B. PUTUS HUBUNGAN DENGAN
ALLAH SWT
Hal yang kedua yang akan kita peroleh jika kita tidak mau beriman kepada
Allah SWT dengan membangkang segala perintah dan laranganNya adalah terputusnya
hubungan antara diri kita dengan Allah SWT, atau terputusnya hubungan antara abd’
(hamba) yang juga khalifah di muka bumi dengan Allah SWT selaku pencipta dan
pemilik langit dan bumi. Ingat, suatu
hubungan yang bersifat dua arah, tidak akan dapat berjalan jika hanya Allah SWT
saja yang telah menyatakan bahwa Allah SWT adalah Tuhan bagi semesta alam. Sedangkan
diri kita tidak mau mengakui, tidak mau menerima, tidak mau mengimani, tidak
mau meyakini akan keberadaan Allah SWT. Dan yang pasti adalah yang membutuhkan
Allah SWT adalah diri kita, bukan sebaliknya Allah SWT yang membutuhkan diri
kita.
Sekarang mari kita perhatikan, hadits yang kami kemukakan berikut ini: “Ibnu Abbas ra, berkata: Nabi
SAW bersabda: Allah ta’ala berfirman: Tidaklah Aku akan memperhatikan hak
hamba-Ku sebelum ia memperhatikan hak-Ku terhadap dia. (Hadits Qudsi Riwayat
Aththabarani, 272:125) Berdasarkan hadits atas ini, Allah
SWT sudah sangat jelas memberikan penjelasan kepada diri kita bahwa Allah SWT
tidak akan pernah memberikan hak-hak diri kita sepanjang diri kita tidak mau
memenuhi hak-hak Allah SWT terlebih dahulu.
Adanya kondisi ini berarti baik dan buruknya hubungan antara diri kita
dengan Allah SWT sangat tergantung kepada diri kita sendiri, yaitu : (a) Semakin baik kita memenuhi hak-hak Allah
SWT maka semakin baik pula Allah SWT memberikan hak-hak diri kita; (b) Semakin
baik kita beriman kepada Allah SWT, maka semakin baik pula Allah SWT memberikan
hak-hak diri kita; (c) Semakin baik kita sesuai dengan apa yang dikehendaki
Allah SWT, maka semakin baik pula Allah SWT memenuhi janjinya kepada diri kita.
Sekarang bagaimana jika kita tidak mau memenuhi hak-hak Allah SWT, atau
jika kita tidak mau beriman kepada Allah SWT, atau jika kita tidak mau sesuai
dengan apa yang dikehendaki Allah SWT? Dalam
hal ini, yang pasti Allah SWT tidak akan pernah rugi dengan segala apa yang
kita perbuat, dan yang pasti apa yang kita perbuat akan menjauhkan diri kita
dengan Allah SWT dan akan memutuskan hubungan kita dengan Allah SWT. Dan jika ini terjadi kita dipersilahkan oleh
Allah SWT melawan ahwa (hawa nafsu) dan juga syaitan seorang diri saat menjadi abd’
(hamba) yang juga khalifah di muka bumi.
Untuk mempertegas, terputusnya hubungan diri kita dengan Allah SWT, mari
kita perhatikan dengan seksama apa yang terjadi jika radio yang kita miliki
putus hubungan dengan stasiun pemancar karena antena rusak? Terputusnya
hubungan radio yang kita miliki dengan stasiun pemancar bisa disembabkan oleh:
(1) rusaknya antena, dan juga; (2) gelombang radio yang kita miliki tidak
berkesesuaian dengan gelombang yang dipancarkan oleh stasiun pemancar. Adanya
kondisi ini berarti antena sangat memegang peranan penting di radio dan juga
kesesuaian gelombang radio sangat menentukan kualitas siaran radio yang kita
terima. Sekarang akan sia-sia belaka jika kita memiliki radio yang mahal
harganya jika kita tidak bisa menerima siaran akibat dari antenanya tidak
berfungsi dan gelombangnya tidak sesuai. Jika ini yang terjadi pada radio,
sekarang bagaimana jadinya jika diri kita putus hubungan dengan Allah SWT
padahal diri kita sudah diberikan hari nurani oleh Allah SWT?
Seperti kita ketahui bersama, fungsi dari hati nurani diri kita tidak
berbeda jauh dengan fungsi antena pada radio, yaitu hati nurani adalah alat atau media, atau sarana untuk
menjangkau Allah SWT, atau sarana untuk berkomunikasi dengan Allah SWT
sebagaimana dikemukakan dalam hadits berikut ini: Wahab bin Munabbih berkata: Allah ta'ala berfirman: Sesunguhnya
langit-langit dan bumi tidak berdaya menjangkau-Ku, Aku telah dijangkau oleh
hati seorang mukmin. (Hadits Qudsi Riwayat Ahmad dari Wahab bin Munabbih, 272:32).” Sedangkan kesesuaian gelombang atau kesesuaian antara diri kita dengan
Allah SWT sangat tergantung dengan kualitas hati nurani, sebagaimana
dikemukakan dalam hadits berikut ini: “Nabi SAW bersabda: Sesungguhnya bila
seorang hamba melakukan dosa satu kali, maka di dalam hatinya timbul satu titik
noda hitam. Apabila ia berhenti dari perbuatan dosanya dan memohon ampun serta
bertaubat, maka bersihlah hatinya. Jika ia kembali berbuat dosa, maka
bertambahlah hitamnya titik nodanya itu sampai memenuhi hatinya. (Hadits Riwayat Ahmad, Tirmidzi, Ibnu Majah,
Nasa'i; Ibnu Hibban dan Hakim).”
Terputusnya hubungan antara diri kita dengan Allah SWT berarti kita telah
menjadikan hati nurani tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya, atau kita
telah merusak fungsi hati nurani atau kita telah menjadikan hati nurani tidak
bisa memberikan sesuatu untuk memenuhi kebutuhan ruh (jiwa) diri kita, seperti
ketenangan jiwa, pemahaman terhadap sesuatu, perasaan nyaman dan lain
sebagainya karena tertutupnya hati nurani akibat dari perilaku kita yang
berseberangan dengan kehendak Allah SWT, sebagaimana dikemukakan dalam
firmanNya berikut ini: “Sekali-kali tidak
(demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutupi hati
mereka. (surat Al Muthaffiffin (83) ayat 14)
Timbul pertanyaan, kenapa sampai hubungan dengan Allah SWT menjadi
terputus yang mengakibatkan hati nurani yang ada di dalam diri manusia
mengalami kerusakan atau mengalami gangguan? Rusaknya atau terganggunya
hubungan diri kita dengan Allah SWT bukan karena Allah SWT namun karena ulah diri
kita sendiri yang tidak mampu melaksanakan dengan baik dan benar hal-hal yang
kami kemukakan di bawah ini, yaitu:
a. Tidak mau melaksanakan Diinul Islam secara kaffah.
b. Tidak mau menempatkan dan meletakkan Allah SWT sesuai dengan kebesaran
dan kemahaan yang dimiliki-Nya, karena
kita telah mengganti kedudukan Allah SWT
dengan Tuhan-Tuhan baru selain Allah SWT.
c. Akibat perbuatan dosa, atau sengaja berbuat dosa dengan harapan dosanya
nanti diampuni Allah SWT.
d. Memiliki ilmu tetapi tidak mau mengamalkan, beramal tetapi tidak Ikhlas,
atau beramal karena Riya.
e. Memakan rezeki Allah SWT tetapi tidak pernah mau bersyukur serta tidak
Ridha dengan pemberian Allah SWT.
f. Sering mengubur orang mati, namun
tidak mau mengambil pelajaran dari kematian tersebut, dan lain sebagainya.
Akibat dari rusaknya hubungan diri kita dengan Allah SWT akan
mengakibatkan diri kita berada di luar kehendak
Allah SWT yang berarti diri berada di dalam kehendak syaitan sanglaknatullah
serta kita akan mengalami, hal-hal sebagai berikut:
a. Hilangnya fasilitas dan janji-janji Allah SWT yang telah dipersiapkan
oleh Allah SWT untuk manusia.
b. Ketenangan dan ketentraman bathin menjadi sesuatu yang mahal dan sulit
diperoleh.
c. Cinta Allah SWT kepada akal yang diletakkan di dalam hati nurani bertepuk
sebelah tangan akibat putusnya hubungan cinta serta aura dalam diri tidak
terpancar keluar.
d. Pemahaman akan Agama sulit masuk ke dalam diri manusia serta petunjuk Allah
SWT tidak akan pernah didapatkan akibat rusaknya hati nurani.
e. Penyakit di dalam rongga dada, seperti takut, resah, gelisah, menjadi sangat
sulit untuk disembuhkan.
Agar diri kita dapat menjaga dan memelihara hubungan antara diri kita
dengan Allah SWT, atau dalam rangka
menjaga kebersihan dan kesehatan hati nurani, maka:
a. Perbanyaklah Istighfar, meminta ampun, dimanapun, kapanpun yang
dilanjutkan dengan Perbanyaklah dzikir (mengingat Allah SWT) dimanapun,
kapanpun.
b. Perbanyak pergaulan dengan orang-orang shalih dengan sering menghadiri
majelis dan mendengarkan nasehat mereka serta pelajari AlQuran dan amalkan.
c. Perbanyak Qiyamul Lail, melalui shalat Tahajud.
d. Sedikit makan, perbanyak puasa sunat.
e. Bermunajat kepada Allah SWT pada waktu malam hari.
f. Perbanyak shadaqah dan juga
karta karya nyata yang bermanfaat bagi sesama umat manusia, tanpa memandang
suku, agama dan ras.
Sekarang bertanyalah kepada diri sendiri, butuhkah kita dengan Allah SWT
saat melaksanakan tugas sebagai abd’ (hamba) yang juga adalah khalifah di muka
bumi? Jika kita merasa butuh dengan Allah
SWT maka jangan pernah sekejap pun kita putus hubungan dengan Allah SWT hal ini
dikarenakan ahwa (hawa nafsu) dan juga syaitan sudah sangat siap untuk
menggantikan kedudukan Allah SWT saat diri kita memutuskan hubungan dengan
Allah SWT. Dan semoga hal ini tidak pernah terjadi pada diri kita.
C. HIDUPNYA DIPENGARUHI
AHWA (HAWA NAFSU) DAN SETAN.
Hal yang ketiga yang akan kita peroleh dan rasakan jika diri kita tidak
mau beriman kepada Allah SWT adalah hidup yang dijalaninya selalu dipengaruhi
oleh ahwa (hawa nafsu) dan juga setan sehingga segala tindak tanduknya selalu
bertolak belakang dengan apa apa yang dikehendaki Allah SWT. Dalam hal ini
adalah memperturutkan sifat sifat alamiah jasmani yang berasal dari alam
(tanah) yang mencerminkan nilai-nilai keburukan seperti:
a. memperturutkan sifat lemah (melemahkan) yang pada
akhirnya kita hanya diam atau pasif dalam berbuat;
b. memperturutkan sifat pelit dan kikir yang akan
melahirkan sifat memelitkan yang hanya mementingkan diri sendiri;
c. memperturutkan sifat
tamak akan harta yang akan melahirkan segalanya hanya untuk dia saja;
d. suka berburuk sangka kepada orang yang melahirkan
kebencian dan ketidaksukaan kepada orang lain dan lain sebagainya.
Selanjutnya jika sampai sifat bakhil (pelit) sudah menjadi sifat diri
kita, maka di dalam diri kita akan timbul sikap dan perilaku mementingkan diri
sendiri, atau mementingkan kelompok lebih dominan daripada mementingkan
kepentingan umum, atau sukar untuk berbagi dengan sesama, atau semuanya untuk kita yang lain
biarkan saja, sulitnya keteraturan diwujudkan dalam masyarakat, hal ini
ditunjukkan dengan rendahnya tingkat kedisiplinan di tengah masyarakat, sifat
konsumerisme tumbuh kembang di dalam masyarakat, alam semakin hancur, bencana
di mana-mana, pemutarbalikkan fakta menjadi kebiasaan umum, sulitnya kebenaran
diterima oleh masyarakat, mudahnya kemungkaran diterima masyarakat serta hukum
sulit ditegakkan.
Padahal sifat asli dari ruh bukanlah seperti itu, melainkan suka berbagi
sebagai cerminan dari sifat dermawan. Dan jika sampai kita membangkang
ketentuan, hukum, perintah dan larangan dari Allah SWT yang ditunjukkan dengan
kita tidak mau beriman kepada Allah SWT berarti :
a. Kita tidak mau mematuhi perintah dan larangan Allah
SWT, padahal kita sedang menumpang atau menjadi tamu di langit dan di bumi yang
dimiliki dan diciptakan oleh Allah SWT.
b. Kita telah menyerahkan penguasaan ruh diri kita
kepada jasmani sehingga jiwa kita masuk dalam kategori jiwa fujur. Adanya
kondisi ini berarti sifat asli dari ruh berupa Nilai-Nilai Kebaikan yang
berasal dari Nilai-Nilai Ilahiah, telah digantikan atau telah kita tukar dengan
Nilai-Nilai Keburukan yang dibawa oleh jasmani sehingga kita berada di dalam
kehendak syaitan.
c. Kehendak Allah SWT sudah jauh dari diri kita, atau
diri kita sudah tidak sesuai lagi dengan Kehendak Allah SWT.
d. Allah SWT sebagai satu-satunya Tuhan yang berhak di
sembah sudah tidak berlaku lagi sebab sudah digantikan dengan ahwa (bertuhankan
kepada hawa nafsu) sehingga kehidupan dunia sudah lebih dipentingkan daripada kehidupan
akhirat (dunia segala-galanya, akhirat ala kadarnya).
Sebagai abd’ (hamba)-Nya yang juga adalah khalifah-Nya di muka bumi, jangan
sampai diri kita tidak mau beriman kepada Allah SWT, karena dampak dari itu
semua tidak hanya dirasakan oleh diri sendiri, namun juga berdampak negatif
kepada anak keturunan kita sendiri, kepada masyarakat luas dan juga kepada
kualitas dari bumi yang saat ini kita tempati dan berarti tiket masuk ke neraka
Jahannam sudah kita miliki.
Perbuatan sifat
jasmani (ahwa/hawa nafsu) yang telah kami kemukakan di atas, bukanlah sesuatu
yang menakutkan, akan tetapi sebuah sunnatullah yang harus kita terima. Hal ini
dikarenakan melalui ahwa (hawa nafsu) yang didukung syaitan kita dapat
menikmati apa yang dinamakan syurga dan neraka, atau yang dapat menghantarkan
diri kita menjadi pemenang ataupun pecundang. Sebagai abd’ (hamba)-Nya yang sekaligus khalifah-Nya
di muka bumi, kita tidak boleh apriori dengan adanya sifat alamiah jasmani yang
paling disukai oleh setan. Hal ini dikarenakan jika keduanya tidak ada
(maksudnya ahwa (hawa nafsu) dan setan tidak ada) maka hambarlah hidup yang
kita laksanakan, atau monotonlah kehidupan yang ada di muka bumi sehingga kita
tidak akan dapat merasakan menjadi pemenang
jika tidak ada musuh dalam suatu permainan. Hal ini sebagaimana
dikemukakan oleh Allah SWT dalam firman-Nya berikut ini: “Maka
Kami berkata: “Hai Adam, sesungguhnya ini (iblis) adalah musuh bagimu dan bagi
istrimu, maka sekali-kali janganlah sampai ia mengeluarkan kamu berdua dari
surga yang menyebabkan kamu menjadi celaka”. (surat
Thaaha (20) ayat 117)”.
Di lain sisi, Allah SWT telah mengemukakan
dalam surat Al A’raf (7) ayat 17 sebagaimana berikut ini: “kemudian saya akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang mereka,
dari kanan dan dari kiri mereka. dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan
mereka bersyukur (taat)”. Berdasarkan ketentuan ayat ini, syaitan sudah berada di depan diri
kita, di belakang diri kita, di kiri diri kita dan di kanan diri kita, sehingga
diri kita selalu di dalam pantauan radar setan sehingga setan akan selalu
mengitari dan mengelilingi diri kita sebelum melaksanakan aksinya. Setan
sebagai musuh nyata manusia sudah menjadikan diri kita target operasi dan
setan siap melaksanakan aksinya jika ada kesempatan terutama saat manusia
mulai terpengaruh dengan sifat sifat jasmani, atau mulai terpengaruh dengan
ahwa (hawa nafsu), atau saat memulai sesuatu yang serius dengan mengalihkan
pandangan manusia ke gadget, dan seterusnya..
Sekali lagi kami ingatkan, setan walaupun
sudah ada dihadapan (mengelilingi) diri kita, di depan, di belakang, di kanan, di
kiri, namun ia belum bisa melaksanakan aksinya kepada diri kita sepanjang pintu
masuk untuk melaksanakan aksinya tidak ada. Salah satu pintu masuk yang harus
kita waspadai adalah saat diri kita mulai terpengaruh baik langsung ataupun
tidak langsung dari adanya nilai nilai kebaikan yang berasal dari ruh ataupun dari nilai nilai keburukan yang berasal dari jasmani. Jika kita terpengaruh dengan nilai nilai
kebaikan lalu berusaha untuk berbuat kebaikan maka setan mulai melancarkan
aksinya agar diri kita jangan sampai berbuat hal hal yang sesuai dengan
kehendak Allah SWT dan jika sampai kita melaksanakannya (maksudnya setan
tidak mampu mempengaruhi diri kita) maka langkah yang dilakukan oleh setan
berikutnya adalah merubah besaran kebaikan, atau merubah kualitas dari niat
seseorang dalam berbuat, atau mengaburkan keikhlasan di dalam berbuat sehingga
hasilnya akhirnya tidak maksimal.
Lalu bagaimana jika nilai nilai keburukan mulai
mempengaruhi diri kita? Jika kita mulai terpengaruh dengan nilai nilai
keburukan maka setan seperti diberikan bahan bakar yang sangat cepat lagi
hebat untuk melaksanakan aksinya kepada diri kita. Setan langsung menyuruh
kita untuk berbuat tanpa harus memikirkan akibatnya. Setan berupaya jangan
sampai hal yang sudah dihadapannya gagal dilaksanakan oleh manusia. Setan
akan berusaha terus dan terus mempengaruhi manusia untuk melaksanakan apa apa
yang berasal dari nilai nilai keburukan dan bahkan akan menunjukkan jalan bagaimana
hal itu bisa dilaksanakan oleh manusia yang sudah terpengaruh dengan nafsunya.
Dan hal yang harus kita perhatikan adalah akhir
dari pekerjaan setan untuk menggoda dan mengganggu serta merayu manusia, ada
pada firman-Nya berikut ini: “dan berkatalah syaitan tatkala perkara
(hisab) telah diselesaikan: "Sesungguhnya Allah telah menjanjikan kepadamu
janji yang benar, dan akupun telah menjanjikan kepadamu tetapi aku
menyalahinya. sekali-kali tidak ada kekuasaan bagiku terhadapmu, melainkan (sekedar)
aku menyeru kamu lalu kamu mematuhi seruanku, oleh sebab itu janganlah kamu
mencerca aku akan tetapi cercalah dirimu sendiri. aku sekali-kali tidak
dapat menolongmu dan kamupun sekali-kali tidak dapat menolongku. Sesungguhnya
aku tidak membenarkan perbuatanmu mempersekutukan aku (dengan Allah) sejak
dahulu.Sesungguhnya orang-orang yang zalim itu mendapat siksaan yang pedih.
(surat Ibrahim (14) ayat 22)’. Berdasarkan
ketentuan ayat ini, syaitan melakukan aksi lepas tangan dengan segala perbuatannya
kepada manusia, dengan mengatakan “janganlah
kamu mencerca aku, akan tetapi cercalah dirimu sendiri.” Inilah jawaban dan
pernyataan resmi syaitan kepada manusia manusia yang telah terpengaruh oleh
ahwa (hawa nafsu)nya sehingga tidak mau beriman kepada Allah SWT, lalu apa yang
bisa kita perbuat saat hari berhisab kelak, selain menyesali diri sendiri!
Ingat, setan berbuat dan melaksanakan aksinya
sudah itu disetujui oleh Allah SWT sehingga kita wajib menerima setan sebagai
musuh abadi manusia sebagai sebuah keputusan yang tidak bisa diganggu gugat
lagi (given). Jika tanpa ada syaitan maka tidak akan ada proses seleksi secara adil
dan fair tentang siapakah yang berhak menempati syurga dan siapakah yang berhak
menempati neraka. Inilah sunnatullah yang sudah berlaku dan akan berlaku sampai
hari kiamat tiba. Untuk itu, jadilah
orang yang cerdas dalam hidup ini yaitu orang yang memiliki kesadaran tentang tahu diri, tahu
aturan main dan tahu tujuan akhir yang diikuti dengan memiliki ilmu tentang
musuh diri kita, dalam hal ini ahwa (hawa nafsu) yang dibelakangnya ada setan.
Tanpa ini semuanya maka permainan kekhalifahan di muka bumi ini sulit untuk
kita menangkan. Ayo siapkan waktu untuk belajar dan memahami Diinul Islam
secara menyeluruh, bukan hanya sebatas syariatnya saja melainkan sampai dengan
hakekatnya. Selamat menikmati kenikmatan bertuhankan kepada Allah SWT dan semoga
kita semua mampu bertemu Allah SWT kelak di syurga.
Sebagai Abd’ (hamba)
yang sekaligus khalifah Allah SWT di muka bumi berarti diri kita adalah makhluk
terhormat, jika sampai diri kita memperturutkan ahwa (hawa nafsu) demi mengejar
keinginan tertentu melalui cara-cara yang tidak terhormat, seperti membuat
syariat-syariat baru atau membuat ketentuan untuk kepentingan sesaat, berarti
diri kita memang sudah tidak layak lagi menyandang status terhormat. Dan jika
ini sudah terjadi atau kita sudah melakukannya berarti kita tidak akan pernah
sampai ke tempat yang terhormat dengan cara yang terhormat, untuk bertemu
dengan yang Maha Terhormat dalam suasana yang saling hormat menghormati, karena
kita pulang kampungnya ke neraka jahannam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar