Label

MEMANUSIAKAN MANUSIA: INILAH JATIDIRI MANUSIA YANG SESUNGGUHNYA (79) SETAN HARUS JADI PECUNDANG: DIRI PEMENANG (68) SEBUAH PENGALAMAN PRIBADI MENGAJAR KETAUHIDAN DI LAPAS CIPINANG (65) INILAH ALQURAN YANG SESUNGGUHNYA (60) ROUTE TO 1.6.799 JALAN MENUJU MAKRIFATULLAH (59) MUTIARA-MUTIARA KEHIDUPAN: JALAN MENUJU KERIDHAAN ALLAH SWT (54) PUASA SEBAGAI KEBUTUHAN ORANG BERIMAN (50) ENERGI UNTUK MEMOTIVASI DIRI & MENJAGA KEFITRAHAN JIWA (44) RUMUS KEHIDUPAN: TAHU DIRI TAHU ATURAN MAIN DAN TAHU TUJUAN AKHIR (38) TAUHID ILMU YANG WAJIB KITA MILIKI (36) THE ART OF DYING: DATANG FITRAH KEMBALI FITRAH (33) JIWA YANG TENANG LAGI BAHAGIA (27) BUKU PANDUAN UMROH (26) SHALAT ADALAH KEBUTUHAN DIRI (25) HAJI DAN UMROH : JADIKAN DIRI TAMU YANG SUDAH DINANTIKAN KEDATANGANNYA OLEH TUAN RUMAH (24) IKHSAN: INILAH CERMINAN DIRI KITA (24) RUKUN IMAN ADALAH PONDASI DASAR DIINUL ISLAM (23) ZAKAT ADALAH HAK ALLAH SWT YANG HARUS DITUNAIKAN (20) KUMPULAN NASEHAT UNTUK KEHIDUPAN YANG LEBIH BAIK (19) MUTIARA HIKMAH DARI GENERASI TABI'IN DAN TABI'UT TABIIN (18) INSPRIRASI KESEHATAN DIRI (15) SYAHADAT SEBAGAI SEBUAH PERNYATAAN SIKAP (14) DIINUL ISLAM ADALAH AGAMA FITRAH (13) KUMPULAN DOA-DOA (10) BEBERAPA MUKJIZAT RASULULLAH SAW (5) DOSA DAN JUGA KEJAHATAN (5) DZIKIR UNTUK KEBAIKAN DIRI (4) INSPIRASI DARI PARA SAHABAT NABI (4) INILAH IBADAH YANG DISUKAI NABI MUHAMMAD SAW (3) PEMIMPIN DA KEPEMIMPINAN (3) TAHU NABI MUHAMMAD SAW (3) DIALOQ TOKOH ISLAM (2) SABAR ILMU TINGKAT TINGGI (2) SURAT TERBUKA UNTUK PEROKOK dan KORUPTOR (2) IKHLAS DAN SYUKUR (1)

Senin, 13 Mei 2024

HUBBUL YANG 7 SEBAGAI ENERGI PENGGERAK MANUSIA (PART 4 of 7)

 

E.   HUBBUL MAAL (INGIN HARTA KEKAYAAN)

 

Adakah Hubbul Maal di dalam diri kita? Di dalam setiap diri manusia baik itu laki-laki maupun perempuan pasti mempunyai Hubbul Maal atau keinginan memiliki kekayaan. Adanya Hubbul Maal akan membuat manusia mempunyai energi untuk bergerak atau memiliki kekuatan atau memiliki dorongan untuk mencari pekerjaan, untuk mencari rezeki, untuk mencari harta kekayaan, untuk menentukan karir apakah menjadi pegawai atau  pengusaha ataupun menjadi professional yang kesemuanya untuk meninggkatkan taraf hidup dan kehidupan seseorang. Setelah mengetahui bahwa di dalam diri kita mempunyai keinginan memiliki kekayaan apakah yang anda rasakan? Adanya keinginan memiliki kekayaan akan mendorong manusia untuk bekerja keras demi mendapatkan sesuap nasi atau berusaha dengan cara berkelompok atau sendiri-sendiri menciptakan usaha atau membuka kesempatan kerja baru bagi sesama atau membuat terobosan-terobosan baru atau temuan-temuan baru guna  memperoleh dan mendapatkan kesempatan bisnis baru dan lain sebagainya.

 

Sekarang apa yang terjadi jika sampai Allah SWT tidak memberikan kepada kita keinginan memiliki kekayaan, dapatkah kita atau mampukah kita merasakan hidup yang layak atau merasakan menjadi pegawai, merasakan menjadi pengusaha ataupun merasakan menjadi professional atau merasakan penghargaan masyarakat atas keberhasilan menjadi pegawai, menjadi pengusaha ataupun menjadi professional atau merasakan hasil jerih payah mencari uang melalui kerja keras atau merasakan nikmat berbagi kepada sesama setelah mendapatkan karunia rezeki dari Allah SWT.

 

Setelah mempunyai keinginan memiliki kekayaan dapatkah energi dan dorongan yang ada di dalam diri dapatkah hal tersebut kita pergunakan dengan cara-cara yang bertentangan dengan Nilai-Nilai Kebaikan atau menghasilkan hasil yang juga bertentangan dengan Nilai-Nilai Kebaikan? Keinginan memiliki kekayaan harus selalu dipergunakan dengan cara-cara yang benar dan dibenarkan oleh ketentuan yang berlaku atau  dengan cara yang halal atau cara yang patut dan pantas atau cara yang pantas dan patut atau dengan cara yang bertanggung jawab dan bukan pula sebuah keberhasilan  jika keinginan memiliki kekayaan didapat dengan cara tipu menipu, memalsukan barang dan jasa, korupsi, manipulasi ataupun melalui kolusi dengan siapapun juga yang penting menang tender, sehingga melanggar ketentuan syariat agama dan hukum negara.

 

Keberhasikan atas penggunaan energi dan dorongan yang berasal dari keinginan memiliki kekayaan akan terindikasi dari makin tingginya taraf hidup dan kehidupan masyarakat dan berkurangnya angka kemiskinan di masyarakat atau terjadinya keadilan dan pemerataan di dalam masyarakat atau tumbuh kembangnya usaha di masyarakat yang pada akhirnya masyarakat madani dapat tercapai.  

1.  Hubbul Maal Yang Masih Fitrah. Sebagai makhluk yang terhormat kita harus menyadari bahwa Hubbul Maal atau keinginan memiliki kekayaan yang berasal dari  Allah SWT bukanlah sesuatu yang bersifat gratisan sehingga Hubbul Maal  bisa dipergu-nakan, bisa didayagunakan dengan seenak-nya saja tanpa menghiraukan maksud dan tujuan awal dari pemberian Hubbul Maal. Selanjutnya agar diri kita jangan sampai salah di dalam mempergunakan Hubbul Maal. Berikut ini akan kami kemukakan beberapa kehendak Allah SWT yang yang dapat kita jadikan pedoman di dalam mempergunakan Hubbul Maal sehingga kita selalu berada di dalam kehendak Allah SWT atau jika kita ingin mempertahankan kefitrahan Hubbul Maal,  yaitu :

 

a.  Pemurah. Keinginan memiliki Kekayaan harus menjadikan manusia pemurah atau menjadikan manusia memiliki rasa kesetiakawanan sosial yang tinggi atau menjadikan manusia suka berderma atau menjadikan manusia yang dermawan. Inilah cermin dari salah satu keberhasilan keinginan memiliki kekayaan yang dibenarkan oleh Allah SWT sehingga masyarakat yang tidak berkecukupan atau kekurangan menjadi terbantu oleh manusia-manusia pemurah lagi dermawan. Sebagai abd’ (hamba)-Nya yang juga khalifah-Nya di muka bumi sudahkah kita menjadi manusia pemurah lagi dermawan? Jika kita tidak mampu menjadi pemurah atau dermawan berarti sifat-sifat alamiah jasmani (maksudnya seperti sifat bakhil) masih bercokol dalam diri manusia atau jiwa manusia masih dalam kondisi jiwa fujur, kondisi ini sangat dikehendaki oleh syaitan sang laknatullah. Dilain sisi, dengan adanya Hubbul Maal di dalam diri manusia, berarti di dalam diri kita harus terdapat jiwa pemurah, jiwa untuk berbagi karena diri kita yang sesungguhnya adalah ruh. Dan jika sekarang yang terjadi adalah pelit, mementingkan diri sendiri berarti ada sesuatu yang salah di dalam pengelolaan keinginan untuk mecari harta kekayaan.

 

b. Zakat. Keinginan memiliki kekayaan di dalam setiap diri manusia sangat berhubungan erat dengan Rukun Islam yaitu menunaikan zakat. Menunaikan zakat merupakan rukun yang wajib dilaksanakan oleh setiap umat Islam. Kewajiban untuk menunaikan zakat merupakan salah satu bentuk keberhasilan atau tindakan yang sesuai dengan fitrah atas diberikannya keinginan memiliki kekayaan. Hal ini dikarenakan zakat adalah sarana menunaikan Hak Allah SWT atas apa-apa yang telah diberikannya kepada diri manusia seperti jasmani, ruhani, Amanah yang 7 serta langit dan bumi tempat diri kita bekerja dan berkarya. Selain itu zakat juga berfungsi untuk membersihkan harta dan kekayaan yang di dapat dari energi dan dorongan  untuk memiliki kekayaan. Di lain sisi, zakat merupakan sarana dan alat bantu untuk saling berbagi kelebihan  atau sarana untuk tolong menolong antara si kaya dan si miskin sehingga melalui zakat dapat mengurangi jurang si kaya dan si miskin atau melalui zakat pula kita dapat membuat ladang amal kebajikan. Sebagaimana firman-Nya berikut ini: “Allah SWT berfirman: “(yaitu) orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi, niscaya mereka mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, menyuruh berbuat yang ma’ruf dan mencegah dari perbuatan mungkar; dan kepada Allah-lah kembali segala urusan. (surat Al Hajj (22) ayat 41)

 

Sebagai abd’ (hamba)-Nya yang juga adalah khalifah-Nya di muka bumi, sadarkah anda bahwa anda tidak memiliki apapun saat hadir dan lahir di muka bumi ini? Langit dan bumi tidak pernah kita ciptakan dan tidak pernah kita miliki, namun kita pergunakan dan kita ambil manfaatnya? Untuk mengolah, untuk memperoleh manfaat dari langit dan bumi kita diberikan oleh Allah SWT apa yang dinamakan dengan jasmani, ruh, Amanah yang 7 serta Hubbul, tahukah anda ini semua bukanlah barang gratisan? Jika kita termasuk makhluk yang tahu diri, sudah sepatutnya dan sepantasnya diri kita menunaikan hak Allah SWT saat menjadi khalifah di muka bumi dikarenakan kita tidak memiliki apapun juga saat ada di muka bumi atau karena kita juga menumpang di muka bumi ini. 

  

Untuk lebih mempertegas lagi tentang Zakat yang tidak lain kewajiban untuk menunaikan hak Allah SWT, mari kita pelajari surat Al Bayyinah (98) ayat 5 berikut ini: “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian Itulah agama yang lurus.” Berdasarkan surat Al Bayyinah (98) ayat 5, dikemukakan bahwa zakat adalah bukti dari diri kita telah memeluk Agama Islam, atau bukti kita telah beragama Islam. Selain daripada itu, masih berdasarkan  surat Al Bayyinah (98) ayat 5, dengan diri kita menunaikan zakat berarti kita telah mampu membuktikan, mampu memperlihatkan hasil akhir dari melaksanakan hubungan dengan Allah SWT (Habblumminallah) melalui shalat yang kita dirikan tercermin saat diri kita melakukan hubungan dengan sesama manusia (Habblumminannass) sehingga diri, keluarga, masyarakat, bangsa, Negara mampu merasakan buah dari hasil kedekatan kita kepada Allah SWT atau dengan kata lain keberadaan diri kita di tengah masyarakat bukanlah menjadi beban bagi masyarakat melainkan berkah bagi masyarakat.

 

Saat ini diri kita sudah mampu Habblumminallah, berarti saat ini kita sedang mensinergikan ruh kita dengan Allah SWT, kita sedang mensinergikan Amanah yang 7 yang ada pada diri kita dengan Allah SWT serta kita juga sedang mensinergikan sibghah Asmaul Husna yang ada pada diri kita dengan Allah SWT melalui pelaksanaan Diinul Islam yang kaffah.  Akan tetapi jika proses sinergi yang telah kita lakukan dengan Allah SWT tidak dapat dikatakan berjalan sesuai dengan konsep “Ma’rifatullah” jika jika apa-apa yang telah tersambung dengan Allah SWT, jika apa-apa yang telah bersinergi dengan Allah SWT, tidak mampu kita tunjukkan di dalam perbuatan kita kepada sesama umat manusia secara utuh. Untuk itu kita harus bisa menghilangkan saat ini juga, konsep untung rugi di dalam berbuat dan bertindak. Jika baik untuk diri, keluarga serta kita kelompok kita kerjakan, jika buruk untuk diri, keluarga serta kelompok ambil untungnya buang ruginya ketempat lain.

 

Selain daripada itu konsep menyembunyikan sesuatu saat mengajarkan sesuatu hilang atau tidak berlaku lagi, yang ada hanyalah ikhlas berbuat karena Allah SWT semata tanpa ada udang di balik batu. Apa maksudnya? Berikut ini akan kami kemukakan beberapa contoh dari sinergi dimaksud, yaitu:

 

Pertama, Jika ruh bersinergi dengan Allah SWT, atau ruh diri kita tersambung dengan Allah SWT berarti ruh diri kita mampu menguasai jasmani diri kita, sehingga nilai-nilai kebaikan yang dibawa oleh ruh mampu mengalahkan nilai-nilai keburukan yang dibawa oleh jasmani. Dan jika ini terjadi pada diri kita berarti segala perbuatan diri kita selalu berada di dalam koridor Nilai-Nilai Kebaikan yang tidak hanya dapat dinikmati oleh diri sendiri, tetapi juga oleh keluarga, oleh anak dan keturunan, oleh masyarakat, oleh bangsa dan negara.

 

Kedua, Jika Ilmu yang kita miliki mampu bersinergi dengan Ilmu Allah SWT maka ilmu tersebut tidak disimpan hanya untuk kepentingan diri, keluarga atau kelompok tertentu saja. Namun ilmu itu harus diajarkan kepada semua orang tanpa ada yang ditutup-tutupi, tanpa ada yang disembunyikan sehingga berguna bagi semua orang.

 

Ketiga, Jika Qudrat yang kita miliki mampu tersambung dengan Qudrat Allah SWT maka segala kekuatan, segala kekuasaan yang kita miliki tidak hanya bermanfaat bagi diri, keluarga semata. Akan tetapi dengan Qudrat itu semua orang menjadi tertolong, terbantu, atau tidak mengakibatkan kerugian bagi masyarakat luas.

 

Keempat, Jika Kalam yang kita miliki mampu tersambung dengan Kalam Allah SWT maka kata-kata, tutur kata, omongan yang keluar dari mulut kita tidak akan menyakiti hati orang lain, selalu  bermanfaat, dapat menyenangkan banyak orang, dapat menjadi pendengar yang baik serta mampu menerapkan falsafah diam itu emas.

 

Kelima, Jika Ar Rahman dan Ar Rahhiem, yang kita miliki tersambung dengan Allah SWT maka banyak orang tidak mampu yang ada disekitar diri kita tertolong, terbantu, oleh sebab keberadaan diri kita tanpa melihat siapa mereka, darimana mereka berasal serta kesenjangan sosial dapat teratasi dengan sendirinya.

 

Keenam, Jika Ar Razaq yang kita miliki dapat tersambung dengan Af’al Ar Razaq yang dimiliki Allah SWT? Hal yang akan terjadi adalah kita tidak mau mengambil hak orang lain, kita tidak akan mau Kolusi, Korupsi, Nepotisme di dalam mencari Rezeki serta setelah memperoleh Rezeki sebagian dari Rezeki itu dikeluarkan kembali dalam bentuk Zakat, Infaq, Shadaqah, Jariah, yang pada intinya untuk menolong banyak orang. Demikian seterusnya.

 

Sekarang bagaimana dengan shalat yang didirikan oleh orang yang telah Ma’rifatullah (dalam hal ini telah mampu Habblumminallah dan juga Habblumminannass) yang sesuai dengan kehendak Allah SWT? Orang yang telah Ma’rifatullah pasti mampu mendirikan shalat dan menunaikan zakat yang sesuai dengan kehendak dari pemberi perintah mendirikan shalat dan menunaikan zakat. Dalam hal ini mampu melaksanakan apa dikemukakan oleh Allah SWT dalam surat Al Ankaabut (29) ayat 45 berikut ini: “Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, Yaitu Alkitab  (AlQuran) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar. dan Sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” yaitu mampu mencegah perbuatan keji dan mungkar.

 

Apa dasarnya? Hal ini dikarenakan melalui shalat yang kita dirikan berarti kita telah berusaha untuk mempertemukan ruh dan Amanah yang 7 yang berasal dari Allah SWT dengan Allah SWT (maksudnya adalah berusaha untuk mempertemukan ruh dan Amanah yang 7 dengan kemahaan dan kebesaran Allah SWT). Sehingga dengan adanya pertemuan ruh dan Amanah yang 7 dengan Allah SWT akan terjadi apa yang dinamakan dengan sinergi antara ruh dan Amanah yang 7 diri kita dengan Allah SWT yang mengakibatkan diri kita selalu berada di dalam kemahaan dan kebesaran Allah SWT.

 

Hasil akhir dari hal ini adalah ruhani mampu mengalahkan jasmani atau kondisi jiwa manusia masuk dalam kategori Jiwa Taqwa. Dan jika ini yang terjadi maka pengaruh-pengaruh negatif yang mencerminkan Nilai-Nilai Keburukan yang berasal dari sifat-sifat Jasmani dapat kita kalahkan atau dapat kita hilangkan sehingga yang ada adalah Nilai-Nilai Kebaikan yang berasal dari ruh. Apa contohnya? Sifat malas yang dibawa jasmani hilang menjadi produktif; sifat pelit yang dibawa jasmani hilang menjadi dermawan; sifat keji dan mungkar yang dibawa jasmani hilang menjadi kasih sayang kepada sesama, demikian seterusnya sesuai dengan Asmaul Husna yang dimiliki oleh Allah SWT. Jika sudah demikian keadaannya berarti nila-nilai kebaikan akan selalu menyertai individu-individu yang telah mendirikan shalat yang sesuai dengan kehendak pemberi perintah mendirikan shalat yang dibuktikan dengan menunaikan zakat.

 

Selain daripada itu, orang yang telah mampu melaksanakan Diinul Islam secara kaffah, akan mampu pula merasakan nikmat atau dampak positif shalat bagi kesehatan jasmani, yaitu melalui gerakan-gerakan yang terdapat di dalam shalat seperti saat berdiri, saat takbiratul ihram, saat rukuk, saat sujud, saat i'tidal (bangun dari rukuk), duduk di antara dua sujud, saat duduk tasyahud awal, saat duduk tasyahud akhir dan saat salam, yang kesemuanya memiliki manfaat ditinjau dari sudut kesehatan jasmani. Adanya kondisi ini berarti mendirikan shalat memiliki dua manfaat bagi jasmani, yaitu mampu menghilangkan atau meniadakan sifat-sifat jasmani yang mencerminkan nilai-nilai keburukan akibat dari ruh tersambung atau bersinergi dengan kemahaan dan kebesaran Allah SWT dan juga mampu memberikan manfaat kepada jasmani itu sendiri melalui gerakan shalat serta masyarakat terbantu melalui zakat yang kita tunaikan.

 

Sekarang kita telah mengetahui bahwa manfaat shalat tidak hanya untuk kepentingan ruh saja, akan tetapi juga untuk kepentingan jasmani dan masyarakat. Sekarang bagaimana jika setelah shalat kita dirikan, akan tetapi justru perbuatan korupsi, kolusi, nepotisme, pembalakan liar, menipu, menyebarkan fitnah, melaku-kan tindakan keji dan mungkar, mementingkan golongan tidak juga hilang dalam kehidupan kita atau nilai-nilai keburukan yang disukai oleh syaitan masih tetap kita lakukan bahkan kualitasnya malah meningkat dari waktu ke waktu? Jika apa yang kami kemukakan diatas masih tetap kita lakukan setelah mendirikan shalat berarti shalat yang kita dirikan belum sesuai dengan kehendak Allah SWT selaku pemberi perintah mendirikan shalat atau ada sesuatu yang salah di dalam shalat yang kita dirikan, yaitu kita tidak bisa melaksanakan perintah mendirikan shalat yang sesuai dengan perintah Allah SWT dan yang juga berarti kita belum bisa dikatakan telah ma’rifatullah yang sesuai dengan kehendak Allah SWT.

Sebagai abd’ (hamba)-Nya yang juga adalah khalifah-Nya di muka bumi, jangan sampai diri kita hanya mampu Habblumminallah semata, tanpa bisa membuktikan saat melaksanakan Habblum Minannass, atau kita harus bisa melaksanakan Habblum-minannass yang sesuai dengan konsep Habblumminallah. Timbul pertanyaan, kapan kita harus melaksanakan itu semua? Melaksanakan Habblum-minallah dan Habblum-minannass harus kita laksanakan saat hidup di dunia karena hanya pada saat itulah kita diberi kesempatan untuk membuktikan itu semua dihadapan Allah SWT sebelum akhirnya kita mempertanggung jawabkan itu semua.

 

Selanjutnya jika semua orang yang telah Ma’rifatullah mampu melaksanakan konsep Habblumminallah dan Habblum-minannass secara selaras, serasi dan seimbang, terjadilah apa yang dinamakan dengan “Toto Tenterem Gemah Ripah Loh Jinawi”, masyarakat madani serta tidak akan terjadi apa yang dinamakan dengan kesenjangan sosial. Dan jika sekarang yang terjadi adalah sebaliknya, seperti jurang yang kaya dan yang miskin sangat jauh, korupsi, kolusi serta nepotisme semakin merajalela, ketidakadilan semakin menjadi-jadi, kampanye hitam semakin tumbuh subur, berarti Diinul Islam yang telah kita lakukan belum sesuai dengan kehendak Allah SWT, atau ada sesuatu yang salah di dalam Diinul Islam yang kita lakukan.

 

c. Infaq, Shadaqah dan Jariah. Infaq, Shadaqah dan Jariah adalah wujud pengabdian dan pengungkapan rasa syukur atas nikmat dan karunia yang telah diberikan oleh Allah SWT kepada manusia. Setiap Infaq, Shadaqah dan Jariah yang dikeluarkan oleh manusia merupakan amal ibadah yang akan diberikan ganjaran pahala oleh Allah SWT sepanjang pemberian itu dilandasi rasa ikhlas hanya untuk Allah SWT semata. Allah SWT berfirman: “Mereka bertanya kepadamu tentang apa yang mereka nafkahkan. Jawablah: “Apa saja harta yang kamu nafkahkan hendalah diberikan kepada ibu-bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan”. Dan apa saja kebajikan yang kamu buat, maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahuinya. (surat Al Baqarah (2) ayat 215).

 

Selanjutnya akan kami kemukakan beberapa manfaat atau fungsi lain dari Infaq, Shadaqah dan Jariah yang dikeluakan oleh manusia sebagai manifesti dari Hubbul Maal yang masih fitrah, yaitu:

 

1)   Infaq, Shadaqah dan Jariah  merupakan  alat  bantu bagi manusia untuk saling berbagi di dalam kelebihan rezeki yang pada akhirnya dapat mempererat tali persaudaraan.

2)  Infaq, Shadaqah dan Jariah  merupakan  tabungan  akhirat yang akan diperhitungkan kelak.

3)  Infaq, Shadaqah dan Jariah merupakan rezeki bagi ruhani atau harta kekayaan bagi ruh (ingat definisi dari rezeki yang artinya apa-apa yang telah habis di-infaqkan).

4)   Infaq, Shadaqah dan Jariah merupakan wujud tanggung jawab sosial bagi pemberi kepada yang berhak menerimanya.

5) Infaq, Shadaqah dan Jariah merupakan pembuka jalan untuk lebih mendekat-kan diri kepada  Allah SWT serta pembuka jalan bagi pengentasan kemiskinan.

6) Infaq, Shadaqah dan Jariah merupakan bukti kesalehan pribadi yang tercermin dalam kesalehan sosial.

 

Hal yang harus kita ketahui adalah bahwa Infaq, Shadaqah dan Jariah bukanlah untuk kepentingan akhirat semata. Akan tetapi Infaq, Shadaqah dan Jariah juga untuk kepentingan hidup di dunia pada saat diri kita mengalami kekurangan, maka Allah SWT akan mencairkan hasil dari Infaq, Shadaqah dan Jariah yang kita keluarkan tidak secara tunai (sesuai dengan kebutuhan diri kita) sebab yang tunai akan dibayar di akhirat kelak. Sekarang bagaimana mungkin Allah SWT akan menolong diri kita saat mengalami kekurangan jika kita tidak memiliki tabungan yang berasal dari Infaq, Shadaqah dan Jariah? Selanjutnya sebagai abd’ (hamba)Nya yang juga khalifahNya di muka bumi, sudahkah anda memberikan dan membayarkan Infaq, Shadaqah dan Jariah kepada orang yang membutuhkan uluran tangan anda serta sebagai pelengkap dari ibadah menunaikan zakat?

 

d. Kuat dan  Sabar. Berdasarkan surat Al Baqarah (2) ayat 155 yang kami kemukakan berikut ini: “Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.” dikemukakan setiap orang akan mengalami cobaan berupa ketakutan, kelaparan, kekurangan harta saat menjadi khalifah di muka bumi. Di lain sisi dengan adanya Hubbul Maal kita berusaha untuk keluar dari cobaan dimaksud. Hal yang harus kita perhatikan saat mempergunakan Hubbul Maal ini adalah kita diharuskan kuat dan sabar. Untuk apakah kuat dan sabar itu? Kuat dan sabar sangat dibutuhkan saat diri kita keluar dari cobaan ekonomi dikarenakan di balik kekuatan dan kesabaran yang kita lakukan disana ada Allah SWT yang siap memberikan kasih sayangnya kepada diri kita yang selanjutnya akan dapat menghantarkan diri kita sesuai dengan kehendak Allah SWT dan juga siap memberikan pertolongan kepada diri kita.

 

e.   Taqwa. Keberhasilan di dalam mempergunakan keinginan memiliki kekayaan harus tetap menjadikan diri kita tetap taqwa hanya kepada Allah SWT. Selanjutnya melalui ketaqwaan yang telah kita dapatkan harus diwujudkan dengan kederma-wanan atau kepedulian sosial kepada sesama yang lebih baik lagi. Sebagaimana dikemukakan dalam firman-Nya berikut ini: ““(Yaitu) orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan keji yang selain dari kesalahan-kesalahan kecil. Sesungguhnya Tuhanmu Maha Luas ampunanNya. Dan Dia lebih mengetahui (tentang keadaan)mu ketika Dia menjadikan kamu dari tanah dan ketika kamu masih janin dalam perut ibumu; maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui tentang  orang yang bertaqwa. (surat An Najm (53) ayat 32).

 

Sekarang dapatkah diri kita dikatakan telah sukses mempergunakan Hubbul Maal yang dibuktikan diri kita teleh memiliki harta kekayaan, jabatan dan kedudukan. Akan tetapi dengan itu semua telah menjadikan diri kita menjadi pribadi yang tidak beriman atau menjadi pribadi yang kafir atau melakukan pindah agama atau tidak menghiraukan ketentuan halal dan haram. Jika hal ini sampai kita lakukan berarti diri kita telah keluar dari kehendak Allah SWT melaui pemberian Hubbul Maal lalu masuk ke dalam kehendak syaitan. Sebagai abd’ (hamba)-Nya yang juga khalifah-Nya di muka bumi, jangan pernah sekalipun mengeksploitasi Hubbul Maal melalui cara-cara di luar Nilai-Nilai Kebaikan atau jangan pernah menjadikan jasmani sebagai komandan bagi Hubbul Maal karena hal ini akan memudahkan syaitan melancarkan aksinya kepada diri kita.

 

2.  Hubbul Maal Yang Sudah Tidak Fitrah. Berikut ini akan kami kemukakan kondisi dari keinginan memiliki kekayaan yang sudah tidak sesuai lagi dengan nilai-nilai kebaikan atau kondisi dari keinginan memiliki kekayaan yang di dalam pelaksanaanya sudah dikendalikan atau dibawah pengaruh sifat-sifat dasar jasmani yang diakibatkan oleh jasmani yang telah mampu menguasai keinginan memiliki kekayaan. Adapun keinginan memiliki kekayaan yang sudah tidak fitrah lagi dapat kami kemukakan sebagai berikut:

 

a.    Kikir. Rezeki, uang, jabatan, kehormatan dan harta adalah hasil yang di dapat dari upaya dan usaha manusia mempergunakan keinginan memiliki kekayaan. Akan tetapi setelah diri kita mampu memperolah itu semua malah menjadikan diri kita kikir bin pelit maka kondisi ini bukanlah hasil yang baik apalagi terhormat dari penggunaan energi dan dorongan atas penggunaan keinginan memiliki kekayaan. Selain daripada itu, keinginan memiliki kekayaan harus dapat menjadi alat bantu bagi diri kita untuk saling tolong menolong dikarenakan pada saat yang bersamaanpun kita harus pula melaksanakan keinginan untuk berkumpul. Hal yang harus kita perhatikan adalah kikir bin pelit merupakan sifat alamiah dari jasmani yang berasal dari alam dan jika saat ini kikir bin pelit merupakan hasil akhir dari keinginan memiliki kekayaan berarti di dalam diri kita telah terjadi penjajahan atau berkuasanya jasmani atas keinginan memiliki kekayaan yang mengakibatkan tidak fitrahnya Hubbul Maal yang kita miliki. Untuk itu bersiap-siaplah untuk memper-tanggungjawabkan itu semua dihadapan Allah SWT kelak.

 

b. Ragu-Ragu (Peragu). Penggunaan energi dan dorongan yang berasal dari keinginan memiliki kekayaan bukanlah untuk menjadikan  manusia menjadi peragu (selalu gamang) di dalam mengambil keputusan untuk mencari rezeki  ataupun  mencari nafkah untuk keluarga. Akan tetapi harus menjadikan manusia mantap di dalam mengambil keputusan atau menjadikan manusia percaya diri serta giat bekerja dengan sepenuh hati. Jika saat ini di dalam diri kita ada sifat peragu, gamang atau tidak percaya diri hal ini merupakan cermin dari gagalnya manusia mempergunakan keinginan memiliki kekayaan yang dikehendaki oleh Allah SWT dikarenakan hal itu semua adalah  cerminan dari sifat-sifat alamiah jasmani manusia yang berasal dari alam, sebagaimana firmanNya berikut ini: Tetapi mereka bermain-main dalam keragu-raguan. (surat Ad Dukhaan (44) ayat 9). Hal yang harus juga diperhatikan adalah keinginan memiliki kekayaan bukanlah hanya untuk kepentingan diri kita semata, akan tetapi di dalam kekayaan; di dalam harta yang kita dapatkan (miliki) ada hak Allah SWT yang harus kita salurkan untuk kaum yang tidak beruntung (dalam hal ini zakat) dan jika kita sudah mengaku beragama Islam maka kewajiban untuk menunaikan zakat adalah sesuatu yang mutlak. Jika demikian haruskah kita kikir bin pelit setelah mendapatkan rezeki, kekayaan dan harta saat menjadi khalifah di muka bumi?

 

c.   Fitnah. Mencari rezeki, kekayaan, harta, uang dan kehormatan tidak semesti-nya dicapai melalui cara-cara yang tidak beradab, apalagi kotor seperti melalui fitnah. Fitnah bukanlah cara yang dibenarkan atau cara yang elegant untuk mencari rezeki ataupun mencari nafkah, apalagi untuk kepentingan menafkahi keluarga. Fitnah adalah perbuatan keji, lebih keji dari pembunuhan sehingga tidak pantas dan tidak beradab jika kita mempergunakan fitnah sebagai alat bantu kita mencari kekayaan ataupun untuk mencari rezeki, sebagaimana firmanNya berikut ini: “Dan fitnah itu lebih kejam daripada pembunuhan.” (surat Al Baqarah (2) ayat 191) Dan Jika fitnah atau tindakan adu domba, atau membuat laporan palsu, atau melalui korupsi dan kolusi merupakan andalan manusia di dalam mencari nafkah dan kekayaan ini berarti bahwa Nilai-Nilai Keburukan sudah dijadikan pedoman dan pegangan di dalam menjalani kehidupan di dunia ini. Hasil akhir dari petualangan ini adalah pulang kampung bersama syaitan ke neraka. 

 

d.  Minta-minta. Tindakan meminta-minta atau menunggu belas kasihan orang atau mengemis merupakan bentuk eksploitasi yang tidak dibenarkan di dalam mempergunakan keinginan untuk memiliki kekayaan. Seorang yang memperguna-kan dengan baik dan benar atas keinginan untuk memiliki kekayaan akan tercermin dari tingkah laku dan pola kerja yang tidak mengenal lelah, mempunyai percaya diri yang tinggi, jujur serta pekerja keras. Sudahkah anda melakukan hal tersebut di waktu mencari nafkah atau mencari rezeki? Di dalam kehidupan sehari-hari kita sering mendengar peribahasa yang berbunyi “Tangan di atas lebih baik dari tangan di bawah” ini menandakan bahwa kita diperintahkan untuk selalu berbuat baik atau kita diperintahkan untuk menjadi inisiator atau kita disuruh untuk selalu memberi (menjadi muzakki) dan bukan menjadi peminta-minta yang menunggu belas kasihan orang lain, sekarang sudahkah anda melaksanakan peribahasa di atas setelah memperoleh rezeki.

 

e.   Menipu. Nilai-Nilai Keburukan jika dijadikan pedoman untuk mencari nafkah maka tindakan menipu atau melakukan upaya curang atau mengurangi ukuran dan timbangan atau melaksanakan jual beli barang dan jasa dalam kategori haram walaupun hasilnya banyak dan besar bukanlah ukuran kesuksessan dari upaya dan usaha manusia di dalam mencari nafkah. Kecil dan sedikit tetapi halal lebih baik daripada banyak dan besar namun haram. Mencari nafkah atau mencari rezeki janganlah selalu di ukur dari besar ataupun kecil masih ada ukuran lainnya yang harus kita pertimbangkan di dalam mencari nafkah untuk diri dan keluarga yaitu keberkahan apa yang kita peroleh.

 

Kecil ataupun sedikit jika berkah dan halal akan terasa besar dan banyak jika kita mensyukuri nafkah tersebut atau jika kita mau bersyukur dengan apa-apa yang telah kita peroleh. Untuk itu berhati hatilah dengan upaya syaitan saat diri kita berusaha mencari nafkah dan rezeki, sebagaimana firman-Nya berikut ini: Sesungguhnya syaitan itu hanya menyuruh kamu berbuat jahat dan keji, dan mengatakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui. (surat Al Baqarah (2) ayat 169). Sekarang jika yang terjadi pada diri kita justru memperoleh kekayaan dan harta melalui jalan korupsi, melalui jalan kolusi, melalu penipuan, lalu apa yang harus kita perbuat? Lakukanlah “Taubatan Nasuha” sebelum ruh tiba di kerongkongan serta segera keluarkan harta yang kotor tersebut dari daftar harta kita.

 

f.   Rakus dan Tamak. Nilai-Nilai Kebaikan yang terkandung di dalam energi dan dorongan atas penggunaan keinginan memiliki kekayaan bukanlah menghasilkan manusia yang mempunyai sifat rakus dan tamak, melainkan sifat welas asih kepada sesama manusia. Timbulnya sifat rakus dan tamak terjadi akibat penjajahan atau dikuasainya keinginan memiliki kekayaan oleh jasmani. Semakin kuat cengkraman dan pengaruh jasmani kepada keinginan  memiliki kekayaan akan semakin rakus dan tamaklah manusia tersebut, sebagaimana firmanNya berikut ini: Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kapada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar). (surat Ar Ruum (30) ayat 41).” Jika saat ini anda sedang giat-giatnya mencari nafkah untuk keluarga jadikan nilai-nilai kebaikan yang berasal dari nilai-nilai Ilahiah sebagai pedoman dan patokan utama di waktu mencari nafkah atau mencari rezeki.  

 

Sebagai abd’ (hamba)-Nya yang juga  khalifah-Nya di muka bumi yang saat ini sedang mempergunakan dan mendayagunakan Hubbul Maal (keinginan memiliki kekayaan), ada satu hal yang harus kita perhatikan saat hidup di dunia ini, yaitu Allah SWT tidak membutuhkan apapun juga dari penggunaan Hubbul Maal sebab Allah SWT sudah Maha dan akan Maha selamanya. Allah SWT juga tidak memperdulikan apakah Hubbul Maal mau dipergunakan dengan cara-cara Ilahiah ataukah mau dipergunakan dengan cara-cara syaitani, yang pasti adalah Allah SWT akan meminta pertanggungjawaban atas penggunaan energi dan dorongan dari Hubbul Maal yang ada pada diri kita selama diri kita menjadi abd’ (hamba) yang sekaligus khalifah di muka bumi. 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar