Label

MEMANUSIAKAN MANUSIA: INILAH JATIDIRI MANUSIA YANG SESUNGGUHNYA (79) SETAN HARUS JADI PECUNDANG: DIRI PEMENANG (68) SEBUAH PENGALAMAN PRIBADI MENGAJAR KETAUHIDAN DI LAPAS CIPINANG (65) INILAH ALQURAN YANG SESUNGGUHNYA (60) ROUTE TO 1.6.799 JALAN MENUJU MAKRIFATULLAH (59) MUTIARA-MUTIARA KEHIDUPAN: JALAN MENUJU KERIDHAAN ALLAH SWT (54) PUASA SEBAGAI KEBUTUHAN ORANG BERIMAN (50) ENERGI UNTUK MEMOTIVASI DIRI & MENJAGA KEFITRAHAN JIWA (44) RUMUS KEHIDUPAN: TAHU DIRI TAHU ATURAN MAIN DAN TAHU TUJUAN AKHIR (38) TAUHID ILMU YANG WAJIB KITA MILIKI (36) THE ART OF DYING: DATANG FITRAH KEMBALI FITRAH (33) JIWA YANG TENANG LAGI BAHAGIA (27) BUKU PANDUAN UMROH (26) SHALAT ADALAH KEBUTUHAN DIRI (25) HAJI DAN UMROH : JADIKAN DIRI TAMU YANG SUDAH DINANTIKAN KEDATANGANNYA OLEH TUAN RUMAH (24) IKHSAN: INILAH CERMINAN DIRI KITA (24) RUKUN IMAN ADALAH PONDASI DASAR DIINUL ISLAM (23) ZAKAT ADALAH HAK ALLAH SWT YANG HARUS DITUNAIKAN (20) KUMPULAN NASEHAT UNTUK KEHIDUPAN YANG LEBIH BAIK (19) MUTIARA HIKMAH DARI GENERASI TABI'IN DAN TABI'UT TABIIN (18) INSPRIRASI KESEHATAN DIRI (15) SYAHADAT SEBAGAI SEBUAH PERNYATAAN SIKAP (14) DIINUL ISLAM ADALAH AGAMA FITRAH (13) KUMPULAN DOA-DOA (10) BEBERAPA MUKJIZAT RASULULLAH SAW (5) DOSA DAN JUGA KEJAHATAN (5) DZIKIR UNTUK KEBAIKAN DIRI (4) INSPIRASI DARI PARA SAHABAT NABI (4) INILAH IBADAH YANG DISUKAI NABI MUHAMMAD SAW (3) PEMIMPIN DA KEPEMIMPINAN (3) TAHU NABI MUHAMMAD SAW (3) DIALOQ TOKOH ISLAM (2) SABAR ILMU TINGKAT TINGGI (2) SURAT TERBUKA UNTUK PEROKOK dan KORUPTOR (2) IKHLAS DAN SYUKUR (1)

Selasa, 21 Mei 2024

PENYEBAB TERJADINYA DOSA, PERBUATAN MAKSIAT DAN KEJAHATAN DALAM KEHIDUPAN MANUSIA (PART 6 of 6)


E.      ADANYA KOTORAN AMAL.

 

Hal lainnya yang dapat mengakibatkan gagalnya manusia mempertahankan fitrah yang ada di dalam dirinya adalah akibat dari masih adanya sisa-sisa kotoran yang masih menempel di dalam hati ruhani atau masih adanya perbuatan-perbuatan masa lalu yang tidak sesuai dengan koridor Nilai-Nilai Ilahiah  yang belum hilang di dalam diri manusia. Akibatnya hati nurani belum bersih benar dari segala kotoran-kotoran yang pernah ada atau yang pernah singgah di dalamnya. Kondisi ini sering terjadi di dalam kehidupan manusia, biasanya kita lalai dan lupa kepada kejadian masa lalu sehingga kita merasa sudah bersih dari segala noda dan dosa. Untuk itu jika kita merasa masih memiliki kotoran-kotoran amal maka mintalah ampun kepada Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyantun agar diri kita selalu mendapatkan ampunan dari Allah SWT.

 

Berikut ini akan kami kemukakan sebuah renungan, yang kami ambil dari hadits yang kiranya dapat menyadarkan diri kita, yang kiranya dapat mengembalikan kefitrahan diri kita, yang kiranya dapat menjadikan diri kita selalu berada di dalam kehendak Allah SWT, sebagai-mana dikemukakan dalam hadits berikut ini: Ibnu Abbas ra, berkata:  Nabi SAW bersabda: Allah ta'ala berfirman: Wahai Anak Adam! Jika engkau ingat kepada-Ku, Aku Ingat kepadamu dan bila engkau lupa kepada-Ku, Akupun ingat kepadamu. Jika engkau taat kepada-Ku pergilah kemana saja engkau suka, pada tempat dimana Aku berkawan dengan engkau dan engkau berkawan dengan da-Ku. Engkau berpaling daripada-Ku padahal aku menghadap kepadamu, Siapakah yang memberimu makan dikala engkau masih di dalam perut ibumu. Aku selalu mengurusmu dan memeliharamu sampai terlaksanalah kehendak-Ku bagimu, maka setelah Aku keluarkan engkau ke alam dunia engkau berbuat banyak maksiat. Apakah demikian seharusnya pembalasan kepada yang telah berbuat kebaikan kepadamu. (Hadits Qudsi Riwayat Abu Nasher Rabi'ah bin Ali Al Ajli dan Arrafi'ie; 272:182)

 

Adanya hadits yang kami kemukakan di atas ini, seharusnya dapat menyadarkan diri kita untuk kembali ke jalan yang dikehendaki Allah SWT atau dapat mengembalikan diri kita sesuai dengan konsep fitrah yang Allah SWT kehendaki. Akan tetapi jika ketentuan hadits di atas belum bisa menyadarkan diri kita, belum dapat menjadikan diri kita fitrah berarti ada sesuatu yang salah di dalam diri kita. Untuk itu pertimbangkanlah dengan masak-masak tawaran Allah SWT untuk melakukan Taubatan Nasuha sebelum ruh tiba di kerongkongan, hal ini dikarenakan itulah batas akhir kesempatan yang diberikan Allah SWT kepada diri kita dan juga kita juga yang akan merasakan azab neraka ataukah nikmatnya syurga.

 

Sebagai tambahan, masih ada 3 (tiga) hal lainnya yang mengakibatkan seseorang melanggar ketentuan hukum positif negara yaitu:

 

1.     Adanya pengaruh buruk dari penghasilan yang haram yang akan membuat pemilik dari penghasilan (harta) yang haram akan berperilaku yang haram pula yang berkesesuaian dengan yang dikehendaki oleh syaitan sang laknatullah yaitu perilaku-perilaku haram yang tidak sesuai dengan kaidah-kaidah agama seperti judi, seks bebas, narkoba dan lain sebagainya

 

2.    Manusia malas belajar, taklik buta dengan sesuatu yang baru, tidak mau menam-bah ilmu dan pengetahuan yang baru sehingga apatis, apriori dengan sesuatu yang baru, memperturutkan apa kata ulama tanpa pernah mau memilah dan memilih, serta mempertahankan tradisi dengan mengabaikan syariat yang berlaku serta sering mendahulukan ibadah sunnah dibandingkan dengan ibadah wajib, yang kesemuanya menunjukkan ciri-ciri orang yang telah memperturutkan ahwa (hawa nafsu).

 

3.    Akibat dari manusia melanggar sumpah (perjanjian) dengan Allah SWT terutama tentang pernyataan sikap untuk bertuhankan kepada Allah SWT sebagaiman termaktub dalam surat Al A’raaf (7) ayat 172 berikut ini: “Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi”. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)”.  Berdasarkan surat Al A’raaf  (7) ayat 172 yang kami kemukakan di atas setiap manusia, siapapun orangnya dapat dipastkan semuanya terikat dengan perjanjian bertuhankan kepada Allah SWT dan yang berarti setiap manusia wajib tunduk patuh dengan segala perintah dan larangan Allah SWT.

 

Selanjutnya untuk lebih mempertegas pernyataan sikap yang sudah berlaku kepada diri kita, ada baiknya kita mempelajari 3(tiga) buah keadaan yang terdapat di dalam surat Al A’raaf (7) ayat 172 di atas ini:  

 

a.      Adanya Pernyataan Allah SWT Bahwa Allah SWT Adalah Tuhan Bagi Diri Kita. Allah SWT melalui surat Al A'raaf (7) ayat 172 dengan tegas menyatakan bahwa Allah SWT adalah Tuhan bagi diri kita. Melalui pernyataan ini maka Allah SWT dengan tegas  menyatakan bahwa  Akulah Tuhan, Akulah Pencipta, Aku Pemelihara, Aku Pengawas, Akulah Penguasa, Akulah Pengayom, Akulah Pembimbing, Akulah Penjaga, Akulah Pemberi dan seterusnya sesuai dengan Asmaul Husna di mana itu semuanya bersifat Baqa, bersifat Qiyamuhu Binafsih, bersifat Wahdaniah, bersifat Mukhalafatul Lil Hawadish, dalam satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Jika sekarang Allah SWT sudah memberikan kesaksian dan pernyataan tentang diri-Nya sendiri seperti ini, selanjutnya maka : (1) Ilmu Allah SWT selalu ada di tengah dan di sekeliling kita; (2) Pendengaran dan penglihatan Allah SWT selalu ada di tengah dan di sekeliling kita; (3) Qudrat dan Iradat selalu ada di tengah dan di sekeliling kita; (4) Kalam dan Hayat selalu ada di tengah dan disekeliling kita; (5) Kasih sayang, pengawasan, pemeliharaan dari Allah SWT selalu ada di tengah dan di sekeliling diri kita.

 

Akhirnya kita tidak dapat dipisahkan dari ilmu, pendengaran, penglihatan, qudrat, iradat, kalam, hayat, kasih sayang, pengawasan dan pemeliharaan Allah SWT. Jika itu semua adalah posisi dan juga keadaan dari pernyataan dan kesaksian Allah SWT kepada seluruh makhluk-Nya. Selanjutnya apakah kita akan menyianyia-kannnya atau apakah kita akan mengabaikannya atau apakah kita mau menerima pernyataan dan kesaksian Allah SWT dengan sebenar-benarnya? Sekarang tinggal bagaimana kita menyikapi kesaksian dan pernyataan Allah SWT itu, maukah kita menerima dan mempercayai atau menolak atau apakah kita akan menggantinya dengan yang lain? Yang pasti kita yang sangat membutuhkan Allah SWT sedangkan Allah SWT tidak butuh sama sekali dengan diri kita.

 

b.  Adanya Pernyataan Ruh kepada Allah SWT. Inilah pengakuan ruh di dalam rahim ibu kita pada waktu berumur 120 (seratus dua puluh) hari atau setelah ruh ditiupkan ke dalam jasmani yaitu ruh memberikan kesaksian bahwa Allah SWT adalah Tuhan. Adanya kondisi seperti ini dapat dikatakan bahwa setiap ruh secara individual atau secara pribadi-pribadi tanpa terkecuali, telah mengakui, telah menyatakan dengan tegas tanpa ada paksaan dari siapapun juga bahwa Allah SWT adalah Tuhan bagi seluruh umat manusia. Selanjutnya apa yang terjadi setelah ruh mengakui bahwa Allah SWT adalah Tuhan? Adanya pengakuan ruh secara individual kepada Allah SWT berarti ruh telah memberikan kesaksian tentang Allah SWT sehingga ruh telah beriman kepada Allah SWT  dan adanya kondisi ini terlihat dengan jelas bahwa ajaran Islam tidak mengenal konsep reinkarnasi. Sekarang timbul pertanyaan, atas dasar apakah ruh mengakui bahwa Allah SWT adalah Tuhan sehingga ruh telah beriman kepada Allah SWT?

 

Pengakuan dan kesaksian ruh kepada Allah SWT bahwa Allah SWT adalah Tuhan dikarenakan ruh mengenal siapa Allah SWT; ruh tahu apa dan bagaimana Allah SWT; ruh tahu dari mana ia berasal serta ruh tahu bahwa Allah SWT-lah yang menciptakannya. Lalu apakah hanya itu saja sehingga ruh mengakui Allah SWT adalah Tuhan? Ruh adalah bagian dari Allah SWT, jika suatu bagian dipisahkan dari asalnya maka bagian yang dipisahkan pasti akan tahu, pasti akan mencari sesuatu yang sama dengan dirinya, pasti akan menuju kepada asalnya dan selanjutnya pasti akan mengetahui siapa asalnya tersebut. Jika ruh tahu bahwa Allah SWT adalah Tuhan dimana pernyataan itu sudah dinyatakan sejak awal kehidupan manusia atau sejak dipersatukannya ruh dengan jasmani maka apakah hal ini tidak cukup bagi kita untuk beriman kepada Allah SWT selama-lamanya.

 

Hal yang harus kita perhatikan tentang pernyataan ruh kepada Allah SWT adalah apakah kualitas pernyataan yang telah kita lakukan kepada Allah SWT masih tetap sama kondisinya atau kualitasnya masih seperti saat pertama kali menyatakan Allah SWT adalah Tuhan bagi diri kitarpisahkan antara ketentuan satu dengan ketentuan yang lainiri kita.lak oleh ALLAH SWT.  ini karena eb? Sebagai makhluk yang terhormat sudah sepatut-nya dan sepantasnya jika pernyataan ruh kita kepada Allah SWT tetap terpelihara, tetap terjaga kualitasnya dari waktu ke waktu dan jangan sampai menurun kualitas akibat pengaruh ahwa (hawa nafsu) dan setan.

 

c.    Sampai Kapankah Masa Berlakunya Pernyataan Ruh Kepada Allah SWT. Seka-rang bagaimana dengan masa berlakunya pernyataan ruh kepada Allah SWT, apakah memiliki masa berlaku? Pernyataan ruh kepada Allah SWT juga memiliki masa berlaku, yaitu masa berlaku dalam arti  umum dan masa berlaku dalam arti khusus. Secara umum masa berlakunya sepanjang manusia ada di muka bumi atau sepan-jang di muka bumi ini masih ada manusia atau sepanjang masih ada kehidupan manusia di muka bumi maka pernyataan ruh untuk bertuhankan kepada Allah SWT masih berlaku sampai dengan hari kiamat tiba.

 

Lalu bagaimana dengan masa berlaku pernyataan ruh dalam arti khusus yaitu masa berlaku bagi individual atau bagi pribadi-pribadi? Bagi individual atau secara pribadi-pribadi masa berlaku pernyataan ruh kepada Allah SWT dapat dibedakan menjadi 2(dua) yaitu: (1) dimulai dari saat ditiupkannya ruh ke dalam jasmani sampai dengan sebelum ruh tiba dikerongkongan dan/atau; (2) dimulai dari saat ditiupkannya ruh dalam jasmani sampai dengan diri kita sendiri yang memutuskan untuk tidak mau melaksanakan pernyataan yang telah kita buat atau diri kita sendiri yang memutuskan hubungan dengan Allah SWT dengan tidak mau lagi melaksanakan komitmen bertuhankan kepada Allah SWT.Adanya kondisi yang kami kemukakan di atas ini, maka dapat dikatakan bahwa masa berlaku pernyataan bertuhankan kepada Allah SWT  bagi individual sangat tergantung kepada individu-individu itu sendiri, yaitu: (a) Apakah ia mau menerima, apakah ia mau melaksanakan komitmen ruh untuk bertuhankan kepada Allah SWT  ataukah; (b) Apakah ia tidak mau menerima dan tidak mau melaksanakan komitmen ruh untuk bertuhankan kepada Allah SWT.

 

Ini berarti jika kita mau berkomitmen untuk melaksanakan pengakuan ruh untuk bertuhankan kepada Allah SWT maka masa berlaku pernyataan bertuhankan hanya kepada Allah SWT (syahadat) yang kita lakukan akan panjang yaitu selama pengakuan tersebut terus kita lakukan dari waktu ke waktu selama hayat di kandung badan sehingga terjadilah kontrak permanen. Demikian pula sebaliknya, jika kita memutuskan untuk tidak mau melaksanakan komitmen ruh untuk bertuhankan hanya kepada Allah SWT maka sampai disitulah masa berlaku syahadat yang kita lakukan atau berakhirlah pernyataan  diri kita kepada Allah SWT. Sekarang pilihan untuk melaksanakan atau tidak melaksanakan komitmen yang telah ruh lakukan untuk bertuhankan hanya kepada Allah SWT tergantung pada diri kita sendiri.

 

Setelah menjalani hidup di dunia ini, bagaimanakah kualitas dari pernyataan diri kita kepada Allah SWT, apakah masih tetap utuh seperti sediakala ataukah  sudah berubah ataukah  kita telah melanggar janji dengan berubah sikap sehingga tidak lagi mau mengakui Allah SWT sebagai Tuhan? Mudah-mudahan kualitas dari pernyataan diri kita kepada Allah SWT tidak berubah sedikitpun sehingga kemudahan menjadi abd’ (hamba)-Nya yang juga khalifah-Nya dapat kita rasakan dan nikmati dan selanjutnya dapat menghantarkan diri kita ke “Kampung Kebahagiaan”. Terkecuali jika kita hendak pulang ke” Kampung Kesengsaraan dan Kebinasaan” maka lakukanlah ingkar janji atau berpalinglah dari pernyataan dan kesaksian kita kepada Allah SWT. Selamat memilih dan menentukan sikap.  

 

Dan setelah diri kita mengetahui 5 (lima) buah penyebab pelanggaran ketentuan hukum negara dan juga hukum Allah SWT yang mengakibatkan menurunnya kefitrahan diri sehingga menjadikan jiwa kita menjadi jiwa fujur yang pada akhirnya membawa hidup ini ke dalam penjara, maka kita harus bisa melaksanakan etos ala Zainudin Mz, yaitu “Allahumma paksa” dengan memaksa diri ini untuk melakukan sebuah perubahan yang mendasar dalam diri. Karena hanya diri kita sendirilah yang bisa memaksa diri untuk berubah menjadi orang-orang yang baik dan kembali ke jalan yang lurus. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Allah SWT dalam  surat Ar Ra'd (13) ayat 11 di bawah ini, Allah SWT berkehendak untuk mengubah nasib seseorang sepanjang orang tersebut ingin berubah. Allah SWT berfirman: “Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah[767]. Sesungguhnya Allah tidak merobah Keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan[768] yang ada pada diri mereka sendiri. dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, Maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia. (surat Ar Ra'd (13) ayat 11)”.

 

[767] Bagi tiap-tiap manusia ada beberapa Malaikat yang tetap menjaganya secara bergiliran dan ada pula beberapa Malaikat yang mencatat amalan-amalannya. dan yang dikehendaki dalam ayat ini ialah Malaikat yang menjaga secara bergiliran itu, disebut Malaikat Hafazhah.

[768] Tuhan tidak akan merobah Keadaan mereka, selama mereka tidak merobah sebab-sebab kemunduran mereka.

 

Allah SWT memberikan kesempatan ini karena Allah SWT adalah Maha Pemaaf sehingga dengan Maaf-Nya tersebut diri kita mempunyai kesempatan ke dua untuk memperbaiki diri sehingga dapat pulang kampung ke syurga atau sesuai dengan kehendak Allah SWT saat hidup di muka bumi ini. Hal yang harus kita perhatikan adalah bahwa kesempatan kedua yang diberikan oleh Allah SWT hanya berlaku sebelum Ruh diri kita dipisahkan oleh Malaikat Izrail dengan Jasmani kita. Untuk itu manfaatkanlah kesempatan yang telah diberikan oleh Allah SWT ini dengan sebaik mungkin sebab jika Malaikat Izrail sudah datang maka ia tidak akan pernah gagal melaksanakan tugasnya.

 

Sebagai penutup, ada satu hal yang harus kita ketahui dan sikapi tentang adanya hukum positif yang telah ditetapkan oleh negara dan adanya hukum agama yang telah ditetapkan oleh Allah SWT, dimana keduanya harus didudukkan dalam porsinya masing-masing. Ingat, pada saat kita hidup di dunia yang diciptakan oleh Allah SWT maka pada saat hidup itu kita menghadapi dua buah ketentuan hukum, yaitu hukum positif yang ditetapkan oleh negara dan juga hukum agama yang telah ditetapkan oleh Allah SWT. Karena substansi dan kaidah ke dua hukum ini sangatlah berbeda maka kita harus mensikapinya dengan berbeda pula.

 

Katakan saat kita hidup dunia, kita melakukan kejahatan karena melanggar hukum positif dan hukum agama dan kemudian kita telah menerima hukuman dari kejahatan yang kita lakukan. Untuk itu ketahuilah wahai para pelaku kejahatan bahwa hukum positif atau hukum yang ditetapkan oleh negara tidak dapat menggantikan hukum yang berasal dari Allah SWT. Sehingga apabila seseorang sudah dihukum oleh Negara tidak serta merta seseorang terbebas dari hukum dan hukuman Allah SWT.

 

Dan agar hukum positif bisa sejalan dengan hukum Allah SWT maka kita harus mendahulukan hukum akhirat dibandingkan dengan hukum dunia dengan melakukan terlebih dahulu taubatan nasuha selama melaksanakan hukuman negara yang dilanjutkan dengan selalu meminta ampun sebanyak mungkin disetiap kesempatan serta mengembalikan barang aniayaan kepada pemiliknya. Hal ini sebagaimana sabda Nabi SAW dalam menceritakan firman Allah: “Allah telah mewahyukan kepadaku: "Wahai saudara para Rasul, wahai saudara para pemberi peringatan! Berilah berita peringatan kepada kaummu, agar mereka jangan memasuki satu rumahpun dari rumah-rumah-Ku (masjid), kecuali dengan hati bersih, lidah yang benar, tangan yang suci, dan kemaluan yang bersih. Dan janganlah mereka memasuki salah satu rumah-Ku (masjid) padahal mereka masih tersangkut barang aniayaan hak orang lain. Sesungguhnya Aku tidak memberi rahmat, selama ia berdiri di hadapan-Ku melakukan shalat, sampai ia mengembalikan barang aniayaan itu kepada pemiliknya. Apabila ia telah mengembalikannya, Aku akan jadi alat pendengarannya yang dengan itu ia mendengar, dan Aku akan menjadi penglihatannya yang dengan itu ia memandang, dan ia akan menjadi salah seorang wali dan orang pilihan-Ku dan akan menjadi tetangga-Ku bersama para Nabi, para shiddikin dan para syuhada yang ditempatkan di dalam syurga. (Hadits Qudsi Riwaya Abu Na'im, Hakim, Ad-Dailami, dan Ibnu Asakir yang bersumber dari Hudzaifah)

 

Ingat Allah SWT sudah menyatakan dengan jelas bahwa Allah SWT adalah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Sekarang bagaimana mungkin Allah SWT yang sudah siap memberikan pengampunan kepada siapun juga sedangkan orang yang akan diberikan pengampunan dari Allah SWT tidak mau mengakui kesalahan yang telah diperbuatnya? Dilain sisi untuk mengakui kesalahan dan meminta ampunan kepada Allah SWT tidak dipungut biaya oleh Allah SWT sebab Allah SWT tidak butuh dengan pengampunan yang akan diberikannya karena Allah SWT sudah Maha Selamanya.

 

Sebagai orang yang membutuhkan pengampunan dari Allah SWT apakah kesempatan dan fasilitas untuk meminta ampunan yang kita miliki saat ini akan kita sia-siakan begitu saja berlalu tanpa kesan. Sedangkan orang-orang yang sekarang di alam barzah (maksudnya yang di sijjin) berusaha dan meminta untuk dikembalikan ke muka bumi kepada Allah SWT untuk melakukan pertaubatan karena sudah merasakan azab dan  ketidaknyamanan berada di sijjin yang ada di alam barzah. Tidak ada jalan lain kecuali taubatan nasuha dengan mengakui kesalahan yang telah diperbuat yang dilanjutkan dengan selalu meminta ampun disetiap kesempatan yang ada kemudian melaksanakan Diinul Islam secara kaffah yang kesemuanya harus kita laksanakan sebelum ruh tiba di kerongkongan.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar