Allah SWT melalui
surat An Nisaa' (4) ayat 48 berikut ini:
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia
mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang
dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, Maka sungguh ia telah
berbuat dosa yang besar.” menerangkan bahwa musyrik dan syirik adalah dosa besar yang tidak
akan pernah diampuni oleh Allah SWT. Timbul pertanyaan, kenapa Allah SWT
bersikap seperti itu kepada perbuatan musyrik dan syirik? Allah SWT bersikap
keras tanpa ampun kepada siapapun juga yang melakukan perbuatan musyrik dan syirik
sekalipun orang tersebut telah melakukan Ibadah dan Amal Shaleh baik yang besar
maupun kecil, dikarenakan
Allah SWT tersinggung, Allah SWT telah dihina, Allah SWT telah dianggap tidak
ada, Allah SWT telah dianggap tidak mampu oleh orang tersebut padahal Allah SWT adalah inisiator yang sekaligus pencipta
dan pemilik dari langit dan bumi.
Untuk itu
berhati-hatilah dengan perbuatan syirik dan musyrik sebab syirik dan musyrik
merupakan amunisi yang siap menghancurkan diri kita sendiri dan juga keimanan
kita kepada Allah SWT. Selain daripada itu syirik dan musyrik adalah sumber
yang kotor, mula-mula ia muncul dalam hati dengan memercikkan tetesan, dan lama
kelamaan berubah menjadi air bah yang mendobrak segala-galanya sehingga hati
kita tidak ada tempat untuk beriman kepada Allah SWT. Syirik dan musyrik dapat
pula diibaratkan sebagai virus yang membahayakan kesehatan diri kita, virus
akan terus berkembang sampai menggerogoti diri kita dan pada akhirnya
terkaparlah kita dengan gelimangan dosa yang tidak terampuni. Jin/Iblis/Syaitan
beserta bala tentaranya sangat senang dan sangat bergembira dengan keadaan ini,
sebab mereka telah mendapatkan teman, konco, sahabat, tetangga yang baik untuk
mengarungi bahtera kehidupan di Neraka.
Sebagai abd’
(hamba)Nya yang sekaligus khalifahNya yang sedang melaksanakan tugas di muka bumi,
kita harus tahu titel dan penghargaan dan penilaian apakah yang akan Allah SWT
berikan kepada orang yang syirik lagi musyrik, apakah itu? Jawaban dari
pertanyaan ini ada pada surat At Taubah
(9) ayat 28 berikut ini: “Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya orang-orang yang musyrik itu
najis[634], Maka janganlah mereka mendekati Masjidilharam[635] sesudah tahun
ini[636]. dan jika kamu khawatir menjadi miskin[637], Maka Allah nanti akan
memberimu kekayaan kepadamu dari karuniaNya, jika Dia menghendaki. Sesungguhnya
Allah Maha mengetahui lagi Maha
Bijaksana.”
[634] Maksudnya:
jiwa musyrikin itu dianggap kotor, karena menyekutukan Allah.
[635] Maksudnya:
tidak dibenarkan mengerjakan haji dan umrah. menurut Pendapat sebagian
mufassirin yang lain, ialah kaum musyrikin itu tidak boleh masuk daerah Haram
baik untuk keperluan haji dan umrah atau untuk keperluan yang lain.
[636] Maksudnya
setelah tahun 9 Hijrah.
[637] Karena
tidak membenarkan orang musyrikin mengerjakan haji dan umrah, karena
pencaharian orang-orang Muslim boleh Jadi berkurang.
Allah SWT selaku inisiator
yang sekaligus pencipta dan pemilik langit dan bumi beserta isinya, dengan tegas
memberikan titel, predikat, penghargaan kepada orang musyrik sebagai “Najis”. Sekarang coba
kita bayangkan pemilik dan pencipta alam semesta ini memberikan penilaian yang
sangat Buruk dan sangat Menjijikkan atau Najis
kepada ciptaannya sendiri. Sungguh jika ini terjadi kepada diri kita sendiri
merupakan sebuah hadiah dan penghargaan atau Titel yang sangat menakutkan serta
mengerikan. Manusia atau diri kita yang sejak awal sudah ditempatkan dan
diletakkan ditempat yang terhormat oleh penciptanya dalam hal ini adalah Allah SWT,
justru oleh penciptanya sendiri malah diberikan predikat dan titel “Najis”.
Kondisi ini sangat bertentangan dengan kehendak Allah SWT itu sendiri saat
menciptakan manusia.
Timbul pertanyaan,
atas dasar apa Allah SWT memberikan penilaian “Najis” kepada orang musyrik? Musyrik adalah tindakan
yang dilakukan oleh manusia untuk meniadakan Allah SWT selaku Tuhan bagi
semesta alam, meniadakan Allah SWT selaku pencipta, meniadakan Allah SWT selaku
pemilik, penjaga dan juga pemelihara dengan menggantinya dengan benda bertuah,
azimah, dukun, paranormal, berlindung kepada selain Allah SWT, wasilah dan lain
sebagainya. Allah SWT selaku Inisiator, pencipta dan pemilik dari alam
semesta ini dianggap sudah tidak ada atau sudah digantikan dengan sesuatu
melalui tindakan musyrik tentunya sangat marah dan sangat tidak senang dengan
orang yang melakukan tindakan musyrik. Dan Allah SWT memberikan predikat “Najis” kepada
pelaku musyrik memang sepantasnya ia menerima hal itu sebab Allah SWT di anggap
sudah tidak ada lagi sehingga ia berbuat semena-mena di bumi yang dimiliki oleh
Allah SWT. Sebagai bahan perbandingan, lihatlah dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara, seorang yang
menjadi mata-mata bagi bangsa lain di negaranya sendiri dikatakan pengkhianat
bangsa. Negara memberikan predikat tersebut memang sudah seharusnya ia menerima
hal tersebut.
Saat ini predikat “Najis” bagi pelaku musyrik
ini sudah menjadi keputusan Allah SWT, apakah kita tidak mempercayai keputusan
ini?
Kita wajib menerima dan mempercayai keputusan Allah SWT tentang “Najis” ini.
Hal ini dilakukan Allah SWT untuk membedakan secara tegas antara orang yang
beriman dengan orang yang musyrik. Sebagai khalifah yang sedang menjalankan tugas di
muka bumi, jika predikat dan titel “Najis”
sudah diberikan kepada orang musyrik maka jadikan hal ini sebagai
dorongan bagi kita untuk jangan sampai diberikan predikat dan titel “Najis” pula kepada diri kita, terkecuali
kita sendiri memang ingin memiliki predikat dan titel “Najis” dari Allah SWT. Lalu
apa yang harus kita lakukan jika saat diri kita melaksanakan tugas sebagai abd’
(hamba) yang sekaligus khalifah di muka bumi, diri kita secara sengaja ataupun
secara tidak sengaja akibat tidak memiliki ilmu dan pengetahuan tentang Allah
SWT, lalu melakukan perbuatan syirik dan juga musyrik? Sepanjang ruh belum tiba
di kerongkongan atau selama hayat masih di kandung Badan, hanya satu jalan
keluarnya yaitu “Taubatan Nasuha”.
Tanpa melalui proses “Taubatan
Nasuha”, maka Allah SWT tidak akan pernah memaafkan perbuatan syirik dan musyrik
yang pernah kita lakukan walaupun kita telah melaksanakan ibadah haji dan umroh
ribuan kali, telah membangun masjid jutaan buah, menyantuni anak yatim milyaran
orang. Allah SWT berfirman: “dan kalau Sekiranya Allah menyiksa manusia
disebabkan usahanya, niscaya Dia tidak akan meninggalkan di atas permukaan bumi
suatu mahluk yang melatapun akan tetapi Allah menangguhkan (penyiksaan) mereka,
sampai waktu yang tertentu; Maka apabila datang ajal mereka, Maka Sesungguhnya
Allah adalah Maha melihat (keadaan) hamba-hamba-Nya. (surat Faathir (35) ayat
45).” Adanya kesempatan “Taubatan
Nasuha” yang Allah SWT berikan, berarti Allah SWT memberikan kesempatan ke
dua bagi makhluknya yang ingin kembali ke jalan yang lurus atau memberikan
kesempatan bagi makhluknya sesuai dengan Kehendak Allah SWT. Untuk itu
manfaatkanlah waktu yang masih tersisa atau manfaatkan sisa masa aktif diri
kita di muka bumi ini, agar waktu yang tersisa ini dapat mengembalikan diri
kita sesuai dengan Kehendak Allah SWT atau dapat menghantarkan diri kita ke “Kampung Kebahagiaan”.
Sebagai mana kita ketahui bersama bahwa keberadaan diri kita, keberadaan
anak keturunan kita di muka bumi ini, memiliki tiga dimensi yang saling kait
mengkait tergantung seberapa jauh kita memiliki ilmu tentang diri kita sendiri
dan juga tentang Allah SWT selaku pencipta dan pemilik alam semesta ini. Adanya
kondisi ini berarti keberadaan setiap manusia di muka bumi ini bukanlah sesuatu
yang datang tiba-tiba tanpa ada yang merencanakannya dengan baik. Adapun
tingkatan atau dimensi keberadaan diri kita di muka bumi, terdiri dari :
1. Secara tersurat, diri kita adalah ciptaan Allah SWT. Adanya kondisi ini berarti Allah SWT selaku pencipta dapat dipastikan
lebih dahulu ada dibandingkan dengan diri kita dan mustahil di akal, kita ada
terlebih dahulu dibandingkan dengan Allah SWT yang menciptakan kita.
2. Secara tersirat, diri kita adalah abd’ (hamba)-Nya yang
juga khalifah-Nya yang berarti diri kita melaksanakan konsep
dwifungsi yaitu hamba-Nya yang wajib mengabdikan diri kepada Allah dan juga
sebagai pengganti atau perpanjangan tangan Allah SWT di muka bumi, atau
Ex-Officio Allah SWT di muka bumi.
3. Secara tersembunyi, diri kita adalah: Kita adalah simbol
penampilan Allah SWT di alam; Kita adalah
misteri dari keghaiban Allah SWT; Kita adalah pemandangan bagi penampilan
keindahan Allah SWT; Kita adalah Gudang perbendaharaan Allah SWT; Kita adalah
Gambaran dari Sifat dan Asmaul Husna Allah SWT; Kita adalah Eksistensi Allah SWT bagi tersingkap-Nya hijab llah SWT;
Kita adalah Bayangan Allah SWT di muka bumi serta rembulan yang memantulkan cahaya
matahari (Tuhan).
Seperti inilah kondisi dasar keberadaan diri kita
jika ditinjau dari sudut pandang Allah SWT selaku pencipta dan pemilik
kekhalifahan di muka bumi. Lalu sudahkah kita mampu meletakkan dan menempatkan
diri kita sesuai dengan kehendak Allah SWT selaku pencipta dan pemilik serta
mampu pula menempatkan Allah SWT sesuai
dengan kehendak Allah SWT itu sendiri. Dan dengan adanya 3 (tiga) kondisi tentang keberadaan diri kita
di muka bumi, berarti kita selalu bersama Allah SWT dimanapun, kapanpun dan
dalam kondisi apapun sehingga diri kita tidak akan mungkin dapat dipisahkan
dengan kebesaran dan kemahaan Allah SWT itu sendiri.
MAN ‘ARAFA NAFSAHU FAQAD ‘ARAFA RABBAHU
Artinya Siapa
yang mengenal dirinya, pasti dia dapat mengenal Tuhannya.
MAN ‘ARAFA RABBAHU FAQAD ‘ARAFA
NAFSAHU
Artinya Siapa yang mengenal Tuhannya, pasti dia dapat
mengenal dirinya.
Sekarang mari kita perhatikan diri kita sendiri,
kita mempunyai kedudukan, kita memiliki kekuatan, kita memiliki kekayaan
dan kejayaan, kita memiliki jabatan,
kita memiliki harta, kita memiliki istri/suami serta anak dan lain sebagainya.
Sekarang pernahkah kita bayangkan kalau dahulunya kita berasal dari saripati
tanah yang sangat hina dilanjutkan terjadinya pembuahan antara sel telur dengan
sperma, yang kemudian menjadi segumpal darah, kemudian menjadi segumpal daging
dan jika telah disempurnakan dan dicatat amal baik dan burukya, rezekinya,
umurnya dan kemudian ditiupkan ruh oleh Allah SWT?
Ataukah kita memang tidak pernah mau menengok kebelakang melihat asal-usul diri
kita sendiri? Padahal Melalui
proses penciptaan manusia ini Allah SWT bermaksud menyampaikan pesan,
informasi, pelajaran, teguran kepada kita semua, janganlah kita berlaku
sombong, congkak, membangkang perintah Allah SWT.
Jika
kamu itu dahulu seperti itu, tidak ada apa-apanya dan sekarang sudah mampu
janganlah kamu berlaku sombong, membantah, dan berpaling kepada yang lainnya,
maka bertaqwalah kamu kepada Allah SWT, Tuhan semesta Alam. Sekarang setelah
diri kita tahu proses kejadian manusia yang seperti itu, apakah kita tetap
berlaku tidak baik, sombong ataukah kita wajib merendahkan diri kepada Allah
SWT, sebagaimana firman Allah
SWT berikut ini: “dan (juga) pada dirimu sendiri. Maka Apakah kamu
tidak memperhatikan? dan di bumi itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah)
bagi orang-orang yang yakin. (surat Adz Dzariyaat (51) ayat 21-20). Melalui proses penciptaan
manusia, banyak pelajaran, banyak perumpamaan yang Allah SWT berikan kepada umatnya yang mau
melihat dan mau memperhatikan, yang mau berfikir, yang mau membuat
perbandingan, yang mau mencari persamaan dan pertentangannya, yang mau
memperbandingkan dan yang mau menguji apa yang terjadi dalam proses kejadian
manusia.
Selain
daripada itu Allah SWT juga berkehendak untuk menunjukkan kekuasaan-Nya kepada
kita melalui diri kita sendiri. Untuk itu maukah kita menerima keadaan ini
dengan penuh kerendahan hati dan menyatakan bahwa memang Allah SWT adalah
pencipta diri kita. Inilah yang Allah SWT kehendaki
dari ditunjukkannya tanda-tanda keberadaan atau tanda-tanda kebesaran Allah SWT
pada diri manusia sehingga terjadi hubungan timbal balik
antara ciptaan dengan Allah SWT
selaku pencipta, lalu timbullah keimanan
dan ketaqwaan dalam diri manusia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar