Label

MEMANUSIAKAN MANUSIA: INILAH JATIDIRI MANUSIA YANG SESUNGGUHNYA (79) SETAN HARUS JADI PECUNDANG: DIRI PEMENANG (68) SEBUAH PENGALAMAN PRIBADI MENGAJAR KETAUHIDAN DI LAPAS CIPINANG (65) INILAH ALQURAN YANG SESUNGGUHNYA (60) ROUTE TO 1.6.799 JALAN MENUJU MAKRIFATULLAH (59) MUTIARA-MUTIARA KEHIDUPAN: JALAN MENUJU KERIDHAAN ALLAH SWT (54) PUASA SEBAGAI KEBUTUHAN ORANG BERIMAN (50) ENERGI UNTUK MEMOTIVASI DIRI & MENJAGA KEFITRAHAN JIWA (44) RUMUS KEHIDUPAN: TAHU DIRI TAHU ATURAN MAIN DAN TAHU TUJUAN AKHIR (38) TAUHID ILMU YANG WAJIB KITA MILIKI (36) THE ART OF DYING: DATANG FITRAH KEMBALI FITRAH (33) JIWA YANG TENANG LAGI BAHAGIA (27) BUKU PANDUAN UMROH (26) SHALAT ADALAH KEBUTUHAN DIRI (25) HAJI DAN UMROH : JADIKAN DIRI TAMU YANG SUDAH DINANTIKAN KEDATANGANNYA OLEH TUAN RUMAH (24) IKHSAN: INILAH CERMINAN DIRI KITA (24) RUKUN IMAN ADALAH PONDASI DASAR DIINUL ISLAM (23) ZAKAT ADALAH HAK ALLAH SWT YANG HARUS DITUNAIKAN (20) KUMPULAN NASEHAT UNTUK KEHIDUPAN YANG LEBIH BAIK (19) MUTIARA HIKMAH DARI GENERASI TABI'IN DAN TABI'UT TABIIN (18) INSPRIRASI KESEHATAN DIRI (15) SYAHADAT SEBAGAI SEBUAH PERNYATAAN SIKAP (14) DIINUL ISLAM ADALAH AGAMA FITRAH (13) KUMPULAN DOA-DOA (10) BEBERAPA MUKJIZAT RASULULLAH SAW (5) DOSA DAN JUGA KEJAHATAN (5) DZIKIR UNTUK KEBAIKAN DIRI (4) INSPIRASI DARI PARA SAHABAT NABI (4) INILAH IBADAH YANG DISUKAI NABI MUHAMMAD SAW (3) PEMIMPIN DA KEPEMIMPINAN (3) TAHU NABI MUHAMMAD SAW (3) DIALOQ TOKOH ISLAM (2) SABAR ILMU TINGKAT TINGGI (2) SURAT TERBUKA UNTUK PEROKOK dan KORUPTOR (2) IKHLAS DAN SYUKUR (1)

Jumat, 03 Mei 2024

PENAMPILAN ORANG YANG TELAH MAMPU MA'RIFATULLAH (PART 3 of 3)

 

Sebagai abd’ (hamba)-Nya yang juga khalifah-Nya yang sudah mengenal Allah (ma’rifatullah) berarti kita sudah menyatakan bahwa diri kita yang sesungguhnya adalah ruh yang tidak lain adalah Nur Allah SWT. Timbul pertanyaan, butuhkah diri kita yang sesungguhnya (maksudnya adalah ruh) dengan Allah SWT selaku pencipta dan peniup langsung ruh yang juga pemilik alam semesta ini, atau butuhkah ruh dengan Allah SWT selaku pencipta dari ruh itu sendiri? Berikut ini akan kami kemukakan jawaban dari pertanyan dimaksud, yaitu:

 

1.     Jika kita mengacu kepada ketentuan Adz Dzariyat (51) ayat 56 dan juga surat Al Baqarah (2) ayat 30 yang menerangkan setiap manusia yang ada di muka bumi ini adalah hamba-Nya yang juga adalah khalifah-Nya maka alangkah lucunya, alangkah naifnya, alangkah tidak tahu dirinya seorang abd’ (hamba)-Nya yang juga adalah khalifah-Nya yang ada di dunia ini sudahlah menumpang di langit dan di bumi Allah, sudahlah menjadi tamu yang pada akhirnya harus keluar dari muka bumi ini. Akan tetapi tidk mau mengakui, tidak mau berkomunikasi dengan yang mengutusnya padahal Allah SWT itu sendiri ada bersamanya.

 

Dan jika ini sampai kita lakukan kepada Allah SWT berarti memang kita tidak tahu diri. Selanjutnya jika kita termasuk orang yang tahu diri maka sudah sepatutnyalah kita selalu berkomunikasi dengan Allah SWT kapanpun, dimanapun, dan dalam kondisi apapun karena keberadaan diri kita di muka bumi ini ada karena Allah SWT dan juga kita ada karena dikehendaki oleh Allah SWT dalam rangka melaksanakan rencana besar penciptaan manusia di muka bumi serta karena ruh yang asalnya dari allah SWT membutuhkan perawatan yang bersumber dari Allah SWT sehingga dengan adanya kondisi ini maka kita sangat membutuhkan Allah SWT.

 

Selain daripada itu, sebagai seorang abd’ (hamba)Nya yang juga khalifahNya di muka bumi tentu kita tidak dapat begitu saja melaksanakan tugas muka bumi ini karena undang-undang, ketentuan, hukum yang berlaku di muka bumi bukan berasal dari diri kita, melainkan dari Allah SWT selaku pencipta dan pemilik langit dan bukti. Untuk itu kita harus sadar dan kita harus mengerti bahwa Allah SWT adalah pencipta dan pemilik dari apa saja yang ada di langit dan di bumi sedangkan kita adalah sesuatu yang tidak memiliki apapun juga di langit dan di bumi ini. Kita hanyalah orang yang sedang menumpang, kita adalah tamu yang sedang bertamu, maka sudah sepatutnyalah kita berusaha dari waktu ke waktu untuk menjadi makhluk yang terhormat dihadapan Yang Maha Terhormat, dengan cara mematuhi segala ketentuan Allah SWT.

 

2.   Cahaya lampu tidak bisa melepaskan diri dari lampu, karena dari lampulah cahaya itu berasal, atau cahaya ada karena adanya lampu. Adanya kondisi ini berarti cahaya lampu tidak akan pernah ada jika lampunya tidak ada dengan demikian cahaya lampu sangat membutuhkan lampu. Sekarang bagaimana dengan ruh yang berasal dari Nur Allah SWT? Jika cahaya lampu saja sangat membutuhkan lampu, maka hal yang samapun berlaku pada ruh yaitu ruh sangat membutuhkan Allah SWT. Sehingga dapat kita katakana bahwa Nur Allah SWT sangat membutuhkan Allah SWT selaku sumbernya. Sekarang apa jadinya cahaya lampu jika tidak disambungkan dengan lampu? Cahaya lampu menjadi tidak ada, atau cahaya lampu akan mengalami degradasi kualitas, atau cahaya lampu menjadi suram  karena tidak memiliki cahaya lagi, atau cahaya lampu hilang ditelan kegelapan.

 

Sekarang bagaimana jika ruh tidak kita sambungkan dengan Allah SWT? Jika sampai ruh diri kita tidak kita sambungkan, atau tidak kita sinergikan dengan Allah SWT maka kualitas dari diri kita yang sesungguhnya mengalami penurunan kefitrahannya, menurunkan kemampuan ruh karena mengalami degradasi sehingga tidak mampu menolong jasmani saat mengalami gangguan kesehatan, serta ruh akan sangat mudah dipengaruhi (di intervensi) oleh ahwa (hawa nafsu) dan juga syaitan. Hasil dari ini semua dapat menjadikan jiwa kita dimasukkan ke dalam kategori jiwa fujur, sesuatu yang paling dikehendaki oleh syaitan sanglaknatullah serta paling tidak sesuai dengan kehendak Allah SWT.

 

Sebagai abd’ (hamba)-Nya yang juga khalifah-Nya di muka bumi yang telah menyatakan dirinya yang sesungguhnya adalah ruh berarti sampai dengan kapanpun juga kita sangat membutuhkan Allah SWT. Seperti halnya cahaya lampu yang sangat membutuhkan lampu. Sekarang jika ruh adalah diri kita yang sesungguhnya lalu bagaimana dengan orang lain yang ada di muka bumi? Hal yang samapun berlaku bagi semua orang yang ada di muka bumi ini  yaitu diri mereka semua yang sesungguhnya adalah ruh yang asalnya hanya dari Allah SWT semata dan berarti pula mereka semua sangat membutuhkan Allah SWT. Untuk itu jangan pernah sekalipun kita berseberangan dengan Allah SWT karena akan merugikan diri kita sendiri yang pada akhirnya akan berdampak negatif kepada hidup dan kehidupan kita di dunia dan di akhirat kelak.

 

Sekarang wajibkah kita yang sudah menyatakan bahwa diri kita yang sesungguhnya adalah ruh untuk memperlihatkan, untuk mempertunjukkan sifat-sifat alamiah ruh yang selalu berkesesuaian dengan Nilai-Nilai Ilahiah dalam kehidupan sehari-hari? Jika kita merasa abd’ (hamba)-Nya yang juga khalifah-Nya di muka bumi yang sedang menumpang di langit dan di bumi Allah SWT maka sudah sepatutnya kita mepertunjukkan dan memperlihatkan perbuatan ruh menjadi perbuatan diri kita sehingga salah satu tujuan konsep kekhalifahan di muka bumi dapat kita laksanakan terutama mampu menampilkan penampilan Allah SWT di muka bumi melalui nama nama-Nya indah lagi baik. Dan jika sampai diri kita tidak mampu menampilkannya berarti kita belum bisa dikatakan mampu mengenal Allah (ma’rifatullah) yang sesuai dengan kehendak Allah SWT.

 

D.    SESUAI KATA DENGAN PERBUATAN

 

Bukti lainnya yang harus ada di dalam diri setelah kita mampu mengenal Allah (ma’rifatullah)  adalah sesuai kata dengan perbuatan, atau kita harus bisa membuktikan apa-apa yang telah kita katakan atau nyatakan dengan perbuatan yang kita lakukan. Sebagai contoh, jika kita hanya mengaku-ngaku jujur tanpa pernah dibuktikan, tentu hal ini tidak dapat dijadikan patokan bahwa diri kita adalah seorang yang jujur. Untuk itu kejujuran yang ada pada diri kita harus dibuktikan terlebih dahulu di tengah masyarakat barulah timbul kepercayaan orang terhadap kejujuran yang kita miliki.

 

Adanya kondisi seperti ini menunjukkan bahwa apa yang kita katakan baru dapat dipercayai oleh orang lain sepanjang apa yang kita katakan tersebut sesuai dengan apa yang kita perbuat. Tanpa ada kesesuaian Kata dengan Perbuatan maka apa-apa yang telah kita katakan tidak akan dapat memberikan dampak positif di masyarakat tentang apa yang kita katakan tersebut. Untuk itulah penilaian kejujuran harus diperoleh dan didapat dari orang lain atau harus berasal dari pihak ke tiga. Setelah memiliki predikat Jujur lalu selamanyakah kita akan jujur? Jujur yang ada di dalam diri tidak selamanya bisa bertahan dari waktu ke waktu, untuk itu Kejujuran harus terus dibina dan dipertahankan dari waktu ke waktu. Tanpa ada perawatan dan tanpa ada pembinaan tentang kejujuran yang kita miliki maka kejujuran yang ada pada diri kita kemungkinan akan luntur atau bahkan hilang.

 

Lalu bagaimana dengan keimanan kita kepada Allah SWT, apakah keimanan kondisinya sama dengan kejujuran (maksudnya adalah sesuai kata dengan perbuatan)? Kualitas keimanan   yang ada dalam diri bukanlah diri kita sendiri yang menilainya. Untuk itu jika kita telah menyatakan beriman kepada Allah SWT maka hanya Allah SWTlah  yang akan menilai  iman  yang ada di dalam diri kita. Selanjutnya untuk membuktikan adanya keimanan kepada Allah SWT maka hal ini tidak bisa hanya dikatakan dengan ucapan secara lisan semata. Akan tetapi keimanan kepada Allah SWT harus ditunjukkan dan harus dibuktikan dalam perbuatan serta sikap kita kepada Allah SWT dan juga kepada sesama manusia seperti halnya diri kita membuktikan adanya kejujuran.

 

Jika iman kepada Allah SWT yang kita miliki tidak bisa dibuktikan kepada Allah SWT, lalu bagaimana Allah SWT akan tahu bahwa diri kita telah beriman kepadaNya, atau bagaimana Allah SWT akan memberikan penilaian atas keimanan yang lakukan? Untuk menunjukkan bahwa diri kita telah iman kepada Allah SWT maka kita diharuskan untuk menunjukkan bukti atas apa-apa yang telah kita nyatakan tersebut. Tanpa adanya bukti yang tercermin dari perbuatan dan tingkah laku kita kepada Allah SWT yang kita imani maka diri kita belum dapat dikatakan telah beriman kepada Allah SWT.

 

Hal yang harus kita perhatikan adalah, jika kita telah mampu mengenal Allah (ma’rifatullah) maka antara kata dan perbuatan haruslah seiring dan sejalan. Jangan sampai kata yang kita ucapkan adalah beriman kepada Allah SWT namun perbuatan yang kita lakukan tidak mencerminkan apa-apa yang telah kita katakan tersebut. Untuk itu kita harus dapat membuktikan keimanan kepada Allah SWT yang telah kita ikrarkan dengan melakukan perbuatan-perbuatan yang mendukung apa-apa yang telah kita katakan. Ingat, Allah SWT Maha Tahu dengan apa yang kita ucapkan dan Allah SWT juga Maha Tahu dengan apa yang kita perbuat. Adanya kemampuan Allah SWT yang mengetahui itu semua maka Allah SWT tidak akan pernah mampu dibohongi, atau  Allah SWT tidak akan pernah mampu ditipu jika kita hanya berpura-pura Iman dan Yakin.

 

Selanjutnya, di dalam melaksanakan iman kepada Allah SWT hanya ada 2(dua) kondisi di hadapan Allah SWT yaitu iman kepada Allah SWT ataukah ingkar kepada Allah SWT sebab tidak ada istilah Abu-Abu di dalam iman kepada Allah SWT, atau yang pasti Allah SWT tidak mengenal istilah standard ganda. Hal yang sering terjadi di tengah masyarakat adalah kita mau menyatakan iman kepada Allah SWT. Akan tetapi konsekuensi untuk menunjuk-kan keimanan  kepada Allah SWT tidak mau kita lakukan. Sedangkan hasil akhir dari keimanan kepada Allah SWT tetap ingin kita peroleh. Dan hal yang pasti jika kita menerapkan prinsip ini kepada Allah SWT jangan pernah berharap kenikmatan bertuhankan kepada  Allah SWT dapat kita rasakan, atau jangan pernah berharap kita berada di dalam kehendak Allah SWT, atau jangan pernah berharap dapat pulang kampung ke syurga. 

 

Berikut ini akan kami kemukakan beberapa catatan yang harus bisa kita laksanakan sebagai bukti jika kita telah mampu mengenal Allah (ma’rifatullah) yang sesuai dengan kehendak Allah SWT sebagai bukti sesuai kata dengan perbuatan, yaitu:

 

1.   Jika kita termasuk orang yang telah mampu mengenal Allah (ma’rifatullah) berarti kita  harus bisa menjadikan setan sebagai musuh abadi diri kita, bagi anak dan keturunan kita selama hayat masih di kandung badan. Dan jika kita sampai diri kita menjadikan setan beserta antek-anteknya sebagai kawan, sebagai komandan, sebagai konsultan, sebagai pengawal, sebagai guru, sebagai atasan bagi diri kita berarti kita telah melanggar ketetapan Allah SWT yang berlaku di muka bumi ini dan berarti bersiap-siaplah menanggung segala resiko yang ditimbulkan oleh tindakan kita sendiri yang tidak menjadikan setan sebagai musuh.

 

Dan sebagai makhluk yang diciptakan oleh Allah SWT lebih baik dari pada setan maka sudah sepantasnya dan seharusnya kita dapat mengalahkan segala ajakan, mengalahkan segala pengaruh, mengalahkan segala hasutan, mengalahkan segala iming-iming dari setan. Selain daripada itu sudah seharusnya pula diri kita mampu  memenangkan pertandingan melawan setan saat menjadi abd’ (hamba)-Nya yang juga khalifah-Nya di muka bumi.

 

Dan jika saat ini kita menjadi pecundang dan syaitan malah menjadi pemenang berarti apa yang dikehendaki oleh Allah SWT kepada diri kita, tidak mampu kita laksanakan dengan baik karena kita tidak tahu diri, karena kita tidak mau belajar tentang diri sendiri, sebagaimana dikemukakan oleh Ali bin Abi Thalib ra, berikut ini: "Cukuplah kebodohan seseorang itu ketika dia tidak mengenal kadar dirinya". Karena jika kita tidak mengenal diri kita posisi kita atau di mana kita harus menempatkan diri kita. Semakin seseorang itu pandai tetapi tidak tahu di mana posisinya, maka semakin jauh ia akan tersesat. Salah satu contoh seseorang yang tidak mengenal posisinya ialah ketika ia tidak mengenal siapa lawan dan siapa kawan, siapa yang harus ia tarik dan siapa yang harus ia tolak.” 

 

Dan jika kita termasuk orang yang telah ma’rifatullah atau termasuk orang yang tahu diri tentunya kehendak  Allah SWT itulah yang menjadi panduan dan pedoman kita di dalam melaksanakan tugas sebagai abd’(hamba)-Nya yang juga khalifah-Nya di muka bumi dan ini berarti kita adalah pemenang sehingga berhak pulang kampung ke tempat yang terhormat, dengan cara yang terhormat, untuk bertemu dengan Yang Maha Terhormat, dalam suasana yang saling hormat menghormati.


2.   Jika kita termasuk orang yang telah mampu mengenal Allah (ma’rifatullah) berarti kita adalah orang yang telah mampu bertekad bulad untuk selalu bertuhankan kepada Allah SWT selamanya, dimanapun dan dalam kondisi apapun juga sehingga mampu merasakan nikmatnya bertuhankan kepada Allah SWT tidak hanya sekali-kali saja, namun terus dan terus dari waktu ke waktu sepanjang Hayat masih dikandung badan. Sebagaimana dikemukakan dalam surat Ali Imran (3) ayat 51 berikut ini: “Sesungguhnya Allah, Tuhanku dan Tuhanmu, karena itu sembahlah Dia. Inilah jalan yang lurus".

 

3.   Jika kita termasuk orang yang telah mampu mengenal Allah (ma’rifatullah) berarti kita tidak akan pernah sekalipun menjadikan diri kita sendiri sebagai Tuhan selain Allah SWT oleh sebab apapun juga, termasuk di dalamnya mengaku-ngaku sebagai Nabi. Sebagaimana dikemukakan dalam surat Ali Imran (3) ayat 79 berikut ini: tidak wajar bagi seseorang manusia yang Allah berikan kepadanya Al Kitab, Hikmah dan kenabian, lalu Dia berkata kepada manusia: "Hendaklah kamu menjadi penyembah-penyembahku bukan penyembah Allah." akan tetapi (dia berkata): "Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani[208], karena kamu selalu mengajarkan Al kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya.

 

[208] Rabbani ialah orang yang sempurna ilmu dan takwanya kepada Allah s.w.t.

 

4.   Jika kita termasuk orang yang telah mampu mengenal Allah (ma’rifatullah) berarti kita adalah tidak akan pernah menyuruh orang lain, mengajarkan orang lain untuk bertuhankan kepada selain Allah SWT oleh sebab apapun juga, termasuk di dalamnya tidak menyuruh orang lain untuk menjadi Nabi Palsu. Sebagaimana dikemukakan dalam surat Ali Imran (3) ayat 80 berikut ini: dan (tidak wajar pula baginya) menyuruhmu menjadikan Malaikat dan Para Nabi sebagai tuhan. Apakah (patut) Dia menyuruhmu berbuat kekafiran di waktu kamu sudah (menganut agama) Islam?".

 

5.   Jika kita termasuk orang yang telah mampu mengenal Allah (ma’rifatullah) berarti kita tidak akan pernah memakai calo, atau perantara untuk berkomunikasi dengan Allah SWT, dan tidak pula menjadikan diri sendiri sebagai calo atau perantara untuk berkomunikasi dengan Allah SWT oleh sebab apapun juga. Sebagaimana dikemukakan dalam surat Az Zumar (39) ayat 3 berikut ini: Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik). dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata): "Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan Kami kepada Allah dengan sedekat- dekatnya". Sesungguhnya Allah akan memutuskan di antara mereka tentang apa yang mereka berselisih padanya. Sesungguhnya Allah tidak menunjuki orang-orang yang pendusta dan sangat ingkar.”

 

6.   Jika kita termasuk orang yang telah mampu mengenal Allah (ma’rifatullah) berarti kita tidak akan pernah meminta upah, meminta imbalan, baik langsung ataupun tidak langsung kepada masyarakat, kepada jamaah, sewaktu menjalankan tugas bagi kemaslahatan orang banyak. Hal ini dikarenakan upah dan imbalan bagi orang yang telah ma’rifatullah hanyalah dari Allah semata. Sebagaimana dikemukakan dalam surat Saba’ (34) ayat 47 berikut ini: Katakanlah: "Upah apapun yang aku minta kepadamu, Maka itu untuk kamu[1245]. Upahku hanyalah dari Allah, dan Dia Maha mengetahui segala sesuatu".

 

[1245] Yang dimaksud dengan Perkataan ini ialah bahwa Rasulullah s.a.w. sekali-kali tidak meminta upah kepada mereka. tetapi yang diminta Rasulullah s.a.w. sebagai upah ialah agar mereka beriman kepada Allah. dan iman itu adalah buat kebaikan mereka sendiri.

 

7.   Jika kita termasuk orang yang telah mampu mengenal Allah (ma’rifatullah) berarti kita telah paham dan telah mengerti benar bahwa jika bertuhankan kepada selain Allah SWT adalah seperti berlindung kepada sarang laba-laba, atau berlindung kepada rumah yang paling lemah, yaitu berlindung kepada sarang laba-laba. Sebagaimana dikemukakan dalam surat Al Ankabuut (29) ayat 41 berikut ini: perumpamaan orang-orang yang mengambil pelindung-pelindung selain Allah adalah seperti laba-laba yang membuat rumah. dan Sesungguhnya rumah yang paling lemah adalah rumah laba-laba kalau mereka mengetahui.”

 

8.   Jika kita termasuk orang yang telah mampu mengenal Allah (ma’rifatullah) berarti kita tidak akan pernah mempertuhankan  guru, ulama, ustad, orang pintar, tokoh panutan, pemimpin menjadi Tuhan selain Allah SWT oleh sebab apapun juga dan dalam kondisi apapun. Sebagaimana dikemukakan dalam surat At Taubah (9) ayat 31 berikut ini: mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai Tuhan selain Allah[639] dan (juga mereka mempertuhankan) Almasih putera Maryam, Padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan yang Esa, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.”

 

[639] Maksudnya: mereka mematuhi ajaran-ajaran orang-orang alim dan rahib-rahib mereka dengan membabi buta, biarpun orang-orang alim dan rahib-rahib itu menyuruh membuat maksiat atau mengharamkan yang halal.

 

9.   Jika kita termasuk orang yang telah mampu mengenal Allah (ma’rifatullah) berarti kita tidak akan pernah sekalipun menjadikan ahwa (hawa nafsu) sebagai Tuhan selain Allah SWT atau tidak akan mempertuhankan ahwa (hawa nafsu), sebagaimana dikemukakan dalam surat Al Furqaan (25) ayat 43 berikut ini: Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya. Maka Apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya?,

 

Untuk itu ketahuilah dengan seksama, apa yang kami kemukakan di bawah ini, di langit dan di bumi yang diciptakan oleh Allah SWT, tidak berlaku ketentuan waktu bisa diputar ulang, tidak akan pernah ada toko khusus yang memperjualbelikan dosa dan juga pahala serta tidak akan pernah ada pula peribahasa, menyesal adanya di muka. Adanya ketentuan ini, maka tidak ada jalan lain bagi diri kita untuk segera memperbaiki diri jika kita belum sesuai dengan kehendak Allah SWT, gunakan kesempatan yang masih kita miliki dengan sebaik-baiknya, manfaat sisa usia kita sebelum malaikat Izrail memisahkan ruh dengan Jasmani diri kita.

 

Hal ini dikarenakan Allah SWT tidak akan pernah merubah keadaan diri kita yang hina, yang penuh dosa, yang sesuai dengan kehendak syaitan, yang berada di dalam jiwa Fujur, sepanjang diri kita tidak mau melakukan perubahan di usia kita yang masih tersisa. Sehingga jika kita berdosa maka kitalah yang akan menanggung segala akibat dari dosa yang pernah kita lakukan dan ingat hanya saat hidup di muka bumi inilah kita memiliki kesempatan langsung untuk  meminta ampunan kepada Allah SWT. Sekarang segera tentukan sikap, dengan mengambil tindakan nyata, apakah kita mau menjadi makhluk yang terhormat dihadapan Allah SWT atau mau menjadi makhluk yang terhormat di hadapan syaitan.

 

Akhirnya kita harus mampu melaksanakan ketentuan hadits berikut ini: “Abu Said ra, berkata: Nabi bersabda; “Seseorang yang memberi sedekah satu dirham selama hidupnya, lebih baik baginya daripada memberi seratus dirham di waktu matinya”. (Hadits Riwayat Abu Dawud).”  Hadits ini mengemukakan tentang nilai (value) dari perbuatan baik yang kita laksanakan sangat bernilai tinggi dihadapan Allah SWT jika kita mampu melaksanakannya saat diri kita masih hidup, dengan perbandingan satu berbanding seratus. Adanya kondisi ini maka sudah seharusnya orang yang telah mengenal Allah (ma’rifatullah) mampu berbuat kebaikan sebanyak banyaknya saat hidup di muka bumi tanpa ada rasa takut, justru yang ada adalah rasa ridha untuk berbuat kebaikan, kebaikan dan kebaikan terus dan terus sepanjang hayat masih di kandung badan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar