B.
SARANA MENUJU
MA’RIFATULLAH.
Allah SWT selaku
pencipta dan pemilik alam semesta ini juga telah memberikan 4 (empat) buah
sarana yang bisa kita pergunakan agar diri kita mampu mengenal Allah SWT
(ma’rifatullah) secara baik dan benar serta sesuai dengan kehendak Allah SWT
selaku yang akan kita kenal, sebagaimana berikut ini:
1. Adanya Akal Sehat. Allah SWT selaku
pencipta dan pemilik rencana besar pengham-baan dan juga kekhalifahan di muka
bumi, telah memberikan sebuah anugerah yang tidak terkira kepada setiap manusia
berupa akal sehat. Lalu apa yang dimaksud dengan akal sehat itu? Akal adalah sebuah peralatan ruhaniyah
manusia yang berfungsi untuk membedakan yang salah dan yang benar serta alat
bantu untuk menganalis sesuatu yang kemampuannya sangat tergantung luasnya
pengalaman dan tingkat pendidikan dari manusia pemiliknya. Adanya akal
inilah yang akan membedakan manusia
dengan hewan dan jika manusia tidak bisa mempergunakan akalnya berarti lebih
rendah derajatnya daripada hewan. Saat
ini kita sudah diberikan oleh Allah SWT apa yang dinamakan dengan akal sehat
sehingga dengan adanya akal sehat ini kita bisa mengingat, menyimpulkan,
menganalisis serta menilai segala sesuatu apakah benar ataukah salah.
Lalu
sudahkah pemberian Allah SWT ini dipergunakan dengan baik dan benar sehingga
dengan adanya akal sehat ini menghantarkan diri kita menuju ma’rifatullah?
Semoga kita mampu mempergunakan akal sesuai dengan amanat pemberinya.
Jika
kita termasuk manusia yang masih normal (maksudnya masih memiliki akal sehat
karena belum gila), tentunya kita mampu menelaah, mempelajari dengan baik dan
benar ketentuan surat Yunus (10) ayat 101 berikut ini: “Katakanlah: "Perhatikanlah
apa yaag ada di langit dan di bumi. tidaklah bermanfaat tanda kekuasaan Allah
dan Rasul-rasul yang memberi peringatan bagi orang-orang yang tidak beriman.” dan juga ketentuan surat Ali Imran (3) ayat
190-191 sebagaimana berikut ini: “sesungguhnya
dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang
terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang
mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan
mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya
Tuhan Kami, Tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha suci Engkau,
Maka peliharalah Kami dari siksa neraka.” Serta hadits yang diriwayatkan oleh Abu Nu’aim
berikut ini: “Sabda Nabi : “Berfikirlah tentang ciptaan Allah dan janganlah kamu
berfikir tentang Allah, karena kamu tidak akan mampu” (Hadits Riwayat Abu
Nu’aim). Berdasakan akal sehat yang ada dalam diri maka kita wajib
mengatakan bukan kitalah yang menciptakan langit dan bumi beserta isinya, kita
juga termasuk yang diciptakan oleh Allah SWT.
Orang yang berakal
akan bisa memahami bahwa apa yang telah dianugerahkan oleh Allah kepadanya,
seperti akal dan fitrah manusia, dunia yang ditundukkan untuknya, alam raya
yang dibangun dengan sistem yang super
canggih dan detail, jasad manusia yang diciptakan dalam bentuk yang terbaik,
dibalik itu semua pasti ada maksud dan tujuan yang mulia. Dengan demikian, maka
setiap orang yang menyianyiakan waktunya, menikmati waktu luang tanpa aktivitas
positif, sejatinya bertentangan dengan prinsip ini. Hendaknya setiap aktivitas manusia memiliki target, setiap waktu yang
dimanfaatkan memiliki tujuan pasti, dan hendaknya manusia menyusun agenda
agendanya berdasarkan prinsip ini. Jika kita mau mencermati kehidupan orang
orang sukses, maka kita akan mendapati ternyata mereka terbiasa menjalani hari
harinya dengan kaidah di atas. Tidak ada aktivitas tanpa target dan tidak ada
waktu terbuang tanpa tujuan.
Masih berdasarkan
akal sehat, kita juga wajib mengatakan kepada diri sendiri bahwa kita adalah
orang yang sedang menumpang yang tidak selamanya menumpang (harus keluar dari
muka bumi ini). Orang yang menumpang tidaklah sama kedudukannya dengan pemilik
dan pencipta atau orang yang menumpang bukan pula yang membuat, menetapkan
segala ketentuan, hukum, peraturan atau undang undang yang berlaku di langit
dan di bumi ini. Jangan sampai orang yang menumpang berperilaku layaknya tuan
rumah di rumah orang lain. Sebagai orang yang menumpang di langit dan di muka
bumi ini, tentunya kita harus tahu dan mengerti seperti apa yang menciptakan
kita, apa yang dikehendaki oleh pencipta kita, sebagai apa kita di langit dan
di muka bumi ini, kita harus tahu apa yang disukaiNya (apa hak hak tuan rumah
dan apa yang diperintahnya) dan apa yang tidak disukaiNya (apa larangannya) dan
seterusnya yang pada akhirnya kita wajib selaras serasi dan seimbang dengan
Allah SWT dengan melaksanakan Diinul Islam secara kaffah.
Adanya akal sehat
yang diimbangi dengan adanya qudrat (kemampuan), iradat (kehendak) serta ilmu
(ilmu) dalam diri kita sudah seharusnya kita mampu berfikir jernih dan mampu
menerima dan mengakui serta mengimani Allah SWT adalah Tuhan bagi semesta alam
yang patut disembah. Namun jika hal ini tidak bisa lakukan memang sudah
sepatutnya kita mengakui bahwa hewan lebih baik dari diri kita dikarenakan akal
yang kita miliki sudah tidak berfungsi normal, sebagaimana dikemukakan dalam
surat Al A’raaf (7) ayat 179 berikut ini: “dan Sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi
neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi
tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai
mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan
Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk
mendengar (ayat-ayat Allah). mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka
lebih sesat lagi. mereka Itulah orang-orang yang lalai.” Berdasarkan ayat ini, Allah
SWT tidak hanya memberikan akal sehat kepada diri kita, Allah SWT juga telah memberikan
tambahan kemampuan berupa mata tempat diletakkannya penglihatan, telinga tempat
diletakkannya pendengaran dan juga af’idah atau perasaan yang ditempatkan di
dalam hati nurani. Sehingga dengan adanya tambahan kemampuan ini akan
memudahkan diri kita tidak hanya untuk ma’rifatullah semata, melainkan untuk
mensukseskan tugas kita selaku abd’ (hamba) yang juga adalah khalifah di muka
bumi ini.
2. Adanya jalan yang lurus dalam bentuk Diinul Islam yang harus dilaksanakan secara kaffah. Jalan lurus merupakan
petunjuk dan arah yang menunjukkan kemana hidup ini kita tujukan, apakah untuk
kepentingan akhirat ataukah untuk kepentingan duniawi. Jalan lurus juga
menunjukkan rambu rambu jalan, mana jalan yang harus dilalui (perintah Allah
SWT) dan mana jalan yang tidak boleh
kita masuki (larangan Allah SWT). Hal ini sebagaimana dikemukakan dalam
firmanNya berikut ini: “dan Ibrahim telah Mewasiatkan Ucapan itu
kepada anak-anaknya, demikian pula Ya'qub. (Ibrahim berkata): "Hai
anak-anakku! Sesungguhnya Allah telah memilih agama ini bagimu, Maka janganlah
kamu mati kecuali dalam memeluk agama Islam.” (surat Al Baqarah (2) ayat 132). Dan
juga dikemukakan dalam surat Ali Imran (3) ayat 19 sebagaimana berikut ini: “Sesungguhnya
agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam. tiada berselisih orang-orang
yang telah diberi Al Kitab kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka,
karena kedengkian (yang ada) di antara mereka. Barangsiapa yang kafir terhadap
ayat-ayat Allah Maka Sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya.” serta
yang yang juga dikemukakan dalam firmanNya yang termaktub dalam surat Ali Imran
(3) ayat 101 sebagaimana berikut ini: “Bagaimanakah kamu (sampai) menjadi kafir,
Padahal ayat-ayat Allah dibacakan kepada kamu, dan Rasul-Nya pun berada di
tengah-tengah kamu? Barangsiapa yang berpegang teguh kepada (agama) Allah, Maka
Sesungguhnya ia telah diberi petunjuk kepada jalan yang lurus.”
Apabila saat ini kita
sudah beragama Islam sejak lahir, maka sesungguhnya itu bukan mau kita sendiri,
tetapi Allah SWT lah yang telah memilihkan bagi kita petunjuk dan pedoman dalam
mengarung dan menjalani hidup di dunia ini. Oleh karena itu, tidak ada kata
lain yang dapat kita ucapkan kecuali senantiasa bersyukur atas karunia dan
rahmat Allah SWT itu, maka pandai pandailah kita memelihara dan menjaganya agar
senantiasa tetap menjadi bagian dari hidup kita di dunia dan di akhirat kelak
sampai bertemu Allah SWT di syurgaNya.
3. Adanya AlQuran
sebagai kitab pedoman, petunjuk dalam melaksanakan tugas kekhalifahan di muka
bumi. AlQuran
adalah kumpulan peraturan, undang undang, ketentuan, aturan yang berlaku di
langit dan dimuka bumi yang berasal dari Allah SWT selaku penciptan pemilik
alam semesta ini. AlQuran berfungsi sebagai pedoman hidup dan kehidupan manusia
sehingga selalu berada di dalam jalan yang lurus (Diinul Islam). Sebagaimana
dikemukakan dalam firmanNya berikut ini: “Sesungguhnya Al-Quran ini adalah bacaan yang
sangat mulia. (surat Al Waqiah (56) ayat 77).” Selain itu, juga
dikemukakan dalam surat At Takwiir (81) ayat 19 sebagaimana berikut ini: “Sesungguhnya
Al Qur'aan itu benar-benar firman (Allah yang dibawa oleh) utusan yang mulia
(Jibril).” serta yang juga dikemukakan dalam surat At Takwiir (81) ayat
27 sebagaimana berikut ini: “AlQuran itu tiada lain hanyalah peringatan
bagi semesta alam.”
AlQuran selain
merupakan buku manual bagi kehidupan diri kita, juga merupakan cek list atas
apa apa yang harus kita perbuat dalam kerangka menunaikan perintah Allah SWT
dan cek list atas apa yang tidak boleh kita lakukan dalam kerangka menunaikan
apa apa yang dilarang oleh Allah SWT sehingga terjadilah sinkronisasi antara
yang kita perbuat dengan apa apa yang dikehendaki oleh Allah SWT, sebagaimana
dikemukakan dalam surat Al Maaidah (5) ayat 15-16 berikut ini: ““Hai
ahli Kitab, Sesungguhnya telah datang kepadamu Rasul Kami, menjelaskan kepadamu
banyak dari isi Al kitab yang kamu sembunyikan, dan banyak (pula yang)
dibiarkannya. Sesungguhnya telah datang kepadamu cahaya dari Allah, dan kitab
yang menerangkan[408]. dengan kitab Itulah Allah menunjuki orang-orang yang
mengikuti keredhaan-Nya ke jalan keselamatan, dan (dengan kitab itu pula) Allah
mengeluarkan orang-orang itu dari gelap gulita kepada cahaya yang terang
benderang dengan seizin-Nya, dan menunjuki mereka ke jalan yang lurus.”
4. Adanya Al Hadits dari
Nabi Muhammad SAW yang tidak lain adalah contoh atau benchmark. Agar proses menuju
ma’rifatullah mudah kita lakukan, Allah SWT selaku pencipta dan pemilik alam
semesta ini telah mengirim atau telah mengutus 124.000 Nabi dan 312/313 Rasul
untuk mensukseskan rencana besar kekhalifahan di muka bumi. Lalu Allah SWT
memberi kemudahan kepada diri kita yaitu hanya wajib mengimani 25 Nabi dan
Rasul dalam kerangka pelaksanaan menuju jalan yang lurus (Diinul Islam secara kaffah).
Lalu Allah SWT juga telah menurunkan Nabi Muhammad SAW sebagai contoh atau
sebagai benchmark sehingga manusia termasuk diri kita untuk mengikuti apa apa
yang telah dicontohkan dan tentunya tidak akan mengambil atau mencari cari yang
lain. Hal ini dikarenakan Allah SWT sendiri yang telah menetapkannya.
Dan untuk dapat mengikuti apa apa yang telah dicontohkan
oleh Nabi Muhammad SAW maka kita perlu mengenal lebih dekat sosok Nabi kita dan
itu dapat kita temui dalam AlQuran maupun dalam hadits. Hal ini sebagaimana
dikemukakan dalam surat Al Ahzab (33) ayat 45-46-47 sebagaimana berikut ini: “Hai
Nabi, Sesungguhnya Kami mengutusmu untuk Jadi saksi, dan pembawa kabar gemgira
dan pemberi peringatan,dan untuk Jadi penyeru kepada agama Allah dengan
izin-Nya dan untuk Jadi cahaya yang menerangi.dan sampaikanlah berita gembira
kepada orang-orang mukmin bahwa Sesungguhnya bagi mereka karunia yang besar
dari Allah.” Dan juga sebagaimana telah dikemukakan dalam hadits
sebagaimana berikut ini: “Sesungguhnya Allah tidak mengutusku untuk
memberatkan dan menimbulkan kepayahan, tetapi Dia mengutusku untuk mengajar dan
memudahkannya. (Hadits Riwayat Muslim)
Di
lain sisi, Allah SWT juga telah menegaskan bahwa tidak hanya mengutus nabi dan
rasul semata melainkan diiringi juga dengan kitab dan neraca keadilan bagi
kepentingan umat manusia, sebagaimana dikemukakan dalam surat Al Hadiid (57)
ayat 25 berikut ini: “Sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul-rasul
Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama
mereka Alkitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan
keadilan. dan Kami ciptakan besi yang padanya terdapat kekuatan yang hebat dan
berbagai manfaat bagi manusia, (supaya mereka mempergunakan besi itu) dan
supaya Allah mengetahui siapa yang menolong (agama)Nya dan rasul-rasul-Nya
Padahal Allah tidak dilihatnya. Sesungguhnya Allah Maha kuat lagi Maha Perkasa.”
Sebagai manusia yang masih normal cara berfikirnya karena masih
memiliki akal sehat, tentu ayat ini mampu memudahkan kita mengetahui, memahami
dan mampu meletakkan dan menempatkan sesuai dengan kehendak Allah SWT itu
sendiri melalui contoh contoh dari nabi dan rasul yang telah diutusnya ke muka
bumi. Dan inilah salah satu skenario yang sangat hebat dengan mengutus atau
menempatkan orang orang pilihan-Nya yang terbaik untuk memberikan contoh atau
suri tauladan kepada manusia. Sekarang coba kita bayangkan jika nabi dan rasul
tidak ada lalu apa yang bisa kita perbuat selain merasa benar sendiri orang
lain salah? Jangan sampai hadits ini menjadi tidak berlaku karena ulah diri
kita yang merasa benar: “Sabda Nabi : “Sayalah orang yang paling
mengenal Allah dan yang paling takut kepada-Nya” (Hadits Riwayat Bukhari dan
Muslim). Dan selanjutnya setalh Nabi Muhammad SAW tiada, maka
estafet yang melanjutkan adalah para ulama yang mampu mengamalkan ilmunya yang
bisa kita jadikan figur untuk menuju jalan ma’rifatullah. Hal ini sebagaimana
dikemukakan dalam surat Faathir (35) ayat 28 yang kami kemukakan berikut ini: “dan
demikian (pula) di antara manusia, binatang-binatang melata dan
binatang-binatang ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya).
Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah
ulama[1258]. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.”
[1258] Yang dimaksud dengan ulama dalam ayat
ini ialah orang-orang yang mengetahui kebesaran dan kekuasaan Allah.
Sekarang kita telah
diberikan oleh Allah SWT akal sehat, penglihatan, pendengaran dan juga af’idah
(perasaan) yang diletakkan di dalam hati serta telah pula ditunjukkan jalan
yang lurus dalam hal ini Diinul Islam yang diiringi dengan AlQuran dan Hadits,
adalah sesuatu yang sangat janggal dan tidak dapat dimengerti jika sampai kita
tidak bisa mengenal Allah SWT, tidak tahu tentang Allah SWT lalu tidak mampu
meletakkan dan menempatkan Allah SWT sesuai dengan kemahaan yang dimilikiNya? Jangan pernah menyalahkan syaitan jika kita
tidak mampu ma’rifatullah karena aksi syaitan kepada diri kita karena ulah dari
diri kita sendiri yang mengundang syaitan untuk beraksi melalui ahwa (hawa nafsu) yang kita
perturutkan.
Jika sekarang ahwa
(hawa nafsu) sudah kita perturutkan akhirnya syaitan mampu beraksi kepada diri
kita sehingga hilanglah akal sehat, hilangpula penglihatan, pendengaran dan
af’idah yang kita miliki karena ditelan oleh ahwa (hawa nafsu) dan juga oleh
syaitan. Jika ini sudah terjadi maka syaitan akan merubah pandangan diri kita
melalui memandang baik perbuatan buruk kita yang kita lakukan. Menanglah
syaitan, kalahlah diri kita. Padahal kitalah yang harusnya menjadi pemenang
sedangkan syaitan yang menjadi pecundang. Selanjutnya dengan adanya akal,
pendengaran, penglihatan, af’idah (perasaan) ditambah dengan adanya jalan yang
lurus (Diinul Islam), AlQuran dan juga Hadits seharusnya membuat diri kita
memiliki karakter atau hal hal sebagai berikut yaitu:
1. Memiliki sikap shidiq (jujur dan benar) baik kepada diri
sendiri dan juga saat dalam bermu’amalah (bekerja) atau beribadah kepada Allah
SWT.
2. Ikhlas dalam segala niatan dan tujuan hidup hanya karena
Allah SWT atau hanya untuk mencapai ridhaNya.
3. Mampu membersihan diri dari akhlak-akhlak tercela dan
kotoran-kotoran jiwa yang membuatnya bertentangan dengan kehendak Allah SWT.
4. Sabar (menerima) pemberlakuan hukum (aturan;
ketentuan;undang undang ) Allah SWT atas dirinya.
5. Berdakwah (mengajak) orang lain mengikuti kebenaran
Diinul Islam sehingga dakwahnya bersih dari pengaruh perasaan, logika dan
subyektifitas siapapun. Ia hanya menyerukan ajaran agama seperti yang pernah
diajarkan Nabi Muhammad SAW selaku pemberi contoh atau benchmark.
Sekarang bertanyalah
kepada diri sendiri, sudahkah kita memiliki 5 (lima) karakter di atas? Jika belum berarti
jalan untuk menuju ma’rifatullah masih tertutup sehingga kesempatan untuk
merasakan nikmatnya bertuhankan kepada Allah SWT masih tertutup pula. Lalu
kapan lagi kita akan ma’rifatullah jika saat ini usia kita semakin mendekati
waktu Isya (menuju kematian)? Ingat,
Hidup yang kita laksanakan hari ini itu antara “B” birth (lahir) dan “D” death
(mati) serta diantaranya adalah “C” choice (pilihan). Keberhasilannya
ditentukan oleh setiap pilihan kita. Demikian juga dengan ma’rifatullah, ia
juga merupakan pilihan dalam hidup yang saat ini kita jalani. Bagi Allah SWT mau ma’rifat kepadaNya
ataupun tidak mau ma’rifat kepadaNya tidak akan dipermasalahkan oleh Allah SWT.
Allah SWT tidak membutuhkan ma’rifat kita kepadaNya namun kitalah yang sangat
membutuhkan ma’rifat kepada-Nya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar