yang terjadi di dalam diri tidak akan bisa terjadi tanpa ada sesuatu sebab yang mengiringinya. Sekarang jika kita menyesali sesuatu berarti  di dalam jiwa manusia pasti ada sesuatu yang menyebabkan diri kita menyesal atas perbuatan yang telah kita lakukan. Salah satu sebab kenapa diri kita menyesal adalah karena kita sudah memiliki rasa takut akan kebesaran Allah SWT, namun belum konsisten kualitasnya.

 

Takut tidak akan bisa tumbuh di dalam diri seseorang jika orang tersebut tidak mengenal, tidak tahu, tidak mengerti akan sesuatu. Jika seseorang sudah timbul rasa takut akan kebesaran dan kemahaan Allah SWT berarti orang tersebut dapat dipastikan ia sudah tahu, ia sudah mengenal, ia sudah mengerti terhadap sesuatu hal yang mengakibatkan dirinya takut, dalam hal ini adalah Allah SWT. Apa contohnya? Seorang anak, jika ia diberi pisau maka ia tidak akan takut dengan pisau karena ia belum mengerti apa itu pisau dan bagaimana itu pisau. Takutnya anak dengan pisau biasanya setelah anak itu tahu bahwa pisau dapat melukainya, atau anak itu pernah terluka karena pisau maka anak itu menjadi takut dengan pisau. Hal yang sama juga berlaku dengan menyesal atau timbulnya rasa penyesalan dalam diri (jiwa) seseorang. Menyesal dan penyesalan baru akan timbul setelah diri kita tahu benar dan salah, kita tahu dan mengerti akibat dari perbuatan yang telah kita lakukan. Sepanjang diri kita tidak mengerti dan tidak tahu apa yang kita perbuat maka menyesal atau penyesalan tidak akan tumbuh dalam diri.

 

Sekarang diri kita telah mempunyai rasa takut kepada Allah SWT dikarenakan kita telah mengenal dan mengetahui keberadaan serta merasakan kebesaran Allah SWT, lalu lakukanlah perbuatan mencuri, merampok, korupsi, berjudi, berkolusi, berselingkuh, mendzalimi orang lain, memfitnah, menyebarkan berita bohong, illegal logging, illegal fishing, apa yang selanjutnya kita rasakan? Kita akan merasakan adanya rasa penyesalan atau adanya rasa takut, merasakan adanya rasa was-was setelah melakukan tindakan yang tidak sesuai dengan yang dikehendaki Allah SWT. Jika kondisi ini terjadi pada diri kita maka kondisi ini dinamakan dengan jiwa lawwamah.

 

Sehingga dapat kita katakan bahwa timbulnya jiwa lawwamah di dalam diri manusia diakibatkan oleh ruh yang belum mampu sepenuhnya mengendalikan Amanah yang 7 dan Hubbul yang 7 dari pengaruh tarikan kepentingan sifat sifat jasmani sehingga sifat sifat jasmani masih dapat bercokol, atau sifat sifat jasmani masih dapat mempengaruhi Amanah yang 7 dan Hubbul yang 7 untuk kepentingan jasmani yang tidak sesuai dengan nilai nilai kebaikan. Saat terjadi jiwa lawwamah akan ada dua kemungkinan dalam diri manusia, yaitu ruh yang kadang menang terhadap jasmani, atau ruh kadang kalah terhadap jasmani. Dalam keadaan ini ruh hanya mampu menang tipis dibandingkan dengan jasmani dengan komposisi 55 dibanding 45 atau 60 dibanding 40 atau masih terjadinya posisi naik dan turun antara ruh dengan jasmani di dalam menguasai Amanah yang 7 dan Hubbul yang 7.

 

Berikut ini akan kami kemukakan beberapa ciri-ciri atau tanda-tanda dari manusia yang kondisi kejiwaannya masih di dalam kategori jiwa lawwamah, yaitu:

 

a.  Adanya perang bathin antara ruh dengan jasmani jika melakukan sebuah tindakan yang salah atau tindakan merugikan orang lain sehingga akan timbul rasa penyesalan atau merasa bersalah dan lain sebagainya setelah diri kita berbuat suatu tindakan yang menyalahi ketentuan;

b.  Adanya ketidakstabilan emosional atau ketidakstabilan pola tingkah laku di dalam diri manusia di waktu ingin melakukan tindakan yang tidak baik seperti di waktu akan mengambil barang orang lain maka akan timbul pikiran yaitu: “ambil atau jangan”;

c.    Adanya perasaan tidak enak atau kurang berkenan di hati jika kita melakukan perbuatan tercela yang tidak sesuai dengan Nilai-Nilai Kebaikan;

d.  Adanya perasaan menyesal jika kita berbuat kesalahan atau jika berbuat kejahatan atau adanya rasa ketakutan jika sampai ketahuan berbuat curang.

 

Selain ke 4 (empat) hal yang kami kemukakan di atas ini, seseorang yang memiliki jiwa Lawwamah, ia akan cepat kembali ke jalan yang benar atau tidak akan berlama-lama di jalur keburukan setelah menyesali berbuat sesuatu yang tidak sesuai dengan syariat yang telah ditetapkan Allah SWT.

 

Jika jiwa lawwamah ini terjadi pada diri kita, maka akan mengakibatkan diri kita berada di daerah abu-abu, kadang-kadang berbuat baik dan kadang-kadang masih berbuat buruk/jahat. Kadang kebaikan kadang keburukan yang kita lakukan. Belum terjadi konsistensi dalam berbuat kebaikan. Adanya ketidakstabilan, adanya kelabilan, adanya sikap menahan diri untuk berbuat baik, adanya menyesali perbuatan jahat yang telah dilakukan, tidak dapat dibiarkan terus berada di dalam diri manusia, atau tidak bisa dipelihara selamanya akan tetapi kita harus keluar dari keadaan ini untuk menjadi lebih baik lagi. Jika sekarang kita sudah berbuat baik maka konsistenlah untuk terus untuk berbuat baik dari waktu ke waktu, jika sekarang  masih dalam skala kecil tingkatkan skalanya menjadi lebih besar demikian seterusnya lalu jangan diingat ingat lagi perbuatan itu. Lalu cari terus peluang untuk berbuat kebaiakn untuk periode yang akan datang.

 

Timbul pertanyaan kenapa kita harus keluar dari jiwa Lawwamah untuk menuju jiwa Muthmainnah? Hal ini dikarenakan Diinul Islam adalah Agama yang Haq yang tidak mengenal istilah abu-abu, atau karena seluruh ketentuan Allah SWT semuanya tidak ada yang bersifat Abu-Abu, semuanya jelas apakah itu Putih dan apakah itu Hitam. Selain daripada itu adanya dua tempat kembali manusia, bernama syurga dan neraka yang memiliki konsekuensi yang tegas pula yaitu adanya ketentuan siapa yang berhak menempati syurga dan siapa yang berhak menempati neraka. Adanya kondisi ini berarti tidak akan pernah ada tempat kembali bagi yang abu-abu. Jika saat ini, jiwa kita masuk dalam kategori jiwa Lawwamah, atau masuk wilayah abu-abu dikarenakan kadang menang kadang kalah yang mengakibatkan diri kita tidak tahu akan pulang ke mana, maka kita harus dapat meningkatkan jiwa kita menjadi jiwa Muthmainnah sehingga diri kita dimasukkan ke dalam calon penghuni syurga.

 

2.   Jiwa Muthmainnah. Untuk dapat menggambarkan jiwa muthmainnah yang ada pada diri manusia, dapat kami ilustrasikan sebagai berikut: Pada saat diri kita mengalami suatu cobaan atau suatu keadaan yang mengakibatkan keadaan yang membuat diri kita dalam kekurangan, maka yang dilakukan oleh manusia yang berjiwa Muthmainnah adalah ia tidak langsung mempergunakan Hubbul Hurriyah atau Hubbul yang lainnya dan juga Amanah yang 7, melainkan terlebih dahulu mengadukan permasalahan yang dialaminya kepada Allah SWT, atau memohon terlebih dahulu kepada Allah SWT untuk dicarikan jalan keluar yang terbaik atas permasalahan yang dialaminya, yang tentunya dibarengi dengan hati nurani sebagai pengendali diri, sehingga apa yang kita lakukan selalu berada di dalam kehendak Allah SWT.

 

Dan setelah dilaporkan, atau dikomunikasikan melalui doa dan permohonan kepada Allah SWT barulah orang tersebut menggerakkan Hubbul Hurriyah atau Hubbul lainnya serta Amanah yang 7 yang ada di dalam diri untuk berbuat sesuatu, guna keluar dari permasalahan yang dihadapinya melalui bantuan Allah SWT, atau dengan melibatkan Allah SWT yang dibarengi dengan rasa dan perasaan yang timbul dari dalam hati nurani.Adanya keterlibatan hati nurani di dalam menyelesaikan segala persoalan akan menimbulkan rasa tenang dalam diri sehingga hilang rasa gelisah, resah, tidak percaya diri serta berdasarkan kondisi inilah jiwa muthmainnah dikatakan sebagai jiwa yang tenang nan lapang lagi tenteram. Sebagaimana firman-Nya berikut ini: Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jama'ah hamba-hamba-Ku, Masuklah ke dalam syurga-Ku” (surat Al Fajr (89) ayat 24-25-26-27).

 

Hal yang harus kita perhatikan jika kita ingin memperoleh dan merasakan rasa jiwa muthmainnah, atau jika kita selalu ingin mempertahankan kefitrahan jiwa, kita harus selalu mendahulukan atau menomorsatukan Allah SWT terlebih dahulu sebelum berbuat sesuatu, atau sebelum mempergunakan Hubbul yang 7 dan Amanah yang 7 serta yakin bahwa Allah SWT pasti akan menolong diri kita sepanjang diri kita berada di dalam kehendak-Nya.

 

Jiwa muthmainnah merupakan bentuk kejiwaan yang paling sesuai dengan nilai-nilai kebaikan yang merupakan sifat dasar dari ruh yang sesuai dengan kehendak Allah SWT. Sehingga kita selalu berbuat dalam ketenangan, yakin, percaya diri, berilmu, menghargai orang lain, toleransi, dermawan dikarenakan Amanah yang 7 dan Hubbul yang 7 yang ada di dalam diri selalu dipergunakan di dalam koridor Nilai-Nilai Kebaikan yang dikehendaki Allah SWT.

 

Jiwa muthmainnah juga merupakan kondisi kejiwaan yang paling sempurna sebab manusia telah mampu menempatkan ruh sebagai jati diri manusia yang sesungguhnya, atau dapat dikatakan bahwa manusia telah mampu menjadikan jati diri manusia yang sesungguhnya adalah ruh sehingga nilai-nilai kebaikan yang dikehendaki Allah SWT menjadi pedoman di dalam mengarungi kehidupan, atau tercermin menjadi perilaku hidupnya. Yang pada akhirnya  akan menjadikan manusia mudah dan dimudahkan menjadi khalifah di muka bumi yang sesuai dengan kehendak Allah SWT. Kondisi yang seperti inilah fitrah manusia yang sesungguhnya sehingga diri kita mampu menjadi cerminan dari penampilan Allah SWT di muka bumi melalui perilaku dan perbuatan kita.

.  

Adanya kondisi fitrah manusia yang sesungguhnya adalah jiwa muthmainnah maka yang seharusnya menjadi khalifah, yang seharusnya menjadi pemimpin, yang seharus-nya menjadi atasan, yang seharusnya menjadi bawahan, yang seharusnya menjadi pengusaha dan penguasa, yang seharusnya menjadi rakyat adalah jiwa-jiwa muth-mainnah. Apa maksudnya? Jika pemimpin yang menjadi atasan dan yang juga menjadi penguasa adalah jiwa-jiwa muthmainnah berarti setiap pemimpin yang ada di muka bumi ini adalah pemimpin yang telah mampu membebaskan dirinya sendiri dari pengaruh buruk hawa nafsu (ahwa) kepada dirinya sendiri, sehingga pemimpin itu sudah tidak memiliki masalah lagi dengan dirinya sendiri. Sehingga  pemimpin itu akan mampu menjadi pemimpin bagi bawahannya, bagi rakyatnya, bagi nusa dan bangsanya.

 

Kondisi ini tidak hanya berlaku bagi pemimpin saja, akan tetapi berlalu bagi seluruh manusia yang ada di muka bumi ini. Sekarang apa jadinya jika seorang pemimpin, atau seorang pengusaha, atau seorang legislatif, atau seorang yudikatif dapat melaksanakan kepemimpinannya dengan baik dan benar jika ia sendiri belum mampu memimpin dirinya sendiri, dalam hal ini mengalahkan ahwa (hawa nafsu) nya? Orang yang telah mampu menjadikan jiwanya jiwa muthmainnah berarti orang tersebut telah mampu membebaskan dirinya sendiri dari pengaruh sifat-sifat alamiah jasmani, atau  orang yang telah mampu membebaskan diri dari pengaruh ahwa (hawa nafsu) nya sehingga segala perbuatannya selalu sesuai dengan nilai-nilai kebaikan yang dikehendaki Allah SWT selaku pencipta manusia.

 

Pemimpin yang masih terbelenggu dari pengaruh buruk ahwa (hawa nafsu), atau pemimpin yang belum bisa keluar dari pengaruh buruk ahwa (hawa nafsu) berarti pemimpin itu tidak akan bisa memimpin sesuai dengan konsep kepemimpinan yang dikehendaki Allah SWT. Hal ini dikarenakan untuk memimpin dirinya sendiri saja ia tidak bisa, lalu bagaimana ia akan memimpin orang lain; bagaimana ia memimpin rakyatnya.Dan jika sampai orang tersebut memimpin maka kepemimpinan yang dilakukannya akan penuh dengan nilai-nilai keburukan, akan penuh dengan intrik-intrik, akan penuh dengan hujatan, akan penuh dengan ketidaknyamanan dan lain sebagainya yang mengakibatkan pemimpin itu menjadi pimpinan yang tidak amanah dengan kepemimpinannya. 

 

Lalu bagaimana dengan profesi yang lainnya, seperti menteri, gubernur, bupati, walikota,  kepolisian, jaksa, pengacara, pengusaha, suami, istri, ataupun rakyat? Hal yang samapun berlaku kepada seluruh profesi yang ada di muka bumi, dimana seluruh profesi wajib yang ada di muka bumi harus mampu menjadikan dirinya yang sesungguhnya adalah ruh yang memiliki jiwa muthmainnah sehingga apa-apa yang diperbuatnya sudah tidak lagi memiliki masalah dengan dirinya sendiri (maksudnya setiap orang sudah tidak memiliki masalah lagi dari pengaruh ahwa (hawa nafsu) yang didukung oleh syaitan) sehingga yang ada hanyalah kebaikan-kebaikan yang dikehendaki oleh Allah SWT. Akhir dari ini adalah sukseklah manusia menjadi khalifah yang sekaligus makhluk yang terhormat di muka bumi ini  dan semoga itu adalah kita sendiri, itu adalah anak dan keturunan kita sendiri.

 

Di sinilah letak perjuangan manusia yang sebenarnya yaitu dengan menjadikan jiwanya menjadi jiwa yang tenang nan lapang lagi tenteram, jiwa yang tahu akan kebesaran Allah SWT, atau jiwa yang dapat memuluskan jalan untuk pulang ke kampung kebahagiaan. Dan jika jiwa muthmainnah yang menjadi jiwa bagi diri kita berarti pengakuan ruh kepada Allah SWT di waktu masih di dalam rahim ibu tetap teguh dan tidak tergoyangkan sehingga kenikmatan bertuhankan kepada Allah SWT dapat kita rasakan dalam hidup dan kehidupan kita di dunia. Di dunia kita akan memperoleh kemudahan, akan mendapatkan pemeliharaan, akan memperoleh pengawasan, akan mendapatkan jaminan serta perlindungan dari Allah SWT sedangkan di akhirat kelak akan pulang ke kampung kebahagiaan untuk bertemu dengan Allah SWT. Sungguh bahagia jika ini terjadi pada diri kita.

 

Sekarang, senangkah syaitan jika setiap manusia yang ada di muka bumi ini memiliki jiwa muthmainnah? Syaitan sebagai musuh abadi dari  umat manusia, tidak akan pernah senang jika sampai manusia yang menjadi musuhnya mampu menjadikan jiwanya jiwa muthmainnah. Syaitan akan berusaha dari waktu ke waktu tanpa mengenal lelah untuk menjadikan jiwa manusia masuk dalam kategori jiwa fujur yang sefujur fujurnya. Sebagai musuh dari syaitan maka kita harus mengetahui bahwa syaitan tidak akan suka dengan jiwa muthmainnah, akan tetapi jiwa muthmainnah itu sendiri yang dikehendaki oleh Allah SWT. Sekarang semuanya terpulang kepada diri kita, apakah mau menjadikan jiwa kita sendiri menjadi jiwa muthmainnah ataukah jiwa fujur, karena hasil akhir dari ini semua kita sendirilah yang akan merasakannya, baik dalam kehidupan di dunia ini maupun di akhirat kelak.

 

3. Esensi Dari Jiwa Muthmainnah Sebagai Jiwa Yang Tenang. Ketenangan, kelapangan dan ketenteraman adalah sebuah kebutuhan setiap orang. Kaya, miskin, tua, muda, siapapun dia, semuanya sangat mendambakan itu semua dalam dirinya. Tidak jarang seseorang rela untuk mengeluarkan banyak uang (berani membayar mahal) demi memperoleh ketenangan, ketenteraman, kedamaian serta keberuntungan dalam hidupnya. Seseorang juga akan rela menempuh perjalanan jauh hanya untuk membuat diri dan hatinya tenang dan bahagia lagi tenteram. Lalu apa itu ketenangan dan bagaimana serta dimanakah sebenarnya ketenangan itu? Bagaimana menjadikan diri kita seorang yang memiliki jiwa yang tenang nan lapang lagi tenteram?

 

Allah SWT berfirman: Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi  diridhai-Nya.Maka masuklah ke dalam jama'ah hamba-hamba-Ku, masuklah ke dalam syurga-Ku. (surat Al Fajr (89) ayat 27, 28,29,30)”. Hai jiwa yang tenang! Sebuah pernyataan yang sering kita dengar, namun apa yang kita dengar ini sudahkah kita tahu makna dan pengertiannya yang sesungguhnya. Masih banyak diantara kita yang belum tahu, apalagi memahami tentang makna jiwa muthmainnah, atau jiwa yang tenang itu.  Jika ini kejadiannya bagaimana kita bisa merasakan rasa tenang kemudian menampilkan nya dalam perbuatan kita sehari hari. Agar diri kita mampu mengetahui dengan pasti tentang jiwa muthmainnah atau jiwa yang tenang itu. Mari kita pelajari  dan hayati lebih dalam lagi apa yang dikemukakan dalam surat Al Fajr (89) ayat 27 sampai 30 di atas dan inilah hasilnya,yaitu:

 

Pertama. Air dan minyak walaupun sama sama zat cair, keduanya tidak bisa saling bercampur karena adanya perbedaan berat jenis. Hal yang samapun terjadi dengan ruhani diri kita, yang terikat dengan hukum datang fitrah kembali fitrah, maka ia tidak akan bisa melaksanakan ketentuan surat Al Fajr (89) ayat 28 di atas, “Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi  diridhai-Nya”.  Dikarenakan kefitrahan yang kita miliki masih belum sesuai dengan apa yang dikehendaki Allah SWT, atau masih terjadinya perbedaan kualitas kefitrahan antara diri kita dengan kefitrahan Allah SWT.

 

Berdasarkan kondisi ini maka jiwa muthmainnah, atau jiwa yang tenang dapat dikatakan sebagai suatu keadaan ruhani yang saat kembali kepada Allah SWT kondisinya masih sesuai dengan konsep awal kejadiannya, atau masih sesuai dengan konsep aslinya, yaitu masih dalam kondisi fitrah sehingga Allah SWT ridha kepadanya. Allah SWT berfirman: “Sibghah Allah. Siapa yang lebih baik sibghahnya daripada Allah? Dan kepadaNya kami menyembah.(surat Al Baqarah (2) ayat 138)”. Apabila jiwa seseorang termasuk dalam kategori jiwa muthmainah atau jiwa yang tenang maka manusia telah mampu menjadikan dirinya sebagai bentuk penampilan Allah SWT di muka bumi, dalam hal ini mampunya diri kita menampilkan akhlak Allah yang tidak lain adalah asmaul husna menjadi perilaku diri kita dalam hidup dan kehidupan ini. Akhirnya, bukan hanya dirinya saja yang menjadi orang yang terhormat namun perilakunya pun terhormat dan bermanfaat bagi orang banyak.

 

Kedua. Hasil akhir dari mampunya diri kita mempertahankan kefitrahan ruhani yang menjadi jati diri kita yang sesungguhnya atau mampunya diri kita memenuhi kriteria jiwa yang muthmainnah maka berlakulah ketentuan surat Al Fajr (89) ayat 29 dan 30 kepada diri kita, yaitu “Maka masuklah ke dalam jama'ah hamba-hamba-Ku,masuklah ke dalam syurga-Ku”. Hal ini dikarenakan ruhani diri kita mampu mempertahankan konsep datang fitrah kembali fitrah sehingga jiwa kita masuk dalam kriteria jiwa yang takwa yang muthmainnah yang sesuai dengan kehendak Allah SWT melalui pelaksanaan Diinul Islam yang kaffah.

 

Ketiga. Lalu bagaimana jika saat kita kembali kepadaNya, kondisi kita tidak sesuai dengan konsep datang fitrah kembali fitrah? Jika kita mengacu kepada ketentuan surat Al Fajr (89) ayat 27, 28, 29 dan 30 di atas maka sepanjang diri kita tidak mampu melaksanakan ketentuan dasar dari ruh maka kita tidak akan bisa kembali dengan selamat kepadaNya.Untuk itu ketahuilah bahwa sepanjang diri kita tidak melakukan tindakan syirik/musyrik kepada Allah maka kita masih diberi kesempatan untuk pulang kampung untuk bertemu dengan Allah SWT maka kita diharuskan melalui proses pemfitrahan ruh yaitu dengan dicuci, dibilas dan dibersihkan serta disterilkan terlebih dahulu lewat panasnya api neraka. Yang menjadi persoalan adalah sanggupkah kita menahan panasnya api neraka yang panasnya 70 kali dari api dunia!

 

Berdasarkan 3(tiga) hal yang telah kami kemukakan di atas ini, berikut ini akan kami kemukakan beberapa esensi dari jiwa Muthmainnah atau jiwa yang tenang nan lapang lagi tenteram itu. Hal ini penting kami kemukakan agar diri kita bisa secepat mungkin merasakan hasil jiwa muthmainnah ini, khususnya bagi yang usianya sudah di persimpangan jalan antara maghrib menuju isya, yaitu:

 

a.  Jiwa Muthaminnah adalah: jiwa yang mampu berada di jalan yang lurus secara konstan, yaitu jiwa yang selalu berada di jalan yang menentramkan hati/jiwa dan jalan yang membuat kita mengerti siapa diri kita yang sebenarnya sehingga kita paham dengan dengan aliran aliran yang muncul dalam benak kita. Jalan yang lurus adalah juga jalan yang membuat kita senantiasa sadar sepenuhnya siapa diri kita yang sebenarnya, dan siapa Tuhan yang sebenarnya. Adanya kondisi ini maka seseorang yang memiliki jiwa muthamainnah akan mampu tahu diri, tahu aturan dan tahu tujuan akhir dengan baik dan benar sehingga ia mampu menjadikan kehidupan dunia ini sebagai jalan menuju kepada kehidupan akhirat kelak.

 

b.   Jiwa Muthmainnah adalah: jiwa yang telah mendapatkan ketenangan; atau jiwa yang telah sanggup untuk menerima cahaya sang ilahi dan juga jiwa yang telah mampu menolak menikmati kemewahan dunia dan tidak bisa dipengaruhi oleh hal hal tersebut. Jiwa ini memuat pemiliknya merasa berpuas diri dalam pengabdiannya kepada Tuhan. Dia juga akan selalu berbuat amal shaleh (kebajikan kepada sesama makhluk) sebagai manifestasi dari kefitrahannya, yaitu hidupnya selalu berguna bagi masyarakat banyak.

 

c.  Jiwa Mutmainnah juga dapat diartikan sebagai:  jiwa yang disinari cahaya ilahiah, sehingga dapat mengosongkan hati dari sikap tercela dan terhiasi dengan sifat yang terpuji. Jiwa ini dapat menciptakan ketenangan jiwa bagi seseorang. Orang yang berada di tingkatan ini adalah orang yang sedang menuju kesesuaian dengan penampilan Allah SWT sehingga dapat ditemukan sifat sifat yang terpuji dalam jiwa muthmainnah seperti dermawan, tawakkal, ibadah, syukur, ridha dan takut kepada Allah atau sebagaimana penampilan Allah SWT yang mencerminkan Asmaul Husna. Jiwa Muthmainnah ini dimiliki oleh orang yang beriman pada tingkatan khusus atau orang-orang yang telah dekat dengan Tuhan.

 

d.   Jiwa muthmainnah atau jiwa yang tenang adalah:  jiwa seseorang yang merasa tenang tatkala kembali dan ingat akan adanya Allah  SWT, sejuk disaat menyebutNya, bergetar hatinya saat nama Allah SWT didengarnya, serta rindu akan bertemu denganNya, bahagia dan ridha di saat berhadapan dengan-Nya.

 

e.  Berkata Ibnu Abbas ra, "jiwa muthmainnah artinya:  jiwa yang senantiasa berperilaku jujur terhadap Tuhannya".

 

f.  Berkata Qotadah, "jiwa muthmainnah adalah jiwa seorang mukmin yang senantiasa merasa tenang terhadap apa yang Allah janjikan kelak, dan senantiasa bahagia mengenal nama dan sifat-sifat-Nya yang dikabarkan oleh-Nya dan oleh rasul-Nya, senantiasa yakin akan datangnya perkara setelah kematian dari alam barzhah dan kejadian kiamat, dan beriman akan taqdir Allah bahkan pasrah dan ridha, hingga tidak berkeluh kesah, tidak terpengaruh apa yang datang dan terlewatkan, memahami betul apa yang dikemukakan dalam surat Ath Taghabun (64) ayat 11 berikut ini: "Tidak ada suatu musibah yang menimpa (seseorang), kecuali dengan izin  Allah, dan barangsiapa beriman kepada Allah, niscaya Allah akan memberi petunjuk kepada hatinya. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu." (surat At-Taghabun (64) ayat 11)

 

g.     Menurut Tafsir al-Maraghi, jiwa muthma’innah adalah:  ketenangan jiwa setelah adanya kegoncangan. Maksudnya adalah ketetapan pada apa yang telah dipegang setelah menerima goncangan akibat paksaan.

 

h.   Fakhrur Razy, dalam “Tafsir Kabir”, bahwa jiwa (hati) manusia itu memang hanya satu, tetapi sifat-sifatnya banyak dan bermacam-macam. Apabila hati itu lebih condong kepada nilai-nilai ketuhanan dan mengikuti petunjuk-petunjuk Ilahi, maka ia bernama nafs al Muthma’innah, jiwa yang tenang dan tenteram. Jika ia condong kepada hawa nafsu dan masih suka marah maka ia dinamakan jiwa amarah (ammarah bi assui’), sehingga hatinya selalu condong kepada kejahatan.

 

i.  Imam Mujahidin mengartikan: jiwa muthmainnah sebagai jiwa yang ridha dengan ketentuan Allah yang tahu bahwa sesuatu yang menjadi bagiannya pasti akan datang kepadanya.”

 

j.   Ibnu Atha mengartikan jiwa muthmainnah sebagai:  “jiwa yang arif billah (mengenal Allah) yang tak sabar berjumpa dengan Allah walau sekejap.

 

k.    Jiwa yang Muthma’innah’ (jiwa yang tenang) adalah jiwa yang disinari oleh akal dan cara berpikir yang rasional;

 

l.   Jiwa yang muthmainnah (jiwa yang tenang) adalah jiwa yang tumbuh karena kemampuannya mampu menempatkan sesuatu kepada tempat yang sewajarnya, dan senantiasa meletakkannya di atas dasar keimanan.

 

m.  Jiwa yang muthmainnah adalah jiwa yang dapat menguasai diri dalam keadaan apapun, berfikiran rasional, mampu menciptakan keseimbangan dalam dirinya, hatinya tetap tenang dan tenteram lagi lapang.

 

n.    Jiwa Muthamainnah (jiwa yang tenang) adalah jiwa yang senantiasa merasa ridha menghadapi apa pun keadaan, juga senantiasa mendapat keridaan Ilahi. Lalu ketenangan dapat dirasakan oleh individu tersebut disebabkan karena aktifitas yang dilakukan tetap dalam prosedur yang benar, tidak menyalahi aturan, dan tidak sedikitpun terindikasi berbuat makar. Dan sulit bisa diterima jika ada individu beraktifitas dengan tenang sementara aktifitas yang dilakukan berlabel dosa dan maksiat. Jika perbuatan dosa dan maksiat itu dapat menyenangkan, atau bahkan menenangkan individu maka sifatnya hanya sesaat untuk kemudian akan berakibat pada penderitaan dan keresahan selama-lamanya.

 

Setelah diri kita mengetahui tentang empat belas hal tentang esensi dari jiwa muth-mainnah. Sekarang mari kita sejenak meluangkan waktu untuk menyimak nasihat Ibnu Mas’ud ra, beliau adalah salah seorang sahabat Nabi SAW. Suatu ketika beliau pernah didatangi seseorang yang ingin meminta nasihatnya untuk dapat dijadikan obat bagi jiwanya yang tidak tenang. Kemudian Ibnu Mas’ud menasihatinya,“Kalau penyakit itu yang menimpamu, maka bawalah hatimu mengunjungi 3 (tiga) tempat, yakni:

 

1.       Engkau datangi tempat orang membaca AlQuran, engkau membaca AlQuran, engkau dengarkan baik-baik orang yang membaca AlQuran;

2.       Engkau datangi majelis taklim yang mengingatkan hati kepada Allah;

3.  Engkau mencari waktu dan tempat yang sunyi, disitu engkau menyendiri menyembah Allah seperti pada waktu lewat tengah malam disaat orang sedang tidur nyenyak engkau bangun mengerjakan shalat malam meminta kepada Allah ketenangan jiwa, ketentraman pikiran, dan keikhlasan hati.”

 

Setibanya di rumah, orang tersebut melaksanakan apa telah  yang dinasihatkan oleh Ibnu Mas’ud itu. Ia berwudhu kemudian membaca AlQuran dengan khusyu, penuh konsen-trasi. Seusai membaca AlQuran ia merasakan ada ada sesuatu yang berubah. Jiwanya terasa tenang, hatinya tentram, pikirannya kembali jernih, ketenangan benar-benar menyelimuti hatinya.

 

Adanya ketenangan akhirnya menjadi jalan keluar bagi permasalahan hidup yang dihadapi seseorang karena kepanikan tidak akan bisa membuat tenang. Dan ketenangan itu hanya diturunkan kepada mereka yang senantiasa bersandar kepada pemilik ketenangan. Hanya seseorang yang pernah panik yang bisa merasakan kenikmatan sebuah tenang setelah dia menyadari kekacauannya. Hanya seseorang yang pernah gundah yang bisa menikmati ketenangan setelah mengetahui kesakitannya. Maka beruntunglah pribadi yang mengambil pelajaran dari kesalahan. Sama sekali tidak ada alasan untuk mereka merasa menyesal tentang sesuatu yang sudah lewat yang mungkin timbul atas kekurang tenangan sikap dalam pemilihan desain masa depan. Dan karena ketenangan itu pula akan terhapusnya segala kekhawatiran mereka tentang sakit atau pahitnya kehidupan, karena mereka yakin sumber dari segala sumber ketenangan yaitu Allah SWT akan selalu siap menemani dan menyambut hamba-hamba-Nya yang senantiasa memohon kepada-Nya. Ketenangan akan selalu hadir karena mereka juga menghadirkan Allah dalam setiap aktivitasnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar