1. Manusia Telah Diberi Ruh Yang Suci dan Fitrah Oleh Allah
SWT. Setiap manusia tanpa terkecuali, termasuk diri
kita, pasti terdiri dari jasmani dan juga ruh. Lalu apakah keduanya ada begitu
saja tanpa ada yang mengadakannya? Jasmani dan ruh tidak datang begitu saja, dia ada karena ada yang
mengadakannya. Jasmani asalnya
dari alam atau sari pati tanah, jasmani ada melalui proses penciptaan. Sekarang
dari manakah asalnya ruh? Berdasarkan surat Al Israa' (17) ayat 85 berikut ini:
“dan mereka
bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: "Roh itu Termasuk urusan
Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit.” dan juga berdasarkan surat Al Hijr (15) ayat 29 yang
kami kemukakan berikut ini: “Maka apabila aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniup
kan kedalamnya ruh (ciptaan)-Ku, Maka tunduklah kamu kepadanya dengan
bersujud.” Setiap ruh asalnya dari Allah SWT yang kemudian
dipersatukan dengan jasmani melalui proses peniupan saat masih di dalam rahim
seorang ibu. Jika ruh asalnya dari Allah SWT berarti hanya Allah SWT sajalah
yang tahu, hanya Allah SWT sajalah yang mengerti, hanya Allah SWT sajalah yang
ahli tentang ruh manusia dan ingat untuk masalah ruh ini tidak ada campur
tangan makhluk lain kecuali Allah SWT semata, sebagaimana dikemukakan dalam
surat Al Isra’ (17) ayat 85 di atas.
Jika saat ini kita masih hidup berarti Allah SWT telah memberikan kepada
diri kita sesuatu yang berasal dari Allah SWT secara langsung tanpa melalui
perantaraan siapapun, dimana ruh yang ditiupkan Allah SWT tersebut tidak pernah
diketahui sedikitpun keberadaannya oleh iblis/jin/syaitan dan juga oleh
malaikat. Sehingga menurut pendapat dan pengetahuan iblis/jin/syaitan bahwa manusia
hanya terdiri dari jasmani semata yang diciptakan dari tanah dan sedangkan ruh keberadaannya
tidak pernah diketahui oleh iblis/jin/syaitan. Apa buktinya? Untuk itu lihatlah
surat Saba' (34) ayat 14 berikut ini: Allah SWT berfirman: “Maka
tatkala Kami telah menetapkan kematian Sulaiman, tidak ada yang menunjukkan
kepada mereka kematiannya itu kecuali rayap yang memakan tongkatnya. Maka
tatkala ia telah tersungkur, tahulah jin itu bahwa kalau Sekiranya mereka
mengetahui yang ghaib tentulah mereka tidak akan tetap dalam siksa yang
menghinakan.”
Di dalam surat Saba' (34) ayat 14, diterangkan bahwa jin tidak
mengetahui sama sekali bahwa Nabi Sulaiman as, telah meninggal dunia. Ini
berarti bahwa jin hanya mengetahui bahwa
Nabi Sulaiman as, hanya terdiri dari satu unsur saja yaitu jasmani saja
sedangkan unsur ruh tidak pernah diketahui sedikitpun oleh jin. Selanjutnya jika sampai jin tahu bahwa Nabi Sulaiman as, mempunyai ruh
yang berasal dari Allah SWT maka ia pasti akan menyesali perbuatannya dahulu
yaitu membangkang perintah Allah SWT untuk sujud kepada Nabi Adam as,. (Ingat jin,
iblis, syaitan adalah satu keturunan).
Allah SWT sudah memberikan sesuatu
yang terbaik yang tidak dimiliki oleh makhluk lainnya, sampai-sampai
iblis/jin/syaitan pun tidak mempunyai pengetahuan tentang Ruh, sekarang
bagaimana kita menyikapinya? Jika kita termasuk
orang yang “Tahu Diri dan Tahu Aturan Main dan Tahu Tujuan Akhir” maka kita
harus menyikapi hal ini dengan menempatkan Allah SWT pada posisi yang
sebenarnya yaitu sebagai Pemilik yang sekaligus Pencipta, Pemelihara, Penjaga,
Pengawas dan Pengayom dari langit dan bumi beserta isinya serta menempatkan
diri kita sebagai makhluk ciptaan-Nya juga.
Untuk itu jika kita telah diberikan sesuatu yang sangat
baik dan sangat berharga dari Allah SWT (dalam hal ini adalah ruh) maka
peliharalah dan jagalah ruh tersebut jangan sampai rusak; peliharalah dan
jagalah ruh jangan sampai cacat (tidak fitrah lagi); peliharalah dan jagalah
jangan sampai ruh dikalahkan oleh jasmani atau jangan sampai ruh dijajah oleh jasmani;
peliharalah dan jagalah ruh untuk selalu menjadi diri kita yang sesungguhnya
selama hayat masih di kandung badan sehingga konsep datang fitrah kembali
fitrah dapat kita laksanakan. Timbul pertanyaan, siapakah
yang sanggup memelihara, yang sanggup merawat, yang mampu menjadikan ruh unggul
terhadap jasmani? Hanya Allah SWT sajalah yang sanggup memelihara, merawat jika
ruh mengalami gangguan, jika ruh cacat menjadi tidak fitrah lagi, jika ruh
kotor, jika ruh dijajah oleh jasmani. Hal ini dikarenakan Allah SWT adalah
pencipta dan pemilik dari ruh seluruh umat manusia.
Sekarang jika hanya Allah SWT saja yang sanggup menciptakan,
merawat dan memelihara ruh manusia. Selanjutnya: (1) sudahkah kita semua
mengetahuinya secara baik dan benar dan menjadikan ini sebagai sebuah keimanan;
(2) sudahkah kita semua mencoba menghubungi Allah SWT untuk meminta
perawatan; (3) sudahkah kita semua melaksanakan apa-apa yang yang telah
diperintahkan oleh pencipta ruh; (4) sudahkah kita berhubungan baik
dengan pencipta ruh; (5) sudahkah kita menyelaraskan, menserasikan dan
menyeimbangkan ruh yang ada pada diri kita dengan kehendak dari pemilik dan
pemelihara ruh? Hasil akhir dari semua ini, sangat tergantung
kepada diri kita sendiri, yang pasti Allah SWT tidak membutuhkan apapun dari
diri kita karena Allah SWT sudah Maha dan akan Maha selamanya. Akan tetapi diri
kitalah yang sangat membutuhkan Allah SWT guna merawat, guna memelihara, guna
menjaga kefitrahan ruh serta untuk memperbaiki kondisi ruh diri kita akibat
pengaruh ahwa dan syaitan. Apalagi ruh terikat dengan ketentuan datang fitrah
kembali harus fitrah. Dan hal yang harus jadikan pedoman adalah yang akan
menerima dan merasakan azab ataupun nikmat dari apa-apa yang telah kita lakukan
saat hidup di muka bumi ini adalah ruh serta yang akan pulang ke syurga dan neraka
juga ruh, bukan jasmani.
2. Manusia Telah
Beraqidah Sejak Di Dalam Rahim Ibu. Setiap manusia (maksudnya setiap ruh manusia) termasuk ruh diri kita telah
beraqidah sejak di dalam rahim ibu. Adanya pengakuan ruh bahwa Allah SWT adalah
Tuhan bagi diri kita, ini membuktikan bahwa ruh itu berasal dari Allah SWT atau
ruh sudah tahu dan mengenal siapa penciptanya maka setiap ruh yang telah
ditiupkan oleh Allah SWT ke dalam jasmani saat masih di rahim ibu akan
dimintakan kesaksiannya secara individual oleh Allah SWT. Hal ini sebagaimana
termaktub dalam surat Al Haadid (57) ayat 8 berikut ini: “dan mengapa kamu
tidak beriman kepada Allah Padahal Rasul menyeru kamu supaya kamu beriman
kepada Tuhanmu. dan Sesungguhnya Dia telah mengambil perjanjianmu jika kamu
adalah orang-orang yang beriman.” Dan juga
berdasarkan ketentuan surat Al A'raaf (7) ayat 172 yang kami kemukakan berikut
ini: “dan
(ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi
mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman):
"Bukankah aku ini Tuhanmu?" mereka menjawab: "Betul (Engkau
Tuhan kami), Kami menjadi saksi".(kami lakukan yang demikian itu) agar di
hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya Kami (Bani Adam) adalah
orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan).”
Lalu apakah hanya itu saja kesaksian yang dilakukan
oleh ruh? Kesaksian ruh di dalam rahim seorang ibu terdiri dari 3 (tiga)
kondisi yaitu: (1) Ruh sudah mengakui
dan mengetahui bahwa Allah SWT adalah Tuhannya; (2) Ruh sudah memiliki Aqidah berupa pernyataan
yang bersifat permanen bahwa Allah SWT
adalah Tuhan baginya baik hari ini sampai dengan hari kiamat; (3) Ruh pun sudah tahu
tentang hari kiamat. Jika ini
adalah kondisi dasar dari setiap ruh yang ada di dalam diri setiap manusia,
timbul pertanyaan masih berlakukah pernyataan “kontrak permanen” dengan Allah SWT tersebut saat ini? Sepanjang ruh
hanya ditiupkan oleh Allah SWT semata maka “kontrak
permanen” tentang ketuhanan kepada Allah SWT akan terus dan tetap berlaku
sampai kapanpun juga. Yang menjadi persoalan saat ini adalah masih
utuhkah pernyataan diri kita kepada Allah SWT tersebut; masih terjagakah
keaslian dari pernyataan sikap diri kita kepada Allah SWT; masih permanenkah
atau masih berkualitaskah pernyataan kita kepada Allah SWT.
Sekarang bagaimana dengan Allah SWT yang menerima
pernyataan sikap dari ruh setiap manusia? Allah SWT berdasarkan surat Al A'raaf
(7) ayat 172 dengan tegas menyatakan bahwa Allah SWT adalah Tuhan bagi semesta
alam termsuk Tuhan bagi seluruh umat manusia. Jika Allah SWT telah menyatakan
bahwa Allah SWT adalah Tuhan bagi seluruh umat manusia ini berarti bahwa Allah
SWT sudah menyatakan kesanggupan-Nya secara totalitas kepada setiap ruh yang
diciptakannya untuk dijaga, untuk dipelihara, untuk diayomi, untuk dirawat atau
diberikan apapun juga sepanjang kita memenuhi dan masih memelihara atau tidak
melanggar isi dari “kontrak permanen” yang telah kita dibuat.
Selanjutnya mari kita perhatikan hadits yang kami
kemukakan berikut ini: “Ibnu Abbas ra, berkata: Nabi
SAW bersabda: Allah ta’ala berfirman: Wahai anak Adam! Jika engkau ingat
kepada-Ku Aku ingat kepadamu dan bila engkau lupa kepada-Ku Akupun ingat
kepadamu. Dan jika engkau taat kepada-Ku pergilah kemana saja engkau suka pada
tempat dimana Aku berkawan dengan engkau dan engkau berkawan dengan-Ku. Engkau
berpaling daripada-Ku padahal Aku menghadap kepadamu. Siapakah yang memberimu
makan kala engkau masih dalam janin didalam perut ibumu. Aku selalu mengurusmu
dan memeliharamu sampai terlaksanalah kehendak-Ku bagimu, maka setelah Aku
keluarkan engkau ke alam dunia engkau berbuat banyak maksiat. Apakah demikian
seharusnya pembalasan kepada yang telah berbuat kebaikan kepadamu. (Hadits Qudsi
Riwayat Abu Nasher Rabiah bin Ali Al-ajli dan Arrafii, 272:182).” Berdasarkan hadits ini terlihat dengan jelas bahwa Allah SWT tetap bertanggung jawab kepada
manusia walaupun manusia atau diri kita lupa kepada Allah SWT dan untuk itu tidak sepantas-nya
dan tidak pula sepatutnya jika menerapkan pepatah air susu dibalas dengan air tuba
kepada Allah SWT.
Adanya “kontrak permanen” antara setiap ruh manusia
dengan Allah SWT maka timbullah hubungan timbal balik antara Allah SWT selaku
Tuhan dengan manusia yang menyatakan Allah SWT adalah Tuhannya. Sebuah hubungan
timbal balik baru akan mendapatkan hasil jika para pihak dapat menjaga dan
memelihara “kontrak permanen” yang telah dibuat. Dalam
kontrak permanen ini, yang pasti Allah SWT tidak akan pernah ingkar janji
dengan kesanggupan-Nya untuk menjadi Tuhan bagi semesta alam, lalu bagaimana
dengan kita? Apabila kita ingin tetap memperoleh apa-apa yang
telah dinyatakan Allah SWT dengan pernyataan-Nya sebagai Tuhan bagi alam semesta,
maka peliharalah dan jagalah terus “kontrak permanen” tersebut agar tetap suci
dan murni atau jangan sampai kita ingkar janji dengan “kontrak permanen” yang
telah kita buat.
Selain
daripada itu, jika kita berpedoman kepada hadits yang kami kemukakan berikut
ini: Iyadh bin Himar Al Mujasyi’i meriwayatkan bahwa
pada suatu hari Rasulullah saw bersabda (dalam sebuah khotbahnya) ”Sesungguhnya
Tuhanku memerintahkan kepadaku untuk mengajarkan kepada kalian apa yang belum
kalian ketahui dari apa yang diwahyukan Allah kepadaku pada hari ini. Allah
berkata, “Setiap harta yang Aku berikan kepada seorang hamba adalah halal. Dan
Aku menciptakan semua hamba-Ku seluruhnya dalam keadaan muslim, lalu mereka
digoda setan yang mengajak mereka untuk meninggalkan agama mereka, mengharamkan
apa yang telah Aku halalkan bagi mereka, dan menyuruh mereka agar
menyekutukan-Ku dengan kedudukan yang belum pernah Aku berikan.’ Sesungguhnya
Allah memerhatikan keberadaan penduduk bumi. Setelah itu, Allah amat murka
kepada mereka, baik orang-orang Arab maupun orang-orang non Arab, kecuali
sebagian Ahlul Kitab (yang tetap berpegang teguh kepada agama). Kemudian Allah
berkata (kepadaku), “Sesungguhnya Aku mengutusmu untuk mengujimu dan menguji
orang lain melalui kamu, Aku menurunkan kepadamu kitab yang tidak akan luntur
oleh tetesan air (terjaga selamanya) dan bisa kamu baca ketika tidur atau ketika
kamu bangun (bisa dibaca dengan mudah).’Sesungguhnya Allah memerintahkan
kepadaku untuk menghancurkan suku Quraisy. Aku berkata, Wahai Tuhanku, nanti
mereka akan memenggal kepalaku dan meninggalkannya seperti potongan roti. Allah
berkata, “Usirlah mereka seperti mereka mengusirmu. Seranglah mereka, Kami akan
membantumu untuk menyerang. Hancurkan mereka, Kamu akan membantumu untuk
menghancurkan mereka. Kirimlah sekelompok pasukan tentara, Kamu juga akan
mengirim pasukan tentara, lima kali lipat lebih banyak dari pasukanmu, untuk
membantumu. Dan hendaknya kamu bersama orang-orang yang taat kepadamu membunuh
mereka. Allah berfirman: ‘Penghuni surga itu ada tiga macam, (1) penguasa yang
adil, jujur dan bijaksana, (2) orang yang pengasih, bersahaja terhadap seluruh
kerabat dan kamu muslimin, dan (3) orang yang menjaga kehormatan dirinya dan
melundungi keluarganya. Penghuni neraka ada lima macam, (1) orang lemah yang
tidak mau mempergunakan otaknya, yaitu orang-orang yang suka mengekor, tidak
mau berkeluarga dan enggan mencari nafkah, (2) orang yang suka berkhianat dalam
hal apapun, (3) orang yang tidak bekerja pada pagi hari dan sore hari, ia hanya
memperdayaimu akan keluargamu dan hartamu, (4) orang yang kikir (atau
pembohong) dan (5) orang yang bermulut kotor (suka berghibah dan mengadu
domba).” (Hadits Riwayat Muslim, Shahih).
Berdasarkan hadits ini, sesungguhnya setiap
manusia yang diciptakan oleh Allah SWT seluruhnya dalam keadaan muslim, dimana
kondisi ini sejalan dengan pernyataan ruh kepada Allah SWT setelah ruh
dipersatukan dengan jasmani. Jika hal ini adalah kondisi dasar setiap manusia yang
ada di muka bumi ini berarti jika ada orang yang tidak muslim lagi berarti
orang tersebut sudah tidak fitrah lagi.
3. Manusia
Telah Diberi Akal oleh Allah SWT. Apa itu akal? Akal
adalah alat ruhaniyah yang diletakkan oleh Allah SWT dalam hati ruhani setiap
manusia yang berguna bagi manusia untuk bisa membedakan mana yang baik dan mana
yang buruk, mana yang benar dan mana yang salah sehingga manusia tidak salah
jalan, tidak salah memilih yang pada akhirnya bisa merugikan manusia itu
sendiri jika sampai akal tidak digunakan sesuai dengan fungsinya dengan baik
dan benar. Berdasarkan hadits yang kami kemukakan berikut ini:“Abu Hurairah ra. berkata:
Nabi SAW bersabda: Allah ta'ala berfirman: Tatkala Allah SWT menciptakan akal,
berfirmanlah Allah kepadanya: "Datanglah hai akal"; maka datanglah
ia, kemudian diperintahkannya: Pergilah dan pergilah ia. Allah berfirman: Aku
tidak menciptakan sesuatu makhluk yang lebih Aku cintai dari padamu. Dengan
engkau Aku mengambil dan dengan engkau pula Aku memberi. (Hadits Qudsi Riwayat Abdullah bin Ahmad dari Al Hassan dam Ath
Thabarani dari Abi Umamah; 272:269).” Ada satu hal yang harus kita ketahui dengan penghormatan yang
setinggi-tingginya dimana Allah SWT telah memberikan cinta-Nya kepada manusia
melalui akal atau kepada hati ruhani manusia (sebab akal diletakkan di dalam hati
ruhani manusia).
Sekarang coba jamaah sekalian bayangkan Allah SWT sebagai pemilik yang
sekaligus pencipta, pemelihara, pengawas, pengayom dari langit dan bumi beserta
isinya menyatakan cintanya kepada akal atau kepada hati ruhani manusia. Hal ini
menunjuk-kan bahwa Allah SWT memberikan penghargaan dan penghormatan kepada akal
atau kepada hati ruhani manusia yang begitu luar biasa. Timbul pertanyaan ada apa sebenarnya di balik ini semua? Hubungan cinta
adalah hubungan yang terjadi diantara dua pihak yaitu antara pihak yang
mencintai dengan pihak yang dicintai. Jika seseorang menyatakan cintanya kepada
orang yang dicintainya maka orang tersebut sudah siap baik mental maupun
materiil untuk berkorban kepada orang yang dicintainya.
Apakah Allah SWT juga melakukan hal yang sama kepada akal atau kepada hati
ruhani manusia? Allah SWT juga melakukan hal yang sama kepada akal atau kepada hati
ruhani manusia, ini dibuktikan dengan pernyataan Allah SWT yang berbunyi "Dengan
engkau Aku mengambil dan dengan engkau pula Aku memberi". Sekarang
sudahkah kita merasakan buah dari cinta Allah SWT kepada diri kita melalui akal
atau malah kita yang telah melakukan perselingkuhan dengan selain Allah SWT? Jika kita belum
pernah merasakan cinta Allah SWT tentu ada yang salah di dalam hubungan
percintaan ini. Yang pasti Allah SWT tidak akan pernah ingkar janji
atau berselingkuh, selanjutnya bagaimana dengan diri kita? Semoga diri kita
tidak termasuk orang-orang yang mencampakkan cinta Allah SWT kepada akal dengan
berselingkuh mencintai tahta, harta dan juga wanita.
4. Manusia
(Nass) Diciptakan Sesuai Dengan Fitrah Allah SWT. Allah SWT telah mengemukakan tentang 3(tiga) konsep kefitrahan, yaitu : (1) Adanya Diinul Islam yang berasal dari
fitrah Allah SWT; (2) Adanya manusia (nass atau ruh) yang juga berasal dari
fitrah Allah SWT, dan; (3) Adanya fitrah Allah SWT itu sendiri, sebagaiman
termaktub dalam surat Ar Ruum (30) ayat 30 berikut ini: “Maka hadapkanlah
wajahmu dengan Lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang
telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada peubahan pada fitrah
Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” Lalu Allah SWT memerintahkan kita (nass) untuk dihadapkan selalu kepada
Diinul Islam yang mana Diinul Islam itu sendiri adalah fitrah Allah SWT
sedangkan kita juga adalah fitrah Allah SWT. Sehingga dengan kita melakukan hal
ini maka kita dikehendaki oleh Allah SWT agar selalu berada di dalam konsep kefitrahan ini. Apabila kita mampu
selalu berada di dalam konsep ini maka datang fitrah kembali fitrah dapat kita
raih.
Selain daripada itu, masih melalui surat Ar Ruum (30) ayat 30 di atas,
Allah SWT sudah menunjukkan kepada diri kita bahwa kondisi dasar diri kita
sejak awal diciptakan oleh Allah SWT sudah di dalam konsep fitrah yang sesuai
dengan Allah SWT itu sendiri Dzat Yang Maha Fitrah sepanjang kita mampu
melaksanakan suatu konsep Ilahiah yang berasal dari fitrah Allah SWT yaitu
Diinul Islam yang dilaksanakan secara kaffah. Timbul
pertanyaan fitrah siapakah yang lebih baik dan lebih besar, apakah fitrah diri
kita ataukah fitrah Allah SWT? Fitrah manusia tidak mungkin
lebih baik dan lebih besar dari fitrah Allah SWT sebab fitrah manusia berasal
dan diciptakan oleh Allah SWT.
Selanjutnya adakah campur tangan selain Allah SWT di dalam fitrah
manusia? Sampai dengan saat ini tidak ada dan tidak akan mungkin ruh dapat
diperoleh dari selain Allah SWT. Sebagai bukti bahwa fitrah Allah SWT itu
mencerminkan kebesaran dan kehebatan dari Allah SWT, sampai saat ini belum
pernah dan tidak akan mungkin ruh dapat diteliti, dapat diperiksa, dapat
ditelaah, dapat diproduksi oleh selain Allah SWT. Dan jika sampai ruh dapat diteliti, diperiksa, ditelaah, di produksi oleh
selain Allah SWT maka posisi dan kebesaran yang dimiliki oleh Allah SWT telah
tergantikan oleh orang ataupun makhluk lainnya. Disinilah Allah SWT menempatkan kebesaran dan keheba-tannya kepada semua
makhluknya bahwa Allah SWT adalah segala-galanya.
5. Manusia Diciptakan
Dalam Bentuk Yang Sebaik Baiknya. Setiap manusia
diciptakan oleh Allah SWT di dalam kerangka rencana besar kekhalifahan di muka
bumi. Manusia diciptakan belakangan oleh Allah SWT setelah yang lainnya
diciptakan seperti jin, malaikat, bumi
dan langit dan manusia diciptakan dengan harapan akan menjadi perpanjangan
tangan Allah SWT (ingat bukan
perpanjangan tangan syaitan) di muka bumi serta akan dijadikan sebagai makhluk
pilihan yang mengabdi kepada Allah SWT. Jika hal ini yang melatarbelakangi
penciptaan manusia, patutkah Allah SWT menciptakan manusia dengan cara
asal-asalan atau datang begitu saja tanpa ada suatu perencanaan yang matang?
Allah SWT berfirman: “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia
dalam bentuk yang sebaik-baiknya. (surat At Tiin (95) ayat 4)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar