B.
CATATAN TENTANG
REZEKI.
Catatan
Rezeki adalah catatan kedua yang dibuat oleh malaikat atas perintah Allah SWT
dari janin yang berusia 120 (seratus dua puluh) hari di dalam rahim seorang ibu.
Sama dengan catatan amal, catatan rezeki yang dibuat oleh malaikat bukanlah catatan tentang rezeki
manusia dan bukan pula catatan tentang rezeki ruh. Hal ini disebabkan pada
saat catatan rezeki dibuat oleh malaikat, ruh belum ditiupkan sehingga kriteria
sebagai manusia belum terpenuhi.
Adanya kondisi ini berarti catatan rezeki yang dibuat oleh malaikat atas
perintah Allah SWT adalah catatan rezeki atas kondisi awal jasmani manusia atau
catatan rezeki atas kondisi awal bangunan jasmani yang tidak dipisahkan dengan
pemenuhan syarat dan ketentuan makan dan minum yang dilakukan oleh orang tua
(dalam hal ini yang berhubungan dengan kualitas sperma dan sel telur serta cara
mempertemukannya).
Semakin baik
pemenuhan syarat dan ketentuan yang telah ditetapkan oleh Allah SWT, akan
semakin baik pula rezeki dari bangunan awal dari jasmani. Demikian pula
sebaliknya, semakin rendah kualitas pemenuhan syarat dan ketentuan yang telah
ditetapkan oleh Allah SWT, akan semakin rendah pula rezeki dari bangunan awal jasmani.
Sekarang apa yang
dimaksud dengan rezeki itu? Rezeki dapat didefinisikan sebagai berikut : (1)
Apa-apa yang telah habis dimakan; (2) Apa-apa yang telah habis dipakai; (3) Apa-apa yang telah habis diinfaqkan. Jika sekarang Malaikat telah memiliki catatan tentang rezeki atas kondisi awal jasmani, timbul pertanyaan
pengertian rezeki yang manakah yang dicatat oleh malaikat? Pengertian rezeki
yang paling cocok dan yang paling sesuai dengan catatan tentang rezeki yang
telah dicatat oleh Malaikat adalah “Apa-apa
yang telah habis dimakan dan Apa-apa yang telah habis dipakai” sedangkan
pengertian rezeki yaitu "Apa-apa
yang telah habis diinfaqkan" tidak sesuai dengan keadaan pada waktu
Malaikat mencatat kondisi janin. Sedangkan pengertian rezeki yang cocok dengan
“Apa-apa yang telah habis diinfaqkan”
merupakan pengertian rezeki untuk manusia atau rezeki setelah bersatunya jasmani
dengan ruhani.
Sekarang, atas dasar
apakah kami mengatakan itu semua? Untuk menjawab pertanyaan ini, kita harus
kembali dahulu kepada janin yang ada di dalam rahim ibu dimana janin itu pada
dasarnya adalah “Apa-apa yang telah habis
dimakan dan Apa-apa yang telah habis dipakai” oleh seorang bapak dan
seorang ibu sebagai penghasil sperma dan penghasil sel telur. Adanya kondisi
ini dapat dikatakan bahwa sperma dan sel telur yang merupakan cikal bakal dari janin merupakan rezeki
dari seorang bapak dan rezeki dari seorang ibu berdasarkan pengertian yang telah kami
kemukakan di atas. Selanjutnya Allah SWT mengemukakan bahwa akan
memberi rezeki yang baik-baik kepada
setiap anak atau kepada setiap manusia, termasuk juga kepada kedua orang
tua dari anak yang dilahirkan. Sebagaimana dikemukakan dalam surat Al Israa’
(17) ayat 30-31 berikut ini: “Sesungguhnya Tuhanmu melapangkan rezki kepada siapa yang Dia kehendaki
dan menyempitkannya; sesungguhnya Dia Maha Mengetahui lagi Maha Melihat akan
hamba-hambanyaNya. Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut
kemiskinan. Kamilah yang akan memberi rezki kepada mereka dan kepadamu.
Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar.” dan juga berdasarkan surat
An Nahl (16) ayat 72 yang kami kemukakan berikut ini: “Allah menjadikan
bagi kamu isteri-isteri dari jenis kamu sendiri dan menjadikan bagimu dari
isteri-isteri kamu itu, anak-anak dan cucu-cucu, dan memberimu rezki dari yang
baik-baik. Maka mengapakah mereka beriman kepada yang bathil dan mengingkari
nikmat Allah? (surat An Nahl (16) ayat 72).”
Adanya penegasan ini
maka setiap anak atau manusia pasti mempunyai rezeki dari Allah SWT tanpa
terkecuali. Rezeki yang seperti apakah yang Allah SWT akan berikan kepada
setiap anak atau kepada setiap manusia? Jika kita kembali kepada pengertian rezeki
yang kami kemukakan di atas maka rezeki yang akan Allah SWT berikan adalah rezeki
yang berhubungan dengan “Apa-apa yang
telah habis di makan dan Apa-apa yang telah habis dipakai” sedangkan untuk “Apa-apa yang telah habis di-infaqkan”
tidak diberikan oleh Allah SWT kepada manusia.
Adanya jaminan dari Allah
SWT kepada setiap anak atau kepada setiap manusia untuk diberikan rezeki dalam
bentuk “Apa-apa yang telah habis di makan
dan Apa-apa yang telah habis dipakai” ini menandakan bahwa Allah SWT
memberikan jaminan kepada setiap anak atau kepada setiap manusia untuk
mendapatkan kebutuhan minimal dalam rangka tumbuh dan kembang apakah melalui makanan
dan minuman atau melalui benda-bnda ciptaan Allah SWT lainnya (seperti udara, air,
hewan, tumbuhan dan lain sebagainya) yang telah dipergunakan oleh anak atau manusia.
Adanya kondisi ini
dapat dikatakan bahwa Allah SWT telah memberikan kepastian akan tumbuh dan kembang
jasmani setiap anak, atau setiap manusia selama jasmani belum berpisah dengan ruhani.
Timbul pertanyaan untuk apa Allah SWT memberikan jaminan rezeki kepada setiap anak
atau kepada setiap manusia? Allah SWT
memberikan jaminan rezeki kepada setiap anak atau kepada setiap manusia dalam
rangka mensukseskan rencana besar penghambaan dan juga kekhalifahan itu sendiri
yaitu menjadikan manusia sukses menjadi abd’ (hamba)-Nya yang juga khalifah-Nya
di muka bumi.
Dan jika sekarang manusia telah direncanakan oleh Allah SWT menjadi abd’
(hamba) yang juga khalifah di muka bumi yang tidak lain perpanjangan tangan
Allah SWT di muka bumi, maka untuk mensukseskan rencana tersebut setiap manusia
diberikan jaminan rezeki dari Allah SWT sehingga dengan adanya jaminan tersebut
akan memudahkan manusia menjadi abd’ (hamba)-Nya yang juga khalifah-Nya di muka bumi. Sekarang jika Allah
SWT telah memberikan jaminan atau garansi atas rezeki kepada setiap anak atau
kepada setiap manusia percayakah kita kepada jaminan Allah SWT tersebut? Sebagai
abd’ (hamba)-Nya yang juga perpanjangan tangan Allah SWT kita wajib mempercayai
akan adanya jaminan rezeki dari Allah
SWT.
Lalu bagaimana dengan
pengertian rezeki yang didefinisikan sebagai “apa-apa yang telah habis diinfaqkan”? Perngertian rezeki ini tidak
sesuai dengan catatan rezeki yang telah dibuat oleh malaikat pada waktu janin
berusia 120 (seratus dua puluh) hari, akan tetapi definisi ini sangat cocok
untuk manusia yang telah berusia remaja (akil baligh) ke atas. Hal ini
dimungkinkan sebab setelah usia remaja (akil baligh) keatas maka manusia
tersebut telah mempunyai kesadaran untuk berbagi atas rezeki yang telah
didapatnya. Apalagi Allah SWT melalui Nabi Muhammad SAW telah menyatakan dengan
tegas bahwa tangan di atas lebih baik dari tangan di bawah serta adanya
kewajiban untuk membayar zakat. Adanya definisi Rezeki yaitu”apa-apa yang
telah habis diinfaqkan” berarti kita diperintahkan oleh Allah SWT untuk saling
berbagi kepada sesama umat manusia.
Untuk apakah rezeki
didefinisikan dengan “apa-apa yang telah
habis diinfaqkan” sedangkan kondisi awal jasmani telah mempunyai rezeki
yang pasti? Rezeki didefinisikan dengan “apa-apa
yang telah habis diinfaqkan” sangat berhubungan erat dengan komponen manusia
yang berasal dari Allah SWT dalam hal ini adalah ruh. Untuk apa ruh memerlukan rezeki
sedangkan rezeki atas jasmani telah dijamin oleh Allah SWT? Allah SWT hanya
memberikan jaminan atas rezeki jasmani, akan tetapi Allah SWT tidak memberikan jaminan
atau garansi atas rezeki ruh. Hal ini disebabkan
rezeki ruh merupakan tanggung jawab pribadi masing-masing.
Adanya rezeki yang
diberikan kepada ruh oleh pribadi masing-masing merupakan salah satu bentuk pemeliharaan,
perawatan dan pembinaan serta peningkatan kualitas atas ruh sehingga kemampuan ruh
tetap berada di dalam koridor kefitrahan yang Allah SWT kehendaki. Semakin
banyak rezeki yang diberikan kepada ruh maka Allah SWT akan meluaskan rezeki
bagi siapa yang di kehendakinya, demikian pula sebaliknya semakin sedikit rezeki
yang diberikan kepada ruh maka Allah SWT akan menyempitkan rezeki bagi siapa
yang di kehendakinya pula, sebagaimana firman-Nya berikut ini: “Kepunyaan-Nyalah
perbendaharaan langit dan bumi; Dia melapangkan rezeki bagi siapa yang
dikehendakiNya dan menyempitkan(nya). Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui segala
sesuatu. (surat Asy Syuura (42) ayat
12).” Allah SWT juga berfirman sebagaimana berikut ini: “Allah
meluaskan rezeki dan menyempitkannya bagi siapa yang Dia kehendaki. Mereka
bergembira dengan kehidupan di dunia, padahal kehidupan dunia itu (dibanding
dengan) kehidupan akhirat, hanyalah kesenangan (yang sedikit). (surat Ar Ra’d
(13) ayat 26)
Rezeki yang diberikan
kepada ruh pada dasarnya adalah pelaksanaan dari perintah Allah SWT untuk
selalu berbagi kepada sesama umat manusia sehingga akan menjadi bekal bagi
manusia untuk pulang kampung apakah pulang ke neraka ataupun pulang ke syurga.
Jika “Kampung Kesengsaraan dan Kebinasaan” yang kita pilih maka berilah rezeki
kepada ruh dengan cara pelit bin bakhil yang sesuai dengan kehendak ahwa (hawa
nafsu) dan syaitan dan jika “Kampung Kebahagiaan” yang kita pilih maka berilah rezeki
kepada ruh sebanyak-banyaknya dengan cara yang di-ridhai Allah SWT yang
dilandasi dengan niat yang ikhlas. Pilihan sekarang ada pada kita sendiri.
Sekarang setelah menjadi abd’ (hamba)-Nya yang juga khalifah-Nya di muka
bumi, sudahkah kita mencari rezeki dalam rangka memenuhi kebutuhan jasmani dan
kebutuhan ruh yang sesuai dengan aturan main Allah SWT? Sebagai abd’
(hamba)-Nya yang juga khalifah-Nya di muka bumi, maka kita tidak diperkenankan
untuk mencari rezeki melalui cara-cara yang tidak sesuai dengan kehendak Allah SWT
yang juga Maha Pemberi Rezeki, sebagaimana dikemukakan dalam surat An Nuur (24)
ayat 37-38 berikut ini: “laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh
jual beli dari mengingati Allah, dan (dari) mendirikan sembahyang, dan (dari)
membayarkan zakat. mereka takut kepada suatu hari yang (di hari itu) hati dan
penglihatan menjadi goncang.(Mereka mengerjakan yang demikian itu) supaya Allah
memberikan Balasan kepada mereka (dengan balasan) yang lebih baik dari apa yang
telah mereka kerjakan, dan supaya Allah menambah karunia-Nya kepada mereka. dan
Allah memberi rezki kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa batas. (surat An Nuur (24) ayat 37-38)
Allah SWT akan memberikan kepada diri kita tambahan karunia dan kemudahan
untuk mendapatkan dan memperoleh rezeki kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa
batas, sepanjang kita melaksanakan dan menjalankan Diinul Islam yang sesuai
dengan Kehendak Allah SWT seperti mendirikan shalat, membayarkan zakat, beriman
kepada hari akhir dst. Selanjutnya rezeki yang seperti apakah yang akan
diberikan oleh Allah SWT kepada umatnya yang menjalankan Diinul Islam yang
sesuai dengan kehendak-Nya?
Jawabannya ada pada hadits berikut ini: Menurut Hadits Qudsi: Allah SWT berfirman kepada
para Malaikat yang diserahi urusan rezeki bani Adam: "Hamba manapun yang
kamu dapati yang cita-citanya hanya satu (yaitu semata-mata untuk akhirat),
jaminlah rezekinya di langit dan di bumi. Dan hamba manapun yang kamu dapati
mencari rezekinya dengan jujur karena berhati-hati mencari keadilan, berilah
dia rezeki yang baik, dan mudahkanlah baginya. Dan jika ia telah melampaui
batas kepada selain itu, biarkanlah dia sendiri mengusahakan apa yang
dikehendakinya. Kemudian dia tidak akan mencapai lebih dari apa yang Aku
tetapkan untuknya. (Hadits Qudsi Riwayat Abu
Naim dari Abu Hurairah r.a)
Selain pengertian rezeki yang telah kami kemukakan di atas, Allah SWT masih
mempunyai pengertian lain dari rezeki yaitu apa yang dinamakan dengan “Rezeki Materiil dan Rezeki Immateriil”.
Apakah yang dimaksud dengan “Rezeki
Materiil dan Rezeki Immateriil” itu menurut Allah SWT? “Rezeki Materiil”
adalah Rezeki yang dapat dihitung atau dapat dikalkulasi dalam bentuk mata uang
ataupun dalam bentuk sesuatu yang mempunyai nilai tertentu seperti emas atau
perak, yang dapat dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan jasmani dan ruh atau
dapat dibelanjakan untuk kepentingan jasmani dan ruh. Sekarang apakah yang
dimaksud dengan “Rezeki Immateriil” itu? “Rezeki
Immateriil” adalah rezeki yang khusus diberikan oleh Allah SWT kepada hamba-Nya
yang sukses melaksanakan dan menjalankan Diinul Islam dalam bentuk atau dalam
rupa yang tidak dapat dikalkulasi dalam mata uang tertentu, namun mempunyai
nilai yang sangat tinggi dibandingkan dengan uang, emas ataupun perak.
Lalu seperti apakah “Rezeki Immateriil” yang akan diberikan Allah SWT
kepada hamba-Nya yang telah sukses menjalankan
Diinul Islam secara kaffah itu: (1) Diberikannya kesehatan yang prima kepada diri kita
termasuk kepada anak dan keturunan kita; (2) Diberikannya kemudahan dan pemahaman yang
lebih atas apa-apa yang kita pelajari atau dimudahkannya kita mendapatkan atau
memperoleh ilmu yang berasal dari Allah SWT melalui firasat, ilham maupun
maunah; (3) Dianugerahkannya kepada
kita keluaga, anak dan keturunan yang baik, pintar, berbakti, shaleh dan
shalehah; (4) Diberikannya umur
panjang (bukan usia panjang) dikarenakan amal dan perbuatan baik yang pernah
kita lakukan; (5) Diberikannya kepada
kita keluarga Sakinah yang penuh rasa sayang di antara sesama anggota keluarga;
(6) Selalu diberikan kemudahan dan
perlindungan di dalam setiap melakukan aktivitas; (7) Terhindarnya diri kita dari prasangka buruk, tipu daya, niat jahat,
niat busuk maupun fitnah; (8) Diberikannya kalam atau ucapan sebagai
sebuah kelebihan dan dengan kelebihan itu memudahkan kita melakukan sebuah
aktivitas. Selanjutnya, coba kita bandingkan antara “Rezeki
Immateriil” yang berasal dari Allah SWT dengan apa yang dapat kita peroleh
melalui “Rezeki Materiil”, yang akan kami kemukakan di bawah ini:
WHAT
MONEY CAN BUY (MONEY IS NOT EVERYTHING)
A Bed but not Sleep; Books but not Brains; Food but not Appetite; Finery but not Beauty;A House but not Home; Medicine but not Health;Luxuries but not Culture; Amusement but not Happiness;Religion but not Salvation.A Clock but not Time; Position but not Resfect
Timbul pertanyaan, rezeki yang manakah yang akan kita cari dalam
kehidupan dunia ini atau saat kita menjadi abd’ (hamba) yang juga khalifah di
muka bumi, yaitu apakah rezeki yang berbentuk Materiil saja yang kita cari,
atau apakah rezeki yang berbentuk immateriil saja yang kita cari. Jika kita
selalu berupaya mencari rezeki yang berbentuk materiil saja, maka hasilnya
belum tentu menghasilkan atau menjadikan diri kita memperoleh rezeki dalam
bentuk immateriil (maksudnya adalah dimudahkan dan dimurahkan oleh Allah SWT
untuk mendapatkan “Rezeki Immateriil”).
Hal yang harus kita perhatikan adalah saat diri kita mencari “Rezeki
Materiil” semata maka ahwa (hawa nafsu) dan juga syaitan akan turut
mempengaruhi diri kita. Sehingga apabila sampai syaitan ataupun ahwa (hawa nafsu) ataupun
kedua-duanya yaitu syaitan dan ahwa (hawa nafsu) mempengaruhi manusia di dalam
mencari “Rezeki Materiil” maka Allah SWT akan lepas tangan dengan apa yang kita
perbuat di dalam mencari “Rezeki Materiil”.
Untuk itu lihatlah orang yang mencari “Rezeki Materiil” yang telah
dipengaruhi oleh ahwa (hawa nafsu) dan juga syaitan, biasanya orang tersebut
sering dan suka menghalalkan segala cara yang penting uang, yang penting
jabatan, yang penting kedudukan didapat serta ia akan susah mengeluarkan Hak Allah SWT yang
melekat di dalam Rezeki yang diperolehnya atau “Rezeki Materiil” yang
diperolehnya hanya untuk kepentingan ia sendiri atau kelompoknya saja tanpa mau
menghiraukan hak hak orang lain. Akan tetapi jika kita berupaya untuk selalu
mencari rezeki dalam bentuk Immateriil maka kita akan memperoleh dan memperoleh
rezeki dalam bentuk Materiil dengan beberapa kemungkinan, yaitu:
a. Kemungkinan pertama,
rezeki yang kita dapatkan dalam bentuk materiil jumlahnya kecil namun dapat
mencukupi segala kebutuhan hidup, atau kecil rezeki materiilnya namun
keberkahan dapat kita peroleh.
b. Kemungkinan kedua,
rezeki yang kita dapatkan dalam bentuk materiil jumlah-nya besar dan bertambah
dari waktu ke waktu atau Besar dan juga membawa keberkahan.
c. Kemungkinan ketiga, orang yang memperoleh rezeki dalam
bentuk immateriil pasti memperoleh rezeki dalam bentuk materiil.
Untuk itu lihatlah orang yang telah memperoleh rezeki immateriil yang
dibelakangnya ada Allah SWT, maka : (1) orang
tersebut akan mudah memberikan atau
mudah berbagi Rezeki yang diperolehnya kepada sesama, atau (2) menjadikan
orang tersebut menjadi orang yang dermawan, atau; (3) orang yang mudah mengeluarkan Hak Allah SWT
yang melekat di dalam Rezeki Materiil yang diperolehnya melalui Zakat, Infaq,
Shadaqah maupun Jariah atau melalui fasilitas Bank Ilahiah.
Selanjutnya jika kita mampu melakukan tiga hal di atas ini maka kita dapat mengumpulkan rezeki bagi ruh
sebagai bekal untuk pulang kampung ke syurga. Kitapun dapat membiayai rezeki
bagi jasmani kita sendiri, anak dan istri kita. Selain daripada itu, jangan
sampai diri kita memberikan rezeki kepada iblis/syaitan akibat ulah diri kita
sendiri yang tidak mau membacakan “Basmallah” saat diri kita makan atau minum,
sebagaimana hadits berikut ini: “Ibnu Abbas ra. berkata: Nabi SAW bersabda: Allah ta'ala berfirman:
Berkata Iblis: Ya, Tuhan; Semua makhluk-Mu telah engkau tentukan rezekinya,
maka manakah rezekiku. Allah berfirman: Rezekimu adalah makanan yang tidak
disebut nama-Ku padanya. (Hadits Qudsi Riwayat
Abussyekkh, 272:259)
Sekarang pilihan untuk mencari rezeki ada pada tangan kita sendiri, Allah
SWT hanya menunjukkan jalan. Allah SWT hanya menentukan batasan halal dan
haram. Allah SWT hanya menunjukkan hasil akhir yang dapat kita peroleh
dari upaya mencari rezeki sebab di lain
sisi kitapun harus waspada dengan iblis/syaitan sebab ia juga mengincar dan
meng-inginkan rezeki yang kita peroleh termasuk di dalamnya iblis/syaitan akan
mempengaruhi kita di dalam cara-cara memperoleh rezeki dan juga ahwa (hawa
nafsu) yang mempunyai sifat kikir, bakhil, pelit yang selalu menyuruh manusia
hanya mementingkan diri sendiri. Untuk itu tidak ada cara lain yang paling baik
selain berpedoman kepada Diinul Islam saat mencari rezeki sebab Allah SWT akan
memudahkan dan melapangkan manusia mencari rezeki baik yang berbentuk Materiil
maupun Immateriil saat hidup di muka bumi.
C.
CATATAN TENTANG AJAL.
Catatan
ajal adalah catatan ke tiga yang dibuat oleh malaikat atas perintah Allah SWT
dari janin yang berusia 120 (seratus dua puluh) hari di dalam rahim seorang ibu.
Sama dengan catatan amal, catatan ajal yang dibuat oleh malaikat bukanlah catatan tentang ajal manusia
dan bukan pula catatan tentang ajal ruh. Hal ini disebabkan pada saat catatan
ajal dibuat oleh malaikat, ruh belum
ditiupkan sehingga kriteria sebagai manusia belum terpenuhi dan juga
dikarenakan ruh itu sendiri tidak memiliki ajal. Adanya kondisi
ini berarti catatan ajal yang dibuat oleh malaikat atas perintah Allah SWT
adalah catatan ajal atas kondisi awal jasmani
manusia atau catatan ajal atas kondisi awal bangunan jasmani sebelum
dipersatukan dengan ruh.
Sekarang seperti
apakah catatan ajal atas kondisi awal jasmani yang dicatat oleh malaikat? Untuk
menjawab pertanyaan ini, mari kita kembali lagi kepada cerita kue yang enak dan
lezat yang kita buat. Dimana kue yang enak dan lezat tidak bisa selamanya enak
dan lezat karena kue memiliki masa kadaluarsa. Panjang dan pendeknya masa
kadaluarsa kue sangat berhubungan erat dengan mutu dari bahan baku kue, ukuran
atau takaran dari bahan baku (sesuai dengan adonan kue), serta proses pembuatan
kue. Semakin baik kita memenuhi syarat dan ketentuan membuat kue maka semakin
baik pula mutu kue sehingga akan menentukan masa kadaluarsa kue. Hal yang harus
kita perhatikan adalah setelah masa kadaluarsa maka kue yang enak dan lezat
sudah tidak bisa dikatakan sebagai kue lagi, melainkan telah menjadi makanan
basi. Selanjutnya jika ini adalah kondisi kue, sekarang bagaimana dengan
kondisi jasmani manusia?
Kondisi jasmani
manusia juga sangat dipengaruhi oleh kondisi makanan dan minuman yang
dikonsumsi oleh orang tua kita. Semakin baik orang tua mampu memenuhi syarat
dan ketentuan “halal lagi baik (thayyib)” serta dibacakan basmallah dan doa dan
juga saat mempertemukan sperma dan ovum juga dengan doa maka semakin baik pula
kondisi dan keadaan jasmani (maksudnya semakin baik kualitas jasmani) yang pada
akhirnya akan mempengaruhi masa berlaku atau kekuatan dari jasmani itu sendiri.
Demikian pula sebaliknya.
Kondisi ini bisa kita
lihat pada anggota tubuh kita, katakan mata. Mata yang sehat sangat membutuhkan
vitamin A namun saat masih dalam kandungan seorang ibu terjadi kekurangan
vitamin A, maka mata akan mengalami penurunan kualitas apabila tidak segera
dikoreksi melalui penambahan vitamin A. Demikian pula tulang yang sangat
membu-tuhkan calcium sehingga jika terjadi kekurangan calcium akan mempengaruhi
kekuatan tulang manusia. Dan seterusnya untuk anggota tubuh kita yang lainnya.
Hal yang harus kita
ketahui adalah ajal dari kondisi awal jasmani bukanlah ketentuan yang bersifat
final. Hal ini dikarenakan jika kondisi catatan yang di buat oleh malaikat
adalah sesuatu yang bersifat negatif, maka dengan memasukkan unsur positif maka
unsur negatif bisa berubah menjadi unsur positif. Apa maksudnya? Katakan di
dalam catatan jasmani manusia yang telah dicatat malaikat memiliki kekurangan
kalsium dan juga memiliki kadar haram, maka dengan menambah asupan kalsium yang
sesuai dengan ilmu kesehatan serta menambah porsi yang halal maka kekurangan
kalsium bisa teratasi sedangkan kadar haram bisa diminimalisir melalui kadar
halal yang kita konsumsi. Adanya kondisi ini maka ajal atau masa aktif dari jasmani
bisa bertambah atau kualitas dari jasmani bisa meningkat dari waktu ke waktu
yang pada akhirnya bisa mempertahankan kualitas dari komponen komponen jasmani
itu sendiri.
Selain daripada itu, ada hal lain yang harus kita pahami bahwa pengertian
usia dan umur tidaklah sama. Usia adalah
saat dipersatukannya ruh dengan jasmani sampai dengan dipisahkannya ruh dengan
jasmani melalui proses sakaratul maut. Sedangkan umur memiliki pengertian
yang lain. Umur adalah sejauh mana
kebaikan yang kita lakukan untuk kemaslahatan umat di dalam koridor berbakti
kepada Allah SWT yang kemudian dikenang oleh umat yang datang di kemudian hari.
Contoh konkritnya adalah usia Buya Hamka sudah tidak ada lagi karena beliau
sudah meninggal dunia, akan tetapi umur Buya Hamka masih terus ada sepanjang
hasil karya Buya Hamka seperti Tafsir Al Azhar masih ada dan masih dipelajari
oleh manusia.
Adanya kondisi ini akan melahirkan beberapa kemungkinan,
yang pertama usia panjang namun umur pendek; yang kedua, usia pendek namun
berumur panjang dan; yang ketiga usia panjang dan berumur panjang. Umur seseorang tidak hanya berpatokan kepada
sesuatu yang bersifat kebaikan semata, akan tetapi juga berpatokan kepada
keburukan yang telah dilakukan oleh seseorang. Adakah contohnya? Jika kita
menyebut Abu Jahal apa yang terpikirkan oleh kita. Jika kita menyebut Fir'aun
apa yang terpikirkan oleh kita, Jika kita menyebut Qorun apa yang terpikirkan
oleh kita? Jika kita menyebut ketiganya yang terpikirkan adalah kejelekan dan
keburukan mereka.
Adanya kondisi ini berarti Abu Jahal, Fir'aun, Qorun memiliki umur yang pendek
karena dikenang di dalam kejelekan dan keburukan.
Selanjutnya Allah SWT
dengan tegas menyatakan bahwa seluruh manusia yang ada di muka bumi ini pasti
akan mati. Seluruh manusia tidak ada yang akan abadi yang sehingga tidak bisa
selamanya hidup di muka bumi ini. Hal ini sebagaimana dikemukakan dalam surat Al Anbiyaa (21) ayat 34 yang
kami kemukakan berikut ini: “Kami tidak menjadikan hidup abadi bagi seorang manusiapun sebelum kami
(Muhammad) ,maka jikalau kamu mati, apakah mereka akan kekal?. Dan juga berdasarkan surat Al Munaafiquun (63)
ayat 11 yang kami kemukakan berikut ini: “Dan Allah sekali-kali tidak akan menangguhkan
(kematian) seseorang apabila datang
waktu kematiannya. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” serta berdasarkan surat Ali Imran (3)
ayat 145 berikut ini: “Sesuatu yang bernyawa tidak akan mati melainkan dengan izin Allah,
sebagai ketetapan yang telah ditentukan waktunya. Barangsiapa menghendaki
pahala dunia, niscaya Kami berikan kepadanya pahala dunia itu, dan barangsiapa
menghendaki pahala akhirat, Kami berikan (pula) kepadanya pahala akhirat. Dan
kami akan memberikan balasan kepada
orang-orang yang bersyukur.” serta yang terakhir berdasarkan firmanNya
berikut ini: “Tiap-tiap yang berjiwa
akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan
pahalamu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam syurga,
maka sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah
kesenangan yang memperdayakan. (surat Ali Imran
(3) ayat 185).”
Adanya ketentuan bahwa
hidup di muka bumi ini tidak ada yang kekal, semuanya akan mengalami kematian,
ini berarti : (a) Sebagai orang yang
menumpang di langit dan di bumi Allah SWT berarti kita tidak bisa selamanya
menumpang, kita harus keluar dari langit dan bumi Allah SWT yang selama ini
kita tumpangi; (b) Sebagai
tamu yang ada di langit dan di bumi Allah SWT berarti kita tidak bisa selamanya
menjadi tamu, kita harus meninggalkan langit dan bumi ini; (c) Sebagai perantau yang ada di
langit dan di bumi Allah SWT berarti kita tidak bisa selamanya merantau, kita
harus pulang kampung, apakah ke syurga ataukah ke neraka; (d) Sebagai abd’ (hamba)Nya yang
juga khalifahNya di muka bumi berarti kita tidak bisa selamanya menjadi abd’
(hamba)Nya yang juga menjadi khalifahNya, kita harus bisa mempertanggung
jawabkan atas segala apa yang telah kita perbuat.
Jika saat ini kita
masih hidup berarti kita masih memiliki kesempatan untuk memperbaiki diri kita
jika masih belum sesuai dengan kehendak Allah SWT. Untuk itu manfaatkanlah sisa
usia yang masih ada pada saat ini karena di langit dan di bumi Allah SWT tidak
berlaku ketentuan menyesal di belakang serta tidak akan ada peristiwa waktu
bisa diputar ulang.
Selain daripada itu,
dengan adanya ketentuan seseorang pasti akan mati, berarti pasti ada kepastian
akan datangnya ajal pada setiap manusia. Dengan adanya ketetapan adanya ajal,
maka akan ada hal yang tidak kita ketahui yaitu kapan datangnya ajal. Disinilah Allah SWT menunjukkan kepada diri
kita akan kekuasaannya yang tidak akan mungkin bisa dihalangi oleh siapapun
juga yaitu dengan menetapkan adanya ajal yang tidak ketahui kapan ajal akan
datang. Adanya kondisi ini kita harus siap kapanpun, dimanapun dan dalam
kondisi apapun juga menghadapi ajal. Hal ini dikarenakan dengan tibanya ajal
bagi diri kita maka berakhirlah penghambaan dan kekhalifahan yang kita
laksanakan di muka bumi ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar