2. Iradat (Kehendak). Sifat Iradat adalah salah satu sifat Ma’ani Allah SWT. Sifat Iradat
yang dimiliki oleh Allah SWT ini juga merupakan salah satu dari tujuh Amanah
yang diberikan oleh Allah SWT kepada setiap manusia tanpa terkecuali, yang
berasal langsung dari sifat Ma’ani Allah. Iradat artinya
kehendak atau tanpa ada paksaan. Seperti apakah sifat Iradat Allah SWT itu?
Kehendak Allah SWT pasti terjadi, sebab kehendak Allah SWT berbeda dengan
kehendak makhluk. Kehendak Allah SWT
selalu mencerminkan kemahaan Allah SWT itu sendiri sehingga kehendak Allah SWT
tidak bisa dipersamakan dengan kehendak makhluk.
Lalu bagaimanakah
Allah SWT merealisasikan kehendak-Nya? Jika Allah SWT berkehendak melakukan
sesuatu dengan kemampuan kekuatan dan kehebatan yang dimilikinya, Allah SWT
sanggup melakukan apa saja tanpa ada paksaaan dari siapapun, cukup mengatakan
“Jadilah maka Jadilah” sebagaimana firmanNya berikut ini: “Sesungguhnya
perintah-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya:
“Jadilah!” maka terjadilah ia. (surat Yaasin
(36) ayat 82).”
Sifat Iradat yang
dimiliki Allah SWT merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sifat Qudrat
dan sifat Ilmu yang dimiliki pula oleh Allah SWT. Hal ini dikarenakan untuk
menciptakan segala sesuatu harus di dahului dengan adanya kehendak dan
kemampuan serta Ilmu secara berbarengan. Hal ini dikarenakan jika yang ada
hanya kehendak saja tanpa diiringi kemampuan dan ilmu artinya angan-angan
sedangkan jika yang ada hanyalah kemampuan saja tanpa di iringi oleh kehendak
dan ilmu artinya omong kosong. Jika ilmu tanpa diiringi kemampuan dan kehendak
yang ada hanyalah konsep belaka.
Lalu
adakah sifat Iradat dalam diri manusia dan dimanakah letak sifat Iradat di
dalam diri manusia? Setiap manusia pasti mempunyai sifat Iradat dan sifat Iradat
itu diletakkan oleh Allah SWT di dalam hati nurani manusia. Untuk Apakah Allah
SWT memberikan sifat Iradat atau kehendak kepada setiap manusia? Adanya sifat
Iradat atau kehendak yang diletakkan di dalam hati nurani manusia akan
melahirkan atau akan menimbulkan hal-hal sebagai berikut dalam diri manusia,
yaitu: (1) Tanpa ada sebuah kehendak,
manusia tidak akan mempunyai cita-cita; (2) Tanpa ada sebuah kehendak, manusia tidak
mempunyai keinginan untuk mencapai dan menggapai sesuatu; (3) Adanya kehendak membuat
manusia lebih bergairah; (4) Adanya kehendak membuat manusia lebih
semangat; (5) Adanya kehendak membuat manusia lebih beraktivitas untuk mencapai dan
meraih apa yang diinginkannya.
Dan
sifat Iradat atau kehendak yang ada pada diri manusia, termasuk yang ada pada
diri kita, bersifat sementara atau tidak kekal abadi. Selain daripada itu sifat
Iradat atau kehendak yang dimiliki setiap manusia tidak bisa berdiri sendiri
dan sangat berhubungan erat dengan sifat-sifat Amanah yang 7 yang lainya. Apa
maksudnya? Untuk bekerja, untuk berkarya,
untuk menjadi khalifah di muka bumi kita tidak bisa hanya mengandalkan sifat
Iradat atau kehendak semata karena sifat Iradat baru bisa bekerja dengan baik
jika disinergikan dengan sifat Qudrat, sifat Ilmu, sifat Kalam, sifat Hayat,
sifat Sami’ dan sifat Basyir.
Sekarang
diri kita telah ada di muka bumi dalam rangka melaksanakan tugas sebagai abd’
(hamba)-Nya yang juga khalifah-Nya di muka bumi, sekarang coba kita renungkan
bagaimana mungkin kita akan sukses menjadi abd’ (hamba)-Nya yang juga
khalifah-Nya di muka bumi jika kita hanya memiliki jasmani dan ruh saja tanpa
memiliki sifat Iradat atau kehendak di dalam diri? Untuk menjadi abd’
(hamba)-Nya yang juga khalifah-Nya tidaklah mudah, membutuhkan pengorbanan dan
membutuhkan perjuangan untuk mencapainya.
Sebuah
pengorbanan dan perjuangan untuk menjadi pemenang jika tanpa dilandasi dengan motivasi
dan gairah dan kesadaran dalam diri, tidak akan mungkin menghasilkan sesuatu
yang baik. Sekarang darimanakah asalnya motivasi, gairah, kesadaran dalam diri
itu? Kesemuanya asalnya dari sifat Iradat yang dimiliki oleh Allah SWT yang
kemudian diberikan kepada manusia dan jika ini kondisinya maka tidak berlebihan
jika sifat Iradat (termasuk sifat Ma’ani Allah SWT yang ada pada diri manusia
yang lainnya) dapat dikatakan sebagai salah satu modal dasar manusia untuk
menjadi abd’ (hamba)-Nya yang juga khalifah-Nya di muka bumi.
Setelah diri kita memiliki sifat Iradat atau kehendak,
timbul pertanyaan harus bagaimanakah kita dengan sifat Iradat tersebut sehingga
dengan adanya sifat Iradat ini dapat menjadi modal dasar bagi diri kita saat menjadi
abd’ (hamba)-Nya yang juga khalifah-Nya di muka bumi? Penggunaan dan pemakaian sifat Iradat harus dilandasi dengan
Nilai-Nilai Kebaikan yang berasal dari Nilai-Nilai Ilahiah sehingga sifat
Iradat yang ada di dalam diri manusia mampu dikuasai oleh ruh. Selanjutnya apa yang akan terjadi jika sifat
Iradat dipergunakan di dalam koridor Nilai-Nilai Kebaikan? Perbuatan atau
tingkah laku manusia untuk mencapai cita-citanya tidak melanggar ketentuan
hukum yang berlaku, selalu dalam koridor kejujuran, tidak mau merugikan orang
lain dan seterusnya.
Selanjutnya bolehkah kita mempergunakan sifat Iradat
itu dalam koridor nilai-nilai keburukan? Pilihan untuk mempergunakan sifat
Iradat ada pada diri kita sendiri, apakah mau dipergunakan di dalam nilai-nilai
kebaikan ataukah di dalam nilai-nilai keburukan. Hal yang
harus dipikirkan saat diri kita masih hidup adalah kita harus siap memper-tanggungjawabkan
segala bentuk penggunaan atas sifat Iradat yang kita miliki dihadapan Allah SWT kelak selaku pemberi modal dasar dimaksud. Untuk itu tidak ada jalan
lain kecuali kita mempergunakan sifat Iradat ini sesuai dengan kehendak Allah
SWT terkecuali jika kita ingin mengarungi kehidupan di neraka Jahannam bersama syaitan.
Saat ini manusia telah diberi
kebebasan untuk memilih hasil akhir dari perjalanan menjadi abd’ (hamba)-Nya
yang juga khalifah-Nya di muka bumi yaitu apabila ingin meminta hasil akhir
hanya di dunia saja silahkan dan apabila ingin meminta hasil akhir untuk
akhirat saja silahkan karena keduanya mempunyai konsekuensi yang berbeda. Sebagaimana dikemukan dalam surat An Nisaa’ (4) ayat 134 berikut ini: “Barangsiapa yang menghendaki pahala di dunia saja (maka ia merugi), karena
di sisi Allah ada pahala dunia dan akhirat. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha
Melihat.” Dan juga dalam surat Asy Syuura (42) ayat 20 yang
kami kemukakan berikut ini: “Barangsiapa yang menghendaki keuntungan di akhirat akan Kami tambah
keuntungan itu baginya dan barangsiapa yang menghendaki keuntungan di dunia
Kami berikan kepadanya sebagian dari keuntungan dunia dan tidak ada baginya
suatu bahagianpun di akhirat.” Jika hasil akhir
hanya untuk dunia saja maka ini mengindikasikan bahwa manusia tersebut hanya
ingin sukses di dunia saja sehingga tidak membutuhkan lagi kehidupan di syurga.
Sedangkan jika memilih hasil akhir untuk akhirat maka manusia tersebut memilih
menjadi abd’ (hamba)-Nya yang juga khalifah-Nya yang sesuai dengan
kehendak-Nya. Sehingga kita akan menikmati hasil tidak saja di akhirat tetapi
juga menikmati hasil di dunia. Selanjutnya yang manakah pilihan kita?
3. Ilmu. Sifat Ilmu adalah salah satu sifat Ma’ani
Allah SWT. Sifat Ilmu yang dimiliki oleh Allah SWT ini juga merupakan salah
satu dari tujuh Amanah yang diberikan oleh Allah SWT kepada setiap manusia
tanpa terkecuali, yang berasal langsung dari sifat Ma’ani Allah SWT. Ilmu artinya Ilmu, Maha
Mengetahui.
Seperti apakah sifat Ilmu yang dimiliki Allah SWT? Ilmu dan Maha Mengetahui
dari Allah SWT sangat luas dan tidak terbatas, jika Allah SWT tidak memiliki Ilmu yang di dukung oleh
Kehendak dan Kemampuan yang sangat tidak terbatas, mungkinkah terjadi segala
sesuatu ini? Semuanya tidak akan mungkin terjadi dan mustahil jika Allah SWT
itu tidak memiliki Ilmu. Allah SWT
berfirman: “Sesungguhnya Allah mengetahui yang tersembunyi di
langit dan di bumi. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui segala isi hati. (surat Faathir (35) ayat 38).
Ilmu Allah SWT sangat berbeda dengan ilmu
manusia. Hal ini dikarenakan ilmu manusia ada batasnya sedangkan Allah SWT
adalah Maha, Kekal lagi Abadi. Adanya kondisi ini berarti bahwa Ilmu yang
dimiliki Allah SWT tidak terbatas dan tidak akan pernah habis-habisnya walaupun
ilmu yang dimiliki-Nya telah dipelajari oleh siapapun juga dalam jangka waktu
yang tidak terhingga. Ilmu Allah SWT meliputi segala sesuatu dan jika lautan menjadi tinta
dan pepohonan menjadi kalam untuk mencatat Ilmu-Nya, maka tidaklah cukup
meskipun ditambah dengan tujuh kali banyaknya. Sekarang adakah sifat
Ilmu dalam diri manusia dan dimanakah sifat Ilmu diletakkan oleh Allah SWT di
dalam diri manusia? Ilmu diletakkan
oleh Allah SWT di dalam otak manusia sebagai bahan dasar atau bahan baku bagi otak
untuk memproses segala data dan segala masukan yang berasal dari mata, yang
berasal dari hidung, yang berasal dari telinga dan yang berasal dari hati lalu
diproses oleh otak sehingga lahirlah pengetahuan atau manusia
mampu mengetahui sesuatu hal.
Ilmu
lebih tinggi kedudukannya daripada pengetahuan dikarenakan pengetahuan lahir
dari adanya Ilmu. Selanjutnya jika di otak manusia tidak ada Ilmu yang
diletakkan oleh Allah SWT dapatkah manusia memproses segala masukan yang
berasal dari panca indera atau dapatkah manusia mempunyai pengetahuan walaupun
manusia telah melakukan hal-hal sebagai berikut seperti melakukan proses
belajar mengajar melalui sekolah; melakukan proses pembelajaran melalui baca
tulis ataupun pengalaman; melihat; berfikir; membuat perbandingan; mencari persamaan
dan pertentangan; memperbandingkan serta menguji segala sesuatu? Tanpa adanya Ilmu di dalam otak maka kita
tidak akan bisa menghasilkan pengetahuan apapun walaupun kita telah melakukan
segala sesuatu. Hal ini dikarenakan kita
tidak dapat memproses apa yang disampaikan panca indera ke otak. Sebagaimana
dikemukakan dalam firmanNya berikut ini: “Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama
(benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada Malaikat lalu
berfirman: “Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu memang
orang-orang yang benar!” (surat Al Baqarah (2) ayat 31). Dan juga berdasarkan surat Ar Rahmaan (550
ayat 2-3-4 berikut ini:“Yang telah
mengajarkan AlQuran. Dia menciptakan manusia. Mengajarnya pandai berbicara.”.
Selanjutnya
dengan adanya ilmu dalam diri manusia maka akan menimbulkan proses belajar dan mengajar
yang pada akhirnya akan menghasilkan ide, gagasan, teknologi, dan penemuan baru
yang dapat dipergunakan manusia untuk hidup dan kehidupan yang lebih baik.
Sekarang coba kita bayangkan jika sampai
manusia tidak diberikan Ilmu oleh Allah SWT, apa yang dapat kita lakukan di
muka bumi sebagai seorang khalifah yang sekaligus makhluk pilihan. Allah SWT memberikan ilmu kepada manusia
tentu ada maksud dan tujuan dibalik diberikannya Ilmu tersebut, yaitu adanya ilmu
yang diberikan dan kemudian dimiliki serta dipergunakan oleh manusia, maka akan
ada kemudahan bagi manusia saat menjalankan fungsi kekhalifahan di muka bumi.
Sudahkah
kita semua merasakan manfaat dari memiliki ilmu yang telah Allah SWT berikan
dan sudahkah kita semua meyakini bahwa ilmu manusia bersifat tidak permanen,
tidak kekal dan sangat sedikit dibandingkan dengan Ilmu Allah SWT? Jika sampai
kita tidak pernah merasakan adanya Ilmu dalam diri, berarti anda saat ini tidak
bisa melakukan apa-apa, sedangkan kenyataannya kita telah memiliki kedudukan,
telah memiliki pekerjaan, telah memiliki kekayaan oleh sebab adanya ilmu yang
kita miliki. Untuk itu akuilah bahwa ilmu itu penting saat diri kita
melaksanakan tugas sebagai abd’ (hamba)-Nya yang sekaligus khalifah-Nya di muka
bumi.
Saat
ini kita sudah memiliki ilmu yang berasal dari
Allah SWT, lalu Ilmu yang seperti apakah yang dapat mensukseskan diri
kita menjadi khalifah sekaligus makhluk pilihan? Ilmu yang kita miliki harus dipergunakan,
harus didayagunakan, harus dimanfaatkan di dalam koridor Nilai-Nilai Kebaikan
yang berasal dari Nilai-Nilai Ilahiah yang tentunya sesuai dengan kehendak
Allah SWT. Sekarang bagaimana jika Ilmu yang berasal dari Allah SWT kita
gunakan untuk menipu, untuk merugikan orang lain, untuk korupsi, untuk kolusi,
untuk merusak alam, untuk menteror orang lain, untuk aktivitas teroris atau
melakukan sesuatu yang paling sesuai dengan kehendak syaitan? Jika sampai diri
kita melakukan itu semua berarti kita telah berada di dalam kehendak syaitan
sang laknatullah dan berarti tiket untuk pulang ke neraka Jahannam sudah ada di
tangan kita.
4. Sami’ (Pendengaran). Sifat Sami’ adalah salah satu sifat Ma’ani Allah
SWT. Sifat Sami’ yang dimiliki oleh
Allah SWT ini juga merupakan salah satu dari tujuh Amanah yang diberikan oleh
Allah SWT kepada setiap manusia tanpa terkecuali, yang berasal langsung dari
sifat Ma’ani Allah SWT. Sami’ artinya Mendengar, Maha Mendengar.
Seperti apakah sifat Sami' yang dimiliki Allah SWT? Pendengaran Allah SWT sangat nyata, Pendengaran Allah SWT
tidak terpengaruh oleh Jarak, Ruang dan Waktu sedangkan pendengaran makhluk
sebaliknya, yaitu memiliki keterbatasan. Jika kondisi sifat Sami’' Allah SWT
seperti ini, berarti kemampuan, ketajaman,
kehebatan mendengar Allah SWT tidak ada yang dapat menandingi-Nya, apalagi ada
yang mampu mengalahkan-Nya.
Adanya kemampuan mendengar atau Maha Mendengar Allah
SWT yang sangat hebat maka Allah SWT akan mengetahui seluruh aktivitas
makhluknya di muka bumi ini tanpa ada yang terkecuali meskipun itu adalah
telapak kaki semut yang sedang berjalan pasti Allah SWT akan mendengar-Nya. Selanjutnya
adakah sifat Sami’ dalam diri manusia dan dimanakah sifat Sami’ diletakkan di
dalam diri manusia? Berdasarkan surat As Sajdah (32) ayat 9 berikut ini: “kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalamnya roh
(ciptaan)-Nya dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati;
(tetapi) kamu sedikit sekali bersyukur.”
Dan juga berdasarkan firmanNya berikut ini: “Katakanlah:
“Siapakah yang memberi rezki kepadamu dari langit dan bumi, atau siapakah yang
kuasa (menciptakan) pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati
dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup dan siapakah yang mengatur segala
urusan?” Maka mereka akan menjawab: “Allah”. Maka katakanlah: “Mengapa kamu
tidak bertakwa (kepada-Nya)?” (surat Yunus (10) ayat 31). Dimana setiap manusia tanpa terkecuali pasti memiliki sifat Sami’ yang
berasal dari sifat Ma’ani Allah SWT yang diberikan setelah dipersatukannya ruh
dengan jasmani di dalam rahim seorang ibu.
Hal yang harus kita pahami dengan benar adalah yang
diberikan oleh Allah SWT sesaat setelah ruh ditiupkan ke dalam jasmani,
bukanlah fungsi mendengar melainkan fungsi pendengaran. Untuk itu mari kita
perhatikan diri kita sendiri, kita bisa mendengar dikarenakan berfungsinya
telinga sebagai alat untuk mendengar. Sedangkan pendengaran tidak sama dengan fungsi mendengar.
Sekarang apa yang dimaksud dengan fungsi Pendengaran itu? Pendengaran adalah suatu kemampuan manusia yang
diberi-kan oleh Allah SWT untuk memperdengarkan kembali atas apa-apa yang telah
didengar oleh telinga pada waktu yang telah lalu. Contohnya pada waktu
kecil kita pernah dimarahi oleh nenek karena mandi di kali, sekarang dapatkah
kita memperdengarkan kembali apa yang di ucapkan oleh nenek kita pada waktu
memarahi kita sepulang mandi di kali? Jika kita dapat memperdengarkan kembali atau
menerangkan kembali apa-apa yang pernah dimarahi oleh nenek kita, itulah yang
dinamakan dengan fungsi pendengaran.
Sekarang
dimanakah letak sifat Sami’ di dalam diri manusia? Sifat Sami’ diletakkan oleh
Allah SWT di dalam telinga manusia sehingga telinga manusia mempunyai 2(dua)
buah fungsi yaitu fungsi mendengar dan juga fungsi pendengaran. Adakah
perbedaaan antara fungsi mendengar dan fungsi pendengaran di dalam telinga
manusia? Mendengar
sangat tergantung kepada berfungsi atau tidaknya telinga beserta komponen yang
ada di dalamnya sedangkan pendengaran tidak tergantung kepada berfungsi atau
tidaknya telinga manusia. Adanya kondisi ini walaupun telinga mengalami gangguan maka
tidak otomatis fungsi pendengaran mengalami gangguan atau fungsi pendengaran
dapat tetap bekerja dengan baik walaupun telinga mengalami gangguan.
Adakah
perbedaan yang mencolok antara fungsi mendengar dengan fungsi pendengaran? Fungsi mendengar
tidak bisa menembus jarak, ruang dan waktu sedangkan fungsi pendengaran mampu
menembus jarak, ruang dan waktu. Lalu dari manakah asalnya fungsi
Pendengaran itu? Fungsi pendengaran tidak datang dengan sendirinya pada diri
manusia. Fungsi pendengaran merupakan pemberian Allah SWT yang berasal dari
sifat Ma’ani yang dimiliki oleh Allah SWT. Fungsi pendengaran merupakan amanah bagi setiap
manusia sehingga akan dimintakan pertanggung-jawabannya kelak oleh Allah SWT.
Dan hal yang harus diperhatikan adalah kemam-puan mendengar dan kemampuan pendengaran
yang dimiliki oleh manusia bersifat sementara dan tidak kekal. Sedangkan
kemampuan mendengar dan pendengaran Allah SWT sangat maha, kekal, dan abadi.
Selanjutnya
untuk apakah Allah SWT memberikan
telinga untuk mendengar serta kemampuan pendengaran yang berasal dari Allah SWT
kepada manusia? Allah SWT memberikan telinga untuk mendengar dan
memberikan pula kemampuan pendengaran
bukan tanpa maksud dan tujuan. Sekarang coba kita bayangkan jika
sampai Allah SWT tidak memberikan
kemampuan mendengar melalui telinga dan
kemampuan pendengaran saat diri kita menjadi abd’ (hamba) yang sekaligus khalifah
di muka bumi?
Adanya kemampuan Mendengar dan
kemampuan Pendengaran yang dimiliki oleh manusia, maka Komunikasi antar Manusia
menjadi Lancar dan Efektif; Proses Belajar dan Mengajar dapat mudah terlaksana;
Transfer Ilmu dan Pengetahuan antar sesama manusia dapat terlaksana dengan
baik; Manusia dapat mengkhayal atau membuat khayalan melalui fungsi pendengaran
sehingga manusia mampu membuat gambar ataupun sesuatu yang bersifat 3 (tiga) dimensi. Kemampuan mendengar dan kemampuan pendengaran
yang akan dapat menjadi modal dasar manusia menjadi abd’ (hamba) yang sekaligus
khalifah yang sekaligus makhluk pilihan adalah kemampuan yang dilandasi oleh nilai-nilai
kebaikan yang berasal dari nilai-nilai Ilahiah yang termaktub dalam nama-nama
Allah SWT yang indah lagi baik.
Sekarang bagaimana jika fungsi mendengar dan
pendengaran yang kita miliki kita gunakan untuk mendengar dan mengkhayal
sesuatu yang tidak baik, seperti gosip, fitnah, berita bohong atau sesuatu yang
paling sesuai dengan kehendak syaitan? Jika sampai diri kita melakukan itu
semua berarti penggunaan dan pemanfaatan fungsi mendengar dan fungsi
pendengaran yang kita miliki sudah tidak sesuai lagi dengan konsep awal saat Allah
SWT memberikan fungsi mendengar dan pendengaran. Untuk itu Allah SWT melalui
surat Al Israa’ (17) ayat 36 berikut ini: “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak
mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan
hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabannya.” telah memberikan sebuah peringatan kepada manusia
untuk hati-hati mempergunakan kemampuan fungsi mendengar dan kemampuan fungsi
pendengaran sebab akan dimintakan pertanggung jawabannya oleh Allah SWT.
Jika
hal ini sudah menjadi ketetapan Allah SWT berarti kita tidak bisa sembarangan,
kita tidak bisa seenaknya, kita tidak bisa asal-asalan di dalam mempergunakan
fungsi mendengar dan fungsi pendengaran saat hidup di dunia. Kita harus mempergunakan ke duanya di dalam koridor
untuk mensukseskan diri kita menjadi abd’ (hamb)-Nya yang juga khalifah-Nya di
muka bumi yang sesuai dengan kehendak Allah SWT. Terkecuali jika kita telah
mampu mempertanggung jawabkan itu semua di hadapan Allah SWT kelak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar