E. ATAS DASAR APA CATATAN ITU DIBUAT? ALLAH SWT ATAU DIRI SENDIRI.
Malaikat telah
diperintahkan oleh Allah SWT untuk mencatat kondisi janin ataupun jasad pada
waktu berusia 120 (seratus dua puluh) hari di dalam rahim seorang ibu, lalu
beranikah Malaikat melanggar perintah Allah SWT atau beranikah Malaikat
merubah-rubah catatan ataupun hal lainnya? Malaikat sebagai Makhluk Allah SWT yang taat
dan patuh sudah pasti tidak akan berani melanggar perintah Allah SWT tersebut. Dan
jika saat ini malaikat telah mencatat catatan tentang Amal, Rezeki, Ajal, Baik
dan Buruk (Bahagia atau Celaka) dari kondisi awal jasmani sebelum ruh
ditiupkan, timbul pertanyaan atas dasar apakah catatan itu dibuat? Apakah Allah SWT yang membuat ataukah diri
sendiri.
Untuk menjawab
pertanyaan ini, kita dapat mempelajarinya melalui firman Allah SWT yang
terdapat di dalam surat Yunus (10) ayat 44
berikut ini: “Sesungguhnya Allah tidak berbuat zalim kepada manusia sedikitpun, akan
tetapi manusia itulah yang berbuat zalim kepada diri mereka sendiri.” dimana Allah SWT
dengan tegas menyatakan bahwa Allah SWT tidak pernah berbuat zhalim kepada manusia
sedikitpun. Jika Allah SWT tidak pernah berbuat zhalim kepada manusia, maka
siapakah yang menjadi tokoh utama dibalik catatan yang dibuat oleh Malaikat
pada waktu janin berusia 120 (seratus dua puluh) hari di dalam rahim seorang
Ibu?
Allah SWT bukanlah penyebab
ataupun tokoh utama dibalik catatan yang dibuat oleh Malaikat, jika bukan Allah
SWT, siapakah dia? Proses terjadinya
janin dalam rahim dimulai dari dipertemukannya sperma dengan sel telur (Ovum),
sekarang siapakah penghasil sperma dan sel telur (ovum)? Sperma dihasilkan oleh
seorang laki-laki (seorang bapak) dan sel telur (ovum) dihasilkan oleh sorang
perempuan (seorang ibu). Adanya kondisi ini berarti yang menjadi tokoh utama
dibalik catatan yang dibuat oleh Malaikat adalah penghasil sperma dan penghasil
sel telur atau yang mempertemukan sperma dengan sel telur, dalam hal ini
adalah seorang bapak dan seorang ibu. Timbul pertanyaan, jika catatan yang
dibuat oleh Malaikat menghasilkan sebuah catatan yang tidak baik maka siapakah
yang paling bertanggung jawab?
Tokoh utama yang paling bertanggung jawab atas
baik atau buruk dari catatan yang dibuat oleh Malaikat terhadap janin yang
berusia 120 hari di dalam rahim adalah seorang ibu dan seorang bapak. Hal ini sesuai dengan
firman Allah SWT di dalam surat An Nisaa’ (4) ayat 79 berikut ini: “Apa saja nikmat
yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan apa saja bencana yang menimpamu, maka
dari (kesalahan) dirimu sendiri. Kami mengutusmu menjadi Rasul kepada segenap
manusia. Dan cukuplah Allah menjadi saksi. (surat An Nisaa’
(4) ayat 79). yang
menegaskan bahwa jika terjadi kesalahan ataupun akibat yang buruk dari sebuah
perbuatan maka itu adalah kesalahan dirimu sendiri.
Selain daripada itu,
jika manusia (maksudnya jasmani sudah bersatu dengan ruh) sudah memiliki
catatan atau sudah ditaqdirkan memiliki catatan tertentu, katakanlah sudah
memiliki catatan buruk sehingga harus pulang ke neraka. Apa arti ini semua? Jika sampai nasib baik dan buruk sudah
ditentukan, jika tempat kembali manusia sudah ditentukan lalu untuk apalagi
manusia diperintah untuk mengerjakan amal shaleh saat hidup di dunia, atau
untuk apalagi manusia diperintahkan untuk melaksanakan Diinul Islam secara
kaffah, atau untuk apalagi kesepakatan Allah SWT dengan syaitan, jika manusia
sudah memiliki ketetapan yang wajib berlaku kepadanya?
Allah SWT selaku
pencipta kekhalifahan di muka bumi pasti tidak akan melakukan hal-hal yang
bertentangan dengan kebesaran yang dimiliki-Nya. Selanjutnya dengan adanya
kondisi yang kami kemukakandi atas,
menandakan nasib baik atau nasib buruk manusia, taqdir baik dan taqdir
buruk manusia, tempat kembali manusia, belum pernah sekalipun ditetapkan oleh Allah
SWT. Akan
tetapi Allah SWT hanya menentukan aturan main saja, jika manusia menempuh jalan kebaikan maka hasil akhirnya syurga
dan jika manusia menempuh jalan keburukan maka hasilnya neraka.
Selanjutnya sebelum
kami membahas lebih lanjut, ada baiknya kami mengemukakan terlebih dahulu
posisi Allah SWT terhadap konsep penghambaan dan kekhalifahan di muka bumi. Allah
SWT di dalam rencana besar manusia menjadi abd’ (hamba) yang sekaligus khalifah
di muka bumi adalah pencipta dan pemilik dan jika Allah SWT adalah pencipta dan
pemilik dari program penghambaan dan juga program kekhalifahan di muka bumi
maka segala ketentuan, segala hukum dan segala undang-undang yang berlaku
adalah ketentuan, hukum, undang-undang dari Allah SWT. Allah SWT selain penentu
kebijaksanaan yang berlaku di muka bumi ini, Allah SWT juga penilai dari
pelaksanaan kebijaksanaan yang telah ditetapkanNya dan Allah SWT juga penilai
dan penentu akhir dari kebijaksanaan yang berlaku di muka bumi ini.
Adanya kondisi ini berarti:
(1) Allah SWT bukanlah pelaksana dari
ketentuan, hukum, undang-undang yang mengatur tentang kebijaksanaan penghambaan
seseorang dan juga tentang kekhalifahan di muka bumi. (2) Allah SWT sangat berkuasa baik di alam
semesta ini maupun di dalam kekhalifahan yang ada di muka bumi ini.Adanya dua buah kondisi
yang kami kemukakan di atas ini, maka setiap abd’ (hamba) yang juga sekaligus
khalifah di muka bumi ini yang wajib melaksanakan dan yang harus mematuhi
segala ketentuan Allah SWT. Akhirnya semuanya terpulang kepada diri kita masing
masing apakah mau melaksanakannya ataukah tidak mau melaksanakannya.
Lalu, bagaimanakah
sikap Allah SWT kepada abd’ (hamba) yang juga khalifahNya yang ada di muka bumi
ini? Secara umum sikap Allah SWT kepada
abd’ (hamba) yang juga khalifahNya yang
ada di muka bumi ini adalah netral (maksudnya terserah makhluknya mau seperti
apa dengan ketentuan yang berlaku di muka bumi sehingga Allah SWT membebaskan
makhluknya untuk memilih). Akan tetapi Allah SWT menjadi tidak netral lagi atau
berpihak kepada diri kita atau kepada anak keturunan kita sepanjang diri kita
mampu beriman dan beramal shaleh atau mampu melaksanakan Diinul Islam secara
kaffah, atau selalu berada di dalam kehendak Allah SWT. Inilah kondisi Allah
SWT yang berlaku kepada setiap abd’ (hamba)-Nya yang juga khalifah-Nya yang ada
di muka bumi, lalu jika ini kondisi dasar Allah SWT kepada abd’ (hamba)-Nya dan
juga kepada khalifah-Nya, sekarang mungkinkah Allah SWT ikut campur dengan apa
yang dilakukan oleh abd’ (hamba)-Nya yang juga khalifah-Nya sehingga Malaikat
mampu mencatat catatan kondisi awal dari Jasmani?
Allah SWT selaku
pembuat ketentuan menyerahkan kepada diri kita sendiri maukah melaksanakan
ketentuan Allah SWT selanjutnya jika kita mau melaksanakan atau tidak mau
melaksanakan ketentuan berarti hasil akhir itulah yang dicatat oleh Malaikat. Dan untuk mempertegas bahwa Allah SWT
bukanlah aktor utama atau tokoh utama atau penanggung jawab dibalik catatan
yang dibuat oleh Malaikat atas kondisi awal dari jasmani. Berikut ini akan
kami kemukakan hal-hal yang menegaskan bahwa Allah SWT selaku pembuat
ketentuan, penilai ketentuan dan penentu hasil akhir dari ketentuan sehingga Allah
SWT sangat netral dengan ketentuan yang telah ditetapkannya sehingga terlihat
dengan jelas sikap Allah SWT kepada abd’ (hamba)-Nya yang juga khalifah-Nya di
muka bumi, sebagai berikut :
1. Allah SWT Maha
Pengasih dan Pengampun. Inilah sikap pertama Allah SWT yaitu Allah SWT sudah
menetapkan atas dirinya kasih sayang. Hal ini sebagaimana dikemukakan dalam
surat Al An’aam (6) ayat 12 yang kami kemukakan berikut ini: “Katakanlah: “Kepunyaan siapakah apa yang ada di langit dan di bumi?”.
Katakanlah: “Kepunyaan Allah”. Dia telah menetapkan atas dirinya kasih sayang.
Dia sungguh-sungguh akan menghimpun kamu pada hari kiamat yang tidak ada
keraguan terhadapnya. Orang-orang yang merugikan dirinya, mereka itu tidak
beriman.” Jika
ini kondisi dasar dari Allah SWT selaku pencipta dan pemilik dari rencana besar
konsep penghambaan dan juga konsep kekhalifahan di muka bumi serta selaku
pembuat ketentuan maka Allah SWT tidak akan mungkin menzhalimi abd’ (hamba)-Nya
yang sekaligus khalifah-Nya sendiri di muka bumi ini. Hal ini dikarenakan Allah
SWT harus memenuhi janji dan sikapnya tersebut diatas baik kepada manusia dan
juga kepada syaitan yang telah disetujui-Nya untuk menggoda dan mengganggu
manusia.
Jika sekarang Allah SWT sudah mewajibkan atas
dirinya sendiri kasih sayang yang tidak lain bagian dari Ar Rahmaan dan Ar
Rahiiem yang dimiliki oleh Allah SWT, lalu untuk siapakah kasih sayang itu? Sebagai pencipta dan
pemilik dari konsep penghambaan dan juga konsep kekhalifahan sudah pasti kasih
sayang Allah SWT bukanlah untuk Allah SWT itu sendiri karena Allah SWT sudah
maha dan akan maha selamanya. Jika kasih sayang Allah SWT bukan untuk Allah SWT
maka kasih sayang Allah SWT pasti untuk makhluk yang diciptakannya sepanjang
makhluk itu mau meminta, mau menerima kasih sayang Allah SWT.
Sekarang apakah kasih
sayang Allah SWT yang tidak lain adalah cerminan dan Ar Rahmaan dan Ar Rahiiem
yang dimiliki Allah SWT itu hanya untuk segolongan umat saja atau untuk Nabi
dan Rasul saja?
Kasih sayang Allah SWT pada dasarnya ditujukan untuk seluruh umat manusia, akan
tetapi kasih sayang Allah SWT ini hanya akan diberikan sepanjang diri kita mau
menerima, mau meminta kasih sayang Allah SWT kepada Allah SWT. Adanya kondisi ini
menunjukkan kepada diri kita bahwa Allah SWT tidak akan pernah menganiaya diri
kita, Allah SWT tidak akan pernah menzhalimi diri kita, sepanjang diri kita mau
dikasih sayangi oleh Allah SWT.
Saat
ini Allah SWT sudah menetapkan dalam diri-Nya Kasih Sayang maka Allah SWT pasti
tidak akan pernah mendzalimi makhluknya. Selanjutnya jika saat ini banyak
terjadi kedzaliman atau jika terjadi aniaya terhadap diri sendiri, darimanakah
itu semua? Allah
SWT menyatakan bahwa yang menganiaya diri sendiri adalah makhluk itu sendiri
(di dalam ayat ini yang dicontohkan oleh Allah SWT adalah Nabi Musa a.s).
sebagaimana dikemukakan Allah SWT dalam surat Al Qashash (28) ayat 16 berikut ini: “Musa mendo’a: ‘Ya Tuhanku, sesungguhnya aku telah menganiaya diriku
sendiri karena itu ampunilah aku”. Maka Allah mengampuninya, sesungguhnya Allah
Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” Selanjutnya jika
sekarang kita telah menganiaya diri sendiri, apa yang harus kita lakukan?
Untuk
itu contohlah apa yang telah Nabi Musa a.s lakukan, yaitu mengakui segala
kesalahan yang dilanjutkan dengan memohon ampun langsung kepada Allah SWT tanpa
harus menungggu nunggu, lakukan sesegera mungkin. Lalu apakah contoh yang telah dilakukan oleh Nabi Musa as, hanya
sekedar cerita yang diceritakan kembali oleh Allah SWT? Sebagai abd’
(hamba)-Nya yang juga khalifah-Nya di muka bumi ketahuilah bahwa cerita tentang
Nabi Musa as, di atas bukanlah cerita yang diceritakan kembali oleh Allah SWT
tanpa maksud dan tujuan yang jelas, melainkan kita harus bisa seperti Nabi Musa
as, yaitu cepat dan lekas meminta ampun kepada Allah SWT setelah melakukan
kesalahan. Semakin cepat diri kita meminta ampun maka semakin cepat pula Allah
SWT mengampuni diri kita, demikian pula sebaliknya.
2. Allah SWT Tidak
Pernah Menganiaya Manusia. Sikap Allah SWT yang ke dua adalah Allah SWT selaku
pencipta dan pemilik dari konsep penghambaan dan konsep kekhalifahan di muka
bumi dengan tegas menyatakan tidak akan mendzhalimi atau tidak akan menganiaya
manusia sedikitpun. Sebagaimana dikemukakan dalam surat Yunus (10) ayat 44 yang
kami kemukakan di bawah ini, “Sesungguhnya Allah tidak berbuat zalim kepada manusia sedikitpun, akan
tetapi manusia itulah yang berbuat zalim kepada diri mereka sendiri.” Jika ini adalah pernyataan Allah SWT kepada
diri kita lalu apakah mungkin Allah SWT tidak konsisten atau apakah Allah SWT
akan ingkar janji dengan pernyataannya yang telah dikemukakan-Nya sehingga
Allah SWT berbuat zhalim kepada diri kita? Di
dalam Ilmu Allah SWT yang sangat maha, dapat dipastikan Allah SWT pasti
memenuhi segala apa-apa yang telah dinyatakannya. Adanya kondisi ini maka
Allah SWT pasti selalu memberikan kasih sayangNya kepada diri kita, yang
menjadi persoalan adalah kita yang akan diberi kasih sayang oleh Allah SWT
justru tidak mempercayai Allah SWT sehingga meminta kasih sayang dari selain
Allah SWT.
Selain
daripada itu, sikap Allah SWT yang lainnya adalah Allah SWT tidak pernah
menganiaya manusia, hal ini berdasarkan surat Huud (11) ayat 101 yang kami
kemukakan berikut ini: “Dan Kami tidaklah
menganiaya mereka, tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri, karena
itu tiadalah bermanfaat sedikitpun kepada mereka sembahan-sembahan yang mereka
seru selain Allah, di waktu azab Tuhanmu datang. Sembahan-sembahan itu tidaklah
menambah kepada mereka kecuali kebinasaan.” Hal ini dikarenakan jika sampai Allah SWT berbuat dzalim
kepada manusia untuk apa lagi Allah SWT
memiliki nama Ar Rachman dan Ar Rahhim jika apa yang dilakukan Allah SWT bertentangan dengan Nama Allah SWT
itu sendiri. Hal ini mustahil terjadi dan jika sekarang manusia
teraniaya atau mengalami kedzaliman, maka itu semua bukan berasal dari Allah
SWT tetapi berasal dari perbuatan atau akibat dari ulah manusia itu sendiri.
Sebagai
bahan perbandingan, lihatlah polisi. Polisi membuat rambu hati-hati kepada seluruh
pemakai jalan, maka jika pemakai jalan tidak mematuhi rambu-rambu tersebut maka
apakah polisi dapat begitu saja dipersalahkan karena telah menganiaya atau mendzalimi
pemakai jalan? Polisi tidak dapat dipersalahkan, jika pemakai
jalan mengalami kecelakaan sepanjang pemakai jalan tidak mau mematuhi rambu-rambu
yang telah dibuat oleh pihak kepolisian. Hal yang samapun berlaku pada Allah
SWT, yaitu Allah SWT tidak akan pernah mendzalimi manusia sepanjang manusia mau
memenuhi segala apa yang telah diperintahkan dan apa yang telah dilarang oleh Allah
SWT.
Apa
yang kami kemukakan di atas, dipertegas kembali oleh Allah SWT melalui
firman-Nya yang terdapat di dalam surat An Nisaa’ (4) ayat 40 berikut ini: “Sesungguhnya Allah tidak menganiaya seseorang walaupun sebesar zarrah,
dan jika ada kebajikan sebesar zarrah, niscaya Allah akan melipat gandakannya
dan memberikan dari sisiNya pahala yang besar.” dimana Allah SWT
tidak akan pernah menganiaya manusia walaupun hanya sebesar zarrah dan jika
Malaikat mampu mencatat merupakan hukum sebab dan akibat dari apa yang
dilakukan oleh manusia itu sendiri. Jika hamba tersebut melakukan amal kebaikan
maka amal kebaikan beserta pahalanya untuk si hamba tersebut demikian pula
sebaliknya jika si hamba tersebut melakukan kejahatan maka hasilnya pun untuk
si hamba yang melakukan kejahatan.
Hal
yang harus kita perhatikan adalah segala sesuatu yang asalnya dari Allah SWT
dapat dipastikan mempunyai Nilai-Nilai Ilahiah dan dapat dipastikan tidak akan
mencelaka-kan manusia sehingga pasti menghasilkan kebaikan dan jika timbul
kezhaliman tidak akan mungkin berasal dari Allah SWT. Sebagai abd’ (hamba)-Nya yang juga khalifah-Nya di muka bumi yakinkan
diri bahwa Allah SWT tidak akan pernah menukar atau membohongi diri kita dengan
menukar perbuatan baik dengan perbuatan buruk. Yang baik pasti menghasilkan yang baik, yang buruk pasti menghasilkan
yang buruk pula sebab inilah Sunnatullah yang pasti berlaku di langit dan di
bumi ini sampai dengan kapanpun juga.
Sekarang
malaikat telah memiliki catatan tentang kondisi awal dari jasmani setiap orang
tanpa terkecuali, ini berarti apa yang dicatat oleh malaikat bukanlah hasil
dari perbuatan Allah SWT, melainkan hasil akhir dari perbuatan diri kita atau
perbuatan orang tua kita di dalam memenuhi segala ketentuan yang telah Allah
SWT tetapkan berlaku di muka bumi ini, seperti syarat dan ketentuan
mengkonsumsi sesuatu termasuk di dalamnya ketentuan mencari penghasilan serta
ketentuan mempertemukan sel telur (ovum) dengan sperma yang sesuai dengan
syariat. Jadi jangan pernah salahkan Allah SWT, jika catatan awal kondisi jasmani
menghasilkan sesuatu yang buruk, ataupun baik karena sunatullah pasti berlaku
sehingga Allah SWT tidak pernah menzhalimi manusia sedikitpun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar