E.
ADANYA KOTORAN AMAL.
Hal lainnya yang
dapat mengakibatkan gagalnya manusia mempertahankan fitrah yang ada di dalam
dirinya adalah akibat dari masih adanya sisa-sisa kotoran yang masih menempel
di dalam hati ruhani atau masih adanya perbuatan-perbuatan masa lalu yang tidak
sesuai dengan koridor Nilai-Nilai Ilahiah
yang belum hilang di dalam diri manusia. Akibatnya hati nurani belum bersih benar dari
segala kotoran-kotoran yang pernah ada atau yang pernah singgah di dalamnya.
Kondisi ini sering terjadi di dalam kehidupan manusia, biasanya kita lalai dan
lupa kepada kejadian masa lalu sehingga kita merasa sudah bersih dari segala
noda dan dosa. Untuk itu jika kita merasa masih memiliki kotoran-kotoran amal
maka mintalah ampun kepada Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyantun agar diri
kita selalu mendapatkan ampunan dari Allah SWT.
Berikut ini akan kami
kemukakan sebuah renungan, yang kami ambil dari hadits yang kiranya dapat
menyadarkan diri kita, yang kiranya dapat mengembalikan kefitrahan diri kita,
yang kiranya dapat menjadikan diri kita selalu berada di dalam kehendak Allah
SWT, sebagai-mana dikemukakan dalam hadits berikut ini: “Ibnu Abbas ra, berkata: Nabi SAW bersabda: Allah ta'ala berfirman:
Wahai Anak Adam! Jika engkau ingat kepada-Ku, Aku Ingat kepadamu dan bila
engkau lupa kepada-Ku, Akupun ingat kepadamu. Jika engkau taat kepada-Ku
pergilah kemana saja engkau suka, pada tempat dimana Aku berkawan dengan engkau
dan engkau berkawan dengan da-Ku. Engkau berpaling daripada-Ku padahal aku
menghadap kepadamu, Siapakah yang memberimu makan dikala engkau masih di dalam
perut ibumu. Aku selalu mengurusmu dan memeliharamu sampai terlaksanalah
kehendak-Ku bagimu, maka setelah Aku keluarkan engkau ke alam dunia engkau
berbuat banyak maksiat. Apakah demikian seharusnya pembalasan kepada yang telah
berbuat kebaikan kepadamu. (Hadits Qudsi Riwayat Abu Nasher Rabi'ah bin Ali
Al Ajli dan Arrafi'ie; 272:182)
Adanya hadits yang
kami kemukakan di atas ini, seharusnya dapat menyadarkan diri kita untuk
kembali ke jalan yang dikehendaki Allah SWT atau dapat mengembalikan diri kita
sesuai dengan konsep fitrah yang Allah SWT kehendaki. Akan tetapi jika
ketentuan hadits di atas belum bisa menyadarkan diri kita, belum dapat
menjadikan diri kita fitrah berarti ada sesuatu yang salah di dalam diri kita.
Untuk itu pertimbangkanlah dengan masak-masak tawaran Allah SWT untuk melakukan
Taubatan Nasuha sebelum ruh tiba di kerongkongan, hal ini dikarenakan itulah
batas akhir kesempatan yang diberikan Allah SWT kepada diri kita dan juga kita
juga yang akan merasakan azab neraka ataukah nikmatnya syurga.
Sebagai tambahan,
masih ada 3 (tiga) hal lainnya yang mengakibatkan seseorang melanggar ketentuan
hukum positif negara yaitu:
1. Adanya pengaruh buruk
dari penghasilan yang haram yang akan membuat pemilik dari penghasilan (harta) yang
haram akan berperilaku yang haram pula yang berkesesuaian dengan yang
dikehendaki oleh syaitan sang laknatullah yaitu perilaku-perilaku haram yang
tidak sesuai dengan kaidah-kaidah agama seperti judi, seks bebas, narkoba dan
lain sebagainya
2. Manusia malas
belajar, taklik buta dengan sesuatu yang baru, tidak mau menam-bah ilmu dan
pengetahuan yang baru sehingga apatis, apriori dengan sesuatu yang baru, memperturutkan
apa kata ulama tanpa pernah mau memilah dan memilih, serta mempertahankan
tradisi dengan mengabaikan syariat yang berlaku serta sering mendahulukan
ibadah sunnah dibandingkan dengan ibadah wajib, yang kesemuanya menunjukkan
ciri-ciri orang yang telah memperturutkan ahwa (hawa nafsu).
3. Akibat dari manusia
melanggar sumpah (perjanjian) dengan Allah SWT terutama tentang pernyataan
sikap untuk bertuhankan kepada Allah SWT sebagaiman termaktub dalam surat Al
A’raaf (7) ayat 172 berikut ini: “Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam
dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya
berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan
kami), kami menjadi saksi”. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari
kiamat kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang
yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)”.
Berdasarkan
surat Al A’raaf (7) ayat 172 yang kami
kemukakan di atas setiap manusia, siapapun orangnya dapat dipastkan semuanya
terikat dengan perjanjian bertuhankan kepada Allah SWT dan yang berarti setiap
manusia wajib tunduk patuh dengan segala perintah dan larangan Allah SWT.
Selanjutnya
untuk lebih mempertegas pernyataan sikap yang sudah berlaku kepada diri kita, ada
baiknya kita mempelajari 3(tiga) buah keadaan yang terdapat di dalam surat Al
A’raaf (7) ayat 172 di atas ini:
a. Adanya Pernyataan
Allah SWT Bahwa Allah SWT Adalah Tuhan Bagi Diri Kita. Allah SWT melalui
surat Al A'raaf (7) ayat 172 dengan tegas menyatakan bahwa Allah SWT adalah
Tuhan bagi diri kita. Melalui pernyataan
ini maka Allah
SWT dengan tegas menyatakan bahwa Akulah Tuhan, Akulah Pencipta, Aku
Pemelihara, Aku Pengawas, Akulah Penguasa, Akulah Pengayom, Akulah Pembimbing,
Akulah Penjaga, Akulah Pemberi dan seterusnya sesuai dengan Asmaul Husna di
mana itu semuanya bersifat Baqa, bersifat Qiyamuhu Binafsih, bersifat
Wahdaniah, bersifat Mukhalafatul Lil Hawadish, dalam satu kesatuan yang tidak
terpisahkan. Jika sekarang Allah SWT sudah memberikan kesaksian dan
pernyataan tentang diri-Nya sendiri seperti ini, selanjutnya maka : (1) Ilmu Allah SWT selalu ada di tengah dan di
sekeliling kita; (2) Pendengaran dan
penglihatan Allah SWT selalu ada di tengah dan di sekeliling kita; (3) Qudrat dan Iradat selalu ada di tengah dan
di sekeliling kita; (4) Kalam dan
Hayat selalu ada di tengah dan disekeliling kita; (5) Kasih sayang, pengawasan, pemeliharaan dari Allah SWT selalu ada di
tengah dan di sekeliling diri kita.
Akhirnya kita tidak
dapat dipisahkan dari ilmu, pendengaran, penglihatan, qudrat, iradat, kalam,
hayat, kasih sayang, pengawasan dan pemeliharaan Allah SWT. Jika itu semua
adalah posisi dan juga keadaan dari pernyataan dan kesaksian Allah SWT kepada
seluruh makhluk-Nya. Selanjutnya apakah kita akan menyianyia-kannnya atau
apakah kita akan mengabaikannya atau apakah kita mau menerima pernyataan dan
kesaksian Allah SWT dengan sebenar-benarnya? Sekarang
tinggal bagaimana kita menyikapi kesaksian dan pernyataan Allah SWT itu, maukah
kita menerima dan mempercayai atau menolak atau apakah kita akan menggantinya
dengan yang lain? Yang pasti kita yang sangat membutuhkan Allah SWT sedangkan
Allah SWT tidak butuh sama sekali dengan diri kita.
b. Adanya Pernyataan Ruh kepada Allah SWT. Inilah pengakuan ruh di dalam rahim ibu kita pada waktu
berumur 120 (seratus dua puluh) hari atau setelah ruh ditiupkan ke dalam
jasmani yaitu ruh memberikan kesaksian bahwa Allah SWT adalah Tuhan. Adanya
kondisi seperti ini dapat dikatakan bahwa setiap ruh secara individual atau
secara pribadi-pribadi tanpa terkecuali, telah mengakui, telah menyatakan
dengan tegas tanpa ada paksaan dari siapapun juga bahwa Allah SWT adalah Tuhan
bagi seluruh umat manusia. Selanjutnya apa yang terjadi setelah ruh mengakui
bahwa Allah SWT adalah Tuhan? Adanya pengakuan ruh secara individual kepada
Allah SWT berarti ruh telah memberikan kesaksian tentang Allah SWT sehingga ruh
telah beriman kepada Allah SWT dan
adanya kondisi ini terlihat dengan jelas bahwa ajaran Islam tidak mengenal
konsep reinkarnasi. Sekarang timbul pertanyaan, atas dasar apakah ruh mengakui
bahwa Allah SWT adalah Tuhan sehingga ruh telah beriman kepada Allah SWT?
Pengakuan dan
kesaksian ruh kepada Allah SWT bahwa Allah SWT adalah Tuhan dikarenakan ruh
mengenal siapa Allah SWT; ruh tahu apa dan bagaimana Allah SWT; ruh tahu dari
mana ia berasal serta ruh tahu bahwa Allah SWT-lah yang menciptakannya. Lalu
apakah hanya itu saja sehingga ruh mengakui Allah SWT adalah Tuhan? Ruh
adalah bagian dari Allah SWT, jika suatu bagian dipisahkan dari asalnya maka
bagian yang dipisahkan pasti akan tahu, pasti akan mencari sesuatu yang sama
dengan dirinya, pasti akan menuju kepada asalnya dan selanjutnya pasti akan
mengetahui siapa asalnya tersebut. Jika ruh tahu bahwa Allah SWT adalah
Tuhan dimana pernyataan itu sudah dinyatakan sejak awal kehidupan manusia atau
sejak dipersatukannya ruh dengan jasmani maka apakah hal ini tidak cukup bagi kita
untuk beriman kepada Allah SWT selama-lamanya.
Hal yang harus kita
perhatikan tentang pernyataan ruh kepada Allah SWT adalah apakah kualitas
pernyataan yang telah kita lakukan kepada Allah SWT masih tetap sama kondisinya
atau kualitasnya masih seperti saat pertama kali menyatakan Allah SWT adalah
Tuhan bagi diri kita? Sebagai makhluk yang
terhormat sudah sepatut-nya dan sepantasnya jika pernyataan ruh kita kepada
Allah SWT tetap terpelihara, tetap terjaga kualitasnya dari waktu ke waktu dan
jangan sampai menurun kualitas akibat pengaruh ahwa (hawa nafsu) dan setan.
c. Sampai Kapankah Masa
Berlakunya Pernyataan Ruh Kepada Allah SWT. Seka-rang bagaimana dengan masa berlakunya pernyataan ruh kepada Allah
SWT, apakah memiliki masa berlaku? Pernyataan ruh kepada Allah SWT juga
memiliki masa berlaku, yaitu masa berlaku dalam arti umum dan masa berlaku dalam arti khusus.
Secara umum masa berlakunya sepanjang manusia ada di muka bumi atau sepan-jang
di muka bumi ini masih ada manusia atau sepanjang masih ada kehidupan manusia
di muka bumi maka pernyataan ruh untuk bertuhankan kepada Allah SWT masih
berlaku sampai dengan hari kiamat tiba.
Lalu bagaimana dengan masa berlaku pernyataan ruh dalam arti khusus
yaitu masa berlaku bagi individual atau bagi pribadi-pribadi? Bagi individual
atau secara pribadi-pribadi masa berlaku pernyataan ruh kepada Allah SWT dapat
dibedakan menjadi 2(dua) yaitu: (1) dimulai dari saat
ditiupkannya ruh ke dalam jasmani sampai dengan sebelum ruh tiba dikerongkongan
dan/atau; (2) dimulai dari saat ditiupkannya ruh dalam jasmani sampai dengan
diri kita sendiri yang memutuskan untuk tidak mau melaksanakan pernyataan yang
telah kita buat atau diri kita sendiri yang memutuskan hubungan dengan Allah
SWT dengan tidak mau lagi melaksanakan komitmen bertuhankan kepada Allah SWT.Adanya kondisi yang kami kemukakan di atas ini, maka dapat dikatakan
bahwa masa berlaku pernyataan bertuhankan kepada Allah SWT bagi individual sangat tergantung kepada
individu-individu itu sendiri, yaitu: (a)
Apakah ia mau menerima, apakah ia mau
melaksanakan komitmen ruh untuk bertuhankan kepada Allah SWT ataukah; (b) Apakah ia tidak mau menerima dan
tidak mau melaksanakan komitmen ruh untuk bertuhankan kepada Allah SWT.
Ini berarti jika kita mau berkomitmen untuk melaksanakan pengakuan ruh
untuk bertuhankan kepada Allah SWT maka masa berlaku pernyataan bertuhankan
hanya kepada Allah SWT (syahadat) yang kita lakukan akan panjang yaitu selama
pengakuan tersebut terus kita lakukan dari waktu ke waktu selama hayat di
kandung badan sehingga terjadilah kontrak permanen. Demikian pula sebaliknya,
jika kita memutuskan untuk tidak mau melaksanakan komitmen ruh untuk bertuhankan
hanya kepada Allah SWT maka sampai disitulah masa berlaku syahadat yang kita
lakukan atau berakhirlah pernyataan diri
kita kepada Allah SWT. Sekarang pilihan
untuk melaksanakan atau tidak melaksanakan komitmen yang telah ruh lakukan
untuk bertuhankan hanya kepada Allah SWT tergantung pada diri kita sendiri.
Setelah
menjalani hidup di dunia ini, bagaimanakah kualitas dari pernyataan diri kita
kepada Allah SWT, apakah masih tetap utuh seperti sediakala ataukah sudah berubah ataukah kita telah melanggar janji dengan berubah
sikap sehingga tidak lagi mau mengakui Allah SWT sebagai Tuhan? Mudah-mudahan
kualitas dari pernyataan diri kita kepada Allah SWT tidak berubah sedikitpun
sehingga kemudahan menjadi abd’ (hamba)-Nya yang juga khalifah-Nya dapat kita
rasakan dan nikmati dan selanjutnya dapat menghantarkan diri kita ke “Kampung
Kebahagiaan”. Terkecuali jika kita hendak pulang ke” Kampung Kesengsaraan dan
Kebinasaan” maka lakukanlah ingkar janji atau berpalinglah dari pernyataan dan
kesaksian kita kepada Allah SWT. Selamat memilih dan menentukan
sikap.
Dan setelah diri kita
mengetahui 5 (lima) buah penyebab pelanggaran ketentuan hukum negara dan juga
hukum Allah SWT yang mengakibatkan menurunnya kefitrahan diri sehingga
menjadikan jiwa kita menjadi jiwa fujur yang pada akhirnya membawa hidup ini ke
dalam penjara, maka kita harus bisa melaksanakan etos ala Zainudin Mz, yaitu “Allahumma
paksa” dengan memaksa diri ini untuk melakukan sebuah perubahan yang
mendasar dalam diri. Karena hanya diri kita sendirilah yang bisa memaksa diri
untuk berubah menjadi orang-orang yang baik dan kembali ke jalan yang lurus.
Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Allah SWT dalam surat Ar
Ra'd (13) ayat 11 di bawah ini, Allah SWT berkehendak untuk mengubah nasib
seseorang sepanjang orang tersebut ingin berubah. Allah SWT berfirman: “Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya
bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah
Allah[767]. Sesungguhnya Allah tidak merobah Keadaan sesuatu kaum sehingga
mereka merobah keadaan[768] yang ada pada diri mereka sendiri. dan apabila
Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, Maka tak ada yang dapat
menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia. (surat
Ar Ra'd (13) ayat 11)”.
[767] Bagi
tiap-tiap manusia ada beberapa Malaikat yang tetap menjaganya secara bergiliran
dan ada pula beberapa Malaikat yang mencatat amalan-amalannya. dan yang
dikehendaki dalam ayat ini ialah Malaikat yang menjaga secara bergiliran itu,
disebut Malaikat Hafazhah.
[768] Tuhan
tidak akan merobah Keadaan mereka, selama mereka tidak merobah sebab-sebab
kemunduran mereka.
Allah SWT memberikan
kesempatan ini karena Allah SWT adalah Maha Pemaaf sehingga dengan Maaf-Nya
tersebut diri kita mempunyai kesempatan ke dua untuk memperbaiki diri sehingga
dapat pulang kampung ke syurga atau sesuai dengan kehendak Allah SWT saat hidup
di muka bumi ini. Hal yang harus kita perhatikan adalah bahwa kesempatan kedua
yang diberikan oleh Allah SWT hanya berlaku sebelum Ruh diri kita dipisahkan
oleh Malaikat Izrail dengan Jasmani kita. Untuk itu manfaatkanlah kesempatan
yang telah diberikan oleh Allah SWT ini dengan sebaik mungkin sebab jika
Malaikat Izrail sudah datang maka ia tidak akan pernah gagal melaksanakan
tugasnya.
Sebagai penutup, ada
satu hal yang harus kita ketahui dan sikapi tentang adanya hukum positif yang
telah ditetapkan oleh negara dan adanya hukum agama yang telah ditetapkan oleh
Allah SWT, dimana keduanya harus didudukkan dalam porsinya masing-masing.
Ingat, pada saat kita hidup di dunia yang diciptakan oleh Allah SWT maka pada
saat hidup itu kita menghadapi dua buah ketentuan hukum, yaitu hukum positif
yang ditetapkan oleh negara dan juga hukum agama yang telah ditetapkan oleh
Allah SWT. Karena substansi dan kaidah ke dua hukum ini sangatlah berbeda maka
kita harus mensikapinya dengan berbeda pula.
Katakan saat kita
hidup dunia, kita melakukan kejahatan karena melanggar hukum positif dan hukum
agama dan kemudian kita telah menerima hukuman dari kejahatan yang kita
lakukan. Untuk itu ketahuilah wahai para pelaku kejahatan bahwa hukum positif
atau hukum yang ditetapkan oleh negara tidak dapat menggantikan hukum yang
berasal dari Allah SWT. Sehingga apabila seseorang sudah dihukum oleh Negara
tidak serta merta seseorang terbebas dari hukum dan hukuman Allah SWT.
Dan agar hukum
positif bisa sejalan dengan hukum Allah SWT maka kita harus mendahulukan hukum
akhirat dibandingkan dengan hukum dunia dengan melakukan terlebih dahulu
taubatan nasuha selama melaksanakan hukuman negara yang dilanjutkan dengan
selalu meminta ampun sebanyak mungkin disetiap kesempatan serta mengembalikan
barang aniayaan kepada pemiliknya. Hal ini sebagaimana sabda Nabi SAW dalam menceritakan firman
Allah: “Allah telah mewahyukan
kepadaku: "Wahai saudara para Rasul, wahai saudara para pemberi
peringatan! Berilah berita peringatan kepada kaummu, agar mereka jangan
memasuki satu rumahpun dari rumah-rumah-Ku (masjid), kecuali dengan hati
bersih, lidah yang benar, tangan yang suci, dan kemaluan yang bersih. Dan
janganlah mereka memasuki salah satu rumah-Ku (masjid) padahal mereka masih
tersangkut barang aniayaan hak orang lain. Sesungguhnya Aku tidak memberi
rahmat, selama ia berdiri di hadapan-Ku melakukan shalat, sampai ia mengembalikan
barang aniayaan itu kepada pemiliknya. Apabila ia telah mengembalikannya, Aku
akan jadi alat pendengarannya yang dengan itu ia mendengar, dan Aku akan
menjadi penglihatannya yang dengan itu ia memandang, dan ia akan menjadi salah
seorang wali dan orang pilihan-Ku dan akan menjadi tetangga-Ku bersama para
Nabi, para shiddikin dan para syuhada yang ditempatkan di dalam syurga. (Hadits Qudsi Riwaya Abu Na'im, Hakim, Ad-Dailami, dan Ibnu Asakir yang
bersumber dari Hudzaifah)
Ingat Allah SWT sudah
menyatakan dengan jelas bahwa Allah SWT adalah Yang Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang. Sekarang bagaimana mungkin Allah SWT yang sudah siap memberikan
pengampunan kepada siapun juga sedangkan orang yang akan diberikan pengampunan
dari Allah SWT tidak mau mengakui kesalahan yang telah diperbuatnya? Dilain
sisi untuk mengakui kesalahan dan meminta ampunan kepada Allah SWT tidak
dipungut biaya oleh Allah SWT sebab Allah SWT tidak butuh dengan pengampunan
yang akan diberikannya karena Allah SWT sudah Maha Selamanya.
Sebagai orang yang
membutuhkan pengampunan dari Allah SWT apakah kesempatan dan fasilitas untuk
meminta ampunan yang kita miliki saat ini akan kita sia-siakan begitu saja
berlalu tanpa kesan. Sedangkan orang-orang yang sekarang di alam barzah (maksudnya
yang di sijjin) berusaha dan meminta untuk dikembalikan ke muka bumi kepada
Allah SWT untuk melakukan pertaubatan karena sudah merasakan azab dan ketidaknyamanan berada di sijjin yang ada di
alam barzah. Tidak ada jalan lain kecuali taubatan nasuha dengan mengakui
kesalahan yang telah diperbuat yang dilanjutkan dengan selalu meminta ampun
disetiap kesempatan yang ada kemudian melaksanakan Diinul Islam secara kaffah
yang kesemuanya harus kita laksanakan sebelum ruh tiba di kerongkongan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar