Perbuatan
dosa, perbuatan maksiat dan juga kejahatan yang terjadi di dalam masyarakat
tidak serta merta terjadi begitu saja. Kesemuanya terjadi karena adanya faktor
yang ada di dalam diri (internal) dan juga adanya faktor luar (eksternal) yang
mempengaruhi diri seseorang. Dan dalam konteks masyarakat yang plural seperti
di Indonesia, nampaknya pengertian tentang dosa, perbuatan maksiat dan juga kejahatan
harus dipahami ulang sehingga tidak menimbulkan salah kaprah dan juga gangguan
dalam hubungan sosial antar agama. Dosa selama ini dipahami oleh
sebahagian umat Islam sebagai pelanggaran atas aturan-aturan yang telah
ditentukan oleh agama.
Apa contohnya? Berikut ini akan
kami kemukakan ilustrasinya. Jika seseorang tidak melaksana-kan shalat Jum’at,
atau shalat lima waktu sebagaimana diwajibkan oleh ajaran Islam, maka ia telah
berdosa. Seseorang yang tidak berpuasa
di bulan Ramadhan, dia berdosa. Seseorang yang tidak membayar zakat fitrah, ia
berdosa. Seseorang yang menghardik orang-tuanya, ia berdosa. Begitu pula jika
seseorang mencuri atau membunuh orang lain, maka ia juga berdosa. Seseorang
yang menyerobot tanah tetangganya, ia berdosa. Begitu seterusnya. Pemahaman
seperti ini, dalam konteks negara non-agama seperti Indonesia, jelas kurang
tepat.
Selanjutnya untuk memberikan gambaran
yang mudah dan lebih jelas tentang definisi dosa, maksiat dan juga kejahatan. Berikut
ini kami kemukakan pengertian dari dosa, perbuatan maksiat dan kejahatan,
yaitu:
1. Dosa. Dosa
adalah pelanggaran hukum-hukum agama yang sama sekali tidak diatur oleh
hukum positif negara. Jika seseorang tidak melaksanakan shalat lima waktu, maka
ia berdosa, tetapi ia tidak melanggar hukum negara. Tetapi, jika seseorang
mencuri, maka ia berdosa dan
melakukan kejahatan sekaligus. Berdosa karena ia melanggar
ketentuan agama (hukum Allah SWT) yang melarang pencurian, tetapi juga kejahatan, karena tindakan mencuri
melanggar hukum positif yang ditetapkan oleh negara.
2. Maksiat. Maksiat adalah sebuah
kategori yang tidak jauh berbeda dengan dosa, yakni melanggar hukum-hukum agama
yang tidak diatur oleh hukum negara. Tetapi maksiat memiliki pengertian yang
lebih khusus, yakni pelanggaran hukum agama (hukum Allah SWT) yang bersifat
individualistik. Jika seseorang dengki, atau ghibah yakni membicarakan
kejelekan orang lain, maka dia melakukan maksiat. Apa contohnya? Jika seseorang
melakukan perbuatan syirik atau musyrik
dengan menyekutukan Allah SWT maka ia melakukan maksiat. Jika seseorang
melakukan perbuatan riya maka ia melakukan perbuatan maksiat. Jika seseorang
memperturutkan ahwanya (hawa nafsunya) maka ia berbuat maksiat. Jika ia
bersekutu dengan jin atau syaitan maka ia berbuat maksiat. Jika ia tidak mau
melaksanakan tidak mau melaksanakan Diinul Islam secara kaffah maka ia bebuat
maksiat. Begitulah seterusnya. Tetapi keseluruhan tindakan itu tidak masuk
dalam ketegori kejahatan yang diatur oleh hukum positif yang ditetapkan oleh negara.
3. Kejahatan.
Kejahatan adalah tindakan melawan hukum negara. Jika seseorang
me-rampok atau korupsi, dia melakukan suatu tindakan yang masuk dalam dua
kategori sekaligus: kejahatan, karena melanggar hukum positif negara dan juga
perbuatan dosa karena melanggar ketentuan hukum agama, dalam hal ini ketentuan
hukum Allah SWT. Tetapi jika seseorang melanggar hukum lalulintas, seperti
menerabas marka jalan, maka dia hanya dapat dikatakan melanggar hukum negara,
tetapi dia tidak, atau sekurang-kurangnya belum tentu berdosa, sebab dalam
agama tak ada ketentuan larangan untuk melanggar marka jalan. Agama sama sekali
tak punya aturan khusus mengenai lalulintas, sehingga dengan demikian pelanggar
hukum lalulintas tidak bisa disebut berdosa.
Begitu pula jika seseorang melakukan pembajakan suatu karya,
misalnya menerbitkan sebuah buku karya orang lain tanpa memperoleh hak cipta,
maka ia melakukan kejahatan "intellectual
property right", tetapi tidak berdosa dalam pandangan agama. Agama,
sekurang-kurangnya Islam, tak memiliki aturan khusus mengenai "intellectual property right". Kalaupun
ada aturan mengenai itu, paling jauh hanyalah merupakan hasil ijtihad ulama
modern. Dalam Al-Quran dan hadits sendiri tak ada aturan yang jelas mengenai
hak cipta intelektual.
Sekarang kita telah
mengetahui tentang pengertian dari dosa, perbuatan maksiat dan juga kejahatan.
Timbul pertanyaan apakah dosa, perbuatan maksiat dan juga kejahatan terjadi
begitu saja kepada diri manusia? Perbuatan dosa, perbuatan maksiat dan
kejahatan tidak datang begitu saja, namun perbuatan-perbuatan itu terjadi karena
adanya beberapa sebab sebagaimana akan kami kemukakan di bawah ini:
A. TIDAK MEMILIKI ILMU TENTANG ALLAH SWT.
Hal yang pertama yang
mempengaruhi seseorang melanggar ketentuan hukum yang mengakibatkan
pelanggarnya menjadi wargabinaan adalah masih banyak orang yang tidak memiliki
ilmu tentang Allah SWT dengan baik dan benar sehingga banyak pula orang yang
tidak paham tentang kehendak (sikap) Allah SWT kepada abd’ (hamba)-Nya yang
sekaligus khalifah-Nya di muka bumi ini. Dengan diri kita mampu memahami
kehendak (sikap) Allah SWT kepada umat manusia maka patut dan pantaskah kita
berseberangan dengan Allah SWT saat hidup di muka bumi ini?
Secara umum kehendak
(sikap) Allah SWT kepada abd’ (hamba)-Nya yang juga khalifah-Nya yang ada di muka bumi ini adalah netral
(maksudnya terserah makhluknya mau seperti apa dengan ketentuan yang berlaku di
muka bumi sehingga Allah SWT membebaskan makhluknya untuk memilih). Akan tetapi
Allah SWT menjadi tidak netral lagi atau berpihak kepada diri kita atau kepada
anak keturunan kita sepanjang diri kita mampu beriman dan beramal shaleh atau
mampu melaksanakan Diinul Islam secara kaffah, atau selalu berada di dalam
kehendak Allah SWT.
Inilah kondisi Allah
SWT yang berlaku kepada setiap abd’ (hamba)-Nya yang juga khalifah-Nya yang ada
di muka bumi, lalu jika ini kondisi dasar Allah SWT kepada abd’ (hamba)-Nya dan
juga kepada khalifah-Nya, sekarang mungkinkah Allah SWT ikut campur dengan apa
yang dilakukan oleh abd’ (hamba)-Nya yang juga khalifah-Nya sehingga Malaikat
mampu mencatat catatan kondisi awal dari Jasmani? Allah SWT selaku pembuat
ketentuan menyerahkan kepada diri kita sendiri maukah melaksanakan ketentuan Allah
SWT selanjutnya jika kita mau melaksanakan atau tidak mau melaksanakan
ketentuan berarti hasil akhir dari perbuatan manusia itulah yang akan dicatat
oleh Malaikat.
Berikut ini akan kami
kemukakan hal-hal yang menegaskan bahwa Allah SWT selaku pembuat ketentuan,
penilai ketentuan dan penentu hasil akhir dari ketentuan sehingga Allah SWT
sangat netral dengan ketentuan yang telah ditetapkannya sehingga terlihat
dengan jelas sikap Allah SWT kepada abd’ (hamba)-Nya yang juga khalifah-Nya di
muka bumi, sebagai berikut :
1. Allah SWT Maha
Pengasih dan Pengampun. Inilah sikap pertama Allah SWT yaitu Allah SWT sudah
menetapkan atas dirinya kasih sayang. Hal ini sebagaimana dikemukakan dalam
surat Al An’aam (6) ayat 12 yang kami kemukakan berikut ini: “Katakanlah: “Kepunyaan siapakah apa yang ada di langit dan di bumi?”.
Katakanlah: “Kepunyaan Allah”. Dia telah menetapkan atas dirinya kasih sayang.
Dia sungguh-sungguh akan menghimpun kamu pada hari kiamat yang tidak ada
keraguan terhadapnya. Orang-orang yang merugikan dirinya, mereka itu tidak
beriman.” Jika
ini kondisi dasar dari Allah SWT selaku pencipta dan pemilik dari rencana besar
konsep penghambaan dan juga konsep kekhalifahan di muka bumi serta selaku
pembuat ketentuan maka Allah SWT tidak akan mungkin menzhalimi abd’ (hamba)-Nya
yang sekaligus khalifah-Nya sendiri di muka bumi ini. Hal ini dikarenakan Allah
SWT harus memenuhi janji dan sikapnya tersebut diatas baik kepada manusia dan
juga kepada syaitan yang telah disetujui-Nya untuk menggoda dan mengganggu
manusia.
Jika sekarang Allah SWT sudah mewajibkan atas
dirinya sendiri kasih sayang yang tidak lain bagian dari Ar Rahmaan dan Ar
Rahiiem yang dimiliki oleh Allah SWT, lalu untuk siapakah kasih sayang itu? Sebagai pencipta dan
pemilik dari konsep pengham-baan dan juga konsep kekhalifahan sudah pasti kasih
sayang Allah SWT bukanlah untuk Allah SWT itu sendiri karena Allah SWT sudah
maha dan akan maha selamanya. Jika kasih sayang Allah SWT bukan untuk Allah SWT
maka kasih sayang Allah SWT pasti untuk makhluk yang diciptakannya sepanjang
makhluk itu mau beriman kepada-Nya lalu meminta dan mau menerima kasih sayang
Allah SWT.
Sekarang apakah kasih
sayang Allah SWT yang tidak lain adalah cerminan dari Ar Rahmaan dan Ar Rahiiem
yang dimiliki Allah SWT itu hanya untuk segolongan umat saja atau untuk Nabi
dan Rasul saja?
Kasih sayang Allah SWT pada dasarnya ditujukan untuk seluruh umat manusia, akan
tetapi kasih sayang Allah SWT ini hanya akan diberikan sepanjang diri kita mau beriman
kepada-Nya lalu mau meminta kasih sayang Allah SWT kepada Allah SWT. Adanya kondisi ini
menunjukkan kepada diri kita bahwa Allah SWT tidak akan pernah menganiaya diri
umat-Nya. Allah SWT tidak akan pernah menzhalimi diri kita, sepanjang diri kita
mau dikasih sayangi oleh Allah SWT.
Saat
ini Allah SWT sudah menetapkan dalam diri-Nya kasih sayang maka Allah SWT pasti
tidak akan pernah mendzalimi makhluknya. Selanjutnya jika saat ini banyak
terjadi kedzaliman atau jika terjadi aniaya terhadap diri sendiri, darimanakah
itu semua? Allah
SWT menyatakan bahwa yang menganiaya diri sendiri adalah makhluk itu sendiri
(di dalam ayat ini yang dicontohkan oleh Allah SWT adalah Nabi Musa a.s).
sebagaimana dikemukakan Allah SWT dalam surat Al Qashash (28) ayat 16 berikut ini: “Musa mendo’a: ‘Ya Tuhanku, sesungguhnya aku telah menganiaya diriku
sendiri karena itu ampunilah aku”. Maka Allah mengampuninya, sesungguhnya Allah
Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” Selanjutnya jika
sekarang kita telah menganiaya diri sendiri, apa yang harus kita lakukan? Untuk
itu contohlah apa yang telah Nabi Musa a.s lakukan, yaitu mengakui segala
kesalahan yang dilanjutkan dengan memohon ampun langsung kepada Allah SWT tanpa
harus menungggu nunggu, lakukan sesegera mungkin.
Lalu apakah contoh yang telah
dilakukan oleh Nabi Musa as, hanya sekedar cerita yang diceritakan kembali oleh
Allah SWT? Sebagai
abd’ (hamba)-Nya yang juga khalifah-Nya di muka bumi ketahuilah bahwa cerita
tentang Nabi Musa as, yang diceritakan kembali oleh Allah SWT di dalam AlQuran bukanlah
cerita tanpa maksud dan tujuan yang jelas. Melainkan kita harus bisa seperti
Nabi Musa as, yaitu cepat dan lekas meminta ampun kepada Allah SWT setelah
melakukan kesalahan atau melakukan perbuatan dosa. Semakin cepat diri kita
meminta ampun maka semakin cepat pula Allah SWT mengampuni diri kita, demikian
pula sebaliknya.
2. Allah SWT Tidak
Pernah Menganiaya Manusia. Sikap Allah SWT yang ke dua adalah Allah SWT selaku
pencipta dan pemilik dari konsep penghambaan dan konsep kekhalifahan di muka
bumi dengan tegas menyatakan tidak akan mendzhalimi atau tidak akan menganiaya umat
manusia sedikitpun. Sebagaimana dikemukakan dalam surat Yunus (10) ayat 44 yang
kami kemukakan di bawah ini, “Sesungguhnya Allah tidak berbuat zalim kepada manusia sedikitpun, akan
tetapi manusia itulah yang berbuat zalim kepada diri mereka sendiri.” Jika ini adalah pernyataan Allah SWT kepada
diri kita lalu apakah mungkin Allah SWT tidak konsisten atau apakah Allah SWT
akan ingkar janji dengan pernyataannya yang telah dikemukakan-Nya sehingga
Allah SWT berbuat zhalim kepada diri kita? Di
dalam Ilmu Allah SWT yang sangat maha, dapat dipastikan Allah SWT pasti
memenuhi segala apa-apa yang telah dinyatakannya. Adanya kondisi ini maka
Allah SWT pasti selalu memberikan kasih sayangNya kepada diri kita, yang
menjadi persoalan adalah kita yang akan diberi kasih sayang oleh Allah SWT
justru tidak mempercayai Allah SWT sehingga meminta kasih sayang dari selain
Allah SWT.
Selain
daripada itu, sikap Allah SWT yang lainnya adalah Allah SWT tidak pernah
menganiaya manusia, hal ini berdasarkan surat Huud (11) ayat 101 yang kami
kemukakan berikut ini: “Dan Kami tidaklah
menganiaya mereka, tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri, karena
itu tiadalah bermanfaat sedikitpun kepada mereka sembahan-sembahan yang mereka
seru selain Allah, di waktu azab Tuhanmu datang. Sembahan-sembahan itu tidaklah
menambah kepada mereka kecuali kebinasaan.” Hal ini dikarenakan jika sampai Allah SWT berbuat dzalim
kepada manusia untuk apa lagi Allah SWT
memiliki nama Ar Rachman dan Ar Rahhim jika apa yang dilakukan Allah SWT bertentangan dengan Nama Allah SWT
itu sendiri. Hal ini mustahil terjadi dan jika sekarang manusia
teraniaya atau mengalami kedzaliman, maka itu semua bukan berasal dari Allah
SWT tetapi berasal dari perbuatan atau akibat dari ulah manusia itu sendiri.
Sebagai
bahan perbandingan, lihatlah polisi. Polisi membuat rambu hati-hati kepada seluruh
pemakai jalan, maka jika pemakai jalan tidak mematuhi rambu-rambu tersebut maka
apakah polisi dapat begitu saja dipersalahkan karena telah menganiaya atau mendzalimi
pemakai jalan? Polisi tidak dapat dipersalahkan, jika pemakai
jalan mengalami kecelakaan sepanjang pemakai jalan tidak mau mematuhi
rambu-rambu yang telah dibuat oleh pihak kepolisian. Hal yang samapun berlaku
pada Allah SWT, yaitu Allah SWT tidak akan pernah mendzalimi manusia sepanjang
manusia mau memenuhi segala apa yang telah diperintahkan dan apa yang telah
dilarang oleh Allah SWT.
Apa
yang kami kemukakan di atas, dipertegas kembali oleh Allah SWT melalui
firman-Nya yang terdapat di dalam surat An Nisaa’ (4) ayat 40 berikut ini: “Sesungguhnya Allah tidak menganiaya seseorang walaupun sebesar zarrah,
dan jika ada kebajikan sebesar zarrah, niscaya Allah akan melipat gandakannya
dan memberikan dari sisi-Nya pahala yang besar.” dimana Allah SWT
tidak akan pernah menganiaya manusia walaupun hanya sebesar zarrah dan jika
Malaikat mampu mencatat merupakan hukum sebab dan akibat dari apa yang
dilakukan oleh manusia itu sendiri. Jika hamba tersebut melakukan amal kebaikan
maka amal kebaikan beserta pahalanya untuk si hamba tersebut demikian pula
sebaliknya jika si hamba tersebut melakukan kejahatan maka hasilnya pun untuk
si hamba yang melakukan kejahatan.
Hal
yang harus kita perhatikan adalah segala sesuatu yang asalnya dari Allah SWT
dapat dipastikan mempunyai Nilai-Nilai Ilahiah dan dapat dipastikan tidak akan
mencelaka-kan manusia sehingga pasti menghasilkan kebaikan dan jika timbul
kezhaliman tidak akan mungkin berasal dari Allah SWT. Sebagai abd’ (hamba)-Nya yang juga khalifah-Nya di muka bumi yakinkan
diri bahwa Allah SWT tidak akan pernah menukar atau membohongi diri kita dengan
menukar perbuatan baik dengan perbuatan buruk. Yang baik pasti menghasilkan yang baik, yang buruk pasti menghasilkan
yang buruk pula sebab inilah Sunnatullah yang pasti berlaku di langit dan di
bumi ini sampai dengan kapanpun juga.
3. Allah SWT Tidak Ridha Manusia Menjadi Kafir. Sikap
Allah SWT yang ketiga adalah Allah SWT tidak ridha manusia menjadi orang kafir.
Hal ini sebagaimana dike-mukakan dalam surat Az Zumar (39) ayat 7 yang kami
kemukakan di bawah ini, “Jika Kamu kafir maka
sesungguhnya Allah tidak memerlukan (imam)mu dan Dia tidak meridhai kekafiran
bagi hamba-Nya; dan jika kamu bersyukur, niscaya Dia meridhai bagimu
kesyukuranmu itu; dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain.
Kemudian kepada Tuhanmulah kembalimu lalu Dia memberitakan kepadamu apa yang
telah kamu kerjakan. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui apa yang tersimpan dalam
(dada)mu.” Hal ini dikarenakan manusia itu sendiri adalah
perpanjangan tangan Allah SWT di muka bumi, dan jika manusia adalah
perpanjangan tangan Allah SWT di muka
bumi berarti manusia tidak pernah akan pernah diprogram oleh Allah SWT untuk
menjadi kafir. Hal ini dikarenakan bertentangan dengan kondisi dasar Allah SWT
yang sudah menetapkan dirinya kasih sayang serta manusia di dalam program
kekhalifahan di muka bumi pulangnya ke syurga bukan ke neraka.
Sekarang lihat diri kita sendiri, dimana di dalam diri kita
pasti terdapat ruh yang berasal dari Allah SWT melalui proses peniupan. Adanya
kondisi ini maka ruh dapat dipastikan memiliki Nilai-Nilai Ilahiah yang berasal
dari Allah SWT yang tidak lain adalah cerminan Asmaul Husna dari Allah SWT itu
sendiri. Di lain sisi setelah ruh
ditiupkan ke dalam jasmani atau disatukan dengan jasmani maka Ruhpun sudah
mengakui bahwa Allah SWT adalah Tuhannya. Adanya Nilai-Nilai Ilahiah yang
terdapat di dalam ruh serta adanya pengakuan ruh kepada Allah SWT, lalu apakah
Allah SWT ridha kepada diri kita jika kita kafir?
Allah
SWT tidak akan pernah ridha kepada makhluknya yang kafir sebab tujuan dari
penciptaan manusia adalah untuk dijadikan perpanjangan tangan Allah SWT di muka
bumi atau akan dijadikan Wakil Allah SWT di muka bumi. Tanpa adanya Nilai-Nilai Ilahiah bagaimana
mungkin manusia dapat menciptakan kasih sayang diantara sesama manusia, atau
bagaimana mungkin akan terjadi keamanan dan ketertiban di muka bumi jika Allah
SWT meridhai kekafiran terjadi? Kekafiran dapat mendatangkan
kehancuran, kekafiran akan dapat menimbrulkan ketidak tentraman serta kebodohan
di muka bumi dan jika ini yang terjadi maka kondisi ini paling disukai oleh syaitan
sang laknatullah.
4. Allah SWT Tidak Menyukai Manusia Ingkar. Sikap Allah SWT yang
ke empat adalah Allah SWT tidak menyukai manusia ingkar. Sebagaimana
dikemukakan dalam surat Ar Ruum (30) ayat 45 yang kami kemukakan berikut ini: “Agar Allah memberi pahala kepada orang-orang yang beriman dan beramal
saleh dari karuniaNya. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang
ingkar.” Kenapa
Allah SWT tidak suka kepada orang yang ingkar atau kenapa Allah SWT tidak suka
kepada orang tidak menepati janji? Manusia diciptakan oleh Allah SWT dalam rangka dijadikan abd’
(hamba)-Nya yang sekaligus khalifah-Nya di muka bumi. Untuk dapat menjadi hamba
yang sekaligus khalifah-Nya di muka bumi yang sekaligus makhluk pilihan maka
dibutuhkan orang-orang yang patuh dan taat kepada Allah SWT sehingga terjadilah
keamanan dan ketertiban serta kenyamanan di muka bumi oleh sebab adanya abd’
(hamba)-Nya yang juga khalifah-Nya yang tidak ingkar terhadap tugasnya di muka
bumi.
Tanpa adanya
kepatuhan dan ketaatan yang dimiliki oleh manusia sebagai perpanjangan tangan
Allah SWT di muka bumi, dapatkah ketentraman dan ketertiban terjadi jika orang
yang menjadi khalifah di muka bumi adalah orang yang ingkar atau orang yang
selalu ingkar janji?
Seorang abd’ (hamba) yang sekaligus khalifah yang sesuai dengan kehendak Allah
SWT dapat dipastikan memiliki kejujuran
dan selalu menepati janjinya. Sekarang jika Allah SWT sudah menyatakan tidak
suka terhadap manusia yang ingkar, kenapa masih ada manusia yang suka berbuat
ingkar? Hal ini bisa terjadi karena pengaruh ahwa (hawa nafsu) dan juga karena
pengaruh buruk atau terperdaya oleh gangguan dan bisikan syaitan yang terkutuk.
5. Allah SWT Tidak Pernah Memerintahkan Manusia Mengerjakan
Kejahatan. si-kap
Allah SWT yang ke lima adalah Allah SWT tidak pernah memerintahkan manusia
mengerjakan kejahatan. Sebagaimana dikemukakan dalam surat Al A’raaf (7) ayat
28 yang kami kemukakan di bawah ini, “Dan apabila
mereka melakukan perbuatan keji, mereka berkata: “Kami mendapati nenek moyang
kami mengerjakan yang demikian itu, dan Allah menyuruh kami mengerjakannya.
Katakanlah: “Sesungguhnya Allah tidak menyuruh (mengerjakan) perbuatan yang
keji.” Mengapa kamu mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui?”
Hal ini terlihat dengan tidak ada satupun
kehendak Allah SWT yang memerintahkan
manusia untuk mengerjakan kejahatan atau menyuruh manusia untuk berbuat
kejahatan di muka bumi ini.
Dan jika saat ini
manusia melakukan kejahatan atau jika saat ini banyak terjadi kejahatan, dapat
dipastikan bukan berasal dari perintah Allah SWT melainkan akibat ahwa (hawa
nafsu) dan juga pengaruh buruk dari syaitan sang laknatullah. Selanjutnya jika
sampai Allah SWT memerintahkan manusia berbuat kejahatan di muka bumi, hal ini
sangat bertentangan dengan isi surat An Nisaa (4) ayat 40 di atas yang
menyatakan bahwa Allah SWT tidak pernah sekalipun mendzalimi manusia walaupun
hanya sebesar jarrah. Adanya kejahatan di muka bumi sangat dikehendaki oleh
syaitan sang laknatullah karena dengan adanya kejahatan pasti akan menjadikan
seseorang menjadi calon penghuni neraka dan inilah yang dinantikan oleh syaitan
karena ia memperoleh teman untuk hidup berdampingan di neraka.
6. Allah SWT Tidak
Menghinakan Manusia. Sikap Allah SWT yang ke enam ada-lah Allah SWT tidak pernah
menghinakan manusia. Sebagaimana dikemukakan dalam surat Al Fajr (89) ayat 16
berikut ini: “Adapun bila Tuhannya mengujinya lalu membatasi
rizkinya Maka Dia berkata: "Tuhanku menghinakanku"[1575]. (surat Al Fajr (89) ayat 16).”
Allah
SWT justru sejak awal menciptakan manusia sudah menempatkan manusia sebagai
makhluk yang terhormat.
[1575]
Maksudnya: ialah Allah menyalahkan orang-orang yang mengatakan bahwa kekayaan
itu adalah suatu kemuliaan dan kemiskinan adalah suatu kehinaan seperti yang
tersebut pada ayat 15 dan 16. tetapi sebenarnya kekayaan dan kemiskinan adalah
ujian Tuhan bagi hamba-hamba-Nya.
Dan
ini berarti kehinaan bukanlah sesuatu yang berasal dari Allah SWT, akan tetapi
sesuatu yang berasal dari diri kita sendiri yang tidak bisa memenuhi kriteria
yang telah ditetapkan oleh Allah SWT. Dan agar diri kita tidak dihinakan oleh Allah
SWT maka kita harus mematuhi segala ketentuan Allah SWT seperti tidak
berlebihan mencintai harta benda atau kekayaan yang kita miliki, tetapi karena
manusia tamak dan rakus tetap melakukan apa yang dilarang oleh Allah SWT
sehingga pada saat harta benda tersebut hilang lalu berburuk sangka kepada Allah
SWT dengan berkata Allah SWT telah menghinakanku, sebagaimana dikemukakan dalam
surat
Al Fajr (89) ayat 20 yang kami kemukakan berikut ini: “dan kamu mencintai
harta benda dengan kecintaan yang berlebihan. (surat Al Fajr (89) ayat 20).
Di
lain sisi, hal yang harus kita perhatikan adalah kedudukan dan kebesaran Allah
SWT menurut persangkaan hamba-Nya kepada-Nya dan jika sangka hamba-Nya baik
maka baiklah Allah SWT demikian pula sebaliknya. Sekarang jika sampai Allah SWT
disangka menghinakan hamba-Nya yang sekaligus khalifah-Nya di muka bumi maka
itulah yang diterima oleh hamba tersebut. Untuk itu berhati-hatilah dengan
prasangka karena dengan prasangka mampu menjadikan diri kita sukses dan juga
bisa menghinakan diri kita dihadapan Allah SWT.
7. Allah SWT Selalu
Menyeru Manusia Untuk Selalu Ke dalam Nur-Nya. Sikap Allah SWT yang
ke tujuh adalah Allah SWT selalu menyeru manusia untuk selalu masuk ke dalam
Nur-Nya. Sebagaimana dikemukakan dalam surat An Nuur (24) ayat 35 yang kami
kemukakan berikut ini:“Allah (Pemberi) cahaya
(kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah, adalah seperti sebuah
lubang yang tak tembus, yang didalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam
kaca (dan) kaca seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang
dinyalakan dengan minyak dari pohon yang banyak berkahnya, (yaitu) pohon zaitun
yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah
barat(nya), yang minyaknya (saja) hamper-hampir menerangi, walaupun tidak di
sentuh api. Cahaya diatas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada
cahayaNya siapa yang Di kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan
bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” Untuk apa Allah SWT
selalu memerintahkan manusia untuk selalu berada di dalam Nur-Nya? Manusia
sebagai perpanjangan tangan Allah SWT di muka bumi tidak tentu akan mungkin
bisa dipisahkan dengan Allah SWT selaku pengutus dari diri kita. Jika sampai
diri kita berpisah dengan Allah SWT berarti telah terjadi sebuah kesalahan
besar dalam diri kita.
Di
lain sisi, saat diri kita melaksanakan tugas di muka bumi, maka kita tidak akan
mungkin bisa melepaskan diri dari pengaruh ahwa (hawa nafsu) dan juga syaitan.
Dimana ahwa (hawa nafsu) dan syaitan itu sendiri keberadaannya juga dikehendaki
oleh Allah SWT serta hanya Allah SWT sajalah yang paling tahu dan yang paling
ahli tentang ahwa (hawa nafsu) dan juga syaitan.
Sekarang
bertanyalah kepada diri sendiri dengan jujur, mampukah kita seorang diri
mengalahkan ahwa (hawa nafsu) dan juga mampukah kita seorang diri mengalahkan
syaitan yang jumlahnya sudah melebihi jumlah manusia? Hal yang harus kita jadikan pedoman adalah setiap manusia, siapapun
orangnya, apapun kedudukannya, apapun jabatannya, tidak akan mungkin dapat
mengalahkan ahwa (hawa nafsu) dan syaitan seorang diri serta manusia tidak akan
mungkin dapat menyelesaikan segala persoalan dan problem saat menjadi abd’
(hamba)-Nya yang juga khalifah-Nya di muka bumi seorang diri karena kita
memiliki keterbatasan.
Adanya
keterbatasan kemampuan saat menghadapi ahwa (hawa nafsu) serta syaitan dan juga
saat menghadapi problematika hidup, maka kita membutuhkan sesuatu yang melebihi
kemampuan diri kita. Sekarang siapakah yang mampu membantu diri kita? Jika kita
berpedoman bahwa ahwa (hawa nafsu) dan juga syaitan juga diciptakan oleh Allah
SWT maka hanya kepada Allah SWT sajalah kita meminta bantuan. Dan jika sekarang
Allah SWT menyeru kepada diri kita untuk selalu masuk ke dalam Nur-Nya berarti
Allah SWT selaku pencipta diri kita sudah menyatakan kesanggupannya untuk
menolong diri kita.
Akhirnya semuanya terpulang kepada diri kita
sendiri maukah ditolong oleh Allah SWT melalui Nur-Nya Allah SWT? Adanya Adanya Nur
yang diterima dari Allah SWT kepada diri kita manusia melalui hati Ruhani, atau
adanya sambungan langsung melalui doa yang kita panjatkan, maka manusia yang
menjadi abd’ (hamba)-Nya yang juga
khalifah-Nya di muka bumi akan menjadi tenang, tenteram dan selalu dalam
lindungan-Nya dan selanjutnya kemudahanlah yang diterima manusia tersebut di
dalam menjalankan fungsi kekhalifahannya di muka bumi.
8. Allah SWT Sangat Sayang Kepada Manusia. Sikap
Allah SWT yang ke delapan adalah Allah SWT sangat sayang kepada manusia.
Sebagaimana dikemukakan dalam surat Al
An’aam (6) ayat 54 yang kami kemukakan berikut ini: “Apabila
orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat Kami datang kepadamu, maka
katakanlah: “Salaamun-alaikum. Tuhanmu telah menetapkan atas diriNya kasih
sayang, (yaitu) bahwasanya barangsiapa yang berbuat kejahatan di antara kamu
lantaran kejahilan, kemudian ia bertaubat setelah mengerjakannya dan mengadakan
perbaikan, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” Jika Allah SWT sudah
menyatakan hal ini kepada diri kita, lalu apakah kasih sayang Allah SWT yang
sudah ditujukan untuk kita lalu kita biarkan begitu saja tanpa kesan
seolah-olah pernyataan Allah SWT tidak ada?
Allah SWT adalah Tuhan yang selalu siap menepati janjinya dan jika sekarang Allah SWT telah menyatakan atas diri-Nya kasih sayang maka patutkah dan pantaskah Allah SWT melanggar janjinya untuk tidak mengasihi dan menyayangi manusia? Adalah sebuah pelanggaran besar jika Allah SWT tidak dapat menepati janjinya untuk memberikan kasih sayang kepada manusia. Salah satu bukti nyata bahwa Allah SWT itu telah menetapkan kasih sayang di dalam diri-Nya maka walaupun manusia telah berbuat dosa sepanjang dosa itu bukan dosa syirik ataupun musyrik maka sepanjang manusia itu mau bertaubat maka Allah SWT pasti akan mengampuninya. Adanya kondisi ini masih tidak cukupkah manusia diberikan penjelasan seperti ini.
9. Allah SWT Selalu Membalas Sesuai Dengan Amal Seseorang. Sikap
Allah SWT yang ke sembilan adalah Allah SWT adalah Tuhan yang Adil dan Tuhan yang bersikap netral
kepada setiap hambanya. Hal ini sebagaimana dikemukakan dalam surat Az Zumar
(39) ayat 70 berikut ini: “Dan disempurnakan bagi
tiap-tiap jiwa (balasan) apa yang telah dikerjakannya dan Dia lebih mengetahui
apa yang mereka kerjakan.” dan juga berdasarkan surat Fushshilat (41)
ayat 46 yang kami kemukakan berikut ini: “Barangsiapa yang
mengerjakan amal yang saleh maka (pahalanya) untuk dirinya sendiri dan barangsiapa
yang berbuat jahat maka (dosanya) atas dirinya sendiri; dan sekali-kali
tidaklah Tuhanmu menganiaya hamba-hamba(Nya).” Hal ini dibuktikan dengan Allah SWT selalu
memberi balasan pahala sesuai dengan amal seseorang. Dan Allah SWT siap
memberikan pahala kepada setiap manusia yang berbuat baik dan memberikan hukuman kepada hambanya
yang berbuat jahat ataupun berbuat dosa. Namun jika kita ingin bertaubat Allah
SWT pun masih memberikan kesempatan kepada kita sepanjang ruh belum berpisah
dengan jasmani.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar