Orang yang telah mengenal Allah (ma’rifatullah) akan mampu pula merasakan
nikmat atau dampak positif shalat bagi kesehatan jasmani
, yaitu melalui gerakan-gerakan yang terdapat di dalam shalat seperti saat
berdiri, saat takbiratul ihram, saat rukuk, saat sujud, saat i'tidal (bangun
dari rukuk), duduk di antara dua sujud, saat duduk tasyahud awal, saat duduk
tasyahud akhir dan saat salam, yang kesemuanya memiliki
manfaat ditinjau dari sudut kesehatan jasmani. Adanya kondisi ini berarti mendirikan shalat memiliki dua manfaat bagi
jasmani, yaitu mampu menghilangkan atau meniadakan sifat-sifat jasmani yang
mencerminkan nilai-nilai keburukan akibat dari ruh tersambung atau bersinergi
dengan kemahaan dan kebesaran Allah SWT dan juga mampu memberikan manfaat
kepada jasmani itu sendiri melalui gerakan shalat. Sekarang kita telah
mengetahui bahwa manfaat shalat tidak hanya untuk kepentingan ruh saja, akan
tetapi juga untuk kepentingan jasmani.
Sekarang bagaimana jika setelah shalat kita dirikan, akan tetapi justru
perbuatan korupsi, kolusi, nepotisme, pembalakan liar, menipu, menyebarkan
fitnah, melakukan tindakan keji dan mungkar, membanggakan keturunan, meremehkan
orang lain, mementingkan golongan tidak juga hilang dalam kehidupan kita atau nilai-nilai
keburukan yang disukai oleh syaitan masih tetap kita lakukan bahkan kualitasnya
malah meningkat dari waktu ke waktu.
Jika apa yang kami kemukakan diatas masih tetap kita lakukan setelah
mendirikan shalat berarti: (a) shalat
yang kita dirikan belum sesuai dengan kehendak Allah SWT selaku pemberi
perintah mendirikan shalat; (b) perintah mendirikan shalatnya tidak pernah
salah akan tetapi yang diperintahkan untuk shalat masih memiliki masalah atau
bisa bisa dikatakan kita belum mampu mengenal Allah (ma’rifatullah) yang sesuai
dengan kehendak Allah SWT. Padahal Allah SWT dengan tegas telah menyatakan
bahwa shalat adalah menjadikan diri kita menjadi orang orang berperilaku baik,
menyenangkan banyak orang serta bukan pembuat keonaran.
B. SELALU MEMPERHATIKAN
MAKANAN DAN MINUMAN YANG DIKONSUMSI
Bukti selanjutnya setelah diri kita mampu mengenal Allah (ma’rifatullah)
yang sesuai dengan kehendak Allah SWT adalah mampu melaksanakan ketentuan Allah
SWT yang tertuang di dalam surat Abasa (80) ayat 24 berikut ini: “Maka hendaklah manusia itu memperhatikan makanannya. yaitu mampu memperhatikan dengan seksama apa-apa yang akan dimakannya,
apa-apa yang akan dikonsumsinya, termasuk apa-apa yang akan dikonsumsi oleh
istrinya atau suaminya, oleh anak dan keturunannya.
Selain daripada itu, Allah SWT masih memiliki ketentuan lain yang
mengatur tentang makanan dan minuman yang akan kita konsumsi, yaitu berdasarkan
surat Al Baqarah (2) ayat 168 sebagaimana berikut ini: “Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang
terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena
Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu.” Dan juga berdasarkan surat An Nahl (16) ayat 114 berikut ini: “Maka makanlah yang halal
lagi baik dari rezki yang telah diberikan Allah kepadamu; dan syukurilah nikmat
Allah, jika kamu hanya kepada-Nya saja menyembah.” Berdasarkan ketentuan ayat di atas ini, kita diwajibkan, kita diperintahkan oleh Allah SWT untuk selalu
mengkonsumsi makanan dan minuman yang memenuhi kriteria halalan wa thayyiban,
atau halal lagi baik (maksudnya halal lagi sesuai dengan konsep ilmu gizi dan
kesehatan bagi manusia).
Selain ketentuan di atas, masih ada ketentuan lain yang harus kita
perhatikan sebelum makan dan minum, yaitu berdasarkan hadits berikut ini: “Ibnu Abbas r.a. berkata: Nabi
SAW bersabda: Allah ta’ala berfirman: Berkata Iblis: Ya Tuhan; Semua makhluk-Mu
telah engkau tentukan rezekinya, maka manakah rezekiku. Allah berfirman:
Rezekimu adalah makanan yang tidak disebut nama-Ku padanya. (Hadits Qudsi Riwayat
Abussyekh; 272-259). Berdasarkan ketentuan hadits
ini kita wajib membaca “basmallah” sebelum mengkonsumsi
segala sesuatu, baik makanan atau minuman. Dan juga kita juga diwajibkan untuk
membaca doa sebelum makan dan minum. Hal ini karena melalui doa yang kita
panjatkan kepada Allah SWT, semoga Allah SWT memberikan berkah dan karunia
serta dihindarkannya diri kita dari mudharat yang terdapat di dalam makanan dan
minuman yang kita konsumsi.
Sebagai abd’ (hamba)Nya yang juga khalifahNya di muka bumi yang telah
mampu mengenal Allah (ma’rifatullah) masih ada satu hal penting lainnya yang
harus kita perhatikan dengan seksama, yaitu ketentuan halal lagi baik (thayyib)
dari makanan dan minuman yang akan kita konsumsi bukanlah ketentuan yang berdiri
sendiri. Akan tetapi ketentuan ini juga sangat berkaitan erat atau tidak bisa
dilepaskan dengan cara memperoleh
makanan dan minuman yang akan kita konsumsi, atau ketentuan halal lagi baik
sangat berhubungan erat dengan cara memperoleh penghasilan, atau sangat
berhubungan erat dengan pekerjaan yang kita lakukan untuk mendapatkan makanan
dan minuman.
Sebagai kepala keluarga, sebagai suami yang baik, sebagai istri yang
baik, ada baiknya kita memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
1. Kita tidak bisa sembarangan bekerja. Kita harus memperhatikan apa yang kita kerjakan itu sudah memenuhi syariat yang berlaku
ataukah melanggar syariat, karena hasil dari pekerjaan itu akan kita konsumsi
bersama istri, suami dan anak keturunan.
2. Kita tidak bisa sembarangan memperoleh penghasilan,
atau uang. Kita harus memperhatikan dengan pasti dari manakah asalnya
penghasilan atau uang tersebut, apakah halal, apakah haram, apakah melanggar
ketentuan undang-undang yang berlaku, karena halal dan haram tidak bisa
dicampur adukkan. Halal dan Haram adalah sesuatu yang masing-masing berdiri
sendiri-sendiri.
3. Kita tidak bisa sembarangan di dalam mendapatkan
makanan dan minuman. Kita harus jeli dan tahu persis bagaimana makanan dan
minuman itu kita peroleh, apakah dibeli dengan uang yang halal, apakah di dalam
dengan cara mencuri, karena apa yang kita lakukan dapat berdampak negatif
kepada apa yang akan kita konsumsi.
4. Untuk mendapatkan keluarga syakinah, anak dan
keturunan yang shaleh dan shalehah tidak akan mungkin bisa kita wujudkan, jika
penghasilan, jika pekerjaan, jika makanan dan minuman yang kita konsumsi
berasal dari yang haram lagi buruk (khabits).
Sebagai abd’ (hamba)-Nya yang juga khalifah-Nya di muka bumi kita harus
paham dan mengerti benar bahwa kedudukan haram dan halal tidak akan mungkin
sama kedudukannya dihadapan Allah SWT. Halal dan haram sampai dengan hari
kiamat akan tetap berbeda. Halal akan membawa kepada kebaikan sedangkan haram
akan membawa kepada keburukan. Jika ini adalah kondisi dasar dari ketentuan halal
dan haram yang berlaku di muka bumi ini, maka mulai saat ini kita tidak bisa
begitu saja makan dan minum, kita bisa begitu saja bekerja, kita tidak bisa
begitu saja memperoleh penghasilan, kita tidak bisa begitu saja memperoleh
makanan dan minuman, terkecuali jika kita ingin pulang kampung ke neraka
Jahannam bersama syaitan sanglaknatullah.
Sekarang pernahkah kita semua membayangkan jika jasmani yang secara sunnatullah
sudah memiliki sifat-sifat yang mencerminkan nilai-nilai keburukan, atau
disebut dengan insan, dan yang perbuatannya disebut dengan ahwa. Lalu kondisi
ini ditambah dengan sewaktu kita merawat dan memeliharanya, atau menjadikan
regenerasi anak keturunan kita sendiri dimana sumbernya atau makanan dan
minuman yang kita konsumsi bersifat haram lagi buruk (khabits)? Apabila makanan
dan minuman yang kita konsumsi memenuhi unsur haram lagi buruk (khabits) maka
hal-hal sebagai berikut akan terjadi, yaitu :
1. Sifat-sifat alamiah jasmani yang mencerminkan nilai-nilai
keburukan (insan) akan lebih sempurna keburukan-keburukannya sedangkan
perbuatannya (ahwanya) menjadi lebih kuat pengaruhnya kepada ruh.
2. Nilai-nilai keburukan yang terdapat di dalam jasmani
menjadi lebih kental, atau bahkan menjadi bertambah dengan adanya unsur haram
lagi buruk (khabits).
3. Adanya makanan dan minuman yang haram lagi buruk
(khabits) maka ahwa (hawa nafsu) akan
memperoleh tambahan bahan bakar sehingga kemampuan ahwa (hawa nafsu) yang dibelakangnya ada syaitan
menjadi lebih bertambah kuat untuk mempengaruhi ruh (jiwa) menjadi jiwa fujur.
Jika sampai diri kita selalu memberikan makanan dan minuman kepada jasmani
berupa makanan dan minuman yang masuk dalam kategori haram lagi buruk (khabits)
berarti kita telah memberikan kesempatan bagi syaitan untuk membangun rumahnya,
membangun istananya di dalamnya jasmani diri kita, yang pada akhirnya akan
memudahkan syaitan untuk melaksanakan aksinya mengganggu, dan mengoda diri kita
serta menjauhkan diri kita kepada jalan yang lurus dan juga menggagalkan diri
kita memperoleh anak dan keturunan yang shaleh dan shalehah karena sperma dan
ovum terkontaminasi dari yang haram lagi buruk (khabits).
Setiap manusia pasti terdiri dari jasmani dan ruh, lalu apakah hanya jasmani
saja yang membutuhkan makanan dan minuman untuk merawatnya, sehingga ruh tidak
perlu di rawat dan dipelihara? Selama diri kita masih terdiri dari jasmani dan ruh
maka keduanya harus dirawat dan dijaga kesehatannya. Dan jika kita berpedoman
kepada asal usul dari jasmani dan ruh maka makanan dan minuman untuk merawat
dan menjaga jasmani dan ruh pasti berbeda. Sekarang makanan dan minuman apakah
yang paling dibutuhkan oleh ruh?
Ruh yang asalnya dari Allah SWT
pasti ruh memerlukan kedekatan dengan Allah SWT. Untuk dapat mendekatkan ruh
dengan Allah SWT, maka makanan dan minuman ruh adalah melaksanakan Diinul Islam
secara menyeluruh, membaca, mempelajari, memahami dan mengamalkan AlQuran,
mendirikan shalat, menunaikan zakat, melaksanakan puasa, pergi haji jika mampu,
shadaqah zariah serta dzikir kepada Allah SWT. Adanya perbedaan makanan dan
minuman antara jasmani dan ruh maka kita harus pandai-pandai menyeimbangkan
pemberian makanan dan minuman baik kepada jasmani dan ruh.
Untuk itulah kita tidak bisa hanya condong kepada jasmani semata dengan
melalaikan kebutuhan ruh, karena ruh juga membutuhkan jasmani yang sehat. Demikian pula sebaliknya kita tidak bisa
hanya condong kepada ruh semata dengan melalaikan kesehatan jasmani, karena
hidup adalah saat bersatunya jasmani dengan ruh. Untuk itu kita tidak bisa
hanya mementingkan makanan ruh saja dengan mengabaikan kepentingan jasmani
sebab baik ruh maupun jasmani harus kita pelihara dan harus kita rawat sesuai
dengan kondisinya masing-masing. Akhirnya alangkah indahnya hidup ini jika ruh
dalam keadaan sehat (maksudnya tetap fitrah) dibarengi dengan jasmani yang
sehat. Dan
semoga hal ini terjadi pada diri kita, keluarga kita serta anak keturunan
kita. Amiin.
C. MAMPU MENUNJUKKAN DAN MEMBUKTIKAN BAHWA RUH MERUPAKAN JATI DIRI YANG SESUNGGUHNYA.
Bukti yang harus kita tunjukkan setelah kita mampu mengenal Allah
(ma’rifatullah) yang sesuai dengan kehendak Allah SWT adalah mampu menunjukkan
dan mampu membuktikan bahwa ruh merupakan jati diri manusia yang sesungguhnya
serta mampu pula untuk menempatkan orang lain yang ada di muka bumi ini juga
adalah ruh. Sekarang jika diri kita dan orang lain (maksudnya adalah seluruh
umat manusia) yang ada di muka bumi ini adalah ruh berarti semua manusia yang
ada di muka bumi, baik yang beragama Islam ataupun yang tidak beragama Islam,
asal sepanjang ia adalah manusia, dapat dipastikan semuanya berasal dari Allah
SWT atau dengan kata lain kita adalah bersaudara yang berasal dari Allah SWT
yang satu.
Hal yang harus kita
ketahui adalah sifat ruh manusia tidak sama dengan sifat Ma’ani Allah SWT,
walaupun sifat Ma’ani Allah SWT telah dijadikan oleh Allah SWT sebagai modal
dasar bagi setiap manusia. Selanjutnya jika sifat Ma’ani telah menjadi modal
dasar manusia saat menjadi abd’ (hamba)Nya yang juga khalifahNya bukanlah sifat
ruh, lalu yang manakah sifat ruh itu? Sifat ruh memiliki sifat yang
mencerminkan nama-nama Allah SWT yang indah lagi baik yang berjumlah sembilan
puluh sembilan perbuatan (asmaul husna), yang diberikan Allah SWT melalui
proses shibghah atau proses pencelupan. Sehingga setiap manusia tanpa
terkecuali, tanpa memandang agamanya apa, tanpa memandang siapa orangnya
ataupun keturunannya, pasti memiliki celupan Asmaul Husna sebagaimana firmanNya
berikut ini: “Shibghah Allah. Dan siapakah
yang lebih baik shibghahnya daripada Allah? Dan hanya kepadaNya-lah kami
menyembah. (surat Al Baqarah (2) ayat 138)
Adanya shibghah
kepada ruh maka dapat dipastikan bahwa sifat dari ruh dari setiap manusia, termasuk
di dalamnya ruh diri kita adalah sesuai dengan Asmaul Husna yang dimiliki Allah
SWT. Adanya kondisi ini berarti setiap ruh, termasuk di dalamnya ruh diri kita
sendiri, pasti
mempunyai perbuatan Ar Rakhman (Maha Pengasih); Ar Rahiem (Maha
Penyayang); Ar Maalik (Maha Merajai, Maha Memiliki); As Salam (Maha
Penyelamat); Al Mu’min (Maha Pemelihara Keamanan); Al Muhaimin (Maha Penjaga,
Maha Pemberi Kebahagiaan); Al Wahhaab
(Maha Pemberi); dan seterusnya sampai dengan sembilan puluh
sembilan perbuatan Allah SWT. Yang mana shibghah akan menjadikan ruh memiliki
sifat, yang mana sifat yang melekat pada ruh harus menjadi perbuatan ruh dan
dari sinilah akan tampil jati diri manusia yang sesungguhnya adalah nilai nilai
kebaikan yang menjadi sifat daripada ruh.
Sekarang mari kita
perhatikan diri kita sendiri, apakah Sibghah dari Allah SWT yang berasal dari
Af’al (perbuatan) Allah SWT atau perbuatan-perbuatan Allah SWT itu ada dalam
diri kita? Untuk itu kita dapat merasakannya sendiri dengan menyatakan adakah rasa pengasih
dalam diri kita? Adakah rasa penyayang dalam diri kita? Adakah rasa memiliki
dalam diri kita? Adakah rasa penyelamat dalam diri kita? Lalu tanyakan lagi
kepada diri sendiri, apakah rasa pengasih dan penyayang, rasa memiliki dan rasa
penyelamat yang ada dalam diri kita itu
Ada dengan sendirinya tanpa ada yang mengadakannya, ataukah rasa itu semua
datang begitu saja?
Siapakah yang sanggup
menciptakan seluruh rasa yang ada di dalam diri kita? Jawaban dari pertanyaan
ini adalah seluruh rasa yang ada di dalam diri berasal dari pencipta semua
rasa, lalu siapakah dia? Jawaban dari pertanyaan ini adalah Allah SWT
sebagaimana termaktub dalam surat Al Hasyr (59) ayat 22-23-24 berikut ini: “Dia-lah Allah Yang tiada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia, Yang
Mengetahui yang ghaib dan yang nyata, Dia-lah Yang Maha Pemurah lagi Maha
Penyayang. Dia-lah Allah yang tiada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia,
Raja, Yang Maha Suci, Yang Maha Sejahtera, Yang Mengaruniakan Keamanan, Yang
Maha Memelihara, Yang Maha Perkasa, Yang Maha Kuasa, Yang Memiliki Segala
Keagungan, Maha Suci, Allah dari apa yang mereka persekutukan. Dia-lah Allah
Yang Menciptakan, Yang Mengadakan, Yang Membentuk Rupa, Yang Mempunyai
Nama-Nama Yang Paling baik, bertasbihlah kepada-Nya apa yang ada di langit dan
di bumi. Dia-lah Yang Maha Perkasa lagi
Maha Bijaksana.”
Sekarang jika di dalam
diri kita sudah ada nilai-nilai ilahiah yang berasal dari proses shibghah
kepada ruh maka
kita dapat memastikan bahwa nilai nilai kebaikan adalah sifat dasar daripada
ruh diri kita. Hal ini dikarenakan sesuatu yang bersifat buruk apalagi
sifat tercela tidak akan mungkin berasal dari Allah SWT. Selanjutnya jika saat ini kita
masih suka saling berantam, masih suka saling
menghasut, masih suka saling memfitnah, masih suka berbuat tidak adil, masih suka
berbuat ingkar janji, masih suka korupsi, masih suka menyakiti sesama dan
seterusnya dari manakah itu semua dan kemana larinya nilai-nilai kebaikan yang
berasal dari nilai-nilai ilahiah yang telah Allah SWT berikan kepada kita?
Hilangnya atau tidak mampunya sifat ruh menjadi perbuatan manusia akibat
pengaruh (memperturutkan) ahwa (hawa nafsu) dan juga syaitan sehingga yang
tampil menjadi perilaku kita adalah nilai nilai keburukan. Akhirnya diri kita
tidak sejalan lagi dengan kehendak Allah SWT.
Lalu, untuk apakah Allah
SWT sampai memberikan shibghah atau celupan yang berasal dari Af’al (perbuatan)
Allah SWT itu sendiri kepada setiap ruh manusia yang kemudian menjadi sifat ruh?
Manusia diciptakan oleh Allah SWT dalam kerangka rencana besar untuk dijadikan
abd’ (hamba)-Nya yang juga adalah khalifah-Nya di muka bumi. Sebagai seorang abd’
(hamba)-Nya yang juga adalah khalifah-Nya di muka bumi, maka manusia menjadi perpanjangan
tangan Allah SWT untuk mengurus, untuk memelihara serta untuk menjaga apa-apa
yang telah Allah SWT ciptakan di muka bumi sehingga terciptalah kehidupan yang
aman, tenteram, sejahtera serta dalam suasana keadilan oleh sebab adanya abd’
(hamba)-Nya dan juga khalifah-Nya.
Dan untuk memudahkan
tugas tersebut maka setiap manusia yang telah diberikan sibghah oleh Allah SWT
yang berasal dari Af’al-Nya maka setiap manusia wajib menjadikannya sebagai
perbuatannya sehari hari atau wajib mendayagunakannya dalam koridor nilai-nilai
kebaikan kepada sesama yang membutuhkannya. Adanya kondisi saling memberi
dan saling menerima maka salah satu tujuan
adanya abd’ (hamba) yang juga khalifah di muka bumi dapat terlaksana
dengan baik, serta apa yang dikehendaki Allah SWT dapat tercapai.
Saat ini kita telah mengetahui perbuatan jasmani
yang di dalam AlQuran dikatakan dengan istilah ahwa dan juga kita telah pula
mengetahui perbuatan ruh yang di dalam AlQuran dikatakan dengan istilah
Nafs/Anfuss. Lalu bisakah kita membedakannya? Jika kita termasuk orang yang
telah tahu diri, maka kita akan mudah mengetahui perbedaan yang mencolok antara
ahwa dengan nafs/anfuss. Hal ini dikarenakan perbuatan keduanya sangat bertolak
belakang. Ahwa sangat berkesesuaian dengan Nilai-Nilai Keburukan yang sangat
dikehendaki syaitan, sedangkan Nafs/Anfus sangat berkesesuaian dengan
Nilai-Nilai Kebaikan yang sangat dikehendaki Allah SWT. Adanya kondisi ini
seharusnya dapat menyadarkan diri kita untuk berhati-hati di dalam bertindak
dan berbuat karena hasil akhir dari apa yang kita lakukan, kita jugalah yang
akan menikmatinya.
Selanjutnya jika diri kita yang sesungguhnya adalah ruh berarti sifat dan
perbuatan diri kita yang sesungguhnya harus pula mencerminkan perbuatan Allah
SWT yang termaktub di dalam nama nama Allah yang indah lagi baik (asmaul husna)
sehingga perilaku diri kita sesuai dengan nilai-nilai kebaikan yang sesuai dengan
kehendak Allah. Sekarang sudahkah perilaku diri kita yang sesungguhnya sesuai
dengan kehendak Allah SWT? Jika apa yang kami kemukakan di atas ini belum dapat
kita tunjukkan dan perlihatkan dalam kehidupan sehari-hari, berarti kita belum
dapat dikatakan mengenal Allah (ma’rifatullah) yang sesuai dengan kehendak Allah
SWT.
Sekarang bisakah kita membayangkan jika cabe yang memiliki sifat pedas lalu cabe tidak mampu memedaskan apa-apa yang diliputinya atau bahkan cabe tidak pedas lagi, lalu apakah cabe masih pantas menyandang gelar sang pemedas? Hal yang samapun berlaku jika ruh manusia yang sudah disifati oleh Allah SWT dengan sifat kasih sayang namun perbuatannya tidak bisa saling sayang menyayangi dengan sesama umat manusia, apakah patut disebut sebagai abd’ (hamba)Nya yang juga adalah khalifahNya di muka bumi ini? Disinilah letaknya kita mampu mempertunjukkan bahwa jati diri kita yang sesungguhnya adalah ruh, yaitu mampunya kita mempertunjukkan sifat dasar ruh (nass) menjadi perbuatan diri kita saat hidup di muka bumi dalam bentuk bentuk kebaikan yang sesuai dengan kehendak Allah SWT.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar