Label

MEMANUSIAKAN MANUSIA: INILAH JATIDIRI MANUSIA YANG SESUNGGUHNYA (79) SETAN HARUS JADI PECUNDANG: DIRI PEMENANG (68) SEBUAH PENGALAMAN PRIBADI MENGAJAR KETAUHIDAN DI LAPAS CIPINANG (65) INILAH ALQURAN YANG SESUNGGUHNYA (60) ROUTE TO 1.6.799 JALAN MENUJU MAKRIFATULLAH (59) MUTIARA-MUTIARA KEHIDUPAN: JALAN MENUJU KERIDHAAN ALLAH SWT (54) PUASA SEBAGAI KEBUTUHAN ORANG BERIMAN (50) ENERGI UNTUK MEMOTIVASI DIRI & MENJAGA KEFITRAHAN JIWA (44) RUMUS KEHIDUPAN: TAHU DIRI TAHU ATURAN MAIN DAN TAHU TUJUAN AKHIR (38) TAUHID ILMU YANG WAJIB KITA MILIKI (36) THE ART OF DYING: DATANG FITRAH KEMBALI FITRAH (33) JIWA YANG TENANG LAGI BAHAGIA (27) BUKU PANDUAN UMROH (26) SHALAT ADALAH KEBUTUHAN DIRI (25) HAJI DAN UMROH : JADIKAN DIRI TAMU YANG SUDAH DINANTIKAN KEDATANGANNYA OLEH TUAN RUMAH (24) IKHSAN: INILAH CERMINAN DIRI KITA (24) RUKUN IMAN ADALAH PONDASI DASAR DIINUL ISLAM (23) ZAKAT ADALAH HAK ALLAH SWT YANG HARUS DITUNAIKAN (20) KUMPULAN NASEHAT UNTUK KEHIDUPAN YANG LEBIH BAIK (19) MUTIARA HIKMAH DARI GENERASI TABI'IN DAN TABI'UT TABIIN (18) INSPRIRASI KESEHATAN DIRI (15) SYAHADAT SEBAGAI SEBUAH PERNYATAAN SIKAP (14) DIINUL ISLAM ADALAH AGAMA FITRAH (13) KUMPULAN DOA-DOA (10) BEBERAPA MUKJIZAT RASULULLAH SAW (5) DOSA DAN JUGA KEJAHATAN (5) DZIKIR UNTUK KEBAIKAN DIRI (4) INSPIRASI DARI PARA SAHABAT NABI (4) INILAH IBADAH YANG DISUKAI NABI MUHAMMAD SAW (3) PEMIMPIN DA KEPEMIMPINAN (3) TAHU NABI MUHAMMAD SAW (3) DIALOQ TOKOH ISLAM (2) SABAR ILMU TINGKAT TINGGI (2) SURAT TERBUKA UNTUK PEROKOK dan KORUPTOR (2) IKHLAS DAN SYUKUR (1)

Selasa, 21 Mei 2024

PENYEBAB TERJADINYA DOSA, PERBUATAN MAKSIAT DAN KEJAHATAN DALAM KEHIDUPAN MANUSIA (PART 1 of 6)


Perbuatan dosa, perbuatan maksiat dan juga kejahatan yang terjadi di dalam masyarakat tidak serta merta terjadi begitu saja. Kesemuanya terjadi karena adanya faktor yang ada di dalam diri (internal) dan juga adanya faktor luar (eksternal) yang mempengaruhi diri seseorang. Dan dalam konteks masyarakat yang plural seperti di Indonesia, nampaknya pengertian tentang dosa, perbuatan maksiat dan juga kejahatan harus dipahami ulang sehingga tidak menimbulkan salah kaprah dan juga gangguan dalam hubungan sosial antar agama. Dosa selama ini dipahami oleh sebahagian umat Islam sebagai pelanggaran atas aturan-aturan yang telah ditentukan oleh agama.

 

Apa contohnya? Berikut ini akan kami kemukakan ilustrasinya. Jika seseorang tidak melaksana-kan shalat Jum’at, atau shalat lima waktu sebagaimana diwajibkan oleh ajaran Islam, maka ia telah berdosa. Seseorang yang tidak  berpuasa di bulan Ramadhan, dia berdosa. Seseorang yang tidak membayar zakat fitrah, ia berdosa. Seseorang yang menghardik orang-tuanya, ia berdosa. Begitu pula jika seseorang mencuri atau membunuh orang lain, maka ia juga berdosa. Seseorang yang menyerobot tanah tetangganya, ia berdosa. Begitu seterusnya. Pemahaman seperti ini, dalam konteks negara non-agama seperti Indonesia, jelas kurang tepat.

 

Selanjutnya untuk memberikan gambaran yang mudah dan lebih jelas tentang definisi dosa, maksiat dan juga kejahatan. Berikut ini kami kemukakan pengertian dari dosa, perbuatan maksiat dan kejahatan, yaitu:

 

1.    Dosa. Dosa adalah pelanggaran hukum-hukum agama yang sama sekali tidak diatur oleh hukum positif negara. Jika seseorang tidak melaksanakan shalat lima waktu, maka ia berdosa, tetapi ia tidak melanggar hukum negara. Tetapi, jika seseorang mencuri, maka ia  berdosa dan melakukan kejahatan sekaligus. Berdosa karena ia melanggar ketentuan agama (hukum Allah SWT) yang melarang pencurian, tetapi juga kejahatan, karena tindakan mencuri melanggar hukum positif yang ditetapkan oleh negara.

  

2.     Maksiat. Maksiat adalah sebuah kategori yang tidak jauh berbeda dengan dosa, yakni melanggar hukum-hukum agama yang tidak diatur oleh hukum negara. Tetapi maksiat memiliki pengertian yang lebih khusus, yakni pelanggaran hukum agama (hukum Allah SWT) yang bersifat individualistik. Jika seseorang dengki, atau ghibah yakni membicarakan kejelekan orang lain, maka dia melakukan maksiat. Apa contohnya? Jika seseorang melakukan perbuatan syirik atau musyrik  dengan menyekutukan Allah SWT maka ia melakukan maksiat. Jika seseorang melakukan perbuatan riya maka ia melakukan perbuatan maksiat. Jika seseorang memperturutkan ahwanya (hawa nafsunya) maka ia berbuat maksiat. Jika ia bersekutu dengan jin atau syaitan maka ia berbuat maksiat. Jika ia tidak mau melaksanakan tidak mau melaksanakan Diinul Islam secara kaffah maka ia bebuat maksiat. Begitulah seterusnya. Tetapi keseluruhan tindakan itu tidak masuk dalam ketegori kejahatan yang diatur oleh hukum positif yang ditetapkan oleh negara.

 

3.   Kejahatan. Kejahatan adalah tindakan melawan hukum negara. Jika seseorang me-rampok atau korupsi, dia melakukan suatu tindakan yang masuk dalam dua kategori sekaligus: kejahatan, karena melanggar hukum positif negara dan juga perbuatan dosa karena melanggar ketentuan hukum agama, dalam hal ini ketentuan hukum Allah SWT. Tetapi jika seseorang melanggar hukum lalulintas, seperti menerabas marka jalan, maka dia hanya dapat dikatakan melanggar hukum negara, tetapi dia tidak, atau sekurang-kurangnya belum tentu berdosa, sebab dalam agama tak ada ketentuan larangan untuk melanggar marka jalan. Agama sama sekali tak punya aturan khusus mengenai lalulintas, sehingga dengan demikian pelanggar hukum lalulintas tidak bisa disebut berdosa.

 

Begitu pula jika seseorang melakukan pembajakan suatu karya, misalnya menerbitkan sebuah buku karya orang lain tanpa memperoleh hak cipta, maka ia melakukan kejahatan "intellectual property right", tetapi tidak berdosa dalam pandangan agama. Agama, sekurang-kurangnya Islam, tak memiliki aturan khusus mengenai "intellectual property right". Kalaupun ada aturan mengenai itu, paling jauh hanyalah merupakan hasil ijtihad ulama modern. Dalam Al-Quran dan hadits sendiri tak ada aturan yang jelas mengenai hak cipta intelektual.

 

Sekarang kita telah mengetahui tentang pengertian dari dosa, perbuatan maksiat dan juga kejahatan. Timbul pertanyaan apakah dosa, perbuatan maksiat dan juga kejahatan terjadi begitu saja kepada diri manusia? Perbuatan dosa, perbuatan maksiat dan kejahatan tidak datang begitu saja, namun perbuatan-perbuatan itu terjadi karena adanya beberapa sebab sebagaimana akan kami kemukakan di bawah ini:

 

A.     TIDAK MEMILIKI ILMU TENTANG ALLAH SWT.

 

Hal yang pertama yang mempengaruhi seseorang melanggar ketentuan hukum yang mengakibatkan pelanggarnya menjadi wargabinaan adalah masih banyak orang yang tidak memiliki ilmu tentang Allah SWT dengan baik dan benar sehingga banyak pula orang yang tidak paham tentang kehendak (sikap) Allah SWT kepada abd’ (hamba)-Nya yang sekaligus khalifah-Nya di muka bumi ini. Dengan diri kita mampu memahami kehendak (sikap) Allah SWT kepada umat manusia maka patut dan pantaskah kita berseberangan dengan Allah SWT saat hidup di muka bumi ini? 

 

Secara umum kehendak (sikap) Allah SWT kepada abd’ (hamba)-Nya yang juga khalifah-Nya  yang ada di muka bumi ini adalah netral (maksudnya terserah makhluknya mau seperti apa dengan ketentuan yang berlaku di muka bumi sehingga Allah SWT membebaskan makhluknya untuk memilih). Akan tetapi Allah SWT menjadi tidak netral lagi atau berpihak kepada diri kita atau kepada anak keturunan kita sepanjang diri kita mampu beriman dan beramal shaleh atau mampu melaksanakan Diinul Islam secara kaffah, atau selalu berada di dalam kehendak Allah SWT.

 

Inilah kondisi Allah SWT yang berlaku kepada setiap abd’ (hamba)-Nya yang juga khalifah-Nya yang ada di muka bumi, lalu jika ini kondisi dasar Allah SWT kepada abd’ (hamba)-Nya dan juga kepada khalifah-Nya, sekarang mungkinkah Allah SWT ikut campur dengan apa yang dilakukan oleh abd’ (hamba)-Nya yang juga khalifah-Nya sehingga Malaikat mampu mencatat catatan kondisi awal dari Jasmani? Allah SWT selaku pembuat ketentuan menyerahkan kepada diri kita sendiri maukah melaksanakan ketentuan Allah SWT selanjutnya jika kita mau melaksanakan atau tidak mau melaksanakan ketentuan berarti hasil akhir dari perbuatan manusia itulah yang akan dicatat oleh Malaikat.

 

Berikut ini akan kami kemukakan hal-hal yang menegaskan bahwa Allah SWT selaku pembuat ketentuan, penilai ketentuan dan penentu hasil akhir dari ketentuan sehingga Allah SWT sangat netral dengan ketentuan yang telah ditetapkannya sehingga terlihat dengan jelas sikap Allah SWT kepada abd’ (hamba)-Nya yang juga khalifah-Nya di muka bumi, sebagai berikut :

 

1.  Allah SWT Maha Pengasih dan Pengampun. Inilah sikap pertama Allah SWT yaitu Allah SWT sudah menetapkan atas dirinya kasih sayang. Hal ini sebagaimana dikemukakan dalam surat Al An’aam (6) ayat 12 yang kami kemukakan berikut ini: “Katakanlah: “Kepunyaan siapakah apa yang ada di langit dan di bumi?”. Katakanlah: “Kepunyaan Allah”. Dia telah menetapkan atas dirinya kasih sayang. Dia sungguh-sungguh akan menghimpun kamu pada hari kiamat yang tidak ada keraguan terhadapnya. Orang-orang yang merugikan dirinya, mereka itu tidak beriman.” Jika ini kondisi dasar dari Allah SWT selaku pencipta dan pemilik dari rencana besar konsep penghambaan dan juga konsep kekhalifahan di muka bumi serta selaku pembuat ketentuan maka Allah SWT tidak akan mungkin menzhalimi abd’ (hamba)-Nya yang sekaligus khalifah-Nya sendiri di muka bumi ini. Hal ini dikarenakan Allah SWT harus memenuhi janji dan sikapnya tersebut diatas baik kepada manusia dan juga kepada syaitan yang telah disetujui-Nya untuk menggoda dan mengganggu manusia.

 

Jika sekarang Allah SWT sudah mewajibkan atas dirinya sendiri kasih sayang yang tidak lain bagian dari Ar Rahmaan dan Ar Rahiiem yang dimiliki oleh Allah SWT, lalu untuk siapakah  kasih sayang itu? Sebagai pencipta dan pemilik dari konsep pengham-baan dan juga konsep kekhalifahan sudah pasti kasih sayang Allah SWT bukanlah untuk Allah SWT itu sendiri karena Allah SWT sudah maha dan akan maha selamanya. Jika kasih sayang Allah SWT bukan untuk Allah SWT maka kasih sayang Allah SWT pasti untuk makhluk yang diciptakannya sepanjang makhluk itu mau beriman kepada-Nya lalu meminta dan mau menerima kasih sayang Allah SWT.

 

Sekarang apakah kasih sayang Allah SWT yang tidak lain adalah cerminan dari Ar Rahmaan dan Ar Rahiiem yang dimiliki Allah SWT itu hanya untuk segolongan umat saja atau untuk Nabi dan Rasul saja? Kasih sayang Allah SWT pada dasarnya ditujukan untuk seluruh umat manusia, akan tetapi kasih sayang Allah SWT ini hanya akan diberikan sepanjang diri kita mau beriman kepada-Nya lalu mau meminta kasih sayang Allah SWT kepada Allah SWT. Adanya kondisi ini menunjukkan kepada diri kita bahwa Allah SWT tidak akan pernah menganiaya diri umat-Nya. Allah SWT tidak akan pernah menzhalimi diri kita, sepanjang diri kita mau dikasih sayangi oleh Allah SWT. 

 

Saat ini Allah SWT sudah menetapkan dalam diri-Nya kasih sayang maka Allah SWT pasti tidak akan pernah mendzalimi makhluknya. Selanjutnya jika saat ini banyak terjadi kedzaliman atau jika terjadi aniaya terhadap diri sendiri, darimanakah itu semua? Allah SWT menyatakan bahwa yang menganiaya diri sendiri adalah makhluk itu sendiri (di dalam ayat ini yang dicontohkan oleh Allah SWT adalah Nabi Musa a.s). sebagaimana dikemukakan Allah SWT dalam surat Al Qashash (28) ayat 16 berikut ini: “Musa mendo’a: ‘Ya Tuhanku, sesungguhnya aku telah menganiaya diriku sendiri karena itu ampunilah aku”. Maka Allah mengampuninya, sesungguhnya Allah Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” Selanjutnya jika sekarang kita telah menganiaya diri sendiri, apa yang harus kita lakukan? Untuk itu contohlah apa yang telah Nabi Musa a.s lakukan, yaitu mengakui segala kesalahan yang dilanjutkan dengan memohon ampun langsung kepada Allah SWT tanpa harus menungggu nunggu, lakukan sesegera mungkin.

 

Lalu apakah contoh yang telah dilakukan oleh Nabi Musa as, hanya sekedar cerita yang diceritakan kembali oleh Allah SWT? Sebagai abd’ (hamba)-Nya yang juga khalifah-Nya di muka bumi ketahuilah bahwa cerita tentang Nabi Musa as, yang diceritakan kembali oleh Allah SWT di dalam AlQuran bukanlah cerita tanpa maksud dan tujuan yang jelas. Melainkan kita harus bisa seperti Nabi Musa as, yaitu cepat dan lekas meminta ampun kepada Allah SWT setelah melakukan kesalahan atau melakukan perbuatan dosa. Semakin cepat diri kita meminta ampun maka semakin cepat pula Allah SWT mengampuni diri kita, demikian pula sebaliknya. 

 

2.   Allah SWT Tidak Pernah Menganiaya Manusia. Sikap Allah SWT yang ke dua adalah Allah SWT selaku pencipta dan pemilik dari konsep penghambaan dan konsep kekhalifahan di muka bumi dengan tegas menyatakan tidak akan mendzhalimi atau tidak akan menganiaya umat manusia sedikitpun. Sebagaimana dikemukakan dalam surat Yunus (10) ayat 44 yang kami kemukakan di bawah ini, “Sesungguhnya Allah tidak berbuat zalim kepada manusia sedikitpun, akan tetapi manusia itulah yang berbuat zalim kepada diri mereka sendiri.”  Jika ini adalah pernyataan Allah SWT kepada diri kita lalu apakah mungkin Allah SWT tidak konsisten atau apakah Allah SWT akan ingkar janji dengan pernyataannya yang telah dikemukakan-Nya sehingga Allah SWT berbuat zhalim kepada diri kita? Di dalam Ilmu Allah SWT yang sangat maha, dapat dipastikan Allah SWT pasti memenuhi segala apa-apa yang telah dinyatakannya. Adanya kondisi ini maka Allah SWT pasti selalu memberikan kasih sayangNya kepada diri kita, yang menjadi persoalan adalah kita yang akan diberi kasih sayang oleh Allah SWT justru tidak mempercayai Allah SWT sehingga meminta kasih sayang dari selain Allah SWT.

 

Selain daripada itu, sikap Allah SWT yang lainnya adalah Allah SWT tidak pernah menganiaya manusia, hal ini berdasarkan surat Huud (11) ayat 101 yang kami kemukakan berikut ini: “Dan Kami tidaklah menganiaya mereka, tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri, karena itu tiadalah bermanfaat sedikitpun kepada mereka sembahan-sembahan yang mereka seru selain Allah, di waktu azab Tuhanmu datang. Sembahan-sembahan itu tidaklah menambah kepada mereka kecuali kebinasaan.”  Hal ini dikarenakan jika sampai Allah SWT berbuat dzalim kepada manusia untuk apa lagi  Allah SWT memiliki nama Ar Rachman dan Ar Rahhim jika apa yang dilakukan  Allah SWT bertentangan dengan Nama Allah SWT itu sendiri. Hal ini mustahil terjadi dan jika sekarang manusia teraniaya atau mengalami kedzaliman, maka itu semua bukan berasal dari Allah SWT tetapi berasal dari perbuatan atau akibat dari ulah manusia itu sendiri.

 

Sebagai bahan perbandingan, lihatlah polisi. Polisi membuat rambu hati-hati kepada seluruh pemakai jalan, maka jika pemakai jalan tidak mematuhi rambu-rambu tersebut maka apakah polisi dapat begitu saja dipersalahkan karena telah menganiaya atau mendzalimi pemakai jalan? Polisi tidak dapat dipersalahkan, jika pemakai jalan mengalami kecelakaan sepanjang pemakai jalan tidak mau mematuhi rambu-rambu yang telah dibuat oleh pihak kepolisian. Hal yang samapun berlaku pada Allah SWT, yaitu Allah SWT tidak akan pernah mendzalimi manusia sepanjang manusia mau memenuhi segala apa yang telah diperintahkan dan apa yang telah dilarang oleh Allah SWT.

 

Apa yang kami kemukakan di atas, dipertegas kembali oleh Allah SWT melalui firman-Nya yang terdapat di dalam surat An Nisaa’ (4) ayat 40 berikut ini: “Sesungguhnya Allah tidak menganiaya seseorang walaupun sebesar zarrah, dan jika ada kebajikan sebesar zarrah, niscaya Allah akan melipat gandakannya dan memberikan dari sisi-Nya pahala yang besar.” dimana Allah SWT tidak akan pernah menganiaya manusia walaupun hanya sebesar zarrah dan jika Malaikat mampu mencatat merupakan hukum sebab dan akibat dari apa yang dilakukan oleh manusia itu sendiri. Jika hamba tersebut melakukan amal kebaikan maka amal kebaikan beserta pahalanya untuk si hamba tersebut demikian pula sebaliknya jika si hamba tersebut melakukan kejahatan maka hasilnya pun untuk si hamba yang melakukan kejahatan.

 

Hal yang harus kita perhatikan adalah segala sesuatu yang asalnya dari Allah SWT dapat dipastikan mempunyai Nilai-Nilai Ilahiah dan dapat dipastikan tidak akan mencelaka-kan manusia sehingga pasti menghasilkan kebaikan dan jika timbul kezhaliman tidak akan mungkin berasal dari Allah SWT. Sebagai abd’ (hamba)-Nya yang juga khalifah-Nya di muka bumi yakinkan diri bahwa Allah SWT tidak akan pernah menukar atau membohongi diri kita dengan menukar perbuatan baik dengan perbuatan buruk. Yang baik pasti menghasilkan yang baik, yang buruk pasti menghasilkan yang buruk pula sebab inilah Sunnatullah yang pasti berlaku di langit dan di bumi ini sampai dengan kapanpun juga.

 

3.   Allah SWT Tidak Ridha Manusia Menjadi Kafir. Sikap Allah SWT yang ketiga adalah Allah SWT tidak ridha manusia menjadi orang kafir. Hal ini sebagaimana dike-mukakan dalam surat Az Zumar (39) ayat 7 yang kami kemukakan di bawah ini, “Jika Kamu kafir maka sesungguhnya Allah tidak memerlukan (imam)mu dan Dia tidak meridhai kekafiran bagi hamba-Nya; dan jika kamu bersyukur, niscaya Dia meridhai bagimu kesyukuranmu itu; dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. Kemudian kepada Tuhanmulah kembalimu lalu Dia memberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui apa yang tersimpan dalam (dada)mu.”  Hal ini dikarenakan manusia itu sendiri adalah perpanjangan tangan Allah SWT di muka bumi, dan jika manusia adalah perpanjangan tangan  Allah SWT di muka bumi berarti manusia tidak pernah akan pernah diprogram oleh Allah SWT untuk menjadi kafir. Hal ini dikarenakan bertentangan dengan kondisi dasar Allah SWT yang sudah menetapkan dirinya kasih sayang serta manusia di dalam program kekhalifahan di muka bumi pulangnya ke syurga bukan ke neraka.

 

Sekarang lihat diri kita sendiri, dimana di dalam diri kita pasti terdapat ruh yang berasal dari Allah SWT melalui proses peniupan. Adanya kondisi ini maka ruh dapat dipastikan memiliki Nilai-Nilai Ilahiah yang berasal dari Allah SWT yang tidak lain adalah cerminan Asmaul Husna dari Allah SWT itu sendiri.  Di lain sisi setelah ruh ditiupkan ke dalam jasmani atau disatukan dengan jasmani maka Ruhpun sudah mengakui bahwa Allah SWT adalah Tuhannya. Adanya Nilai-Nilai Ilahiah yang terdapat di dalam ruh serta adanya pengakuan ruh kepada Allah SWT, lalu apakah Allah SWT ridha kepada diri kita jika kita kafir?

 

Allah SWT tidak akan pernah ridha kepada makhluknya yang kafir sebab tujuan dari penciptaan manusia adalah untuk dijadikan perpanjangan tangan Allah SWT di muka bumi atau akan dijadikan Wakil Allah SWT di muka bumi. Tanpa adanya Nilai-Nilai Ilahiah bagaimana mungkin manusia dapat menciptakan kasih sayang diantara sesama manusia, atau bagaimana mungkin akan terjadi keamanan dan ketertiban di muka bumi jika Allah SWT meridhai kekafiran terjadi? Kekafiran dapat mendatangkan kehancuran, kekafiran akan dapat menimbrulkan ketidak tentraman serta kebodohan di muka bumi dan jika ini yang terjadi maka kondisi ini paling disukai oleh syaitan sang laknatullah.

 

4.   Allah SWT Tidak Menyukai Manusia Ingkar. Sikap Allah SWT yang ke empat adalah Allah SWT tidak menyukai manusia ingkar. Sebagaimana dikemukakan dalam surat Ar Ruum (30) ayat 45 yang kami kemukakan berikut ini: “Agar Allah memberi pahala kepada orang-orang yang beriman dan beramal saleh dari karuniaNya. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang ingkar.” Kenapa Allah SWT tidak suka kepada orang yang ingkar atau kenapa Allah SWT tidak suka kepada orang tidak menepati janji? Manusia diciptakan oleh  Allah SWT dalam rangka dijadikan abd’ (hamba)-Nya yang sekaligus khalifah-Nya di muka bumi. Untuk dapat menjadi hamba yang sekaligus khalifah-Nya di muka bumi yang sekaligus makhluk pilihan maka dibutuhkan orang-orang yang patuh dan taat kepada Allah SWT sehingga terjadilah keamanan dan ketertiban serta kenyamanan di muka bumi oleh sebab adanya abd’ (hamba)-Nya yang juga khalifah-Nya yang tidak ingkar terhadap tugasnya di muka bumi.

 

Tanpa adanya kepatuhan dan ketaatan yang dimiliki oleh manusia sebagai perpanjangan tangan Allah SWT di muka bumi, dapatkah ketentraman dan ketertiban terjadi jika orang yang menjadi khalifah di muka bumi adalah orang yang ingkar atau orang yang selalu ingkar janji? Seorang abd’ (hamba) yang sekaligus khalifah yang sesuai dengan kehendak Allah SWT dapat dipastikan  memiliki kejujuran dan selalu menepati janjinya. Sekarang jika Allah SWT sudah menyatakan tidak suka terhadap manusia yang ingkar, kenapa masih ada manusia yang suka berbuat ingkar? Hal ini bisa terjadi karena pengaruh ahwa (hawa nafsu) dan juga karena pengaruh buruk atau terperdaya oleh gangguan dan bisikan syaitan yang terkutuk.

 

5.     Allah SWT Tidak Pernah Memerintahkan Manusia Mengerjakan Kejahatan. si-kap Allah SWT yang ke lima adalah Allah SWT tidak pernah memerintahkan manusia mengerjakan kejahatan. Sebagaimana dikemukakan dalam surat Al A’raaf (7) ayat 28 yang kami kemukakan di bawah ini, “Dan apabila mereka melakukan perbuatan keji, mereka berkata: “Kami mendapati nenek moyang kami mengerjakan yang demikian itu, dan Allah menyuruh kami mengerjakannya. Katakanlah: “Sesungguhnya Allah tidak menyuruh (mengerjakan) perbuatan yang keji.” Mengapa kamu mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui?”  Hal ini terlihat dengan tidak ada satupun kehendak Allah SWT yang  memerintahkan manusia untuk mengerjakan kejahatan atau menyuruh manusia untuk berbuat kejahatan di muka bumi ini.

 

Dan jika saat ini manusia melakukan kejahatan atau jika saat ini banyak terjadi kejahatan, dapat dipastikan bukan berasal dari perintah Allah SWT melainkan akibat ahwa (hawa nafsu) dan juga pengaruh buruk dari syaitan sang laknatullah. Selanjutnya jika sampai Allah SWT memerintahkan manusia berbuat kejahatan di muka bumi, hal ini sangat bertentangan dengan isi surat An Nisaa (4) ayat 40 di atas yang menyatakan bahwa Allah SWT tidak pernah sekalipun mendzalimi manusia walaupun hanya sebesar jarrah. Adanya kejahatan di muka bumi sangat dikehendaki oleh syaitan sang laknatullah karena dengan adanya kejahatan pasti akan menjadikan seseorang menjadi calon penghuni neraka dan inilah yang dinantikan oleh syaitan karena ia memperoleh teman untuk hidup berdampingan di neraka.

 

6.    Allah SWT Tidak Menghinakan Manusia. Sikap Allah SWT yang ke enam ada-lah Allah SWT tidak pernah menghinakan manusia. Sebagaimana dikemukakan dalam surat Al Fajr (89) ayat 16 berikut ini: “Adapun bila Tuhannya mengujinya lalu membatasi rizkinya Maka Dia berkata: "Tuhanku menghinakanku"[1575]. (surat Al Fajr (89) ayat 16).” Allah SWT justru sejak awal menciptakan manusia sudah menempatkan manusia sebagai makhluk yang terhormat.

 

[1575] Maksudnya: ialah Allah menyalahkan orang-orang yang mengatakan bahwa kekayaan itu adalah suatu kemuliaan dan kemiskinan adalah suatu kehinaan seperti yang tersebut pada ayat 15 dan 16. tetapi sebenarnya kekayaan dan kemiskinan adalah ujian Tuhan bagi hamba-hamba-Nya.

 

Dan ini berarti kehinaan bukanlah sesuatu yang berasal dari Allah SWT, akan tetapi sesuatu yang berasal dari diri kita sendiri yang tidak bisa memenuhi kriteria yang telah ditetapkan oleh Allah SWT. Dan agar diri kita tidak dihinakan oleh Allah SWT maka kita harus mematuhi segala ketentuan Allah SWT seperti tidak berlebihan mencintai harta benda atau kekayaan yang kita miliki, tetapi karena manusia tamak dan rakus tetap melakukan apa yang dilarang oleh Allah SWT sehingga pada saat harta benda tersebut hilang lalu berburuk sangka kepada Allah SWT dengan berkata Allah SWT telah menghinakanku, sebagaimana dikemukakan dalam surat Al Fajr (89) ayat 20 yang kami kemukakan berikut ini: “dan kamu mencintai harta benda dengan kecintaan yang berlebihan. (surat Al Fajr (89) ayat 20). 

 

Di lain sisi, hal yang harus kita perhatikan adalah kedudukan dan kebesaran Allah SWT menurut persangkaan hamba-Nya kepada-Nya dan jika sangka hamba-Nya baik maka baiklah Allah SWT demikian pula sebaliknya. Sekarang jika sampai Allah SWT disangka menghinakan hamba-Nya yang sekaligus khalifah-Nya di muka bumi maka itulah yang diterima oleh hamba tersebut. Untuk itu berhati-hatilah dengan prasangka karena dengan prasangka mampu menjadikan diri kita sukses dan juga bisa menghinakan diri kita dihadapan Allah SWT.

 

7.  Allah SWT Selalu Menyeru Manusia Untuk Selalu Ke dalam Nur-Nya. Sikap Allah SWT yang ke tujuh adalah Allah SWT selalu menyeru manusia untuk selalu masuk ke dalam Nur-Nya. Sebagaimana dikemukakan dalam surat An Nuur (24) ayat 35 yang kami kemukakan berikut ini:“Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah, adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang didalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang banyak berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat(nya), yang minyaknya (saja) hamper-hampir menerangi, walaupun tidak di sentuh api. Cahaya diatas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahayaNya siapa yang Di kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” Untuk apa Allah SWT selalu memerintahkan manusia untuk selalu berada di dalam Nur-Nya? Manusia sebagai perpanjangan tangan Allah SWT di muka bumi tidak tentu akan mungkin bisa dipisahkan dengan Allah SWT selaku pengutus dari diri kita. Jika sampai diri kita berpisah dengan Allah SWT berarti telah terjadi sebuah kesalahan besar dalam diri kita. 

 

Di lain sisi, saat diri kita melaksanakan tugas di muka bumi, maka kita tidak akan mungkin bisa melepaskan diri dari pengaruh ahwa (hawa nafsu) dan juga syaitan. Dimana ahwa (hawa nafsu) dan syaitan itu sendiri keberadaannya juga dikehendaki oleh Allah SWT serta hanya Allah SWT sajalah yang paling tahu dan yang paling ahli tentang ahwa (hawa nafsu) dan juga syaitan.

 

Sekarang bertanyalah kepada diri sendiri dengan jujur, mampukah kita seorang diri mengalahkan ahwa (hawa nafsu) dan juga mampukah kita seorang diri mengalahkan syaitan yang jumlahnya sudah melebihi jumlah manusia? Hal yang harus kita jadikan pedoman adalah setiap manusia, siapapun orangnya, apapun kedudukannya, apapun jabatannya, tidak akan mungkin dapat mengalahkan ahwa (hawa nafsu) dan syaitan seorang diri serta manusia tidak akan mungkin dapat menyelesaikan segala persoalan dan problem saat menjadi abd’ (hamba)-Nya yang juga khalifah-Nya di muka bumi seorang diri karena kita memiliki keterbatasan.

 

Adanya keterbatasan kemampuan saat menghadapi ahwa (hawa nafsu) serta syaitan dan juga saat menghadapi problematika hidup, maka kita membutuhkan sesuatu yang melebihi kemampuan diri kita. Sekarang siapakah yang mampu membantu diri kita? Jika kita berpedoman bahwa ahwa (hawa nafsu) dan juga syaitan juga diciptakan oleh Allah SWT maka hanya kepada Allah SWT sajalah kita meminta bantuan. Dan jika sekarang Allah SWT menyeru kepada diri kita untuk selalu masuk ke dalam Nur-Nya berarti Allah SWT selaku pencipta diri kita sudah menyatakan kesanggupannya untuk menolong diri kita.

 

Akhirnya semuanya terpulang kepada diri kita sendiri maukah ditolong oleh Allah SWT melalui Nur-Nya Allah SWT? Adanya Adanya Nur yang diterima dari Allah SWT kepada diri kita manusia melalui hati Ruhani, atau adanya sambungan langsung melalui doa yang kita panjatkan, maka manusia yang menjadi  abd’ (hamba)-Nya yang juga khalifah-Nya di muka bumi akan menjadi tenang, tenteram dan selalu dalam lindungan-Nya dan selanjutnya kemudahanlah yang diterima manusia tersebut di dalam menjalankan fungsi kekhalifahannya di muka bumi.

 

8.   Allah SWT Sangat Sayang Kepada Manusia. Sikap Allah SWT yang ke delapan adalah Allah SWT sangat sayang kepada manusia. Sebagaimana dikemukakan dalam  surat Al An’aam (6) ayat 54 yang kami kemukakan berikut ini: “Apabila orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat Kami datang kepadamu, maka katakanlah: “Salaamun-alaikum. Tuhanmu telah menetapkan atas diriNya kasih sayang, (yaitu) bahwasanya barangsiapa yang berbuat kejahatan di antara kamu lantaran kejahilan, kemudian ia bertaubat setelah mengerjakannya dan mengadakan perbaikan, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” Jika Allah SWT sudah menyatakan hal ini kepada diri kita, lalu apakah kasih sayang Allah SWT yang sudah ditujukan untuk kita lalu kita biarkan begitu saja tanpa kesan seolah-olah pernyataan Allah SWT tidak ada?

 

Allah SWT adalah Tuhan yang selalu siap menepati janjinya dan jika sekarang Allah SWT telah menyatakan atas diri-Nya kasih sayang maka patutkah dan pantaskah Allah SWT melanggar janjinya untuk tidak mengasihi dan menyayangi manusia? Adalah sebuah pelanggaran besar jika Allah SWT tidak dapat menepati janjinya untuk memberikan kasih sayang kepada manusia. Salah satu bukti nyata bahwa Allah SWT itu telah menetapkan kasih sayang di dalam diri-Nya maka walaupun manusia telah berbuat dosa sepanjang dosa itu bukan dosa syirik ataupun musyrik maka sepanjang manusia itu mau bertaubat maka Allah SWT pasti akan mengampuninya. Adanya kondisi ini masih tidak cukupkah manusia diberikan penjelasan seperti ini. 

 

9.     Allah SWT Selalu Membalas Sesuai Dengan Amal Seseorang. Sikap Allah SWT yang ke sembilan adalah Allah SWT adalah Tuhan  yang Adil dan Tuhan yang bersikap netral kepada setiap hambanya. Hal ini sebagaimana dikemukakan dalam surat Az Zumar (39) ayat 70 berikut ini: “Dan disempurnakan bagi tiap-tiap jiwa (balasan) apa yang telah dikerjakannya dan Dia lebih mengetahui apa yang mereka kerjakan.” dan juga berdasarkan surat Fushshilat (41) ayat 46 yang kami kemukakan berikut ini: “Barangsiapa yang mengerjakan amal yang saleh maka (pahalanya) untuk dirinya sendiri dan barangsiapa yang berbuat jahat maka (dosanya) atas dirinya sendiri; dan sekali-kali tidaklah Tuhanmu menganiaya hamba-hamba(Nya).”  Hal ini dibuktikan dengan Allah SWT selalu memberi balasan pahala sesuai dengan amal seseorang. Dan Allah SWT siap memberikan pahala kepada setiap manusia yang berbuat  baik dan memberikan hukuman kepada hambanya yang berbuat jahat ataupun berbuat dosa. Namun jika kita ingin bertaubat Allah SWT pun masih memberikan kesempatan kepada kita sepanjang ruh belum berpisah dengan jasmani.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar