Berikut ini akan kami kemukakan hasil dari pertarungan antara jasmani
dengan ruh yang menghasilkan adanya jiwa taqwa dan adanya jiwa fujur,
sebagiamana yang akan kami uraikan berikut ini.
B.
APA ITU JIWA TAQWA.
1. Jiwa Lawwamah. Salah satu bentuk jiwa manusia adalah jiwa lawwamah, dalam hal ini berdasarkan
ketentuan surat Al Qiyaamah (75) ayat 2 berikut ini, “Dan aku bersumpah dengan jiwa
yang amat menyesali (dirinya sendiri)”. Lalu seperti
apakah jiwa lawwamah itu? Jiwa Lawwamah berdasarkan ketentuan yang ada pada
surat An Naazi’aat (79) ayat 40 berikut ini: “Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran
Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya”. Berdasarkan ayat ini, jiwa lawwamah adalah suatu kondisi jiwa manusia, dimana
ruh belum dapat sepenuhnya mampu mengendalikan Amanah yang 7 dan Hubbul yang 7
sehingga kondisi orang yang seperti ini masih terus berupaya untuk selalu
mengendalikan, serta untuk selalu menahan ahwanya (hawa nafsunya) karena orang
ini sudah mampu takut akan kebesaran Allah SWT.
Salah satu ciri dari orang yang telah memiliki kondisi jiwa lawwamah
adalah ruh kadang mampu mengendalikan Amanah yang 7 dan Hubbul yang 7. Hal ini
tercermin dari hati nurani yang melaksanakan fungsinya dengan baik. Namun
kadang kadang ruh tidak (belum) mampu mengendalikan Amanah yang 7 dan Hubbul
yang 7 yang tercermin dari hati nurani yang belum bisa melaksanakan fungsinya
dengan baik. Adanya kondisi ini maka akan timbul di dalam diri sebuah perasaan
menyesal atau timbul penyesalan jika kita tidak mampu mengendalikan Amanah yang
7 dan Hubbul yang 7. Suatu penyesalan
yang terjadi di dalam diri tidak akan bisa terjadi tanpa ada sesuatu sebab yang
mengiringinya. Sekarang jika kita menyesali sesuatu berarti di dalam jiwa manusia pasti ada sesuatu yang
menyebabkan diri kita menyesal atas perbuatan yang telah kita lakukan. Salah
satu sebab kenapa diri kita menyesal adalah karena kita sudah memiliki rasa
takut akan kebesaran Allah SWT, namun belum konsisten kualitasnya.
Takut tidak akan bisa
tumbuh di dalam diri seseorang jika orang tersebut tidak mengenal, tidak tahu,
tidak mengerti akan sesuatu. Jika seseorang sudah timbul rasa takut akan
kebesaran dan kemahaan Allah SWT berarti orang tersebut dapat dipastikan ia
sudah tahu, ia sudah mengenal, ia sudah mengerti terhadap sesuatu hal yang
mengakibatkan dirinya takut, dalam hal ini adalah Allah SWT. Apa contohnya? Seorang anak, jika ia diberi pisau
maka ia tidak akan takut dengan pisau karena ia belum mengerti apa itu pisau
dan bagaimana itu pisau. Takutnya anak dengan pisau biasanya setelah anak itu
tahu bahwa pisau dapat melukainya, atau anak itu pernah terluka karena pisau
maka anak itu menjadi takut dengan pisau. Hal yang sama juga berlaku dengan
menyesal atau timbulnya rasa penyesalan dalam diri (jiwa) seseorang. Menyesal
dan penyesalan baru akan timbul setelah diri kita tahu benar dan salah, kita
tahu dan mengerti akibat dari perbuatan yang telah kita lakukan. Sepanjang diri
kita tidak mengerti dan tidak tahu apa yang kita perbuat maka menyesal atau
penyesalan tidak akan tumbuh dalam diri.
Sekarang diri kita telah mempunyai rasa takut kepada Allah SWT
dikarenakan kita telah mengenal dan mengetahui keberadaan serta merasakan
kebesaran Allah SWT, lalu lakukanlah perbuatan mencuri, merampok, korupsi,
berjudi, berkolusi, berselingkuh, mendzalimi orang lain, memfitnah, menyebarkan
berita bohong, illegal logging, illegal fishing, apa yang selanjutnya kita rasakan? Kita akan merasakan adanya rasa
penyesalan atau adanya rasa takut, merasakan adanya rasa was-was setelah
melakukan tindakan yang tidak sesuai dengan yang dikehendaki Allah SWT. Jika
kondisi ini terjadi pada diri kita maka kondisi ini dinamakan dengan jiwa lawwamah.
Sehingga dapat kita katakan bahwa timbulnya jiwa lawwamah
di dalam diri manusia diakibatkan oleh ruh yang belum mampu sepenuhnya
mengendalikan Amanah yang 7 dan Hubbul yang 7 dari pengaruh tarikan kepentingan
sifat sifat jasmani sehingga sifat sifat jasmani masih dapat bercokol, atau
sifat sifat jasmani masih dapat mempengaruhi Amanah yang 7 dan Hubbul yang 7
untuk kepentingan jasmani yang tidak sesuai dengan nilai nilai kebaikan. Saat terjadi jiwa lawwamah akan ada dua kemungkinan dalam diri manusia, yaitu
ruh yang kadang menang terhadap jasmani, atau ruh kadang kalah terhadap
jasmani. Dalam keadaan ini ruh hanya mampu menang tipis dibandingkan dengan
jasmani dengan komposisi 55 dibanding 45 atau 60 dibanding 40 atau masih
terjadinya posisi naik dan turun antara ruh dengan jasmani di dalam menguasai
Amanah yang 7 dan Hubbul yang 7.
Berikut ini akan kami kemukakan beberapa ciri-ciri atau tanda-tanda dari
manusia yang kondisi kejiwaannya masih di dalam kategori jiwa lawwamah, yaitu:
a. Adanya perang bathin antara ruh dengan jasmani jika
melakukan sebuah tindakan yang salah atau tindakan merugikan orang lain
sehingga akan timbul rasa penyesalan atau merasa bersalah dan lain sebagainya
setelah diri kita berbuat suatu tindakan yang menyalahi ketentuan;
b. Adanya
ketidakstabilan emosional atau ketidakstabilan pola tingkah laku di dalam diri
manusia di waktu ingin melakukan tindakan yang tidak baik seperti di waktu akan
mengambil barang orang lain maka akan timbul pikiran yaitu: “ambil atau jangan”;
c. Adanya
perasaan tidak enak atau kurang berkenan di hati jika kita melakukan perbuatan
tercela yang tidak sesuai dengan Nilai-Nilai Kebaikan;
d. Adanya perasaan
menyesal jika kita berbuat kesalahan atau jika berbuat kejahatan atau adanya
rasa ketakutan jika sampai ketahuan berbuat curang.
Selain ke 4 (empat) hal yang kami kemukakan di atas ini, seseorang yang
memiliki jiwa Lawwamah, ia akan cepat kembali ke jalan yang benar atau tidak
akan berlama-lama di jalur keburukan setelah menyesali berbuat sesuatu yang
tidak sesuai dengan syariat yang telah ditetapkan Allah SWT.
Jika jiwa lawwamah ini terjadi pada diri kita, maka akan mengakibatkan
diri kita berada di daerah abu-abu, kadang-kadang berbuat baik dan
kadang-kadang masih berbuat buruk/jahat. Kadang kebaikan kadang keburukan yang
kita lakukan. Belum terjadi konsistensi dalam berbuat kebaikan. Adanya ketidakstabilan, adanya kelabilan, adanya sikap menahan diri untuk
berbuat baik, adanya menyesali perbuatan jahat yang telah dilakukan, tidak
dapat dibiarkan terus berada di dalam diri manusia, atau tidak bisa dipelihara
selamanya akan tetapi kita harus keluar dari keadaan ini untuk menjadi lebih baik lagi. Jika sekarang kita sudah berbuat baik maka konsistenlah untuk
terus untuk berbuat baik dari waktu ke waktu, jika sekarang masih dalam skala kecil tingkatkan skalanya
menjadi lebih besar demikian seterusnya lalu jangan diingat ingat lagi
perbuatan itu. Lalu cari terus peluang untuk berbuat kebaiakn untuk periode
yang akan datang.
Timbul pertanyaan kenapa kita harus keluar dari jiwa Lawwamah untuk
menuju jiwa Muthmainnah? Hal ini
dikarenakan Diinul Islam adalah Agama yang Haq yang tidak mengenal istilah
abu-abu, atau karena seluruh ketentuan Allah SWT semuanya tidak ada yang
bersifat Abu-Abu, semuanya jelas apakah itu Putih dan apakah itu Hitam.
Selain daripada itu adanya dua tempat kembali manusia, bernama syurga dan
neraka yang memiliki konsekuensi yang tegas pula yaitu adanya ketentuan siapa
yang berhak menempati syurga dan siapa yang berhak menempati neraka. Adanya
kondisi ini berarti tidak akan pernah ada tempat kembali bagi yang abu-abu. Jika
saat ini, jiwa kita masuk dalam kategori jiwa Lawwamah, atau masuk wilayah
abu-abu dikarenakan kadang menang kadang kalah yang mengakibatkan diri kita
tidak tahu akan pulang ke mana, maka kita harus dapat meningkatkan jiwa kita
menjadi jiwa Muthmainnah sehingga diri kita dimasukkan ke dalam calon penghuni
syurga.
2. Jiwa Muthmainnah. Untuk dapat menggambarkan jiwa muthmainnah yang ada pada diri manusia,
dapat kami ilustrasikan sebagai berikut: Pada saat diri kita mengalami suatu
cobaan atau suatu keadaan yang mengakibatkan keadaan yang membuat diri kita
dalam kekurangan, maka yang dilakukan oleh manusia yang berjiwa Muthmainnah
adalah ia tidak langsung mempergunakan Hubbul Hurriyah atau Hubbul yang lainnya
dan juga Amanah yang 7, melainkan terlebih dahulu mengadukan permasalahan yang
dialaminya kepada Allah SWT, atau memohon terlebih dahulu kepada Allah SWT
untuk dicarikan jalan keluar yang terbaik atas permasalahan yang dialaminya,
yang tentunya dibarengi dengan hati nurani sebagai pengendali diri, sehingga
apa yang kita lakukan selalu berada di dalam kehendak Allah SWT.
Dan setelah dilaporkan, atau dikomunikasikan melalui doa dan permohonan
kepada Allah SWT barulah orang tersebut menggerakkan Hubbul Hurriyah atau
Hubbul lainnya serta Amanah yang 7 yang ada di dalam diri untuk berbuat
sesuatu, guna keluar dari permasalahan yang dihadapinya melalui bantuan Allah
SWT, atau dengan melibatkan Allah SWT yang dibarengi dengan rasa dan perasaan
yang timbul dari dalam hati nurani.Adanya keterlibatan hati nurani di dalam
menyelesaikan segala persoalan akan menimbulkan rasa tenang dalam diri sehingga
hilang rasa gelisah, resah, tidak percaya diri serta berdasarkan kondisi inilah
jiwa muthmainnah dikatakan sebagai jiwa yang tenang nan lapang lagi tenteram. Sebagaimana
firman-Nya berikut ini: “Hai jiwa yang tenang.
Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka
masuklah ke dalam jama'ah hamba-hamba-Ku, Masuklah ke dalam syurga-Ku” (surat Al Fajr
(89) ayat 24-25-26-27).
Hal yang harus kita perhatikan jika kita ingin memperoleh dan merasakan
rasa jiwa muthmainnah, atau jika kita selalu ingin mempertahankan kefitrahan
jiwa, kita harus selalu mendahulukan atau menomorsatukan Allah SWT terlebih
dahulu sebelum berbuat sesuatu, atau sebelum mempergunakan Hubbul yang 7 dan Amanah
yang 7 serta yakin bahwa Allah SWT pasti akan menolong diri kita sepanjang diri
kita berada di dalam kehendak-Nya.
Jiwa muthmainnah merupakan bentuk kejiwaan yang paling sesuai dengan
nilai-nilai kebaikan yang merupakan sifat dasar dari ruh yang sesuai dengan
kehendak Allah SWT. Sehingga kita selalu berbuat dalam ketenangan, yakin,
percaya diri, berilmu, menghargai orang lain, toleransi, dermawan dikarenakan
Amanah yang 7 dan Hubbul yang 7 yang ada di dalam diri selalu dipergunakan di
dalam koridor Nilai-Nilai Kebaikan yang dikehendaki Allah SWT.
Jiwa muthmainnah juga merupakan kondisi kejiwaan yang paling sempurna
sebab manusia telah mampu menempatkan ruh sebagai jati diri manusia yang
sesungguhnya, atau dapat dikatakan bahwa manusia telah mampu menjadikan jati
diri manusia yang sesungguhnya adalah ruh sehingga
nilai-nilai kebaikan yang dikehendaki Allah SWT menjadi pedoman di dalam
mengarungi kehidupan, atau tercermin menjadi perilaku hidupnya. Yang pada
akhirnya akan menjadikan manusia mudah dan dimudahkan
menjadi khalifah di muka bumi yang sesuai dengan kehendak Allah SWT. Kondisi
yang seperti inilah fitrah manusia yang sesungguhnya sehingga diri kita mampu
menjadi cerminan dari penampilan Allah SWT di muka bumi melalui perilaku dan
perbuatan kita.
.
Adanya kondisi fitrah
manusia yang sesungguhnya adalah jiwa muthmainnah maka yang seharusnya menjadi
khalifah, yang seharusnya menjadi pemimpin, yang seharus-nya menjadi atasan,
yang seharusnya menjadi bawahan, yang seharusnya menjadi pengusaha dan penguasa,
yang seharusnya menjadi rakyat adalah jiwa-jiwa muth-mainnah. Apa maksudnya?
Jika pemimpin yang menjadi atasan dan yang juga menjadi penguasa adalah
jiwa-jiwa muthmainnah berarti setiap pemimpin yang ada di muka bumi ini adalah
pemimpin yang telah mampu membebaskan dirinya sendiri dari pengaruh buruk hawa
nafsu (ahwa) kepada dirinya sendiri, sehingga pemimpin itu sudah tidak memiliki
masalah lagi dengan dirinya sendiri. Sehingga
pemimpin itu akan mampu menjadi pemimpin bagi bawahannya, bagi rakyatnya,
bagi nusa dan bangsanya.
Kondisi ini tidak
hanya berlaku bagi pemimpin saja, akan tetapi berlalu bagi seluruh manusia yang
ada di muka bumi ini. Sekarang apa jadinya jika seorang pemimpin, atau seorang
pengusaha, atau seorang legislatif, atau seorang yudikatif dapat melaksanakan
kepemimpinannya dengan baik dan benar jika ia sendiri belum mampu memimpin
dirinya sendiri, dalam hal ini mengalahkan ahwa (hawa nafsu) nya? Orang yang telah mampu menjadikan jiwanya
jiwa muthmainnah berarti orang tersebut telah mampu membebaskan dirinya sendiri
dari pengaruh sifat-sifat alamiah jasmani, atau
orang yang telah mampu membebaskan diri dari pengaruh ahwa (hawa nafsu)
nya sehingga segala perbuatannya selalu sesuai dengan nilai-nilai kebaikan yang
dikehendaki Allah SWT selaku pencipta manusia.
Pemimpin yang masih
terbelenggu dari pengaruh buruk ahwa (hawa nafsu), atau pemimpin yang belum
bisa keluar dari pengaruh buruk ahwa (hawa nafsu) berarti pemimpin itu tidak
akan bisa memimpin sesuai dengan konsep kepemimpinan yang dikehendaki Allah
SWT. Hal ini dikarenakan untuk memimpin dirinya sendiri saja ia tidak bisa,
lalu bagaimana ia akan memimpin orang lain; bagaimana ia memimpin rakyatnya.Dan
jika sampai orang tersebut memimpin maka kepemimpinan yang dilakukannya akan
penuh dengan nilai-nilai keburukan, akan penuh dengan intrik-intrik, akan penuh
dengan hujatan, akan penuh dengan ketidaknyamanan dan lain sebagainya yang
mengakibatkan pemimpin itu menjadi pimpinan yang tidak amanah dengan
kepemimpinannya.
Lalu bagaimana dengan
profesi yang lainnya, seperti menteri, gubernur, bupati, walikota, kepolisian, jaksa, pengacara, pengusaha,
suami, istri, ataupun rakyat? Hal yang samapun berlaku kepada seluruh profesi
yang ada di muka bumi, dimana seluruh profesi wajib yang ada di muka bumi harus
mampu menjadikan dirinya yang sesungguhnya adalah ruh yang memiliki jiwa
muthmainnah sehingga apa-apa yang diperbuatnya sudah tidak lagi memiliki
masalah dengan dirinya sendiri (maksudnya setiap orang sudah tidak memiliki
masalah lagi dari pengaruh ahwa (hawa nafsu) yang didukung oleh syaitan)
sehingga yang ada hanyalah kebaikan-kebaikan yang dikehendaki oleh Allah SWT.
Akhir dari ini adalah sukseklah manusia menjadi khalifah yang sekaligus makhluk
yang terhormat di muka bumi ini dan
semoga itu adalah kita sendiri, itu adalah anak dan keturunan kita sendiri.
Di sinilah letak
perjuangan manusia yang sebenarnya yaitu dengan menjadikan jiwanya menjadi jiwa
yang tenang nan lapang lagi tenteram, jiwa yang tahu akan kebesaran Allah SWT,
atau jiwa yang dapat memuluskan jalan untuk pulang ke kampung kebahagiaan. Dan
jika jiwa muthmainnah yang menjadi jiwa bagi diri kita berarti pengakuan ruh
kepada Allah SWT di waktu masih di dalam rahim ibu tetap teguh dan tidak
tergoyangkan sehingga kenikmatan bertuhankan kepada Allah SWT dapat kita
rasakan dalam hidup dan kehidupan kita di dunia. Di dunia kita akan memperoleh
kemudahan, akan mendapatkan pemeliharaan, akan memperoleh pengawasan, akan
mendapatkan jaminan serta perlindungan dari Allah SWT sedangkan di akhirat
kelak akan pulang ke kampung kebahagiaan untuk bertemu dengan Allah SWT.
Sungguh bahagia jika ini terjadi pada diri kita.
Sekarang, senangkah
syaitan jika setiap manusia yang ada di muka bumi ini memiliki jiwa
muthmainnah? Syaitan sebagai musuh abadi dari
umat manusia, tidak akan pernah senang jika sampai manusia yang menjadi
musuhnya mampu menjadikan jiwanya jiwa muthmainnah. Syaitan akan berusaha dari
waktu ke waktu tanpa mengenal lelah untuk menjadikan jiwa manusia masuk dalam
kategori jiwa fujur yang sefujur fujurnya. Sebagai musuh dari syaitan maka kita
harus mengetahui bahwa syaitan tidak akan suka dengan jiwa muthmainnah, akan
tetapi jiwa muthmainnah itu sendiri yang dikehendaki oleh Allah SWT. Sekarang
semuanya terpulang kepada diri kita, apakah mau menjadikan jiwa kita sendiri
menjadi jiwa muthmainnah ataukah jiwa fujur, karena hasil akhir dari ini semua
kita sendirilah yang akan merasakannya, baik dalam kehidupan di dunia ini
maupun di akhirat kelak.
3. Esensi Dari Jiwa
Muthmainnah Sebagai Jiwa Yang Tenang. Ketenangan, kelapangan dan ketenteraman
adalah sebuah kebutuhan setiap orang. Kaya, miskin, tua, muda, siapapun dia,
semuanya sangat mendambakan itu semua dalam dirinya. Tidak jarang seseorang
rela untuk mengeluarkan banyak uang (berani membayar mahal) demi memperoleh
ketenangan, ketenteraman, kedamaian serta keberuntungan dalam hidupnya.
Seseorang juga akan rela menempuh perjalanan jauh hanya untuk membuat diri dan
hatinya tenang dan bahagia lagi tenteram. Lalu apa itu ketenangan dan bagaimana
serta dimanakah sebenarnya ketenangan itu? Bagaimana menjadikan diri kita
seorang yang memiliki jiwa yang tenang nan lapang lagi tenteram?
Allah SWT berfirman: Hai
jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya.Maka masuklah ke dalam jama'ah
hamba-hamba-Ku, masuklah ke dalam syurga-Ku. (surat Al Fajr (89) ayat 27,
28,29,30)”. Hai jiwa yang tenang! Sebuah pernyataan yang sering kita
dengar, namun apa yang kita dengar ini sudahkah kita tahu makna dan
pengertiannya yang sesungguhnya. Masih banyak diantara kita yang belum tahu,
apalagi memahami tentang makna jiwa muthmainnah, atau jiwa yang tenang itu. Jika ini kejadiannya bagaimana kita bisa
merasakan rasa tenang kemudian menampilkan nya dalam perbuatan kita sehari
hari. Agar diri kita mampu mengetahui dengan pasti tentang jiwa muthmainnah
atau jiwa yang tenang itu. Mari kita pelajari
dan hayati lebih dalam lagi apa yang dikemukakan dalam surat Al Fajr
(89) ayat 27 sampai 30 di atas dan inilah hasilnya,yaitu:
Pertama. Air dan minyak
walaupun sama sama zat cair, keduanya tidak bisa saling bercampur karena adanya
perbedaan berat jenis. Hal yang samapun terjadi dengan ruhani diri kita, yang
terikat dengan hukum datang fitrah kembali fitrah, maka ia tidak akan bisa
melaksanakan ketentuan surat Al Fajr (89) ayat 28 di atas, “Kembalilah
kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi
diridhai-Nya”. Dikarenakan kefitrahan yang kita miliki masih
belum sesuai dengan apa yang dikehendaki Allah SWT, atau masih terjadinya
perbedaan kualitas kefitrahan antara diri kita dengan kefitrahan Allah SWT.
Berdasarkan kondisi ini maka jiwa muthmainnah, atau jiwa
yang tenang dapat dikatakan sebagai suatu keadaan ruhani yang saat kembali
kepada Allah SWT kondisinya masih sesuai dengan konsep awal kejadiannya, atau
masih sesuai dengan konsep aslinya, yaitu masih dalam kondisi fitrah sehingga
Allah SWT ridha kepadanya. Allah SWT berfirman: “Sibghah Allah. Siapa yang lebih
baik sibghahnya daripada Allah? Dan kepadaNya kami menyembah.(surat Al Baqarah
(2) ayat 138)”. Apabila jiwa seseorang termasuk dalam kategori jiwa
muthmainah atau jiwa yang tenang maka manusia telah mampu menjadikan dirinya
sebagai bentuk penampilan Allah SWT di muka bumi, dalam hal ini mampunya diri
kita menampilkan akhlak Allah yang tidak lain adalah asmaul husna menjadi
perilaku diri kita dalam hidup dan kehidupan ini. Akhirnya, bukan hanya dirinya
saja yang menjadi orang yang terhormat namun perilakunya pun terhormat dan
bermanfaat bagi orang banyak.
Kedua. Hasil akhir dari mampunya diri kita mempertahankan
kefitrahan ruhani yang menjadi jati diri kita yang sesungguhnya atau mampunya
diri kita memenuhi kriteria jiwa yang muthmainnah maka berlakulah ketentuan
surat Al Fajr (89) ayat 29 dan 30 kepada diri kita, yaitu “Maka masuklah ke dalam jama'ah
hamba-hamba-Ku,masuklah ke dalam syurga-Ku”. Hal ini dikarenakan ruhani
diri kita mampu mempertahankan konsep datang fitrah kembali fitrah sehingga
jiwa kita masuk dalam kriteria jiwa yang takwa yang muthmainnah yang sesuai
dengan kehendak Allah SWT melalui pelaksanaan Diinul Islam yang kaffah.
Ketiga. Lalu bagaimana jika
saat kita kembali kepadaNya, kondisi kita tidak sesuai dengan konsep datang
fitrah kembali fitrah? Jika kita mengacu kepada ketentuan surat Al Fajr (89)
ayat 27, 28, 29 dan 30 di atas maka sepanjang diri kita tidak mampu
melaksanakan ketentuan dasar dari ruh maka kita tidak akan bisa kembali dengan
selamat kepadaNya.Untuk itu ketahuilah bahwa sepanjang diri kita tidak
melakukan tindakan syirik/musyrik kepada Allah maka kita masih diberi
kesempatan untuk pulang kampung untuk bertemu dengan Allah SWT maka kita
diharuskan melalui proses pemfitrahan ruh yaitu dengan dicuci, dibilas dan
dibersihkan serta disterilkan terlebih dahulu lewat panasnya api neraka. Yang
menjadi persoalan adalah sanggupkah kita menahan panasnya api neraka yang
panasnya 70 kali dari api dunia!
Berdasarkan 3(tiga)
hal yang telah kami kemukakan di atas ini, berikut ini akan kami kemukakan
beberapa esensi dari jiwa Muthmainnah atau jiwa yang tenang nan lapang lagi
tenteram itu. Hal ini penting kami kemukakan agar diri kita bisa secepat
mungkin merasakan hasil jiwa muthmainnah ini, khususnya bagi yang usianya sudah
di persimpangan jalan antara maghrib menuju isya, yaitu:
a. Jiwa Muthaminnah adalah: jiwa yang mampu berada di jalan
yang lurus secara konstan, yaitu jiwa yang selalu berada di jalan yang
menentramkan hati/jiwa dan jalan yang membuat kita mengerti siapa diri kita
yang sebenarnya sehingga kita paham dengan dengan aliran aliran yang muncul
dalam benak kita. Jalan yang lurus adalah juga jalan yang membuat kita
senantiasa sadar sepenuhnya siapa diri kita yang sebenarnya, dan siapa Tuhan
yang sebenarnya. Adanya kondisi ini maka seseorang yang memiliki jiwa
muthamainnah akan mampu tahu diri, tahu aturan dan tahu tujuan akhir dengan
baik dan benar sehingga ia mampu menjadikan kehidupan dunia ini sebagai jalan
menuju kepada kehidupan akhirat kelak.
b. Jiwa Muthmainnah adalah: jiwa yang telah mendapatkan
ketenangan; atau jiwa yang telah sanggup untuk menerima cahaya sang ilahi dan
juga jiwa yang telah mampu menolak menikmati kemewahan dunia dan tidak bisa
dipengaruhi oleh hal hal tersebut.
Jiwa ini memuat pemiliknya merasa berpuas diri dalam pengabdiannya kepada
Tuhan. Dia juga akan selalu berbuat amal shaleh (kebajikan kepada sesama
makhluk) sebagai manifestasi dari kefitrahannya, yaitu hidupnya selalu berguna
bagi masyarakat banyak.
c. Jiwa Mutmainnah juga dapat diartikan sebagai: jiwa yang disinari cahaya ilahiah, sehingga
dapat mengosongkan hati dari sikap tercela dan terhiasi dengan sifat yang
terpuji. Jiwa ini dapat menciptakan ketenangan jiwa bagi seseorang. Orang
yang berada di tingkatan ini adalah orang yang sedang menuju kesesuaian dengan
penampilan Allah SWT sehingga dapat ditemukan sifat sifat yang terpuji dalam
jiwa muthmainnah seperti dermawan, tawakkal, ibadah, syukur, ridha dan takut
kepada Allah atau sebagaimana penampilan Allah SWT yang mencerminkan Asmaul
Husna. Jiwa Muthmainnah ini dimiliki oleh orang yang beriman pada tingkatan
khusus atau orang-orang yang telah dekat dengan Tuhan.
d. Jiwa muthmainnah atau jiwa yang tenang adalah: jiwa seseorang yang merasa tenang tatkala
kembali dan ingat akan adanya Allah SWT,
sejuk disaat menyebutNya, bergetar hatinya saat nama Allah SWT didengarnya,
serta rindu akan bertemu denganNya, bahagia dan ridha di saat berhadapan
dengan-Nya.
e. Berkata Ibnu Abbas ra, "jiwa muthmainnah
artinya: jiwa yang senantiasa berperilaku
jujur terhadap Tuhannya".
f. Berkata Qotadah, "jiwa muthmainnah adalah jiwa
seorang mukmin yang senantiasa merasa tenang terhadap apa yang Allah janjikan
kelak, dan senantiasa bahagia mengenal nama dan sifat-sifat-Nya yang
dikabarkan oleh-Nya dan oleh rasul-Nya, senantiasa yakin akan datangnya perkara
setelah kematian dari alam barzhah dan kejadian kiamat, dan beriman akan taqdir
Allah bahkan pasrah dan ridha, hingga tidak berkeluh kesah, tidak terpengaruh
apa yang datang dan terlewatkan, memahami betul apa yang dikemukakan dalam
surat Ath Taghabun (64) ayat 11 berikut ini: "Tidak ada suatu musibah yang
menimpa (seseorang), kecuali dengan izin
Allah, dan barangsiapa beriman kepada Allah, niscaya Allah akan memberi
petunjuk kepada hatinya. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu." (surat
At-Taghabun (64) ayat 11)
g. Menurut Tafsir al-Maraghi, jiwa muthma’innah adalah: ketenangan jiwa setelah adanya kegoncangan.
Maksudnya adalah ketetapan pada apa yang telah dipegang setelah menerima
goncangan akibat paksaan.
h. Fakhrur Razy, dalam “Tafsir Kabir”, bahwa jiwa (hati)
manusia itu memang hanya satu, tetapi sifat-sifatnya banyak dan bermacam-macam.
Apabila hati itu lebih condong kepada nilai-nilai ketuhanan dan mengikuti
petunjuk-petunjuk Ilahi, maka ia bernama nafs al Muthma’innah, jiwa yang tenang
dan tenteram. Jika ia condong kepada hawa nafsu dan masih suka marah maka ia
dinamakan jiwa amarah (ammarah bi assui’), sehingga hatinya selalu condong
kepada kejahatan.
i. Imam Mujahidin mengartikan: “jiwa muthmainnah sebagai jiwa
yang ridha dengan ketentuan Allah yang tahu bahwa sesuatu yang menjadi
bagiannya pasti akan datang kepadanya.”
j. Ibnu Atha mengartikan jiwa muthmainnah sebagai: “jiwa yang arif billah (mengenal Allah) yang
tak sabar berjumpa dengan Allah walau sekejap.
k. Jiwa yang Muthma’innah’ (jiwa yang tenang) adalah jiwa
yang disinari oleh akal dan cara berpikir yang rasional;
l. Jiwa yang muthmainnah (jiwa yang tenang) adalah jiwa
yang tumbuh karena kemampuannya mampu menempatkan sesuatu kepada tempat yang
sewajarnya, dan senantiasa meletakkannya di atas dasar keimanan.
m. Jiwa yang muthmainnah adalah jiwa yang dapat menguasai diri
dalam keadaan apapun, berfikiran rasional, mampu menciptakan keseimbangan dalam
dirinya, hatinya tetap tenang dan tenteram lagi lapang.
n. Jiwa Muthamainnah (jiwa yang tenang) adalah jiwa yang
senantiasa merasa ridha menghadapi apa pun keadaan, juga senantiasa mendapat
keridaan Ilahi.
Lalu ketenangan dapat dirasakan oleh individu tersebut disebabkan karena
aktifitas yang dilakukan tetap dalam prosedur yang benar, tidak menyalahi
aturan, dan tidak sedikitpun terindikasi berbuat makar. Dan sulit bisa diterima
jika ada individu beraktifitas dengan tenang sementara aktifitas yang dilakukan
berlabel dosa dan maksiat. Jika perbuatan dosa dan maksiat itu dapat
menyenangkan, atau bahkan menenangkan individu maka sifatnya hanya sesaat untuk
kemudian akan berakibat pada penderitaan dan keresahan selama-lamanya.
Setelah diri kita
mengetahui tentang empat belas hal tentang esensi dari jiwa muth-mainnah.
Sekarang mari kita sejenak meluangkan waktu untuk menyimak nasihat Ibnu Mas’ud
ra, beliau adalah salah seorang sahabat Nabi SAW. Suatu ketika beliau pernah
didatangi seseorang yang ingin meminta nasihatnya untuk dapat dijadikan obat
bagi jiwanya yang tidak tenang. Kemudian Ibnu Mas’ud menasihatinya,“Kalau
penyakit itu yang menimpamu, maka bawalah hatimu mengunjungi 3 (tiga) tempat,
yakni:
1.
Engkau datangi tempat orang membaca AlQuran, engkau
membaca AlQuran, engkau dengarkan baik-baik orang yang membaca AlQuran;
2.
Engkau datangi majelis taklim yang mengingatkan hati
kepada Allah;
3. Engkau mencari waktu dan tempat yang sunyi, disitu engkau
menyendiri menyembah Allah seperti pada waktu lewat tengah malam disaat orang
sedang tidur nyenyak engkau bangun mengerjakan shalat malam meminta kepada
Allah ketenangan jiwa, ketentraman pikiran, dan keikhlasan hati.”
Setibanya di rumah, orang
tersebut melaksanakan apa telah yang
dinasihatkan oleh Ibnu Mas’ud itu. Ia berwudhu kemudian membaca AlQuran dengan
khusyu, penuh konsen-trasi. Seusai membaca AlQuran ia merasakan ada ada sesuatu
yang berubah. Jiwanya terasa tenang, hatinya tentram, pikirannya kembali
jernih, ketenangan benar-benar menyelimuti hatinya.
Adanya ketenangan
akhirnya menjadi jalan keluar bagi permasalahan hidup yang dihadapi seseorang
karena kepanikan tidak akan bisa membuat tenang. Dan ketenangan itu hanya
diturunkan kepada mereka yang senantiasa bersandar kepada pemilik ketenangan. Hanya
seseorang yang pernah panik yang bisa merasakan kenikmatan sebuah tenang
setelah dia menyadari kekacauannya. Hanya seseorang yang pernah gundah yang
bisa menikmati ketenangan setelah mengetahui kesakitannya. Maka beruntunglah
pribadi yang mengambil pelajaran dari kesalahan. Sama sekali tidak ada
alasan untuk mereka merasa menyesal tentang sesuatu yang sudah lewat yang
mungkin timbul atas kekurang tenangan sikap dalam pemilihan desain masa depan.
Dan karena ketenangan itu pula akan terhapusnya segala kekhawatiran mereka
tentang sakit atau pahitnya kehidupan, karena mereka yakin sumber dari segala
sumber ketenangan yaitu Allah SWT akan selalu siap menemani dan menyambut
hamba-hamba-Nya yang senantiasa memohon kepada-Nya. Ketenangan akan selalu hadir
karena mereka juga menghadirkan Allah dalam setiap aktivitasnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar