Label

MEMANUSIAKAN MANUSIA: INILAH JATIDIRI MANUSIA YANG SESUNGGUHNYA (79) SETAN HARUS JADI PECUNDANG: DIRI PEMENANG (68) SEBUAH PENGALAMAN PRIBADI MENGAJAR KETAUHIDAN DI LAPAS CIPINANG (65) INILAH ALQURAN YANG SESUNGGUHNYA (60) ROUTE TO 1.6.799 JALAN MENUJU MAKRIFATULLAH (59) MUTIARA-MUTIARA KEHIDUPAN: JALAN MENUJU KERIDHAAN ALLAH SWT (54) PUASA SEBAGAI KEBUTUHAN ORANG BERIMAN (50) ENERGI UNTUK MEMOTIVASI DIRI & MENJAGA KEFITRAHAN JIWA (44) RUMUS KEHIDUPAN: TAHU DIRI TAHU ATURAN MAIN DAN TAHU TUJUAN AKHIR (38) TAUHID ILMU YANG WAJIB KITA MILIKI (36) THE ART OF DYING: DATANG FITRAH KEMBALI FITRAH (33) JIWA YANG TENANG LAGI BAHAGIA (27) BUKU PANDUAN UMROH (26) SHALAT ADALAH KEBUTUHAN DIRI (25) HAJI DAN UMROH : JADIKAN DIRI TAMU YANG SUDAH DINANTIKAN KEDATANGANNYA OLEH TUAN RUMAH (24) IKHSAN: INILAH CERMINAN DIRI KITA (24) RUKUN IMAN ADALAH PONDASI DASAR DIINUL ISLAM (23) ZAKAT ADALAH HAK ALLAH SWT YANG HARUS DITUNAIKAN (20) KUMPULAN NASEHAT UNTUK KEHIDUPAN YANG LEBIH BAIK (19) MUTIARA HIKMAH DARI GENERASI TABI'IN DAN TABI'UT TABIIN (18) INSPRIRASI KESEHATAN DIRI (15) SYAHADAT SEBAGAI SEBUAH PERNYATAAN SIKAP (14) DIINUL ISLAM ADALAH AGAMA FITRAH (13) KUMPULAN DOA-DOA (10) BEBERAPA MUKJIZAT RASULULLAH SAW (5) DOSA DAN JUGA KEJAHATAN (5) DZIKIR UNTUK KEBAIKAN DIRI (4) INSPIRASI DARI PARA SAHABAT NABI (4) INILAH IBADAH YANG DISUKAI NABI MUHAMMAD SAW (3) PEMIMPIN DA KEPEMIMPINAN (3) TAHU NABI MUHAMMAD SAW (3) DIALOQ TOKOH ISLAM (2) SABAR ILMU TINGKAT TINGGI (2) SURAT TERBUKA UNTUK PEROKOK dan KORUPTOR (2) IKHLAS DAN SYUKUR (1)

Jumat, 03 Mei 2024

PENAMPILAN ORANG YANG TELAH MAMPU MA'RIFATULLAH (PART 2 of 3)

 

Orang yang telah mengenal Allah (ma’rifatullah) akan mampu pula merasakan nikmat atau dampak positif shalat bagi kesehatan jasmani , yaitu melalui gerakan-gerakan yang terdapat di dalam shalat seperti saat berdiri, saat takbiratul ihram, saat rukuk, saat sujud, saat i'tidal (bangun dari rukuk), duduk di antara dua sujud, saat duduk tasyahud awal, saat duduk tasyahud akhir dan saat salam, yang kesemuanya memiliki manfaat ditinjau dari sudut kesehatan jasmani. Adanya kondisi ini berarti mendirikan shalat memiliki dua manfaat bagi jasmani, yaitu mampu menghilangkan atau meniadakan sifat-sifat jasmani yang mencerminkan nilai-nilai keburukan akibat dari ruh tersambung atau bersinergi dengan kemahaan dan kebesaran Allah SWT dan juga mampu memberikan manfaat kepada jasmani itu sendiri melalui gerakan shalat. Sekarang kita telah mengetahui bahwa manfaat shalat tidak hanya untuk kepentingan ruh saja, akan tetapi juga untuk kepentingan jasmani.

 

Sekarang bagaimana jika setelah shalat kita dirikan, akan tetapi justru perbuatan korupsi, kolusi, nepotisme, pembalakan liar, menipu, menyebarkan fitnah, melakukan tindakan keji dan mungkar, membanggakan keturunan, meremehkan orang lain, mementingkan golongan tidak juga hilang dalam kehidupan kita atau nilai-nilai keburukan yang disukai oleh syaitan masih tetap kita lakukan bahkan kualitasnya malah meningkat dari waktu ke waktu.

 

Jika apa yang kami kemukakan diatas masih tetap kita lakukan setelah mendirikan shalat berarti:  (a) shalat yang kita dirikan belum sesuai dengan kehendak Allah SWT selaku pemberi perintah mendirikan shalat; (b) perintah mendirikan shalatnya tidak pernah salah akan tetapi yang diperintahkan untuk shalat masih memiliki masalah atau bisa bisa dikatakan kita belum mampu mengenal Allah (ma’rifatullah) yang sesuai dengan kehendak Allah SWT. Padahal Allah SWT dengan tegas telah menyatakan bahwa shalat adalah menjadikan diri kita menjadi orang orang berperilaku baik, menyenangkan banyak orang serta bukan pembuat keonaran.

   

B. SELALU MEMPERHATIKAN MAKANAN DAN MINUMAN YANG DIKONSUMSI

 

Bukti selanjutnya setelah diri kita mampu mengenal Allah (ma’rifatullah) yang sesuai dengan kehendak Allah SWT adalah mampu melaksanakan ketentuan Allah SWT yang tertuang di dalam surat Abasa (80) ayat 24 berikut ini: “Maka hendaklah manusia itu memperhatikan makanannya. yaitu mampu memperhatikan dengan seksama apa-apa yang akan dimakannya, apa-apa yang akan dikonsumsinya, termasuk apa-apa yang akan dikonsumsi oleh istrinya atau suaminya, oleh anak dan keturunannya.

 

Selain daripada itu, Allah SWT masih memiliki ketentuan lain yang mengatur tentang makanan dan minuman yang akan kita konsumsi, yaitu berdasarkan surat Al Baqarah (2) ayat 168 sebagaimana berikut ini: “Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu.” Dan juga berdasarkan  surat An Nahl (16) ayat 114 berikut ini: “Maka makanlah yang halal lagi baik dari rezki yang telah diberikan Allah kepadamu; dan syukurilah nikmat Allah, jika kamu hanya kepada-Nya saja menyembah.” Berdasarkan ketentuan ayat di atas ini, kita diwajibkan, kita diperintahkan oleh Allah SWT untuk selalu mengkonsumsi makanan dan minuman yang memenuhi kriteria halalan wa thayyiban, atau halal lagi baik (maksudnya halal lagi sesuai dengan konsep ilmu gizi dan kesehatan bagi manusia).

 

Selain ketentuan di atas, masih ada ketentuan lain yang harus kita perhatikan sebelum makan dan minum, yaitu berdasarkan hadits berikut ini: “Ibnu Abbas  r.a. berkata: Nabi SAW bersabda: Allah ta’ala berfirman: Berkata Iblis: Ya Tuhan; Semua makhluk-Mu telah engkau tentukan rezekinya, maka manakah rezekiku. Allah berfirman: Rezekimu adalah makanan yang tidak disebut nama-Ku padanya. (Hadits Qudsi Riwayat Abussyekh; 272-259). Berdasarkan ketentuan hadits ini kita wajib membaca “basmallah” sebelum mengkonsumsi segala sesuatu, baik makanan atau minuman. Dan juga kita juga diwajibkan untuk membaca doa sebelum makan dan minum. Hal ini karena melalui doa yang kita panjatkan kepada Allah SWT, semoga Allah SWT memberikan berkah dan karunia serta dihindarkannya diri kita dari mudharat yang terdapat di dalam makanan dan minuman yang kita konsumsi. konsumsi makanan dan minumanrdoa seperti yang kami kemukakan di atas. di bawah ini harus sudah mampu kita laksana

 

Sebagai abd’ (hamba)Nya yang juga khalifahNya di muka bumi yang telah mampu mengenal Allah (ma’rifatullah) masih ada satu hal penting lainnya yang harus kita perhatikan dengan seksama, yaitu ketentuan halal lagi baik (thayyib) dari makanan dan minuman yang akan kita konsumsi bukanlah ketentuan yang berdiri sendiri. Akan tetapi ketentuan ini juga sangat berkaitan erat atau tidak bisa dilepaskan dengan  cara memperoleh makanan dan minuman yang akan kita konsumsi, atau ketentuan halal lagi baik sangat berhubungan erat dengan cara memperoleh penghasilan, atau sangat berhubungan erat dengan pekerjaan yang kita lakukan untuk mendapatkan makanan dan minuman.

Sebagai kepala keluarga, sebagai suami yang baik, sebagai istri yang baik, ada baiknya kita memperhatikan hal-hal sebagai berikut:

 

1.     Kita  tidak  bisa  sembarangan  bekerja. Kita  harus  memperhatikan apa yang kita kerjakan itu sudah memenuhi syariat yang berlaku ataukah melanggar syariat, karena hasil dari pekerjaan itu akan kita konsumsi bersama istri, suami dan anak keturunan.

 

2.    Kita tidak bisa sembarangan memperoleh penghasilan, atau uang. Kita harus memperhatikan dengan pasti dari manakah asalnya penghasilan atau uang tersebut, apakah halal, apakah haram, apakah melanggar ketentuan undang-undang yang berlaku, karena halal dan haram tidak bisa dicampur adukkan. Halal dan Haram adalah sesuatu yang masing-masing berdiri sendiri-sendiri.

 

3.     Kita tidak bisa sembarangan di dalam mendapatkan makanan dan minuman. Kita harus jeli dan tahu persis bagaimana makanan dan minuman itu kita peroleh, apakah dibeli dengan uang yang halal, apakah di dalam dengan cara mencuri, karena apa yang kita lakukan dapat berdampak negatif kepada apa yang akan kita konsumsi.

 

4.     Untuk mendapatkan keluarga syakinah, anak dan keturunan yang shaleh dan shalehah tidak akan mungkin bisa kita wujudkan, jika penghasilan, jika pekerjaan, jika makanan dan minuman yang kita konsumsi berasal dari yang haram lagi buruk (khabits).

 

Sebagai abd’ (hamba)-Nya yang juga khalifah-Nya di muka bumi kita harus paham dan mengerti benar bahwa kedudukan haram dan halal tidak akan mungkin sama kedudukannya dihadapan Allah SWT. Halal dan haram sampai dengan hari kiamat akan tetap berbeda. Halal akan membawa kepada kebaikan sedangkan haram akan membawa kepada keburukan. Jika ini adalah kondisi dasar dari ketentuan halal dan haram yang berlaku di muka bumi ini, maka mulai saat ini kita tidak bisa begitu saja makan dan minum, kita bisa begitu saja bekerja, kita tidak bisa begitu saja memperoleh penghasilan, kita tidak bisa begitu saja memperoleh makanan dan minuman, terkecuali jika kita ingin pulang kampung ke neraka Jahannam bersama syaitan sanglaknatullah. 

 

Sekarang pernahkah kita semua membayangkan jika jasmani yang secara sunnatullah sudah memiliki sifat-sifat yang mencerminkan nilai-nilai keburukan, atau disebut dengan insan, dan yang perbuatannya disebut dengan ahwa. Lalu kondisi ini ditambah dengan sewaktu kita merawat dan memeliharanya, atau menjadikan regenerasi anak keturunan kita sendiri dimana sumbernya atau makanan dan minuman yang kita konsumsi bersifat haram lagi buruk (khabits)? Apabila makanan dan minuman yang kita konsumsi memenuhi unsur haram lagi buruk (khabits) maka hal-hal sebagai berikut akan terjadi, yaitu :

 

1.   Sifat-sifat alamiah jasmani yang mencerminkan nilai-nilai keburukan (insan) akan lebih sempurna keburukan-keburukannya sedangkan perbuatannya (ahwanya) menjadi lebih kuat pengaruhnya kepada ruh.

 

2.  Nilai-nilai keburukan yang terdapat di dalam jasmani menjadi lebih kental, atau bahkan menjadi bertambah dengan adanya unsur haram lagi buruk (khabits).

 

3.    Adanya makanan dan minuman yang haram lagi buruk (khabits) maka ahwa (hawa nafsu)  akan memperoleh tambahan bahan bakar sehingga kemampuan  ahwa (hawa nafsu) yang dibelakangnya ada syaitan menjadi lebih bertambah kuat untuk mempengaruhi ruh (jiwa) menjadi jiwa fujur.   

 

Jika sampai diri kita selalu memberikan makanan dan minuman kepada jasmani berupa makanan dan minuman yang masuk dalam kategori haram lagi buruk (khabits) berarti kita telah memberikan kesempatan bagi syaitan untuk membangun rumahnya, membangun istananya di dalamnya jasmani diri kita, yang pada akhirnya akan memudahkan syaitan untuk melaksanakan aksinya mengganggu, dan mengoda diri kita serta menjauhkan diri kita kepada jalan yang lurus dan juga menggagalkan diri kita memperoleh anak dan keturunan yang shaleh dan shalehah karena sperma dan ovum terkontaminasi dari yang haram lagi buruk (khabits).


Setiap manusia pasti terdiri dari jasmani dan ruh, lalu apakah hanya jasmani saja yang membutuhkan makanan dan minuman untuk merawatnya, sehingga ruh tidak perlu di rawat dan dipelihara? Selama diri kita masih terdiri dari jasmani dan ruh maka keduanya harus dirawat dan dijaga kesehatannya. Dan jika kita berpedoman kepada asal usul dari jasmani dan ruh maka makanan dan minuman untuk merawat dan menjaga jasmani dan ruh pasti berbeda. Sekarang makanan dan minuman apakah yang paling dibutuhkan oleh ruh?

 

Ruh  yang asalnya dari Allah SWT pasti ruh memerlukan kedekatan dengan Allah SWT. Untuk dapat mendekatkan ruh dengan Allah SWT, maka makanan dan minuman ruh adalah melaksanakan Diinul Islam secara menyeluruh, membaca, mempelajari, memahami dan mengamalkan AlQuran, mendirikan shalat, menunaikan zakat, melaksanakan puasa, pergi haji jika mampu, shadaqah zariah serta dzikir kepada Allah SWT. Adanya perbedaan makanan dan minuman antara jasmani dan ruh maka kita harus pandai-pandai menyeimbangkan pemberian makanan dan minuman baik kepada jasmani dan ruh.

 

Untuk itulah kita tidak bisa hanya condong kepada jasmani semata dengan melalaikan kebutuhan ruh, karena ruh juga membutuhkan jasmani yang sehat.  Demikian pula sebaliknya kita tidak bisa hanya condong kepada ruh semata dengan melalaikan kesehatan jasmani, karena hidup adalah saat bersatunya jasmani dengan ruh. Untuk itu kita tidak bisa hanya mementingkan makanan ruh saja dengan mengabaikan kepentingan jasmani sebab baik ruh maupun jasmani harus kita pelihara dan harus kita rawat sesuai dengan kondisinya masing-masing. Akhirnya alangkah indahnya hidup ini jika ruh dalam keadaan sehat (maksudnya tetap fitrah) dibarengi dengan jasmani yang sehat. Dan

semoga hal ini terjadi pada diri kita, keluarga kita serta anak keturunan kita. Amiin.

 

C. MAMPU  MENUNJUKKAN  DAN  MEMBUKTIKAN BAHWA RUH MERUPAKAN JATI DIRI YANG SESUNGGUHNYA.

 

Bukti yang harus kita tunjukkan setelah kita mampu mengenal Allah (ma’rifatullah) yang sesuai dengan kehendak Allah SWT adalah mampu menunjukkan dan mampu membuktikan bahwa ruh merupakan jati diri manusia yang sesungguhnya serta mampu pula untuk menempatkan orang lain yang ada di muka bumi ini juga adalah ruh. Sekarang jika diri kita dan orang lain (maksudnya adalah seluruh umat manusia) yang ada di muka bumi ini adalah ruh berarti semua manusia yang ada di muka bumi, baik yang beragama Islam ataupun yang tidak beragama Islam, asal sepanjang ia adalah manusia, dapat dipastikan semuanya berasal dari Allah SWT atau dengan kata lain kita adalah bersaudara yang berasal dari Allah SWT yang satu.

 

Hal yang harus kita ketahui adalah sifat ruh manusia tidak sama dengan sifat Ma’ani Allah SWT, walaupun sifat Ma’ani Allah SWT telah dijadikan oleh Allah SWT sebagai modal dasar bagi setiap manusia. Selanjutnya jika sifat Ma’ani telah menjadi modal dasar manusia saat menjadi abd’ (hamba)Nya yang juga khalifahNya bukanlah sifat ruh, lalu yang manakah sifat ruh itu? Sifat ruh memiliki sifat yang mencerminkan nama-nama Allah SWT yang indah lagi baik yang berjumlah sembilan puluh sembilan perbuatan (asmaul husna), yang diberikan Allah SWT melalui proses shibghah atau proses pencelupan. Sehingga setiap manusia tanpa terkecuali, tanpa memandang agamanya apa, tanpa memandang siapa orangnya ataupun keturunannya, pasti memiliki celupan Asmaul Husna sebagaimana firmanNya berikut ini: Shibghah Allah. Dan siapakah yang lebih baik shibghahnya daripada Allah? Dan hanya kepadaNya-lah kami menyembah. (surat Al Baqarah (2) ayat 138)

 

Adanya shibghah kepada ruh maka dapat dipastikan bahwa sifat dari ruh dari setiap manusia, termasuk di dalamnya ruh diri kita adalah sesuai dengan Asmaul Husna yang dimiliki Allah SWT. Adanya kondisi ini berarti setiap ruh, termasuk di dalamnya ruh diri kita sendiri, pasti mempunyai perbuatan Ar Rakhman (Maha Pengasih); Ar Rahiem (Maha Penyayang);  Ar Maalik  (Maha Merajai, Maha Memiliki); As Salam (Maha Penyelamat); Al Mu’min (Maha Pemelihara Keamanan); Al Muhaimin (Maha Penjaga, Maha Pemberi Kebahagiaan); Al Wahhaab  (Maha Pemberi); dan seterusnya sampai dengan sembilan puluh sembilan perbuatan Allah SWT. Yang mana shibghah akan menjadikan ruh memiliki sifat, yang mana sifat yang melekat pada ruh harus menjadi perbuatan ruh dan dari sinilah akan tampil jati diri manusia yang sesungguhnya adalah nilai nilai kebaikan yang menjadi sifat daripada ruh. 

 

Sekarang mari kita perhatikan diri kita sendiri, apakah Sibghah dari Allah SWT yang berasal dari Af’al (perbuatan) Allah SWT atau perbuatan-perbuatan Allah SWT itu ada dalam diri kita? Untuk itu kita dapat merasakannya sendiri dengan menyatakan adakah rasa pengasih dalam diri kita? Adakah rasa penyayang dalam diri kita? Adakah rasa memiliki dalam diri kita? Adakah rasa penyelamat dalam diri kita? Lalu tanyakan lagi kepada diri sendiri, apakah rasa pengasih dan penyayang, rasa memiliki dan rasa penyelamat  yang ada dalam diri kita itu Ada dengan sendirinya tanpa ada yang mengadakannya, ataukah rasa itu semua datang begitu saja?

 

Siapakah yang sanggup menciptakan seluruh rasa yang ada di dalam diri kita? Jawaban dari pertanyaan ini adalah seluruh rasa yang ada di dalam diri berasal dari pencipta semua rasa, lalu siapakah dia? Jawaban dari pertanyaan ini adalah Allah SWT sebagaimana termaktub dalam surat Al Hasyr (59) ayat 22-23-24 berikut ini: “Dia-lah Allah Yang tiada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia, Yang Mengetahui yang ghaib dan yang nyata, Dia-lah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Dia-lah Allah yang tiada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia, Raja, Yang Maha Suci, Yang Maha Sejahtera, Yang Mengaruniakan Keamanan, Yang Maha Memelihara, Yang Maha Perkasa, Yang Maha Kuasa, Yang Memiliki Segala Keagungan, Maha Suci, Allah dari apa yang mereka persekutukan. Dia-lah Allah Yang Menciptakan, Yang Mengadakan, Yang Membentuk Rupa, Yang Mempunyai Nama-Nama Yang Paling baik, bertasbihlah kepada-Nya apa yang ada di langit dan di bumi. Dia-lah  Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”

 

Sekarang jika di dalam diri kita sudah ada nilai-nilai ilahiah yang berasal dari proses shibghah kepada ruh maka kita dapat memastikan bahwa nilai nilai kebaikan adalah sifat dasar daripada ruh diri kita. Hal ini dikarenakan sesuatu yang bersifat buruk apalagi sifat tercela tidak akan mungkin berasal dari Allah SWT. Selanjutnya jika saat ini kita masih suka saling berantam,  masih suka saling menghasut, masih suka saling memfitnah, masih suka berbuat tidak adil, masih suka berbuat ingkar janji, masih suka korupsi, masih suka menyakiti sesama dan seterusnya dari manakah itu semua dan kemana larinya nilai-nilai kebaikan yang berasal dari nilai-nilai ilahiah yang telah Allah SWT berikan kepada kita? Hilangnya atau tidak mampunya sifat ruh menjadi perbuatan manusia akibat pengaruh (memperturutkan) ahwa (hawa nafsu) dan juga syaitan sehingga yang tampil menjadi perilaku kita adalah nilai nilai keburukan. Akhirnya diri kita tidak sejalan lagi dengan kehendak Allah SWT.

 

Lalu, untuk apakah Allah SWT sampai memberikan shibghah atau celupan yang berasal dari Af’al (perbuatan) Allah SWT itu sendiri kepada setiap ruh manusia yang kemudian menjadi sifat ruh? Manusia diciptakan oleh Allah SWT dalam kerangka rencana besar untuk dijadikan abd’ (hamba)-Nya yang juga adalah khalifah-Nya di muka bumi. Sebagai seorang abd’ (hamba)-Nya yang juga adalah khalifah-Nya di muka bumi, maka manusia menjadi perpanjangan tangan Allah SWT untuk mengurus, untuk memelihara serta untuk menjaga apa-apa yang telah Allah SWT ciptakan di muka bumi sehingga terciptalah kehidupan yang aman, tenteram, sejahtera serta dalam suasana keadilan oleh sebab adanya abd’ (hamba)-Nya dan juga khalifah-Nya.

 

Dan untuk memudahkan tugas tersebut maka setiap manusia yang telah diberikan sibghah oleh Allah SWT yang berasal dari Af’al-Nya maka setiap manusia wajib menjadikannya sebagai perbuatannya sehari hari atau wajib mendayagunakannya dalam koridor nilai-nilai kebaikan kepada sesama yang membutuhkannya. Adanya kondisi saling memberi dan saling menerima maka salah satu tujuan  adanya abd’ (hamba) yang juga khalifah di muka bumi dapat terlaksana dengan baik, serta apa yang dikehendaki Allah SWT dapat tercapai.

 

Saat ini kita telah mengetahui perbuatan jasmani yang di dalam AlQuran dikatakan dengan istilah ahwa dan juga kita telah pula mengetahui perbuatan ruh yang di dalam AlQuran dikatakan dengan istilah Nafs/Anfuss. Lalu bisakah kita membedakannya? Jika kita termasuk orang yang telah tahu diri, maka kita akan mudah mengetahui perbedaan yang mencolok antara ahwa dengan nafs/anfuss. Hal ini dikarenakan perbuatan keduanya sangat bertolak belakang. Ahwa sangat berkesesuaian dengan Nilai-Nilai Keburukan yang sangat dikehendaki syaitan, sedangkan Nafs/Anfus sangat berkesesuaian dengan Nilai-Nilai Kebaikan yang sangat dikehendaki Allah SWT. Adanya kondisi ini seharusnya dapat menyadarkan diri kita untuk berhati-hati di dalam bertindak dan berbuat karena hasil akhir dari apa yang kita lakukan, kita jugalah yang akan menikmatinya.

 

Selanjutnya jika diri kita yang sesungguhnya adalah ruh berarti sifat dan perbuatan diri kita yang sesungguhnya harus pula mencerminkan perbuatan Allah SWT yang termaktub di dalam nama nama Allah yang indah lagi baik (asmaul husna) sehingga perilaku diri kita sesuai dengan nilai-nilai kebaikan yang sesuai dengan kehendak Allah. Sekarang sudahkah perilaku diri kita yang sesungguhnya sesuai dengan kehendak Allah SWT? Jika apa yang kami kemukakan di atas ini belum dapat kita tunjukkan dan perlihatkan dalam kehidupan sehari-hari, berarti kita belum dapat dikatakan mengenal Allah (ma’rifatullah) yang sesuai dengan kehendak Allah SWT.

Sekarang bisakah kita membayangkan jika cabe yang memiliki sifat pedas lalu cabe tidak mampu memedaskan apa-apa yang diliputinya atau bahkan cabe tidak pedas lagi, lalu apakah cabe masih pantas menyandang gelar sang pemedas? Hal yang samapun berlaku jika ruh manusia yang sudah disifati oleh Allah SWT dengan sifat kasih sayang namun perbuatannya tidak bisa saling sayang menyayangi dengan sesama umat manusia, apakah patut disebut sebagai abd’ (hamba)Nya yang juga adalah khalifahNya di muka bumi ini? Disinilah letaknya kita mampu mempertunjukkan bahwa jati diri kita yang sesungguhnya adalah ruh, yaitu mampunya kita mempertunjukkan sifat dasar ruh (nass) menjadi perbuatan diri kita saat hidup di muka bumi dalam bentuk bentuk kebaikan yang sesuai dengan kehendak Allah SWT. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar