3. Allah SWT Tidak Ridha Manusia Menjadi Kafir. Sikap
Allah SWT yang ketiga adalah Allah SWT tidak ridha manusia menjadi kafir. Hal
ini sebagaimana dikemukakan dalam surat Az Zumar (39) ayat 7 yang kami
kemukakan di bawah ini, “Jika Kamu kafir maka
sesungguhnya Allah tidak memerlukan (imam)mu dan Dia tidak meridhai kekafiran
bagi hamba-Nya; dan jika kamu bersyukur, niscaya Dia meridhai bagimu
kesyukuranmu itu; dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain.
Kemudian kepada Tuhanmulah kembalimu lalu Dia memberitakan kepadamu apa yang
telah kamu kerjakan. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui apa yang tersimpan dalam
(dada)mu.” Hal ini dikarenakan manusia itu sendiri adalah
perpanjangan tangan Allah SWT di muka bumi, dan jika manusia adalah
perpanjangan tangan Allah SWT di muka
bumi berarti manusia tidak pernah akan pernah diprogram oleh Allah SWT untuk
menjadi kafir. Hal ini dikarenakan bertentangan dengan kondisi dasar Allah SWT
yang sudah menetapkan dirinya kasih sayang serta manusia di dalam program
kekhalifahan di muka bumi pulangnya ke syurga bukan ke neraka.
Sekarang lihat diri kita sendiri, dimana di dalam diri kita
pasti terdapat ruh yang berasal dari Allah SWT melalui proses peniupan. Adanya
kondisi ini maka ruh dapat dipastikan memiliki Nilai-Nilai Ilahiah yang berasal
dari Allah SWT yang tidak lain adalah cerminan Asmaul Husna dari Allah SWT itu
sendiri. Di lain sisi setelah ruh
ditiupkan ke dalam jasmani atau disatukan dengan jasmani maka Ruhpun sudah
mengakui bahwa Allah SWT adalah Tuhannya. Adanya Nilai-Nilai Ilahiah yang terdapat
di dalam ruh serta adanya pengakuan ruh kepada Allah SWT, lalu apakah Allah SWT
ridha kepada diri kita jika kita kafir?
Allah
SWT tidak akan pernah ridha kepada makhluknya yang kafir sebab tujuan dari
penciptaan manusia adalah untuk dijadikan perpanjangan tangan Allah SWT di muka
bumi atau akan dijadikan Wakil Allah SWT di muka bumi. Tanpa adanya Nilai-Nilai Ilahiah bagaimana
mungkin manusia dapat menciptakan kasih sayang diantara sesama manusia, atau
bagaimana mungkin akan terjadi keamanan dan ketertiban di muka bumi jika Allah
SWT meridhai kekafiran terjadi? Kekafiran dapat mendatangkan
kehancuran, kekafiran akan dapat menimbrulkan ketidak tentraman serta kebodohan
di muka bumi dan jika ini yang terjadi maka kondisi ini paling disukai oleh syaitan.
4. Allah SWT Tidak Menyukai Manusia Ingkar. Sikap Allah SWT yang
ke empat adalah Allah SWT tidak menyukai manusia ingkar. Sebagaimana
dikemukakan dalam surat Ar Ruum (30) ayat 45 yang kami kemukakan berikut ini: “Agar Allah memberi pahala kepada orang-orang yang beriman dan beramal
saleh dari karuniaNya. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang
ingkar.” Kenapa
Allah SWT tidak suka kepada orang yang ingkar atau kenapa Allah SWT tidak suka
kepada orang tidak menepati janji? Manusia diciptakan oleh Allah SWT dalam rangka dijadikan khalifah di
muka bumi. Untuk dapat menjadi khalifah di muka bumi yang sekaligus makhluk
pilihan, maka dibutuhkan orang-orang yang patuh dan taat kepada Allah SWT
sehingga terjadilah keamanan dan ketertiban serta kenyamanan di muka bumi oleh
sebab adanya abd’ (hamba)-Nya yang juga khalifah-Nya yang tidak ingkar terhadap
tugasnya di muka bumi.
Tanpa adanya
kepatuhan dan ketaatan yang dimiliki oleh manusia sebagai perpanjangan tangan Allah
SWT di muka bumi, dapatkah ketentraman dan ketertiban terjadi jika orang yang
menjadi khalifah di muka bumi adalah orang yang ingkar atau orang yang selalu
ingkar janji?
Seorang abd’ (hamba) yang sekaligus khalifah yang sesuai dengan kehendak Allah
SWT dapat dipastikan memiliki kejujuran
dan selalu menepati janjinya. Sekarang jika Allah SWT sudah menyatakan tidak
suka terhadap manusia yang ingkar, kenapa masih ada manusia yang suka berbuat
ingkar? Hal ini bisa terjadi karena pengaruh ahwa (hawa nafsu) dan juga karena
pengaruh buruk atau terperdaya oleh gangguan dan bisikan syaitan.
5. Allah SWT Tidak Pernah Memerintahkan Manusia Mengerjakan
Kejahatan. sikap
Allah SWT yang ke lima adalah Allah SWT tidak pernah memerintahkan manusia
mengerjakan kejahatan. Sebagaimana dikemukakan dalam surat Al A’raaf (7) ayat
28 yang kami kemukakan di bawah ini, “Dan apabila
mereka melakukan perbuatan keji, mereka berkata: “Kami mendapati nenek moyang
kami mengerjakan yang demikian itu, dan Allah menyuruh kami mengerjakannya.
Katakanlah: “Sesungguhnya Allah tidak menyuruh (mengerjakan) perbuatan yang
keji.” Mengapa kamu mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui?”
Hal ini terlihat dengan tidak ada satupun
kehendak Allah SWT yang memerintahkan
manusia untuk mengerjakan kejahatan atau menyuruh manusia untuk berbuat
kejahatan di muka bumi ini.
Dan jika saat ini
manusia melakukan kejahatan atau jika saat ini banyak terjadi kejahatan, dapat
dipastikan bukan berasal dari perintah Allah SWT melainkan akibat ahwa (hawa
nafsu) dan juga pengaruh buruk dari syaitan sang laknatullah. Selanjutnya jika
sampai Allah SWT memerintahkan manusia berbuat kejahatan di muka bumi, hal ini
sangat bertentangan dengan isi surat An Nisaa (4) ayat 40 di atas yang
menyatakan bahwa Allah SWT tidak pernah sekalipun mendzalimi manusia walaupun
hanya sebesar jarrah. Adanya kejahatan di muka bumi sangat dikehendaki oleh
syaitan sang laknatullah karena dengan adanya kejahatan pasti akan menjadikan
seseorang menjadi calon penghuni neraka dan inilah yang dinantikan oleh syaitan
karena ia memperoleh teman untuk hidup berdampingan di neraka.
6. Allah SWT Tidak Menghinakan Manusia. Sikap
Allah SWT yang ke enam adalah Allah SWT tidak pernah menghinakan manusia.
Sebagaimana dikemukakan dalam surat Al Fajr (89) ayat 16 berikut ini: “Adapun bila Tuhannya mengujinya lalu membatasi rizkinya Maka Dia
berkata: "Tuhanku menghinakanku"[1575]. (surat Al Fajr (89) ayat 16).”
Allah
SWT justru sejak awal menciptakan manusia sudah menempatkan manusia sebagai
makhluk yang terhormat.
[1575]
Maksudnya: ialah Allah menyalahkan orang-orang yang mengatakan bahwa kekayaan
itu adalah suatu kemuliaan dan kemiskinan adalah suatu kehinaan seperti yang
tersebut pada ayat 15 dan 16. tetapi sebenarnya kekayaan dan kemiskinan adalah
ujian Tuhan bagi hamba-hamba-Nya.
Dan
ini berarti kehinaan bukanlah sesuatu yang berasal dari Allah SWT, akan tetapi
sesuatu yang berasal dari diri kita sendiri yang tidak bisa memenuhi kriteria
yang telah ditetapkan oleh Allah SWT. Dan agar diri kita tidak dihinakan oleh Allah
SWT maka kita harus mematuhi segala ketentuan Allah SWT seperti tidak
berlebihan mencintai harta benda atau kekayaan yang kita miliki, tetapi karena
manusia tamak dan rakus tetap melakukan apa yang dilarang oleh Allah SWT
sehingga pada saat harta benda tersebut hilang lalu berburuk sangka kepada Allah
SWT dengan berkata Allah SWT telah menghinakanku, sebagaimana dikemukakan dalam
surat
Al Fajr (89) ayat 20 yang kami kemukakan berikut ini: “dan kamu mencintai
harta benda dengan kecintaan yang berlebihan. (surat Al Fajr (89) ayat 20).
Di lain sisi, hal yang harus kita
perhatikan adalah kedudukan dan kebesaran Allah SWT menurut persangkaan
hamba-Nya kepada-Nya dan jika sangka hamba-Nya baik maka baiklah Allah SWT
demikian pula sebaliknya. Sekarang jika sampai Allah SWT disangka menghinakan
hamba-Nya maka itulah yang diterima oleh hamba tersebut. Untuk itu
berhati-hatilah dengan prasangka karena dengan prasangka mampu menjadikan diri
kita sukses dan juga bisa menghinakan diri kita dihadapan Allah SWT.
7. Allah SWT Selalu
Menyeru Manusia Untuk Selalu Ke dalam Nur-Nya. Sikap Allah SWT yang
ke tujuh adalah Allah SWT selalu menyeru manusia untuk selalu masuk ke dalam
Nur-Nya. Sebagaimana dikemukakan dalam surat An Nuur (24) ayat 35 yang kami
kemukakan berikut ini:“Allah (Pemberi) cahaya
(kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah, adalah seperti sebuah
lubang yang tak tembus, yang didalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam
kaca (dan) kaca seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang
dinyalakan dengan minyak dari pohon yang banyak berkahnya, (yaitu) pohon zaitun
yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah
barat(nya), yang minyaknya (saja) hamper-hampir menerangi, walaupun tidak di
sentuh api. Cahaya diatas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada
cahayaNya siapa yang Di kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan
bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” Untuk apa Allah SWT
selalu memerintahkan manusia untuk selalu berada di dalam Nur-Nya? Manusia
sebagai perpanjangan tangan Allah SWT di muka bumi tidak tentu akan mungkin
bisa dipisahkan dengan Allah SWT selaku pengutus dari diri kita. Jika sampai
diri kita berpisah dengan Allah SWT berarti telah terjadi sebuah kesalahan
besar dalam diri kita.
Di
lain sisi, saat diri kita melaksanakan tugas di muka bumi, maka kita tidak akan
mungkin bisa melepaskan diri dari pengaruh ahwa (hawa nafsu) dan juga syaitan.
Dimana ahwa (hawa nafsu) dan syaitan itu sendiri keberadaannya juga dikehendaki
oleh Allah SWT serta hanya Allah SWT sajalah yang paling tahu dan yang paling
ahli tentang ahwa (hawa nafsu) dan juga syaitan. Sekarang bertanyalah kepada
diri sendiri dengan jujur, mampukah kita seorang diri mengalahkan ahwa (hawa
nafsu) dan juga mampukah kita seorang diri mengalahkan syaitan yang jumlahnya
sudah melebihi jumlah manusia? Hal yang
harus kita jadikan pedoman adalah setiap manusia, siapapun orangnya, apapun
kedudukannya, apapun jabatannya, tidak akan mungkin dapat mengalahkan ahwa
(hawa nafsu) dan syaitan seorang diri serta manusia tidak akan mungkin dapat
menyelesaikan segala persoalan dan problem saat menjadi abd’ (hamba)-Nya yang
juga khalifah-Nya di muka bumi seorang diri pula karena kita memiliki
keterbatasan.
Adanya
keterbatasan kemampuan saat menghadapi ahwa (hawa nafsu) serta syaitan dan juga
problematika hidup, maka kita membutuhkan sesuatu yang melebihi kemampuan diri
kita. Sekarang siapakah yang mampu membantu diri kita? Jika kita berpedoman
bahwa ahwa (hawa nafsu) dan juga syaitan juga diciptakan oleh Allah SWT maka
hanya kepada Allah SWT sajalah kita meminta bantuan. Dan jika sekarang Allah
SWT menyeru kepada diri kita untuk selalu masuk ke dalam Nur-Nya berarti Allah
SWT selaku pencipta diri kita sudah menyatakan kesanggupannya untuk menolong
diri kita.
Akhirnya semuanya terpulang kepada diri kita
sendiri maukah ditolong oleh Allah SWT melalui Nur-Nya Allah SWT? Adanya Adanya Nur
yang diterima dari Allah SWT kepada diri kita manusia melalui hati Ruhani, atau
adanya sambungan langsung melalui doa yang kita panjatkan, maka manusia yang
menjadi abd’ (hamba)-Nya yang juga
khalifah-Nya di muka bumi akan menjadi tenang, tenteram dan selalu dalam
lindungan-Nya dan selanjutnya kemudahanlah yang diterima manusia tersebut di
dalam menjalankan fungsi kekhalifahannya di muka bumi.
8. Allah SWT Sangat Sayang Kepada Manusia. Sikap
Allah SWT yang ke delapan adalah Allah SWT sangat sayang kepada manusia.
Sebagaimana dikemukakan dalam surat Al
An’aam (6) ayat 54 yang kami kemukakan berikut ini: “Apabila
orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat Kami datang kepadamu, maka
katakanlah: “Salaamun-alaikum. Tuhanmu telah menetapkan atas diriNya kasih
sayang, (yaitu) bahwasanya barangsiapa yang berbuat kejahatan di antara kamu
lantaran kejahilan, kemudian ia bertaubat setelah mengerjakannya dan mengadakan
perbaikan, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” Jika Allah SWT sudah
menyatakan hal ini kepada diri kita, lalu apakah kasih sayang Allah SWT yang
sudah ditujukan untuk kita lalu kita biarkan begitu saja tanpa kesan
seolah-olah pernyataan Allah SWT tidak ada?
Allah SWT adalah Tuhan yang selalu siap
menepati janjinya dan jika sekarang
Allah SWT telah menyatakan atas diri-Nya kasih sayang maka patutkah dan
pantaskah Allah SWT melanggar janjinya untuk tidak mengasihi dan menyayangi
manusia? Adalah sebuah pelanggaran besar
jika Allah SWT tidak dapat menepati janjinya untuk memberikan kasih sayang
kepada manusia. Salah satu bukti nyata bahwa Allah SWT itu telah menetapkan
kasih sayang di dalam diri-Nya maka walaupun manusia telah berbuat dosa
sepanjang dosa itu bukan dosa syirik ataupun musyrik maka sepanjang manusia itu
mau bertaubat maka Allah SWT pasti akan mengampuninya. Adanya kondisi ini masih
tidak cukupkah manusia diberikan penjelasan seperti ini.
9. Allah SWT Selalu
Membalas Sesuai Dengan Amal Seseorang. Sikap Allah SWT yang
ke sembilan adalah Allah SWT adalah Tuhan
yang Adil dan Tuhan yang bersikap netral kepada setiap hambanya. Hal ini
sebagaimana dikemukakan dalam surat Az Zumar (39) ayat 70 berikut ini: “Dan disempurnakan bagi tiap-tiap jiwa (balasan) apa yang telah
dikerjakannya dan Dia lebih mengetahui apa yang mereka kerjakan.” dan juga berdasarkan
surat Fushshilat (41) ayat 46 yang kami kemukakan berikut ini: “Barangsiapa yang mengerjakan amal yang saleh maka (pahalanya) untuk
dirinya sendiri dan barangsiapa yang berbuat jahat maka (dosanya) atas dirinya
sendiri; dan sekali-kali tidaklah Tuhanmu menganiaya hamba-hamba(Nya).” Hal ini dibuktikan dengan Allah SWT selalu
memberi balasan pahala sesuai dengan amal seseorang. Dan Allah SWT siap
memberikan pahala kepada setiap manusia yang berbuat baik dan memberikan hukuman kepada hambanya
yang berbuat jahat ataupun berbuat dosa. Namun jika kita ingin bertaubat Allah
SWT pun masih memberikan kesempatan kepada kita sepanjang ruhani belum berpisah
dengan jasmani.
Jika sekarang Allah
SWT selalu melarang hambanya untuk
berbuat kejahatan sebab Allah SWT sayang kepada diri kita dan Allah SWT
berkehendak kepada diri kita untuk selalu bersamanya saat melaksanakan tugas di
muka bumi. Inilah sikap dasar Allah SWT kepada manusia yang telah dijadikannya
sebagai wakil Allah SWT di muka bumi. Allah SWT tidak berkehendak sedikitpun
untuk mencelakakan manusia atau mau menjadikan manusia pulang kampung ke neraka.
Akan tetapi jika manusia jadi celaka, jika manusia keluar dari konsep awal
penciptaannya berarti ada sesuatu yang salah pada diri manusia itu sendiri.
Untuk itu segeralah berkaca dengan cermin yang bersih apakah diri kita saat ini
masih sesuai dengan konsep awal penciptaan manusia. Jika hasil akhirnya
melenceng segeralah melakukan upaya taubatan nasuha sebelum ruh dipisahkan
dengan jasmani oleh malaikat maut.
Selain daripada itu semua, sebagai abd’ (hamba)-Nya yang juga adalah
khalifah-Nya di muka bumi ketahuilah bahwa kondisi dasar dari diri kita tidak
lain adalah celupan Allah SWT (shibghah) sebagaimana
termaktub dalam surat Al Baqarah (2) ayat 138 berikut ini: “Shibghah Allah. Dan siapakah yang lebih baik shibghahnya daripada
Allah? Dan hanya kepadaNya-lah kami menyembah.” dan jika kita adalah celupan dari Allah SWT berarti segala tingkah laku
kita, segala tindak tanduk kita, segala perbuatan diri kita harus mencerminkan
tingkah laku dan perbuatan Allah SWT yang termaktub di dalam sifat Ma’ani dan juga Asmaul Husna. Sekarang sudahkah hal ini
tercermin dalam diri kita? Jika saat ini
segala perbuatan kita, segala tingkah laku kita, segala tindak tanduk kita
selalu berada di dalam Nilai-Nilai Keburukan yang paling sesuai dengan kehendak
syaitan berarti kita sudah tidak sesuai lagi dengan kehendak Allah SWT serta
ada sesuatu yang salah di dalam diri kita.
Untuk lebih mempertegas kedudukan diri kita dihadapan Allah SWT. Berikut ini akan kami
kemukakan hal-hal yang mengakibatkan diri kita keluar dari kehendak Allah SWT
sehingga berada di dalam kehendak syaitan, yaitu:
1. Akibat dari manusia
tidak mau mematuhi perintah dan larangan Allah SWT. Hal ini sebagaimana
dikemukakan surat Al Baqarah (2) ayat 168 berikut ini: “Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang
terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena
sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu.” dan juga berdasarkan
surat An Nahl (16) ayat 114 berikut ini: “Maka makanlah
yang halal lagi baik dari rezki yang telah diberikan Allah kepadamu; dan
syukurilah ni’mat Allah, jika kamu hanya kepadaNya saja menyembah.”
Di dalam kehidupan
sehari-hari, rambu lalu lintas dibuat oleh kepolisian bukan untuk mencelakakan
penggunan jalan. Berlaku atau tidaknya rambu lalu lintas sangat tergantung
kepada penggunan jalan. Jika sekarang terjadi kecelakaan akibat pelanggaran
rambu lalu linta, apakah pihak kepolisian dapat dipersalahkan? Keselamatan di
dalam berkendara adalah tanggung jawab diri kita sendiri apakah mau mematuhi
atau apakah mau melanggar aturan lalu lintas. Resiko atas pelanggaran akan
menjadi tanggung jawab diri kita masing-masing. ditilang atau terjadi
kecelakaan adalah buah dari apa yang kita perbuat atas pelanggaran rambu lalu
lintas.
Jika sekarang di
dalam kehidupan sehari-hari saja berlaku ketentuan lalu lintas, selanjutnya
bagaimana dengan larangan dan perintah Allah SWT? Hal yang samapun berlaku pada
larangan dan perintah Allah SWT. Untuk
itu ketahuilah bahwa larangan Allah SWT maupun perintah Allah SWT bukanlah
untuk kepentingan Allah SWT karena Allah SWT tidak butuh dengan larangan
ataupun perintah. Akan tetapi yang membutuhkan larangan maupun yang membutuhkan
perintah adalah yang dilarang ataupun yang diperintah, dalam hal ini adalah
diri kita.
Adanya hal ini maka
segala sesuatu yang terdapat di balik larangan ataupun sesuatu yang ada dibalik
perintah kesemuanya untuk kebaikan diri kita yang mampu mematuhinya. Dan jika
sekarang manusia, ataupun diri kita tidak sesuai lagi dengan kehendak Allah SWT
maka sampai dengan kapanpun juga larangan dan perintah Allah SWT tidak pernah
salah, yang salah adalah yang dilarang dan yang diperintahlah yang tidak mampu
melaksanakan larangan dan perintah yang sesuai dengan pemberi larangan dan
perintah.
2. Manusia malas belajar, taklik buta dengan sesuatu yang
baru, tidak mau menambah ilmu dan pengetahuan yang baru, apatis, apriori dengan
sesuatu yang baru, memperturutkan apa kata ulama tanpa mau memilah dan memilih,
serta mempertahankan tradisi dengan mengabaikan syariat yang berlaku.
3.
Akibat manusia ditipu
atau tertipu ajakan syaitan. Syaitan sebagai musuh utama manusia akan
selalu menggoda dengan cara membisiki dan membujuk manusia untuk selalu
melanggar apa yang telah menjadi larangan dan perintah Allah SWT. Hal ini
berdasarkan ketentuan surat Al Israa’ (17) ayat 64 berikut ini: “Dan hasunglah siapa yang kamu sanggupi di antara mereka dengan
ajakanmu, dan kerahkanlah terhadap mereka pasukan berkuda dan pasukanmu yang
berjalan kaki dan berserikatlah dengan mereka pada harta dan anak-anak dan beri
janjilah mereka. Dan tidak ada yang dijanjikan oleh syaitan kepada mereka
melainkan tipun belaka.” Untuk apakah syaitan melakukan itu semua? Syaitan yang telah mendapat restu dari Allah
SWT untuk menggoda seluruh anak dan keturunan Nabi Adam as, tentunya wajib
melaksanakan apa yang telah dimintanya kepada Allah SWT.
Selanjutnya syaitan dengan segala tipu
dayanya akan melakukan apapun untuk mengajak manusia ke luar jalan Allah SWT
yang lurus. Lalu untuk apakan syaitan melakukan itu? Syaitan berkeinginan mempunyai teman di dalam mengarungi bahtera
kehidupan di Neraka Jahannam dan sekarang tinggal bagaimana kita menyikapi
keinginan syaitan tersebut, apakah mau menuruti ataukah tidak? Pilihan ada
pada diri kita sendiri. Sekarang diri kita sudah ada di muka bumi Allah SWT,
berarti saat ini kita sedang melaksanakan tugas sebagai abd’ (hamba)-Nya yang
juga khalifah-Nya yang sedang menumpang di muka bumi. Untuk itu jadilah abd’
(hamba)-Nya yang juga khalifah-Nya yang tahu diri, yang tahu aturan main dan
yang tahu tujuan akhir, terkecuali jika kita ingin dinilai tidak tahu diri oleh
Allah SWT.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar