Sebelum kami
membahas tentang “Hati Sang Pengendali Diri”, perkenankan kami untuk mengemukakan
ilustrasi sebagai berikut: Saat diri kita mengemudikan kendaraan, maka kita
akan dihadapkan dengan jalan yang mendaki, jalan yang menurun, ada belok ke
kiri dan ada pula belok ke kanan yang kesemuanya harus kita lalui jika ingin
sampai ke tujuan. Untuk itulah di dalam kendaraan ada komponen yang bernama
setir. Adanya komponen setir di dalam kendaraan, maka arah dari kendaraan yang
kita kemudikan dapat kita arahkan sesuai dengan tujuan yang hendak kita tuju.
Sekarang kita menghadapi jalan berbelok ke kanan maka sebagai pengemudi kita
harus mantap mengarahkan setir kendaraan ke kanan jika kita ingin selamat,
demikian pula jika kita menghadapi belokan ke kiri, kitapun harus mantap
mengarahkan setir kendaraan ke kiri pula jika ingin selamat, sehingga kemantapan
diri kita di dalam mengarahkan atau mengendalikan setir kendaraan sesuai dengan
jalanan yang kita hadapi merupakan kunci sukses kita menghadapi belokan ke
kanan ataupun belokan ke kiri ataupun menurun dan mendaki.
Sekarang bagaimana
dengan hidup yang sedang kita jalani saat ini, apakah seperti kendaraan yang
kita kemudikan? Hidup yang kita laksanakan hari ini juga seperti kendaraan, tidak
selamanya lurus serta tidak selamanya pula belok (maksudnya hidup tidak
selamanya tanpa ada gangguan dari ahwa (hawa nafsu) dan juga syaitan). Kadang
kita bisa berada di dalam kehendak Allah SWT sehingga perbuatan kita selalu
berada di dalam koridor nilai-nilai kebaikan. Kadang pula kita dihadapkan
dengan kehendak syaitan sehingga perbuatan kita selalu
berada di dalam koridor nilai-nilai keburukan. Adanya dilema ini mengakibatkan diri kita berada di persimpangan jalan
untuk memilih, apakah terus berada di dalam kehendak Allah SWT ataukah berada
di dalam kehendak syaitan. Adanya hati di dalam diri, memudahkan diri kita
untuk menentukan sikap kemana kita harus pulang kampung, apakah ke neraka
ataukah ke syurga.
Adanya hati di
dalam diri memudahkan kita menentukan sikap perbuatan mana yang harus kita
lakukan, apakah yang sesuai dengan kehendak Allah SWT ataukah yang sesuai
dengan kehendak syaitan. Jika sekarang kita sudah bertekad bulat untuk
melaksanakan Diinul Islam secara kaffah dalam rangka untuk pulang kampung ke syurga,
maka hati kita harus kuat seperti kuatnya diri kita mengarah setir kendaraan ke
kiri pada saat berbelok ke kiri atau mengarahkan setir kendaraan ke kanan pada
saat berbelok ke kanan.
Adanya kekuatan dan
kemantapan dalam hati maka kita bisa mengalahkan ahwa (hawa nafsu) dan juga syaitan
sehingga kita bisa berbuat dan bertindak di dalam koridor Nilai-Nilai Kebaikan
dari waktu ke waktu, yang pada akhirnya mampu menghantarkan diri kita ke syurga
untuk bertemu dengan Allah SWT dan tidak berlebihan pula jika hati ini kita
katakan sebagai pengendali diri manusia yang juga merupakan panglima.
A. FUNGSI HATI BAGI
MANUSIA.
Sebagai abd’ (hamba)-Nya yang juga khalifah-Nya di muka bumi yang telah
tahu diri ketahuilah bahwa hati adalah panglima yang mengatur
tentara-tentaranya. Hati memerintah anggota tubuh lainnya untuk berbuat dan
tidak berbuat sesuatu. Karena itulah syaitan sang laknatullah tidak pernah
menyerang tentara. Untuk menguasai manusia cukuplah bagi syaitan menyerang
panglimanya. Syaitan tidak pernah menyerang tangan kita, kaki kita, mata kita,
telinga kita dan semua anggota badan kita. Untuk menguasai diri kita cukuplah syaitan
menguasai hati kita beserta komponen Amanah yang 7 dan hubbul yang 7 yang ada
pada diri kita, maka seluruh hidup kita akan tunduk kepada kemauan syaitan.
Timbul pertanyaan, atas dasar apakah hati manusia bisa dikatakan sebagai
panglima, atau apakah yang
melatarbelakangi sehingga jika dikatakan jika hati manusia itu baik maka
baiklah manusia, demikian pula sebaliknya jika hati manusia itu rusak maka
rusaklah manusia? Setiap manusia pasti hanya memiliki satu hati, dimana hati
merupakan organ yang sangat vital bagi manusia. Jika sekarang manusia terdiri dari jasmani dan ruh, apakah juga hati
tetap menjadi organ yang sangat vital bagi jasmani dan ruh? Hati jika ditinjau dari sisi jasmani
dan ruh sama-sama organ penting bagi manusia. Apa buktinya? Berikut ini akan
kami kemukakan fungsi hati bagi kepentingan jasmani, yaitu: (a) sebagai penawar racun; (b) membunuh kuman; (c) menguraikan sel-sel
darah merah yang sudah rusak dalam sel-sel khusus yang disebut histiosit; (d) memecah hemoglobin sel darah merah menjadi
zat besi, globim dan hemin; (e) menghasilkan enzim
agrinasse yang berfungsi untuk mengurai asam amino arginin menjadi asam amino
ornittin; (f) menyimpan glikkogen,
tembaga dan beberapa jenis vitamin; (g) mengatur kadar gula
dalam darah;(h)mengubah
provitamin A menjadi vitamin A; (i) memproduksi zat antibody; (j) Sebagai tempat pembentukan dan penguraian protein
tertentu.
Sekarang mari kita hubungkan antara hati jasmani dengan keterangan hadits
yang menyatakan jika hati rusak maka rusaklah manusia, dan jika hati baik maka
baiklah manusia serta hati adalah panglima. Apa maksudnya? Jika hati rusak
berarti hati jasmani menempati tempat yang rusak sehingga hati jasmani tidak
mampu melaksanakan fungsinya untuk kepentingan jasmani. Sehingga dengan tidak
berfungsinya hati jasmani akan berdampak negatif bagi seluruh organ tubuh
manusia, seperti menimbulkan penyakit atau mengakibatkan kematian.
Hal sebaliknya jika hati baik berarti hati jasmani menempati tempat yang
baik pula sehingga hati jasmani mampu bekerja sesuai dengan fungsinya yang kami
kemukakan di atas yang pada akhirnya baik pulalah organ tubuh manusia, sehat
pula jasmani manusia. Sekarang bagaimana dengan hati sebagai panglima? Panglima tidak akan bisa bekerja dengan baik
jika tempatnya rusak, demikian pula sebaliknya panglima baru bisa bekerja
dengan baik jika tempat untuk bekerjanya dalam kondisi yang baik pula. Lalu
apakah hati manusia juga berfungsi bagi ruh? Hati juga berfungsi bagi
kepentingan ruh dan jika hati berfungsi untuk jasmani dan juga untuk ruh,
apakah berarti hati manusia ada dua?
Setiap manusia, hanya memiliki satu hati yang terdapat di dalam rongga
dada manusia, namun di dalam hati jasmani tersebut diisi pula atau diletakkan
pula hati ruh atau kami sebut juga sebagai hati nurani Adanya kondisi ini menunjukkan kepada diri kita bahwa di dalam setiap hati
manusia berfungsi untuk kepentingan jasmani dan juga untuk kepentingan ruh. Berikut
ini akan kami kemukakan beberapa fungsi hati bagi kepentingan ruh manusia,
yaitu:
1. Hati Nurani tempat diletakkanya perasaan (Af’idah). Allah SWT lah yang memberikan Af’idah atau perasaan kepada setiap manusia
setelah ditiupkannya ruh ke dalam jasmani di saat masih di dalam rahim seorang
ibu. Sebagaimana dikemukakan dalam surat As Sajdah (32) ayat 7-8-9 yang kami
kemukakan berikut ini: “Yang membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-baiknya dan Yang
memulai penciptaan manusia dari tanah.Kemudian Dia menjadikan keturunannya dari
saripati air yang hina (mani).Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalam (tubuh)nya roh
(ciptaan)Nya dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati;
(tetapi) kamu sedikit sekali bersyukur.” Adanya
Af’idah (perasaan) yang diletakkan di dalam hati nurani oleh Allah SWT, maka
manusia memiliki pengendali diri seperti halnya setir yang ada di dalam
kendaraan saat melaksanakan tugas sebagai abd’ (hamba)-Nya yang juga
khalifah-Nya di muka bumi, saat menentukan sikap, saat berbuat sesuatu, saat
bertindak menghadapi sesuatu, termasuk di dalamnya saat menghadapi ahwa (hawa
nafsu) dan syaitan. Sehingga dengan adanya Af’idah (perasaan) yang bertindak
selaku pengendali diri ini maka kita bisa selamat sampai syurga atau bisa
mempertahankan kefitrahan diri yang sesuai dengan kehendak Allah SWT.
Adanya kondisi ini maka tidak berlebihan jika
Af’idah (perasaan) dapat dikatakan sebagai sebuah anugerah
yang tidak dapat dinilai secara materiil ataupun dapat dihitung berdasarkan
perhitungan matematika. Jika ini adalah kondisi dasar
dari Af’idah (perasaan), lalu adakah pabrik atau pembuat Af’idah (perasaan)
selain daripada Allah SWT di muka bumi ini? Manusia tidak memiliki kemampuan
untuk menciptakan perasaan yang ada di dalam dirinya sendiri.
Jika sekarang di dalam diri manusia ada perasaaan, maka perasaan ini ada
karena diberikan oleh Allah SWT. Dan jika manusia tidak mampu menciptakan
perasaan berarti manusia tidak akan mampu pula menciptakan perasaan untuk orang
lain. Di lain sisi saat diri kita hidup di dunia, maka kita tidak bisa
menghindar dari pertarungan memperebutkan Amanah yang 7 dan Hubbul yang 7 oleh jasmani
maupun oleh ruhani sehingga diri kita mengalami suatu keadaan yang tidak
menentu seperti:(a) timbul suatu
keadaan yang mengakibatkan kita
mengalami kebingungan untuk memilih, atau; (b) mengalami kondisi yang serba tidak menentu untuk menentukan langkah apa
yang akan kita perbuat, atau (c) merasa
ada sesuatu yang bergejolak jika menghadapi sesuatu yang buruk atau di saat
kita melakukan tindakan di luar Nilai-Nilai Kebaikan.; (d) merasakan sebuah kesuksesan atau merasakan
buah dari hasil perjuangan atau merasakan adanya hidayah atau merasakan adanya
ketenangan bathin.
Adanya kondisi yang pasti dialami setiap manusia, maka diperlukan suatu
alat bantu bagi diri manusia untuk menentukan sikap kemana harus berjalan, apa
yang harus dipilih diantara dua pilihan yang tidak mengakibatkan kefitrahan
diri menurun kualitasnya. Lalu adakah komponen pengendali diri di dalam diri kita seperti halnya setir yang
ada di dalam kendaraan? Allah SWT selaku pencipta manusia, sudah memberikan
kepada setiap manusia apa yang dinamakan Af’idah (perasaan) yang diletakkan di
dalam hati. Inilah salah satu fungsi dan kegunaan dari hati nurani, yang
selanjutnya sangat tergantung kepada manusia itu sendiri apakah mampu memanfaatkan
dan mempergu-nakan hati nuraninya dengan baik dan benar.
2. Hati Nurani adalah sarana (alat bantu) atau media untuk
menjangkau atau menerima sinyal-sinyal atas kebesaran dan kemahaan Allah SWT. Hal ini sebagaimana dikemukakan dalam hadits berikut ini: “Wahab bin Munabbih berkata:
Allah ta’ala berfirman: Sesungguhnya
langit-langit dan bumi tidak berdaya menjangkauKu namun Aku telah dijangkau oleh hati seorang mu’min. (Hadits Riwayat Ahmad dari
Wahab bin Munabbih, 272: 32)” dengan tegas
menyatakan bahwa langit dan bumi tidak berdaya atau tidak dapat menjangkau Allah SWT, hanya hati ruhani orang
mukminlah yang mampu menjangkau kebesaran dan kemahaan Allah SWT. Sehingga
jarak antara kebesaran dan kemahaan
Allah SWT hanya terhijab atau hanya terselubung dengan hati yang mukmin dari
manusia itu sendiri.
Sekarang apa yang dapat dijangkau dari Allah SWT
oleh hati seorang mukmin? Yang pasti DzatNya Allah SWT tidak akan pernah dapat
dijangkau oleh siapapun juga, yang dapat dijangkau dari Allah SWT adalah
pancaran atau sinyal-sinyal dari kekuasaan, kemahaan dan kebesaraan Allah SWT
yang berasal dari sifat Ma’ani serta Af’al Allah SWT yang termaktub di dalam
Asmaul Husna. Jika hanya hati ruhani orang mukmin saja yang dapat
menjangkau Allah SWT, ini berarti kedudukan hati ruhani orang mukmin lebih
tinggi dibandingkan dengan langit dan bumi sehingga langit dan bumi tidak akan
mampu menghalangi hati nurani orang mukmin untuk menjangkau kemahaan dan
kebesaran Allah SWT di alam semesta ini.
Yang menjadi persoalan adalah sudahkah hati ruhani diri kita kita sesuai
yang dikehendaki oleh Allah SWT yaitu hati orang mukmin? Sekarang sudahkah diri
kita merasakan nikmatnya bertuhankan kepada Allah SWT melalui hati nurani yang
telah mampu menjangkau kebesaran dan kemahaan Allah SWT? Mudah-mudahan diri
kita selalu memperoleh kenikmatan bertuhankan kepada Allah SWT tidak hanya
sekali saja atau hanya sesekali saja, namun kita harus selalu mendapatkan terus
dan terus kenikmatan tersebut selama hayat masih di kandung badan.
3. Hati Nurani tempat diletakkannya Akal. Hati nurani setiap manusia merupakan tempat diletakkannya akal oleh Allah
SWT. Sehingga dengan adanya akal tersebut dapat membantu manusia untuk
berfikir, berbuat, berusaha serta mampu membedakan mana yang benar dan mana
yang salah, mampu membedakan mana yang baik dan yang buruk sehingga mampu
memudahkan manusia menjadi abd’ (hamba)Nya yang juga khalifahNya di muka bumi
yang sesuai dengan kehendak Allah Hal
ini berdasarkan hadits yang kami kemukakan berikut ini: Abu Hurairah r.a berkata:
Nabi SAW. Bersabda; Allah ta’ala berfirman: Tatkala Allah SWT menciptakan akal,
berfirmanlah Allah kepadanya: “Datanglah hai akal”; maka datanglah ia, kemudian
diperintahkannya: Pergilah dan pergilah ia. Allah berfirman: Aku tidak
menciptakan sesuatu makhluk yang lebih Aku cintai dari padamu. Dengan engkau
Aku mengambil dan dengan engkau pula Aku memberi. (Hadits Riwayat Abdullah bin Ahmad dari
Alhassan dan Aththabarani dari Abi Umamah, 272:269).
Allah SWT melalui hadist yang kami kemukakan di atas
ini, menyatakan dan menerangkan hal-hal yang harus dapat dijadikan keimanan
bagi diri kita, yaitu:
a. Allah SWT adalah pencipta akal yang diletakkan di dalam hati nurani setiap
manusia. Kapan akal diletakkan di dalam hati nurani manusia? Allah SWT meletakkan akal ke dalam hati ruhani manusia berberengan dengan peniupan ruh ke dalam janin di waktu berusia
120 hari di dalam rahim seorang ibu. Kapankah akal itu
sendiri itu diciptakan oleh Allah SWT? Jika Akal terdapat dan diberikan kepada
setiap manusia maka akal pasti diciptakan oleh Allah SWT sebelum Nabi Adam as,
diciptakan sebagai manusia pertama. Jika ini kondisinya berarti akal sudah di dalam Ilmunya Allah SWT atau
Akal sudah ada di dalam kekuasaan Allah SWT sebab diciptakan sebelum Nabi Adam
as, diciptakan.
b. Allah SWT dapat memerintahkan akal, ini ditunjukkan pada saat dipanggil
dia datang dan pada saat disuruh pergi dia pergi. Adanya kondisi Ini berarti
bahwa akal sudah tahu dan sudah mengenal siapa itu Allah SWT. Jika akal tidak
tahu dan tidak mengenal siapa itu Allah SWT, maukah akal diperintah oleh Allah
SWT?
c. Allah SWT menyatakan cintanya kepada akal melebihi cintanya kepada yang
lainnya, ini berarti kedudukan akal lebih tinggi daripada ciptaan Allah SWT
yang lainnya. Sekarang jika Allah SWT sudah menyatakan cintanya kepada akal,
wajibkah Allah SWT menunjukkan bukti atas kecintaannya tersebut kepada akal?
Allah SWT pasti dan wajib menunjukkan dan membuktikan cintanya kepada akal. Apa
buktinya? Akal dijadikan sarana atau media bagi Allah SWT untuk menunjukkan
cintanya kepada akal sehingga melalui akal tersebut Allah SWT akan mengambil
sesuatu dari manusia atau memberikan sesuatu kepada manusia.
d. Hubungan cinta adalah hubungan yang harus terdiri dari dua belah pihak,
tanpa memenuhi kriteria tersebut bukan disebut sebuah hubungan cinta. Untuk
mewujudkan dan melestarikan hubungan cinta diperlukan saling pengorbanan,
saling komunikasi, saling menjaga komitmen dan saling memelihara serta saling
mematuhi hak dan kewajiban yang timbul akibat adanya hubungan cinta tersebut. Sekarang jika Allah SWT sudah lebih dahulu menyatakan cintanya kepada akal,
timbul pertanyaan masih cintakah Allah SWT kepada akal yang ada di dalam hati ruhani kita? Baik dan buruknya kadar cinta atau tinggi rendahnya kadar cinta tergantung
kepada komitmen masing-masing kepada hubungan tersebut.
Yang jelas dan yang pasti bahwa komitmen Allah SWT untuk mencintai akal
tidak akan pernah berubah sedikitpun, yang menjadi persoalan adalah bagaimana
dengan komit-men hati ruhani kita yang merupakan tempat tinggal bagi akal
kepada Allah SWT? Di dalam kehidupan sehari-hari sering terjadi apa
yang dinamakan dengan selingkuh, jika telah terjadi perselingkuhan di dalam
hubungan cinta, dapatkah kasih sayang yang di dasarkan hubungan cinta dipenuhi
oleh kedua belah pihak?
Adanya hubungan selingkuh
mengakibatkan hubungan cinta menjadi gagal dan berantakan. Sekarang bagaimana
dengan Allah SWT yang telah menyatakan cintanya kepada akal namun kita sendiri
bersikap dan melakukan praktek perselingkuhan dengan mengatakan bahwa yang
selain Allah SWT lebih baik dan lebih terhormat? Manusia saja pasti marah, pasti
tidak senang, pasti merasa dikhianati serta akan memutuskan hubungan
cinta jika pasangan-nya berbuat selingkuh, sekarang bagaimana dengan Allah SWT?
Allah SWT juga pasti marah, pasti tidak senang dan pasti merasa
dikhianati serta akan memutuskan hubungan cinta kepada akal yang ada di dalam hati
ruhani manusia dengan demikian manusia tidak akan pernah dapat menikmati hasil
dari kecintaan Allah SWT kepada akal. Adanya kondisi ini
berarti kecintaan Allah SWT kepada akal
sangat tergantung seberapa jauh manusia dapat menjaga dan memelihara hubungan
cinta kepada Allah SWT dan yang harus kita perhatikan saat menjadi
khalifah di muka bumi adalah jangan pernah sekalipun membiarkan cinta Allah SWT
kepada akal bertepuk sebelah tangan.
4. Hati Nurani tempat diletakkannya Iradat (Kehendak). Setiap manusia, tanpa
terkecuali pasti mempunyai sifat Iradat dan sifat Iradat ini diletakkan oleh
Allah SWT di dalam hati ruhani manusia.
Adanya sifat Iradat (kehendak) yang diletakkan di dalam hati ruhani akan
melahirkan cita-cita, keinginan untuk mencapai dan menggapai sesuatu, membuat
manusia lebih bergairah, atau memiliki dorongan untuk maju, membuat manusia
lebih semangat, serta membuat manusia lebih beraktivitas untuk mencapai dan meraih apa yang diinginkannya.
Hal yang harus kita perhatikan adalah sifat
iradat (kehendak) yang ada pada diri manusia, termasuk yang ada pada diri kita,
bersifat sementara sehingga tidak kekal abadi. Selain daripada itu sifat Iradat
(kehendak) yang dimiliki diri kita sangat berhubungan erat dengan sifat-sifat
Amanah yang 7 yang lainya yang juga diberikan oleh Allah SWT kepada diri kita.
Apa maksudnya? Untuk bekerja, untuk berkarya, untuk menjadi khalifah di muka
bumi, kita tidak bisa hanya mengandalkan sifat Iradat (kehendak) semata. Karena
sifat Iradat baru bisa bekerja dengan baik jika disinergikan dengan sifat
Qudrat, sifat Ilmu, sifat Kalam, sifat Hayat, sifat Sami’ dan sifat Bashir
serta Hubbul yang 7 yang kesemuanya dikendalikan oleh hati nurani di bawah
ikatan Diinul Islam.
Sekarang mari kita hubungkan antara hati ruhani
dengan keterangan hadits di atas, dimana jika hati rusak maka rusaklah manusia,
dan jika hati baik maka baiklah manusia serta hati adalah panglima. Apa
maksudnya? Jika hati rusak berarti hati nurani tidak mampu melaksanakan
fungsinya untuk kepentingan ruh yang tidak lain adalah diri kita yang
sesungguhnya. Sehingga dengan tidak berfungsinya hati nurani akan berdampak
negatif bagi kefitrahan diri kita, terputusnya hubungan kita dengan Allah SWT. Dan jika hati baik berarti hati nurani menempati tempat yang baik pula sehingga hati nurani
mampu bekerja sesuai dengan fungsinya yang kami kemukakan diatas yang pada
akhirnya baik pulalah kefitrahan diri manusia dan terciptalah hubungan yang
baik dengan Allah SWT melalui hati nurani. Lalu bagaimana dengan hati sebagai
panglima? Panglima tidak akan bisa bekerja dengan baik jika tempatnya rusak,
demikian pula sebaliknya panglima baru bisa bekerja dengan baik jika tempat
untuk bekerjanya dalam kondisi yang baik pula. Baik dan buruknya kualitas hati
akan berdampak kepada jasmani dan ruh diri kita, untuk itu tidak ada jalan lain
bagi diri kita untuk selalu menjaga kesehatan hati baik ditinjau dari sisi jasmani
maupun diri sisi ruh.
5. Hati Nurani tempat diletakkannya Rasa Tenteram atau Ketentraman oleh Allah SWT. Rasa tentram atau adanya ketentraman baru dapat kita rasakan melalui hati
nurani sepanjang tempat diletakkannya hati nurani dalam keadaan sehat, tidak
mengalami gangguan baik oleh ahwa (hawa nafsu) dan juga syaitan. Adanya kondisi
ini maka manusia akan mampu merasakan apa yang disebut dengan adanya ketenangan
hati atau disebut juga ketenangan bathin. Sebagaimana dikemukakan dalam surat
Ar Ra’d (13) ayat 28 berikut ini: “(yaitu)
orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat
Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.” Sekarang bertanyalah kepada diri sendiri, mampukah kita mengukur nilai
dari ketenangan bathin itu dalam bentuk angka-angka atau satuan unit tertentu? Jika
jawaban dari pertanyaan ini adalah kita tidak mampu maka tidak ada jalan lain
kecuali diri kita untuk selalu menjaga kesehatan hati nurani maupun hati
jasmani dari waktu ke waktu sepanjang diri kita membutuhkan ketenangan bathin
itu.
6. Hati Nurani merupakan tempat diletakkannya Pemahaman oleh
Allah SWT. Suatu pemahaman akan diberikan oleh Allah SWT
melalui hati nurani sehingga manusia mampu merasakan apa yang disebut dengan
mengerti ataupun memahami sebuah proses alam atau proses hidup dan kehidupan
atau memahami arti dari kebesaran dan kemahaan Allah SWT yang telah
diperlihatkan dan ditunjukkan di alam semesta ini kepada seluruh makhluk yang
ada di langit dan di bumi ini. Sebagaimana dikemukakan dalam surat Al Hajj (22)
ayat 46 berikut ini: “maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai
hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan
itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta,
tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada.”
Di lain sisi jika kita mengacu kepada ketentuan yang
terdapat di dalam surat Al A’raaf (7) ayat 179 berikut ini: “Dan sesungguhnya Kami jadikan
untuk isi neraka Jahannam kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai
hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka
mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda
kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya
untuk mendengar (ayat-ayat Allah).
Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan lebih sesat lagi.Mereka itulah
orang-orang yang lalai.” Diri kita akan
disamakan dengan binatang ternak bahkan lebih dari itu oleh Allah SWT jika
sampai kita tidak mampu mempergunakan hati ruhani untuk melihat, untuk merasakan
tanda-tanda kekuasaan Allah SWT yang ada di muka bumi, yang sudah ada bersama
diri kita sehingga kita tidak pernah paham dengan apa yang telah dikemukakan
oleh Allah SWT. Sebagai abd’ (hamba)-Nya yang juga khalifah-Nya di muka bumi,
apakah kita harus turun pangkat dari makhluk yang terhormat menjadi hewan
ternak karena kita ulah kita sendiri yang tidak bisa mempergunakan hati ruhani
sebagaimana mestinya.
7. Hati Nurani merupakan tempat diletakkannya Obat dan
Penyembuh. Hati nurani juga merupakan tempat diletakkannya obat atau
penyembuh bagi penyakit rasa sedih, rasa gelisah, rasa gundah, sehingga
manusia dapat merasakan ketenangan dari
suatu musi-bah ataupun bencana. Sebagaimana dikemukakan dalam hadits yang kami
kemukakan berikut ini: “Rasulullah
bersabda: Maukah aku tunjukkan kepada kalian mengenai penyakit kalian dan obat
untuk kalian? Bahwasanya penyakit kalian adalah berbuat dosa, sedangkan obatnya
adalah beristighfar. (Hadits Riwayat Adh Dailami,
dari Anas bin Malik). Sekarang nilailah rasa ketenangan itu lalu bandingkan
nilainya dengan harta dan kekayaan yang
kita miliki? Sebagai abd’ (hamba)-Nya
yang juga khalifah-Nya bertanyalah kepada diri sendiri, sudahkah kita merawat hati
nurani sehingga kita mampu keluar dari rasa sedih, rasa resah, rasa gelisah?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar