Sebagai abd’ (hamba)-Nya yang juga khalifah-Nya yang sudah mengenal Allah
(ma’rifatullah) berarti kita sudah menyatakan bahwa diri kita yang sesungguhnya
adalah ruh yang tidak lain adalah Nur Allah SWT. Timbul pertanyaan, butuhkah
diri kita yang sesungguhnya (maksudnya adalah ruh) dengan Allah SWT selaku
pencipta dan peniup langsung ruh yang juga pemilik alam semesta ini, atau
butuhkah ruh dengan Allah SWT selaku pencipta dari ruh itu sendiri? Berikut ini
akan kami kemukakan jawaban dari pertanyan dimaksud, yaitu:
1. Jika kita mengacu kepada ketentuan Adz Dzariyat (51) ayat 56 dan juga
surat Al Baqarah (2) ayat 30 yang menerangkan setiap manusia yang ada di muka
bumi ini adalah hamba-Nya yang juga adalah khalifah-Nya maka alangkah lucunya,
alangkah naifnya, alangkah tidak tahu dirinya seorang abd’ (hamba)-Nya yang juga
adalah khalifah-Nya yang ada di dunia ini sudahlah menumpang di langit dan di
bumi Allah, sudahlah menjadi tamu yang pada akhirnya harus keluar dari muka
bumi ini. Akan tetapi tidk mau mengakui, tidak mau berkomunikasi dengan yang
mengutusnya padahal Allah SWT itu sendiri ada bersamanya.
Dan jika ini sampai kita lakukan kepada Allah SWT
berarti memang kita tidak tahu diri. Selanjutnya jika kita termasuk orang yang
tahu diri maka sudah sepatutnyalah kita selalu berkomunikasi dengan Allah SWT
kapanpun, dimanapun, dan dalam kondisi apapun karena keberadaan diri kita di
muka bumi ini ada karena Allah SWT dan juga kita ada karena dikehendaki oleh
Allah SWT dalam rangka melaksanakan rencana besar penciptaan manusia di muka
bumi serta karena ruh yang asalnya dari allah SWT membutuhkan perawatan yang
bersumber dari Allah SWT sehingga dengan adanya kondisi ini maka kita sangat
membutuhkan Allah SWT.
Selain daripada itu, sebagai seorang abd’ (hamba)Nya
yang juga khalifahNya di muka bumi tentu kita tidak dapat begitu saja
melaksanakan tugas muka bumi ini karena undang-undang, ketentuan, hukum yang
berlaku di muka bumi bukan berasal dari diri kita, melainkan dari Allah SWT
selaku pencipta dan pemilik langit dan bukti. Untuk itu kita harus sadar dan
kita harus mengerti bahwa Allah SWT adalah pencipta dan pemilik dari apa saja
yang ada di langit dan di bumi sedangkan kita adalah sesuatu yang tidak
memiliki apapun juga di langit dan di bumi ini. Kita hanyalah orang yang sedang
menumpang, kita adalah tamu yang sedang bertamu, maka sudah sepatutnyalah kita
berusaha dari waktu ke waktu untuk menjadi makhluk yang terhormat dihadapan
Yang Maha Terhormat, dengan cara mematuhi segala ketentuan Allah SWT.
2. Cahaya lampu tidak bisa melepaskan diri dari lampu, karena dari lampulah
cahaya itu berasal, atau cahaya ada karena adanya lampu. Adanya kondisi ini
berarti cahaya lampu tidak akan pernah ada jika lampunya tidak ada dengan
demikian cahaya lampu sangat membutuhkan lampu. Sekarang bagaimana dengan ruh
yang berasal dari Nur Allah SWT? Jika cahaya lampu saja sangat membutuhkan
lampu, maka hal yang samapun berlaku pada ruh yaitu ruh sangat membutuhkan
Allah SWT. Sehingga dapat kita katakana bahwa Nur Allah SWT sangat membutuhkan
Allah SWT selaku sumbernya. Sekarang apa jadinya cahaya lampu jika tidak
disambungkan dengan lampu? Cahaya lampu menjadi tidak ada, atau cahaya lampu
akan mengalami degradasi kualitas, atau cahaya lampu menjadi suram karena tidak memiliki cahaya lagi, atau
cahaya lampu hilang ditelan kegelapan.
Sekarang bagaimana jika ruh tidak kita sambungkan dengan
Allah SWT? Jika sampai ruh diri kita tidak kita sambungkan, atau tidak kita
sinergikan dengan Allah SWT maka kualitas dari diri kita yang sesungguhnya
mengalami penurunan kefitrahannya, menurunkan kemampuan ruh karena mengalami
degradasi sehingga tidak mampu menolong jasmani saat mengalami gangguan
kesehatan, serta ruh akan sangat mudah dipengaruhi (di intervensi) oleh ahwa
(hawa nafsu) dan juga syaitan. Hasil dari ini semua dapat menjadikan jiwa kita
dimasukkan ke dalam kategori jiwa fujur, sesuatu yang paling dikehendaki oleh syaitan
sanglaknatullah serta paling tidak sesuai dengan kehendak Allah SWT.
Sebagai abd’ (hamba)-Nya yang juga khalifah-Nya di muka bumi yang telah
menyatakan dirinya yang sesungguhnya adalah ruh berarti sampai dengan kapanpun
juga kita sangat membutuhkan Allah SWT. Seperti halnya cahaya lampu yang sangat
membutuhkan lampu. Sekarang jika ruh adalah diri kita yang sesungguhnya lalu
bagaimana dengan orang lain yang ada di muka bumi? Hal yang samapun berlaku
bagi semua orang yang ada di muka bumi ini yaitu diri mereka semua yang sesungguhnya
adalah ruh yang asalnya hanya dari Allah SWT semata dan berarti pula mereka
semua sangat membutuhkan Allah SWT. Untuk itu jangan pernah sekalipun kita
berseberangan dengan Allah SWT karena akan merugikan diri kita sendiri yang
pada akhirnya akan berdampak negatif kepada hidup dan kehidupan kita di dunia
dan di akhirat kelak.
Sekarang wajibkah kita yang sudah menyatakan bahwa diri kita yang
sesungguhnya adalah ruh untuk memperlihatkan, untuk mempertunjukkan sifat-sifat
alamiah ruh yang selalu berkesesuaian dengan Nilai-Nilai Ilahiah dalam
kehidupan sehari-hari? Jika kita merasa abd’ (hamba)-Nya yang juga khalifah-Nya
di muka bumi yang sedang menumpang di langit dan di bumi Allah SWT maka sudah
sepatutnya kita mepertunjukkan dan memperlihatkan perbuatan ruh menjadi
perbuatan diri kita sehingga salah satu tujuan konsep kekhalifahan di muka bumi
dapat kita laksanakan terutama mampu menampilkan penampilan Allah SWT di muka
bumi melalui nama nama-Nya indah lagi baik. Dan jika sampai diri kita tidak
mampu menampilkannya berarti kita belum bisa dikatakan mampu mengenal Allah (ma’rifatullah)
yang sesuai dengan kehendak Allah SWT.
D. SESUAI KATA DENGAN
PERBUATAN
Bukti lainnya yang harus ada di dalam diri setelah kita mampu mengenal
Allah (ma’rifatullah) adalah sesuai kata
dengan perbuatan, atau kita harus bisa membuktikan apa-apa yang telah kita
katakan atau nyatakan dengan perbuatan yang kita lakukan. Sebagai contoh, jika
kita hanya mengaku-ngaku jujur tanpa pernah dibuktikan, tentu hal ini tidak
dapat dijadikan patokan bahwa diri kita adalah seorang yang jujur. Untuk itu
kejujuran yang ada pada diri kita harus dibuktikan terlebih dahulu di tengah
masyarakat barulah timbul kepercayaan orang terhadap kejujuran yang kita
miliki.
Adanya kondisi seperti ini menunjukkan bahwa apa yang kita katakan baru
dapat dipercayai oleh orang lain sepanjang apa yang kita katakan tersebut
sesuai dengan apa yang kita perbuat. Tanpa ada kesesuaian Kata dengan Perbuatan
maka apa-apa yang telah kita katakan tidak akan dapat memberikan dampak positif
di masyarakat tentang apa yang kita katakan tersebut. Untuk itulah penilaian
kejujuran harus diperoleh dan didapat dari orang lain atau harus berasal dari
pihak ke tiga. Setelah memiliki predikat Jujur lalu selamanyakah kita akan jujur?
Jujur yang ada di dalam diri tidak selamanya bisa bertahan dari waktu ke waktu,
untuk itu Kejujuran harus terus dibina dan dipertahankan dari waktu ke waktu.
Tanpa ada perawatan dan tanpa ada pembinaan tentang kejujuran yang kita miliki
maka kejujuran yang ada pada diri kita kemungkinan akan luntur atau bahkan
hilang.
Lalu bagaimana dengan keimanan kita kepada Allah SWT, apakah keimanan kondisinya
sama dengan kejujuran (maksudnya adalah sesuai kata dengan perbuatan)? Kualitas
keimanan yang ada dalam diri bukanlah
diri kita sendiri yang menilainya. Untuk itu jika kita telah menyatakan beriman
kepada Allah SWT maka hanya Allah SWTlah
yang akan menilai iman yang ada di dalam diri kita. Selanjutnya
untuk membuktikan adanya keimanan kepada Allah SWT maka hal ini tidak bisa
hanya dikatakan dengan ucapan secara lisan semata. Akan tetapi keimanan kepada
Allah SWT harus ditunjukkan dan harus dibuktikan dalam perbuatan serta sikap
kita kepada Allah SWT dan juga kepada sesama manusia seperti halnya diri kita
membuktikan adanya kejujuran.
Jika iman kepada Allah SWT yang kita miliki tidak bisa dibuktikan kepada
Allah SWT, lalu bagaimana Allah SWT akan tahu bahwa diri kita telah beriman kepadaNya,
atau bagaimana Allah SWT akan memberikan penilaian atas keimanan yang lakukan?
Untuk menunjukkan bahwa diri kita telah iman kepada Allah SWT maka kita
diharuskan untuk menunjukkan bukti atas apa-apa yang telah kita nyatakan
tersebut. Tanpa adanya bukti yang tercermin dari perbuatan dan tingkah laku
kita kepada Allah SWT yang kita imani maka diri kita belum dapat dikatakan
telah beriman kepada Allah SWT.
Hal yang harus kita perhatikan adalah, jika kita telah mampu mengenal
Allah (ma’rifatullah) maka antara kata dan perbuatan haruslah seiring dan
sejalan. Jangan sampai kata yang kita ucapkan adalah beriman kepada Allah SWT
namun perbuatan yang kita lakukan tidak mencerminkan apa-apa yang telah kita katakan
tersebut. Untuk itu kita harus dapat membuktikan keimanan kepada Allah SWT yang
telah kita ikrarkan dengan melakukan perbuatan-perbuatan yang mendukung apa-apa
yang telah kita katakan. Ingat, Allah SWT Maha Tahu dengan apa yang kita
ucapkan dan Allah SWT juga Maha Tahu dengan apa yang kita perbuat. Adanya
kemampuan Allah SWT yang mengetahui itu semua maka Allah SWT tidak akan pernah
mampu dibohongi, atau Allah SWT tidak
akan pernah mampu ditipu jika kita hanya berpura-pura Iman dan Yakin.
Selanjutnya, di dalam melaksanakan iman kepada Allah SWT hanya ada 2(dua)
kondisi di hadapan Allah SWT yaitu iman kepada Allah SWT ataukah ingkar kepada
Allah SWT sebab tidak ada istilah Abu-Abu di dalam iman kepada Allah SWT, atau
yang pasti Allah SWT tidak mengenal istilah standard ganda. Hal yang sering
terjadi di tengah masyarakat adalah kita mau menyatakan iman kepada Allah SWT.
Akan tetapi konsekuensi untuk menunjuk-kan keimanan kepada Allah SWT tidak mau kita lakukan.
Sedangkan hasil akhir dari keimanan kepada Allah SWT tetap ingin kita peroleh.
Dan hal yang pasti jika kita menerapkan prinsip ini kepada Allah SWT jangan
pernah berharap kenikmatan bertuhankan kepada
Allah SWT dapat kita rasakan, atau jangan pernah berharap kita berada di
dalam kehendak Allah SWT, atau jangan pernah berharap dapat pulang kampung ke syurga.
Berikut ini akan kami kemukakan beberapa catatan yang harus bisa kita
laksanakan sebagai bukti jika kita telah mampu mengenal Allah (ma’rifatullah)
yang sesuai dengan kehendak Allah SWT sebagai bukti sesuai kata dengan
perbuatan, yaitu:
1. Jika kita termasuk orang yang telah mampu mengenal Allah (ma’rifatullah)
berarti kita harus bisa menjadikan setan sebagai musuh
abadi diri kita, bagi anak dan keturunan kita selama hayat masih di kandung
badan. Dan jika kita sampai diri kita menjadikan setan beserta antek-anteknya
sebagai kawan, sebagai komandan, sebagai konsultan, sebagai pengawal, sebagai
guru, sebagai atasan bagi diri kita berarti kita telah melanggar ketetapan
Allah SWT yang berlaku di muka bumi ini dan berarti bersiap-siaplah menanggung
segala resiko yang ditimbulkan oleh tindakan kita sendiri yang tidak menjadikan
setan sebagai musuh.
Dan sebagai makhluk
yang diciptakan oleh Allah SWT lebih baik dari pada setan maka sudah
sepantasnya dan seharusnya kita dapat mengalahkan segala ajakan, mengalahkan
segala pengaruh, mengalahkan segala hasutan, mengalahkan segala iming-iming
dari setan. Selain daripada itu sudah seharusnya pula diri kita mampu memenangkan pertandingan melawan setan saat
menjadi abd’ (hamba)-Nya yang juga khalifah-Nya di muka bumi.
Dan jika saat ini
kita menjadi pecundang dan syaitan malah menjadi pemenang berarti apa yang
dikehendaki oleh Allah SWT kepada diri kita, tidak mampu kita laksanakan dengan
baik karena kita tidak tahu diri, karena kita tidak mau belajar tentang diri
sendiri, sebagaimana dikemukakan oleh Ali bin Abi Thalib ra, berikut ini: "Cukuplah kebodohan seseorang itu ketika
dia tidak mengenal kadar dirinya". Karena jika kita tidak mengenal diri
kita posisi kita atau di mana kita harus menempatkan diri kita. Semakin
seseorang itu pandai tetapi tidak tahu di mana posisinya, maka semakin jauh ia
akan tersesat. Salah satu contoh seseorang yang tidak mengenal posisinya ialah
ketika ia tidak mengenal siapa lawan dan siapa kawan, siapa yang harus ia tarik
dan siapa yang harus ia tolak.”
Dan jika kita
termasuk orang yang telah ma’rifatullah atau termasuk orang yang tahu diri
tentunya kehendak Allah SWT itulah yang
menjadi panduan dan pedoman kita di dalam melaksanakan tugas sebagai
abd’(hamba)-Nya yang juga khalifah-Nya di muka bumi dan ini berarti kita adalah
pemenang sehingga berhak pulang kampung ke tempat yang terhormat, dengan cara
yang terhormat, untuk bertemu dengan Yang Maha Terhormat, dalam suasana yang
saling hormat menghormati.
2. Jika kita termasuk orang yang telah mampu mengenal Allah (ma’rifatullah)
berarti kita adalah orang yang telah mampu bertekad bulad untuk selalu
bertuhankan kepada Allah SWT selamanya, dimanapun dan dalam kondisi apapun juga
sehingga mampu merasakan nikmatnya bertuhankan kepada Allah SWT tidak hanya
sekali-kali saja, namun terus dan terus dari waktu ke waktu sepanjang Hayat masih
dikandung badan. Sebagaimana dikemukakan dalam surat Ali Imran (3) ayat 51
berikut ini: “Sesungguhnya Allah, Tuhanku
dan Tuhanmu, karena itu sembahlah Dia. Inilah jalan yang lurus".
3. Jika kita termasuk orang yang telah mampu mengenal Allah (ma’rifatullah)
berarti kita tidak akan pernah sekalipun menjadikan diri kita sendiri sebagai
Tuhan selain Allah SWT oleh sebab apapun juga, termasuk di dalamnya
mengaku-ngaku sebagai Nabi. Sebagaimana dikemukakan dalam surat Ali Imran (3)
ayat 79 berikut ini: “tidak wajar bagi seseorang
manusia yang Allah berikan kepadanya Al Kitab, Hikmah dan kenabian, lalu Dia
berkata kepada manusia: "Hendaklah kamu menjadi penyembah-penyembahku
bukan penyembah Allah." akan tetapi (dia berkata): "Hendaklah kamu
menjadi orang-orang rabbani[208], karena kamu selalu mengajarkan Al kitab dan
disebabkan kamu tetap mempelajarinya.
[208] Rabbani ialah orang
yang sempurna ilmu dan takwanya kepada Allah s.w.t.
4. Jika kita termasuk orang yang telah mampu mengenal
Allah (ma’rifatullah) berarti kita adalah tidak akan pernah menyuruh orang
lain, mengajarkan orang lain untuk bertuhankan kepada selain Allah SWT oleh
sebab apapun juga, termasuk di dalamnya tidak menyuruh orang lain untuk menjadi
Nabi Palsu. Sebagaimana dikemukakan dalam surat Ali Imran (3) ayat 80 berikut
ini: “dan (tidak wajar pula baginya) menyuruhmu menjadikan Malaikat dan Para
Nabi sebagai tuhan. Apakah (patut) Dia menyuruhmu berbuat kekafiran di waktu
kamu sudah (menganut agama) Islam?".
5. Jika kita termasuk orang yang telah mampu mengenal
Allah (ma’rifatullah) berarti kita tidak akan pernah memakai calo, atau
perantara untuk berkomunikasi dengan Allah SWT, dan tidak pula menjadikan diri
sendiri sebagai calo atau perantara untuk berkomunikasi dengan Allah SWT oleh
sebab apapun juga. Sebagaimana dikemukakan dalam surat Az Zumar (39) ayat 3
berikut ini: “Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik).
dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata): "Kami
tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan Kami kepada Allah
dengan sedekat- dekatnya". Sesungguhnya Allah akan memutuskan di antara
mereka tentang apa yang mereka berselisih padanya. Sesungguhnya Allah tidak
menunjuki orang-orang yang pendusta dan sangat ingkar.”
6. Jika kita termasuk orang yang telah mampu mengenal
Allah (ma’rifatullah) berarti kita tidak akan pernah meminta upah, meminta
imbalan, baik langsung ataupun tidak langsung kepada masyarakat, kepada jamaah,
sewaktu menjalankan tugas bagi kemaslahatan orang banyak. Hal ini dikarenakan
upah dan imbalan bagi orang yang telah ma’rifatullah hanyalah dari Allah
semata. Sebagaimana dikemukakan dalam surat Saba’ (34) ayat 47 berikut ini: “Katakanlah: "Upah apapun
yang aku minta kepadamu, Maka itu untuk kamu[1245]. Upahku hanyalah dari Allah,
dan Dia Maha mengetahui segala sesuatu".
[1245]
Yang dimaksud dengan Perkataan ini ialah bahwa Rasulullah s.a.w. sekali-kali
tidak meminta upah kepada mereka. tetapi yang diminta Rasulullah s.a.w. sebagai
upah ialah agar mereka beriman kepada Allah. dan iman itu adalah buat kebaikan
mereka sendiri.
7. Jika kita termasuk orang yang telah mampu mengenal Allah (ma’rifatullah)
berarti kita telah paham dan telah mengerti benar bahwa jika bertuhankan kepada
selain Allah SWT adalah seperti berlindung kepada sarang laba-laba, atau
berlindung kepada rumah yang paling lemah, yaitu berlindung kepada sarang
laba-laba. Sebagaimana dikemukakan dalam surat Al Ankabuut (29) ayat 41 berikut
ini: “perumpamaan orang-orang yang mengambil
pelindung-pelindung selain Allah adalah seperti laba-laba yang membuat rumah.
dan Sesungguhnya rumah yang paling lemah adalah rumah laba-laba kalau mereka
mengetahui.”
8. Jika kita termasuk orang yang telah mampu mengenal
Allah (ma’rifatullah) berarti kita tidak akan pernah mempertuhankan guru, ulama, ustad, orang pintar, tokoh
panutan, pemimpin menjadi Tuhan selain Allah SWT oleh sebab apapun juga dan
dalam kondisi apapun. Sebagaimana dikemukakan dalam surat At Taubah (9) ayat 31
berikut ini: “mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai
Tuhan selain Allah[639] dan (juga mereka mempertuhankan) Almasih putera Maryam,
Padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan yang Esa, tidak ada Tuhan (yang
berhak disembah) selain Dia. Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.”
[639]
Maksudnya: mereka mematuhi ajaran-ajaran orang-orang alim dan rahib-rahib
mereka dengan membabi buta, biarpun orang-orang alim dan rahib-rahib itu
menyuruh membuat maksiat atau mengharamkan yang halal.
9. Jika kita termasuk orang yang telah mampu mengenal
Allah (ma’rifatullah) berarti kita tidak akan pernah sekalipun menjadikan ahwa
(hawa nafsu) sebagai Tuhan selain Allah SWT atau tidak akan mempertuhankan ahwa
(hawa nafsu), sebagaimana dikemukakan dalam surat Al Furqaan (25) ayat 43
berikut ini: “Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya
sebagai Tuhannya. Maka Apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya?,
Untuk itu ketahuilah dengan seksama, apa yang kami kemukakan di bawah
ini, di langit dan di bumi yang diciptakan oleh Allah SWT, tidak berlaku
ketentuan waktu bisa diputar ulang, tidak akan pernah ada toko khusus yang memperjualbelikan
dosa dan juga pahala serta tidak akan pernah ada pula peribahasa, menyesal
adanya di muka. Adanya ketentuan ini, maka tidak ada jalan lain bagi diri kita
untuk segera memperbaiki diri jika kita belum sesuai dengan kehendak Allah SWT,
gunakan kesempatan yang masih kita miliki dengan sebaik-baiknya, manfaat sisa
usia kita sebelum malaikat Izrail memisahkan ruh dengan Jasmani diri kita.
Hal ini dikarenakan Allah SWT tidak akan pernah merubah keadaan diri kita
yang hina, yang penuh dosa, yang sesuai dengan kehendak syaitan, yang berada di
dalam jiwa Fujur, sepanjang diri kita tidak mau melakukan perubahan di usia
kita yang masih tersisa. Sehingga jika kita berdosa maka kitalah yang akan
menanggung segala akibat dari dosa yang pernah kita lakukan dan ingat hanya
saat hidup di muka bumi inilah kita memiliki kesempatan langsung untuk meminta ampunan kepada Allah SWT. Sekarang
segera tentukan sikap, dengan mengambil tindakan nyata, apakah kita mau menjadi
makhluk yang terhormat dihadapan Allah SWT atau mau menjadi makhluk yang
terhormat di hadapan syaitan.
Akhirnya kita harus
mampu melaksanakan ketentuan hadits berikut ini: “Abu Said ra, berkata: Nabi bersabda;
“Seseorang yang memberi sedekah satu dirham selama hidupnya, lebih baik baginya
daripada memberi seratus dirham di waktu matinya”. (Hadits Riwayat Abu Dawud).” Hadits ini mengemukakan tentang nilai
(value) dari perbuatan baik yang kita laksanakan sangat bernilai tinggi
dihadapan Allah SWT jika kita mampu melaksanakannya saat diri kita masih hidup,
dengan perbandingan satu berbanding seratus. Adanya kondisi ini maka sudah
seharusnya orang yang telah mengenal Allah (ma’rifatullah) mampu berbuat kebaikan
sebanyak banyaknya saat hidup di muka bumi tanpa ada rasa takut, justru yang
ada adalah rasa ridha untuk berbuat kebaikan, kebaikan dan kebaikan terus dan
terus sepanjang hayat masih di kandung badan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar