E. HUBBUL MAAL (INGIN HARTA KEKAYAAN)
Adakah Hubbul Maal di dalam diri kita? Di dalam setiap diri manusia baik
itu laki-laki maupun perempuan pasti mempunyai Hubbul Maal atau keinginan
memiliki kekayaan. Adanya Hubbul Maal akan membuat manusia mempunyai energi
untuk bergerak atau memiliki kekuatan atau memiliki dorongan untuk mencari pekerjaan,
untuk mencari rezeki, untuk mencari harta kekayaan, untuk menentukan karir
apakah menjadi pegawai atau pengusaha
ataupun menjadi professional yang kesemuanya untuk meninggkatkan taraf hidup
dan kehidupan seseorang. Setelah mengetahui bahwa di dalam diri kita mempunyai keinginan
memiliki kekayaan apakah yang anda rasakan? Adanya keinginan memiliki kekayaan akan mendorong
manusia untuk bekerja keras demi mendapatkan sesuap nasi atau berusaha dengan cara
berkelompok atau sendiri-sendiri menciptakan usaha atau membuka kesempatan
kerja baru bagi sesama atau membuat terobosan-terobosan baru atau temuan-temuan
baru guna memperoleh dan mendapatkan
kesempatan bisnis baru dan lain sebagainya.
Sekarang apa yang terjadi jika sampai Allah SWT tidak memberikan kepada
kita keinginan memiliki kekayaan, dapatkah
kita atau mampukah kita merasakan hidup yang layak atau merasakan menjadi
pegawai, merasakan menjadi pengusaha ataupun merasakan menjadi professional atau
merasakan penghargaan masyarakat atas keberhasilan menjadi pegawai, menjadi
pengusaha ataupun menjadi professional atau merasakan hasil jerih payah mencari
uang melalui kerja keras atau merasakan nikmat berbagi kepada sesama setelah
mendapatkan karunia rezeki dari Allah SWT.
Setelah mempunyai keinginan memiliki kekayaan dapatkah energi dan dorongan
yang ada di dalam diri dapatkah hal tersebut kita pergunakan dengan cara-cara
yang bertentangan dengan Nilai-Nilai Kebaikan atau menghasilkan hasil yang juga
bertentangan dengan Nilai-Nilai Kebaikan? Keinginan memiliki kekayaan harus selalu dipergunakan dengan cara-cara yang benar dan dibenarkan
oleh ketentuan yang berlaku atau dengan
cara yang halal atau cara yang patut dan pantas atau cara yang pantas dan patut
atau dengan cara yang bertanggung jawab dan bukan pula sebuah keberhasilan jika keinginan memiliki kekayaan
didapat dengan cara tipu menipu, memalsukan barang
dan jasa, korupsi, manipulasi ataupun melalui kolusi dengan siapapun juga yang
penting menang tender, sehingga melanggar ketentuan syariat agama dan hukum
negara.
Keberhasikan atas penggunaan energi dan dorongan yang berasal dari keinginan
memiliki kekayaan akan terindikasi dari makin tingginya taraf hidup dan
kehidupan masyarakat dan berkurangnya angka kemiskinan di masyarakat atau
terjadinya keadilan dan pemerataan di dalam masyarakat atau tumbuh kembangnya
usaha di masyarakat yang pada akhirnya masyarakat madani dapat tercapai.
1. Hubbul Maal Yang
Masih Fitrah. Sebagai makhluk yang terhormat kita harus menyadari
bahwa Hubbul Maal atau keinginan memiliki kekayaan yang berasal dari Allah SWT bukanlah sesuatu yang bersifat
gratisan sehingga Hubbul Maal bisa
dipergu-nakan, bisa didayagunakan dengan seenak-nya saja tanpa menghiraukan
maksud dan tujuan awal dari pemberian Hubbul Maal. Selanjutnya agar diri kita
jangan sampai salah di dalam mempergunakan Hubbul Maal. Berikut ini akan kami
kemukakan beberapa kehendak Allah SWT yang yang dapat kita jadikan pedoman di
dalam mempergunakan Hubbul Maal sehingga kita selalu berada di dalam kehendak
Allah SWT atau jika kita ingin mempertahankan kefitrahan Hubbul Maal, yaitu :
a. Pemurah. Keinginan memiliki
Kekayaan harus menjadikan manusia pemurah atau menjadikan manusia memiliki rasa
kesetiakawanan sosial yang tinggi atau menjadikan manusia suka berderma atau
menjadikan manusia yang dermawan. Inilah cermin dari salah satu keberhasilan keinginan
memiliki kekayaan yang dibenarkan oleh Allah SWT sehingga masyarakat yang tidak
berkecukupan atau kekurangan menjadi terbantu oleh manusia-manusia pemurah lagi
dermawan. Sebagai abd’ (hamba)-Nya yang juga khalifah-Nya di muka bumi sudahkah
kita menjadi manusia pemurah lagi dermawan? Jika kita tidak mampu menjadi
pemurah atau dermawan berarti sifat-sifat alamiah jasmani (maksudnya seperti
sifat bakhil) masih bercokol dalam diri manusia atau jiwa manusia masih dalam
kondisi jiwa fujur, kondisi ini sangat dikehendaki oleh syaitan sang
laknatullah. Dilain sisi, dengan adanya Hubbul Maal di dalam diri manusia,
berarti di dalam diri kita harus terdapat jiwa pemurah, jiwa untuk berbagi
karena diri kita yang sesungguhnya adalah ruh. Dan jika sekarang yang terjadi
adalah pelit, mementingkan diri sendiri berarti ada sesuatu yang salah di dalam
pengelolaan keinginan untuk mecari harta kekayaan.
b. Zakat. Keinginan memiliki
kekayaan di dalam setiap diri manusia sangat berhubungan erat dengan Rukun
Islam yaitu menunaikan zakat. Menunaikan zakat merupakan rukun yang wajib
dilaksanakan oleh setiap umat Islam. Kewajiban untuk menunaikan zakat merupakan
salah satu bentuk keberhasilan atau tindakan yang sesuai dengan fitrah atas
diberikannya keinginan memiliki kekayaan. Hal ini
dikarenakan zakat adalah sarana menunaikan Hak Allah SWT atas apa-apa yang
telah diberikannya kepada diri manusia seperti jasmani, ruhani, Amanah yang 7
serta langit dan bumi tempat diri kita bekerja dan berkarya. Selain itu zakat
juga berfungsi untuk membersihkan harta dan kekayaan yang di dapat dari energi
dan dorongan untuk memiliki kekayaan. Di lain sisi, zakat merupakan sarana dan alat bantu untuk saling berbagi
kelebihan atau sarana untuk tolong
menolong antara si kaya dan si miskin sehingga melalui zakat dapat mengurangi
jurang si kaya dan si miskin atau melalui zakat pula kita dapat membuat ladang
amal kebajikan. Sebagaimana firman-Nya berikut ini: “Allah SWT berfirman: “(yaitu)
orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi, niscaya
mereka mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, menyuruh berbuat yang ma’ruf
dan mencegah dari perbuatan mungkar; dan kepada Allah-lah kembali segala
urusan. (surat Al Hajj (22) ayat 41)
Sebagai abd’
(hamba)-Nya yang juga adalah khalifah-Nya di muka bumi, sadarkah anda bahwa
anda tidak memiliki apapun saat hadir dan lahir di muka bumi ini? Langit dan
bumi tidak pernah kita ciptakan dan tidak pernah kita miliki, namun kita
pergunakan dan kita ambil manfaatnya? Untuk mengolah, untuk memperoleh manfaat
dari langit dan bumi kita diberikan oleh Allah SWT apa yang dinamakan dengan jasmani,
ruh, Amanah yang 7 serta Hubbul, tahukah anda ini semua bukanlah barang
gratisan? Jika kita termasuk makhluk yang tahu diri, sudah sepatutnya dan
sepantasnya diri kita menunaikan hak Allah SWT saat menjadi khalifah di muka
bumi dikarenakan kita tidak memiliki apapun juga saat ada di muka bumi atau
karena kita juga menumpang di muka bumi ini.
Untuk lebih
mempertegas lagi tentang Zakat yang tidak lain kewajiban untuk menunaikan hak
Allah SWT, mari kita pelajari surat Al Bayyinah (98) ayat 5 berikut ini: “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan
memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya
mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian Itulah agama
yang lurus.” Berdasarkan surat Al Bayyinah (98) ayat 5, dikemukakan bahwa zakat
adalah bukti dari diri kita telah memeluk Agama Islam, atau bukti kita telah
beragama Islam. Selain daripada itu, masih berdasarkan surat Al Bayyinah (98) ayat 5, dengan diri
kita menunaikan zakat berarti kita telah mampu membuktikan, mampu memperlihatkan hasil akhir dari melaksanakan hubungan
dengan Allah SWT (Habblumminallah)
melalui shalat yang kita dirikan tercermin saat diri kita melakukan hubungan
dengan sesama manusia (Habblumminannass)
sehingga diri, keluarga, masyarakat, bangsa, Negara mampu merasakan buah dari
hasil kedekatan kita kepada Allah SWT atau dengan kata lain keberadaan diri
kita di tengah masyarakat bukanlah menjadi beban bagi masyarakat melainkan
berkah bagi masyarakat.
Saat ini diri kita sudah mampu Habblumminallah, berarti saat ini kita
sedang mensinergikan ruh kita dengan Allah SWT, kita sedang mensinergikan
Amanah yang 7 yang ada pada diri kita dengan Allah SWT serta kita juga sedang
mensinergikan sibghah Asmaul Husna yang ada pada diri kita dengan Allah SWT
melalui pelaksanaan Diinul Islam yang kaffah. Akan tetapi jika proses sinergi yang telah
kita lakukan dengan Allah SWT tidak dapat dikatakan berjalan sesuai dengan
konsep “Ma’rifatullah” jika jika
apa-apa yang telah tersambung dengan Allah SWT, jika apa-apa yang telah
bersinergi dengan Allah SWT, tidak mampu kita tunjukkan di dalam perbuatan kita
kepada sesama umat manusia secara utuh. Untuk
itu kita harus bisa menghilangkan saat ini juga, konsep untung rugi di dalam
berbuat dan bertindak. Jika baik untuk diri, keluarga serta kita kelompok kita
kerjakan, jika buruk untuk diri, keluarga serta kelompok ambil untungnya buang
ruginya ketempat lain.
Selain daripada itu konsep menyembunyikan
sesuatu saat mengajarkan sesuatu hilang atau tidak berlaku lagi, yang ada
hanyalah ikhlas berbuat karena Allah SWT semata tanpa ada udang di balik batu.
Apa maksudnya? Berikut ini akan kami kemukakan beberapa contoh dari sinergi
dimaksud, yaitu:
Pertama, Jika ruh
bersinergi dengan Allah SWT, atau ruh diri kita tersambung dengan Allah SWT
berarti ruh diri kita mampu menguasai jasmani diri kita, sehingga nilai-nilai
kebaikan yang dibawa oleh ruh mampu mengalahkan nilai-nilai keburukan yang
dibawa oleh jasmani. Dan jika ini terjadi pada diri kita berarti segala
perbuatan diri kita selalu berada di dalam koridor Nilai-Nilai Kebaikan yang
tidak hanya dapat dinikmati oleh diri sendiri, tetapi juga oleh keluarga, oleh
anak dan keturunan, oleh masyarakat, oleh bangsa dan negara.
Kedua, Jika Ilmu yang
kita miliki mampu bersinergi dengan Ilmu Allah SWT maka ilmu tersebut tidak
disimpan hanya untuk kepentingan diri, keluarga atau kelompok tertentu saja.
Namun ilmu itu harus diajarkan kepada semua orang tanpa ada yang
ditutup-tutupi, tanpa ada yang disembunyikan sehingga berguna bagi semua orang.
Ketiga, Jika Qudrat yang
kita miliki mampu tersambung dengan Qudrat Allah SWT maka segala kekuatan,
segala kekuasaan yang kita miliki tidak hanya bermanfaat bagi diri, keluarga
semata. Akan tetapi dengan Qudrat itu semua orang menjadi tertolong, terbantu,
atau tidak mengakibatkan kerugian bagi masyarakat luas.
Keempat, Jika Kalam yang
kita miliki mampu tersambung dengan Kalam Allah SWT maka kata-kata, tutur kata,
omongan yang keluar dari mulut kita tidak akan menyakiti hati orang lain,
selalu bermanfaat, dapat menyenangkan
banyak orang, dapat menjadi pendengar yang baik serta mampu menerapkan falsafah
diam itu emas.
Kelima, Jika Ar Rahman dan
Ar Rahhiem, yang kita miliki tersambung dengan Allah SWT maka banyak orang
tidak mampu yang ada disekitar diri kita tertolong, terbantu, oleh sebab
keberadaan diri kita tanpa melihat siapa mereka, darimana mereka berasal serta
kesenjangan sosial dapat teratasi dengan sendirinya.
Keenam, Jika Ar Razaq yang
kita miliki dapat tersambung dengan Af’al Ar Razaq yang dimiliki Allah SWT? Hal
yang akan terjadi adalah kita tidak mau mengambil hak orang lain, kita tidak
akan mau Kolusi, Korupsi, Nepotisme di dalam mencari Rezeki serta setelah
memperoleh Rezeki sebagian dari Rezeki itu dikeluarkan kembali dalam bentuk
Zakat, Infaq, Shadaqah, Jariah, yang pada intinya untuk menolong banyak orang.
Demikian seterusnya.
Sekarang bagaimana dengan shalat yang
didirikan oleh orang yang telah Ma’rifatullah (dalam hal ini telah mampu
Habblumminallah dan juga Habblumminannass) yang sesuai dengan kehendak Allah
SWT? Orang yang telah Ma’rifatullah pasti mampu mendirikan shalat dan
menunaikan zakat yang sesuai dengan kehendak dari pemberi perintah mendirikan shalat
dan menunaikan zakat. Dalam hal ini mampu melaksanakan apa dikemukakan oleh
Allah SWT dalam surat Al Ankaabut (29) ayat 45 berikut ini: “Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, Yaitu Alkitab (AlQuran) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya
shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar. dan
Sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari
ibadat-ibadat yang lain). dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” yaitu mampu mencegah perbuatan keji dan
mungkar.
Apa dasarnya? Hal ini dikarenakan melalui shalat
yang kita dirikan berarti kita telah berusaha untuk mempertemukan ruh dan Amanah
yang 7 yang berasal dari Allah SWT dengan Allah SWT (maksudnya adalah berusaha
untuk mempertemukan ruh dan Amanah yang 7 dengan kemahaan dan kebesaran Allah
SWT). Sehingga dengan adanya pertemuan ruh dan Amanah yang 7 dengan Allah SWT
akan terjadi apa yang dinamakan dengan sinergi antara ruh dan Amanah yang 7
diri kita dengan Allah SWT yang mengakibatkan diri kita selalu berada di dalam kemahaan
dan kebesaran Allah SWT.
Hasil akhir dari hal ini adalah ruhani mampu
mengalahkan jasmani atau kondisi jiwa manusia masuk dalam kategori Jiwa Taqwa. Dan jika ini yang terjadi maka pengaruh-pengaruh negatif yang
mencerminkan Nilai-Nilai Keburukan yang berasal dari sifat-sifat Jasmani dapat
kita kalahkan atau dapat kita hilangkan sehingga yang ada adalah Nilai-Nilai
Kebaikan yang berasal dari ruh. Apa contohnya? Sifat malas yang dibawa jasmani hilang menjadi produktif;
sifat pelit yang dibawa jasmani hilang menjadi dermawan; sifat keji dan mungkar
yang dibawa jasmani hilang menjadi kasih sayang kepada sesama, demikian
seterusnya sesuai dengan Asmaul Husna yang dimiliki oleh Allah SWT. Jika sudah demikian keadaannya berarti nila-nilai
kebaikan akan selalu menyertai individu-individu yang telah mendirikan shalat
yang sesuai dengan kehendak pemberi perintah mendirikan shalat yang dibuktikan
dengan menunaikan zakat.
Selain daripada itu, orang yang telah mampu
melaksanakan Diinul Islam secara kaffah, akan mampu pula merasakan nikmat atau
dampak positif shalat bagi
kesehatan jasmani, yaitu melalui gerakan-gerakan yang terdapat di dalam shalat
seperti saat berdiri, saat takbiratul ihram, saat rukuk, saat sujud, saat i'tidal
(bangun dari rukuk), duduk di antara dua sujud, saat duduk tasyahud awal, saat
duduk tasyahud akhir dan saat salam, yang kesemuanya memiliki manfaat ditinjau dari sudut kesehatan jasmani.
Adanya kondisi ini berarti mendirikan shalat memiliki dua manfaat bagi jasmani,
yaitu mampu menghilangkan atau meniadakan sifat-sifat jasmani yang mencerminkan
nilai-nilai keburukan akibat dari ruh tersambung atau bersinergi dengan
kemahaan dan kebesaran Allah SWT dan juga mampu memberikan manfaat kepada jasmani
itu sendiri melalui gerakan shalat serta masyarakat terbantu melalui zakat yang
kita tunaikan.
Sekarang kita telah mengetahui bahwa manfaat
shalat tidak hanya untuk kepentingan ruh saja, akan tetapi juga untuk
kepentingan jasmani dan masyarakat. Sekarang bagaimana jika setelah shalat kita dirikan, akan tetapi justru
perbuatan korupsi, kolusi, nepotisme, pembalakan liar, menipu, menyebarkan fitnah,
melaku-kan tindakan keji dan mungkar, mementingkan golongan tidak juga hilang
dalam kehidupan kita atau nilai-nilai keburukan yang disukai oleh syaitan masih
tetap kita lakukan bahkan kualitasnya malah meningkat dari waktu ke waktu? Jika apa yang kami kemukakan diatas masih
tetap kita lakukan setelah mendirikan shalat berarti shalat yang kita dirikan
belum sesuai dengan kehendak Allah SWT selaku pemberi perintah mendirikan shalat
atau ada sesuatu yang salah di dalam shalat yang kita dirikan, yaitu kita tidak
bisa melaksanakan perintah mendirikan shalat yang sesuai dengan perintah Allah
SWT dan yang juga berarti kita belum bisa dikatakan telah ma’rifatullah yang
sesuai dengan kehendak Allah SWT.
Sebagai abd’ (hamba)-Nya yang juga adalah khalifah-Nya
di muka bumi, jangan sampai diri kita hanya mampu Habblumminallah semata, tanpa
bisa membuktikan saat melaksanakan Habblum Minannass, atau kita harus bisa
melaksanakan Habblum-minannass yang sesuai dengan konsep Habblumminallah.
Timbul pertanyaan, kapan kita harus melaksanakan itu semua? Melaksanakan
Habblum-minallah dan Habblum-minannass harus kita laksanakan saat hidup di
dunia karena hanya pada saat itulah kita diberi kesempatan untuk membuktikan
itu semua dihadapan Allah SWT sebelum akhirnya kita mempertanggung jawabkan itu
semua.
Selanjutnya
jika semua orang
yang telah Ma’rifatullah mampu melaksanakan konsep Habblumminallah dan Habblum-minannass
secara selaras, serasi dan seimbang, terjadilah apa yang dinamakan dengan “Toto Tenterem Gemah Ripah Loh Jinawi”,
masyarakat madani serta tidak akan terjadi apa yang dinamakan dengan kesenjangan sosial. Dan jika
sekarang yang terjadi adalah sebaliknya, seperti jurang yang kaya dan yang
miskin sangat jauh, korupsi, kolusi serta nepotisme semakin merajalela, ketidakadilan
semakin menjadi-jadi, kampanye hitam semakin tumbuh subur, berarti Diinul Islam
yang telah kita lakukan belum sesuai dengan kehendak Allah SWT, atau ada
sesuatu yang salah di dalam Diinul Islam yang kita lakukan.
c. Infaq, Shadaqah dan Jariah. Infaq, Shadaqah dan Jariah adalah wujud pengabdian dan pengungkapan rasa
syukur atas nikmat dan karunia yang telah diberikan oleh Allah SWT kepada
manusia. Setiap Infaq, Shadaqah dan Jariah yang dikeluarkan oleh manusia
merupakan amal ibadah yang akan diberikan ganjaran pahala oleh Allah SWT
sepanjang pemberian itu dilandasi rasa ikhlas hanya untuk Allah SWT semata.
Allah SWT berfirman: “Mereka bertanya kepadamu tentang apa yang mereka nafkahkan. Jawablah:
“Apa saja harta yang kamu nafkahkan hendalah diberikan kepada ibu-bapak, kaum
kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang sedang dalam
perjalanan”. Dan apa saja kebajikan yang kamu buat, maka sesungguhnya Allah
Maha Mengetahuinya. (surat Al Baqarah (2) ayat 215).
Selanjutnya akan kami kemukakan beberapa manfaat atau fungsi lain dari
Infaq, Shadaqah dan Jariah yang dikeluakan oleh manusia sebagai manifesti dari
Hubbul Maal yang masih fitrah, yaitu:
1) Infaq, Shadaqah dan Jariah merupakan alat bantu bagi manusia untuk saling
berbagi di dalam kelebihan rezeki yang pada akhirnya dapat mempererat tali
persaudaraan.
2) Infaq, Shadaqah dan Jariah merupakan tabungan akhirat yang akan
diperhitungkan kelak.
3) Infaq, Shadaqah dan Jariah merupakan rezeki bagi ruhani atau harta kekayaan
bagi ruh (ingat definisi dari rezeki yang artinya apa-apa yang telah habis
di-infaqkan).
4) Infaq, Shadaqah dan Jariah merupakan wujud tanggung jawab sosial bagi
pemberi kepada yang berhak menerimanya.
5) Infaq, Shadaqah dan Jariah merupakan pembuka jalan untuk lebih mendekat-kan
diri kepada Allah SWT serta pembuka
jalan bagi pengentasan kemiskinan.
6) Infaq, Shadaqah dan Jariah merupakan bukti kesalehan pribadi yang
tercermin dalam kesalehan sosial.
Hal yang harus kita ketahui adalah bahwa Infaq, Shadaqah dan Jariah
bukanlah untuk kepentingan akhirat semata. Akan tetapi Infaq, Shadaqah dan
Jariah juga untuk kepentingan hidup di dunia pada saat diri kita mengalami
kekurangan, maka Allah SWT akan mencairkan hasil dari Infaq, Shadaqah dan Jariah
yang kita keluarkan tidak secara tunai (sesuai dengan kebutuhan diri kita)
sebab yang tunai akan dibayar di akhirat kelak. Sekarang bagaimana mungkin Allah SWT akan menolong diri kita saat
mengalami kekurangan jika kita tidak memiliki tabungan yang berasal dari Infaq,
Shadaqah dan Jariah? Selanjutnya sebagai abd’ (hamba)Nya yang juga khalifahNya
di muka bumi, sudahkah anda memberikan dan membayarkan Infaq, Shadaqah dan
Jariah kepada orang yang membutuhkan uluran tangan anda serta sebagai pelengkap
dari ibadah menunaikan zakat?
d. Kuat dan Sabar. Berdasarkan surat Al Baqarah (2) ayat 155 yang kami kemukakan berikut
ini: “Dan
sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan,
kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada
orang-orang yang sabar.” dikemukakan setiap
orang akan mengalami cobaan berupa ketakutan, kelaparan, kekurangan harta saat
menjadi khalifah di muka bumi. Di lain sisi dengan adanya Hubbul Maal kita
berusaha untuk keluar dari cobaan dimaksud. Hal yang harus kita perhatikan saat
mempergunakan Hubbul Maal ini adalah kita diharuskan kuat dan sabar. Untuk
apakah kuat dan sabar itu? Kuat dan sabar sangat dibutuhkan saat diri kita
keluar dari cobaan ekonomi dikarenakan di balik kekuatan dan kesabaran yang
kita lakukan disana ada Allah SWT yang siap memberikan kasih sayangnya kepada
diri kita yang selanjutnya akan dapat menghantarkan diri kita sesuai dengan
kehendak Allah SWT dan juga siap memberikan pertolongan kepada diri kita.
e. Taqwa. Keberhasilan di dalam mempergunakan keinginan memiliki kekayaan harus
tetap menjadikan diri kita tetap taqwa hanya kepada Allah SWT. Selanjutnya
melalui ketaqwaan yang telah kita dapatkan harus diwujudkan dengan kederma-wanan
atau kepedulian sosial kepada sesama yang lebih baik lagi. Sebagaimana
dikemukakan dalam firman-Nya berikut ini: ““(Yaitu) orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan
perbuatan keji yang selain dari kesalahan-kesalahan kecil. Sesungguhnya Tuhanmu
Maha Luas ampunanNya. Dan Dia lebih mengetahui (tentang keadaan)mu ketika Dia
menjadikan kamu dari tanah dan ketika kamu masih janin dalam perut ibumu; maka
janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui
tentang orang yang bertaqwa. (surat An
Najm (53) ayat 32).
Sekarang dapatkah diri kita
dikatakan telah sukses mempergunakan Hubbul Maal yang dibuktikan diri kita
teleh memiliki harta kekayaan, jabatan dan kedudukan. Akan tetapi dengan itu
semua telah menjadikan diri kita menjadi pribadi yang tidak beriman atau
menjadi pribadi yang kafir atau melakukan pindah agama atau tidak menghiraukan
ketentuan halal dan haram. Jika hal ini sampai kita lakukan berarti diri kita
telah keluar dari kehendak Allah SWT melaui pemberian Hubbul Maal lalu masuk ke
dalam kehendak syaitan. Sebagai abd’ (hamba)-Nya yang
juga khalifah-Nya di muka bumi, jangan pernah sekalipun mengeksploitasi Hubbul
Maal melalui cara-cara di luar Nilai-Nilai Kebaikan atau jangan pernah
menjadikan jasmani sebagai komandan bagi Hubbul Maal karena hal ini akan
memudahkan syaitan melancarkan aksinya kepada diri kita.
2. Hubbul
Maal Yang Sudah Tidak Fitrah. Berikut ini akan
kami kemukakan kondisi dari keinginan memiliki kekayaan yang sudah tidak sesuai
lagi dengan nilai-nilai kebaikan atau kondisi dari keinginan memiliki kekayaan
yang di dalam pelaksanaanya sudah dikendalikan atau dibawah pengaruh
sifat-sifat dasar jasmani yang diakibatkan oleh jasmani yang telah mampu
menguasai keinginan memiliki kekayaan. Adapun keinginan memiliki kekayaan yang
sudah tidak fitrah lagi dapat kami kemukakan sebagai berikut:
a. Kikir. Rezeki, uang, jabatan, kehormatan dan harta adalah hasil yang di dapat
dari upaya dan usaha manusia mempergunakan keinginan memiliki kekayaan. Akan
tetapi setelah diri kita mampu memperolah itu semua malah menjadikan diri kita
kikir bin pelit maka kondisi ini bukanlah hasil yang baik apalagi terhormat
dari penggunaan energi dan dorongan atas penggunaan keinginan memiliki
kekayaan. Selain daripada itu, keinginan memiliki
kekayaan harus dapat menjadi alat bantu bagi diri kita untuk saling tolong
menolong dikarenakan pada saat yang bersamaanpun kita harus pula melaksanakan
keinginan untuk berkumpul. Hal yang harus kita perhatikan adalah kikir bin pelit
merupakan sifat alamiah dari jasmani yang berasal dari alam dan jika saat ini
kikir bin pelit merupakan hasil akhir dari keinginan memiliki kekayaan berarti
di dalam diri kita telah terjadi penjajahan atau berkuasanya jasmani atas
keinginan memiliki kekayaan yang mengakibatkan tidak fitrahnya Hubbul Maal yang
kita miliki. Untuk itu bersiap-siaplah untuk memper-tanggungjawabkan itu semua
dihadapan Allah SWT kelak.
b. Ragu-Ragu (Peragu). Penggunaan energi dan dorongan yang berasal dari keinginan memiliki
kekayaan bukanlah untuk menjadikan
manusia menjadi peragu (selalu gamang) di dalam mengambil keputusan
untuk mencari rezeki ataupun mencari nafkah untuk keluarga. Akan tetapi
harus menjadikan manusia mantap di dalam mengambil keputusan atau menjadikan
manusia percaya diri serta giat bekerja dengan sepenuh hati. Jika saat ini di
dalam diri kita ada sifat peragu, gamang atau tidak percaya diri hal ini
merupakan cermin dari gagalnya manusia mempergunakan keinginan memiliki
kekayaan yang dikehendaki oleh Allah SWT dikarenakan hal itu semua adalah cerminan dari sifat-sifat alamiah jasmani
manusia yang berasal dari alam, sebagaimana firmanNya berikut ini: “Tetapi mereka bermain-main
dalam keragu-raguan. (surat Ad Dukhaan (44) ayat 9). Hal yang harus juga diperhatikan adalah keinginan
memiliki kekayaan bukanlah hanya untuk kepentingan diri kita semata, akan
tetapi di dalam kekayaan; di dalam harta yang kita dapatkan (miliki) ada hak
Allah SWT yang harus kita salurkan untuk kaum yang tidak beruntung (dalam hal
ini zakat) dan jika kita sudah mengaku beragama Islam maka kewajiban untuk
menunaikan zakat adalah sesuatu yang mutlak. Jika demikian
haruskah kita kikir bin pelit setelah mendapatkan rezeki, kekayaan dan harta
saat menjadi khalifah di muka bumi?
c. Fitnah. Mencari rezeki, kekayaan,
harta, uang dan kehormatan tidak semesti-nya dicapai melalui cara-cara yang
tidak beradab, apalagi kotor seperti melalui fitnah. Fitnah bukanlah cara yang
dibenarkan atau cara yang elegant untuk mencari rezeki ataupun mencari nafkah,
apalagi untuk kepentingan menafkahi keluarga. Fitnah adalah perbuatan keji,
lebih keji dari pembunuhan sehingga tidak pantas dan tidak beradab jika kita
mempergunakan fitnah sebagai alat bantu kita mencari kekayaan ataupun untuk
mencari rezeki, sebagaimana firmanNya berikut ini: “Dan fitnah itu lebih kejam daripada pembunuhan.” (surat Al Baqarah (2)
ayat 191) Dan Jika fitnah atau tindakan adu domba, atau membuat laporan
palsu, atau melalui korupsi dan kolusi merupakan andalan manusia di dalam
mencari nafkah dan kekayaan ini berarti bahwa Nilai-Nilai Keburukan sudah
dijadikan pedoman dan pegangan di dalam menjalani kehidupan di dunia ini. Hasil
akhir dari petualangan ini adalah pulang kampung bersama syaitan ke
neraka.
d. Minta-minta. Tindakan meminta-minta atau menunggu belas kasihan orang atau mengemis
merupakan bentuk eksploitasi yang tidak dibenarkan di dalam mempergunakan
keinginan untuk memiliki kekayaan. Seorang yang memperguna-kan dengan baik dan
benar atas keinginan untuk memiliki kekayaan akan tercermin dari tingkah laku
dan pola kerja yang tidak mengenal lelah, mempunyai percaya diri yang tinggi,
jujur serta pekerja keras. Sudahkah anda melakukan hal tersebut di waktu
mencari nafkah atau mencari rezeki? Di dalam kehidupan sehari-hari kita sering
mendengar peribahasa yang berbunyi “Tangan di atas lebih baik dari tangan di
bawah” ini menandakan bahwa kita diperintahkan untuk selalu berbuat baik atau
kita diperintahkan untuk menjadi inisiator atau kita disuruh untuk selalu
memberi (menjadi muzakki) dan bukan menjadi peminta-minta yang menunggu belas
kasihan orang lain, sekarang sudahkah anda melaksanakan peribahasa di atas
setelah memperoleh rezeki.
e. Menipu. Nilai-Nilai Keburukan jika
dijadikan pedoman untuk mencari nafkah maka tindakan menipu atau melakukan
upaya curang atau mengurangi ukuran dan timbangan atau melaksanakan jual beli
barang dan jasa dalam kategori haram walaupun hasilnya banyak dan besar
bukanlah ukuran kesuksessan dari upaya dan usaha manusia di dalam mencari
nafkah. Kecil dan sedikit tetapi halal lebih baik daripada banyak dan besar
namun haram. Mencari nafkah atau mencari rezeki janganlah selalu
di ukur dari besar ataupun kecil masih ada ukuran lainnya yang harus kita
pertimbangkan di dalam mencari nafkah untuk diri dan keluarga yaitu keberkahan
apa yang kita peroleh.
Kecil ataupun sedikit jika
berkah dan halal akan terasa besar dan banyak jika kita mensyukuri nafkah
tersebut atau jika kita mau bersyukur dengan apa-apa yang telah kita peroleh. Untuk itu berhati hatilah dengan upaya syaitan saat diri kita berusaha
mencari nafkah dan rezeki, sebagaimana firman-Nya berikut ini: “Sesungguhnya syaitan itu
hanya menyuruh kamu berbuat jahat dan keji, dan mengatakan terhadap Allah apa
yang tidak kamu ketahui. (surat Al Baqarah (2) ayat 169). Sekarang jika yang terjadi pada diri kita justru memperoleh kekayaan dan
harta melalui jalan korupsi, melalui jalan kolusi, melalu penipuan, lalu apa
yang harus kita perbuat? Lakukanlah “Taubatan Nasuha” sebelum ruh tiba di
kerongkongan serta segera keluarkan harta yang kotor tersebut dari daftar harta
kita.
f. Rakus dan Tamak. Nilai-Nilai Kebaikan yang terkandung di dalam energi dan dorongan atas
penggunaan keinginan memiliki kekayaan bukanlah menghasilkan manusia yang
mempunyai sifat rakus dan tamak, melainkan sifat welas asih kepada sesama
manusia. Timbulnya sifat rakus dan tamak
terjadi akibat penjajahan atau dikuasainya keinginan memiliki kekayaan oleh
jasmani. Semakin kuat cengkraman dan pengaruh jasmani kepada keinginan memiliki kekayaan akan semakin rakus dan
tamaklah manusia tersebut, sebagaimana firmanNya berikut ini: “Telah nampak kerusakan di
darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah
merasakan kapada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka
kembali (ke jalan yang benar). (surat Ar Ruum (30) ayat 41).” Jika saat ini anda sedang giat-giatnya mencari nafkah untuk keluarga
jadikan nilai-nilai kebaikan yang berasal dari nilai-nilai Ilahiah sebagai
pedoman dan patokan utama di waktu mencari nafkah atau mencari rezeki.
Sebagai abd’ (hamba)-Nya yang juga
khalifah-Nya di muka bumi yang saat ini sedang mempergunakan dan
mendayagunakan Hubbul Maal (keinginan memiliki kekayaan), ada satu hal yang
harus kita perhatikan saat hidup di dunia ini, yaitu Allah SWT tidak
membutuhkan apapun juga dari penggunaan Hubbul Maal sebab Allah SWT sudah Maha
dan akan Maha selamanya. Allah SWT juga tidak memperdulikan apakah Hubbul
Maal mau dipergunakan dengan cara-cara Ilahiah ataukah mau dipergunakan dengan
cara-cara syaitani, yang pasti adalah Allah SWT akan meminta pertanggungjawaban
atas penggunaan energi dan dorongan dari Hubbul Maal yang ada pada diri kita selama diri kita menjadi abd’ (hamba) yang sekaligus khalifah di muka
bumi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar