Label

MEMANUSIAKAN MANUSIA: INILAH JATIDIRI MANUSIA YANG SESUNGGUHNYA (79) SETAN HARUS JADI PECUNDANG: DIRI PEMENANG (68) SEBUAH PENGALAMAN PRIBADI MENGAJAR KETAUHIDAN DI LAPAS CIPINANG (65) INILAH ALQURAN YANG SESUNGGUHNYA (60) ROUTE TO 1.6.799 JALAN MENUJU MAKRIFATULLAH (59) MUTIARA-MUTIARA KEHIDUPAN: JALAN MENUJU KERIDHAAN ALLAH SWT (54) PUASA SEBAGAI KEBUTUHAN ORANG BERIMAN (50) ENERGI UNTUK MEMOTIVASI DIRI & MENJAGA KEFITRAHAN JIWA (44) RUMUS KEHIDUPAN: TAHU DIRI TAHU ATURAN MAIN DAN TAHU TUJUAN AKHIR (38) TAUHID ILMU YANG WAJIB KITA MILIKI (36) THE ART OF DYING: DATANG FITRAH KEMBALI FITRAH (33) JIWA YANG TENANG LAGI BAHAGIA (27) BUKU PANDUAN UMROH (26) SHALAT ADALAH KEBUTUHAN DIRI (25) HAJI DAN UMROH : JADIKAN DIRI TAMU YANG SUDAH DINANTIKAN KEDATANGANNYA OLEH TUAN RUMAH (24) IKHSAN: INILAH CERMINAN DIRI KITA (24) RUKUN IMAN ADALAH PONDASI DASAR DIINUL ISLAM (23) ZAKAT ADALAH HAK ALLAH SWT YANG HARUS DITUNAIKAN (20) KUMPULAN NASEHAT UNTUK KEHIDUPAN YANG LEBIH BAIK (19) MUTIARA HIKMAH DARI GENERASI TABI'IN DAN TABI'UT TABIIN (18) INSPRIRASI KESEHATAN DIRI (15) SYAHADAT SEBAGAI SEBUAH PERNYATAAN SIKAP (14) DIINUL ISLAM ADALAH AGAMA FITRAH (13) KUMPULAN DOA-DOA (10) BEBERAPA MUKJIZAT RASULULLAH SAW (5) DOSA DAN JUGA KEJAHATAN (5) DZIKIR UNTUK KEBAIKAN DIRI (4) INSPIRASI DARI PARA SAHABAT NABI (4) INILAH IBADAH YANG DISUKAI NABI MUHAMMAD SAW (3) PEMIMPIN DA KEPEMIMPINAN (3) TAHU NABI MUHAMMAD SAW (3) DIALOQ TOKOH ISLAM (2) SABAR ILMU TINGKAT TINGGI (2) SURAT TERBUKA UNTUK PEROKOK dan KORUPTOR (2) IKHLAS DAN SYUKUR (1)

Jumat, 10 Mei 2024

KONDISI DAN ATURAN DASAR MANUSIA SEBAGAI ANAK DAN KETURUNAN NABI ADAM as, SAAT HIDUP DI DUNIA (PART 6 of 7)


K.     ADANYA CARA HIDUP DI DUNIA.

 

Sebagai abd’ (hamba)-Nya dan juga khalifah-Nya yang sedang menumpang di muka bumi; sebagai abd’ (hamba) dan juga khalifah yang sedang merantau ke muka bumi, sebagai abd’ (hamba) dan juga khalifah yang sedang menjadi tamu di muka bumi, dikarenakan langit dan bumi bukan kita yang ciptakan dan bukan pula kita yang miliki. Maka sebagai tamu yang tahu diri maka kita harus memiliki apa yang dinamakan dengan adab, sopan santun, tata karma sehingga dapat menyenangkan hati tuan rumah; sebagai perantau yang baik kita wajib mempersiapkan bekal (maksudnya amal shaleh) sebanyak mungkin yang harus kita persiap-kan saat hidup di muka bumi untuk persiapan pulang kampung ke negeri akhirat.

 

Sekarang setelah menjadi tamu yang baik dapatkah kita sewenang-wenang memperlakukan langit dan bumi seolah-olah kita yang memiliki? Dapatkah kita merusak langit dan bumi atas nama pemilik? Dapatkah kita menghambur-hamburkankan segala jerih payah di muka bumi tanpa memikirkan bekal untuk pulang ke negeri akhirat? Jika kita termasuk tamu yang baik yang menyenangkan hati tuan rumah maka kita harus menjaga, merawat, memelihara langit dan bumi sesuai dengan kehendak dari pencipta dan pemiliknya. Sedangkan jika kita termasuk perantau yang baik maka kita harus mencari, membekali diri dengan bekal yang cukup untuk pulang kampung ke negeri akhirat. 

 

Adanya Allah SWT sebagai pencipta dan pemilik maka segala ketentuan, segala undang-undang, segala hukum yang berlaku di langit dan di bumi adalah ketentuan, hukum, undang-undang Allah SWT semata. Adanya kondisi ini berarti di langit dan di muka bumi ini tidak ada ketentuan, tidak ada hukum, tidak ada undang-undang selain yang dimiliki oleh Allah SWT. Hal yang samapun berlaku pada penghambaan dan kekhalifahan di muka bumi yang sedang kita laksanakan saat ini.

 

Sebagai tamu yang memiliki adab sopan santun serta tata krama; sebagai perantau yang baik, maka sudah seharusnya segala ketentuan, segala hukum, segala undang-undang Allah SWT yang berlaku di langit dan di bumi wajib kita laksanakan sesuai dengan kehendak Allah SWT selaku pencipta dan pemilik langit dan bumi serta kekhalifahan yang ada di muka bumi. Sekarang Allah SWT sudah menetapkan bahwa agama yang haq adalah Diinul Islam yang harus dilaksnakan secara kaffah, Allah SWT juga menetapkan bahwa syaitan adalah musuh, Nabi Muhammad SAW adalah Nabi dan Rasul terakhir, jangan merusak alam serta jangan pernah berbuat syirik atau musyrik. Jika hal ini sudah ditetapkan oleh Allah SWT maka ketentuan-ketentuan di atas wajib berlaku di jagat raya ini.

 

Setelah diri kita sukses menjadi pembesar, setelah sukses menjadi legislatif, setelah sukses menjadi eksekutif, setelah sukses menjadi yudikatif, setelah sukses menjadi konglomerat, apakah dengan kesuksesan tersebut kita bisa semena-mena merubah ketentuan Allah SWT atau merusak alam? Apapun bentuk kesuksesan yang kita raih di muka bumi tidak akan pernah menjadikan diri kita menjadi pencipta dan pemilik dari langit dan bumi; tidak akan pernah menjadikan diri kita mampu menciptakan ruhani, amanah yang 7, hubbul yang 7, perasaan, air dan udara; tidak akan pernah menjadikan manusia menjadi tuan rumah di muka bumi ini dikarenakan manusia tidak akan mungkin bisa menciptakan langit dan bumi. Dan jika ini kondisi dari manusia baik yang sukses ataupun tidak sukses, yang menjadi pejabat ataukah yang tidak, yang menjadi pemuka agama ataupun yang tidak, maka tidak ada alasan bagi kita untuk merubah atau menyesuaikan segala ketentuan Allah SWT yang berlaku di muka bumi ini sesuai dengan kehendak diri kita, karena kita bukanlah pencipta dan pemilik dari alam semesta ini.    

 

1.  Jangan Sombong di dunia. Sebagai abd’ (hamba)-Nya yang juga khalifah-Nya pernahkah diri kita membayangkan punya apakah diri kita saat lahir ke muka bumi ini? Apakah diri kita lahir ke muka bumi langsung menciptakan sendiri jasmani, ruhani, Amanah yang 7, Hubbul yang 7, hati ruhani, akal, perasaan, udara, air, langit dan bumi serta Diinul Islam? Jika kita memiliki kemampuan untuk  menciptakan itu semua, kenapa saat diri kita lahir dalam kondisi lemah yang hanya bisa menangis untuk segala apa yang kita rasakan? Setiap manusia yang ada di muka bumi ini, termasuk diri kita, tidak memiliki kemampuan untuk menciptakan langit dan bumi, untuk menciptakan jasmani dan  ruh, untuk menciptakan amanah 7, hubbul, akal, perasaan, untuk menciptakan udara dan air, serta untuk menciptakan Diinul Islam, apapun kedudukan manusia itu.

 

Setiap manusia yang ada di muka bumi adalah tamu yang menumpang di bumi Allah SWT, setiap manusia adalah perantau yang harus pulang ke negeri akhirat. Jika setiap manusia itu miskin, jika setiap manusia itu hina, jika setiap manusia tidak memiliki apa-apa dimuka bumi, sekarang patut dan pantaskah manusia sombong di langit dan di bumi Allah SWT ini? Jika kita termasuk orang yang sudah tahu diri maka jangan sampai diri kita mencontoh perbuatan karun yang bersikap sombong atau menjadi karun-karun generasi baru di muka bumi ini, sebagaimana dikemukakan dalam surat Al Qashash (28) ayat 78, 79 berikut ini: Karun berkata: "Sesungguhnya aku hanya diberi harta itu, karena ilmu yang ada padaku". dan Apakah ia tidak mengetahui, bahwasanya Allah sungguh telah membinasakan umat-umat sebelumnya yang lebih kuat daripadanya, dan lebih banyak mengumpulkan harta? dan tidaklah perlu ditanya kepada orang-orang yang berdosa itu, tentang dosa-dosa mereka. Maka keluarlah Karun kepada kaumnya dalam kemegahannya[1139]. berkatalah orang-orang yang menghendaki kehidupan dunia: "Moga-moga kiranya kita mempunyai seperti apa yang telah diberikan kepada Karun; Sesungguhnya ia benar-benar mempunyai keberuntungan yang besar". (surat Al Qashash (28) ayat 78-79)

 

[1139] Menurut mufassir: Karun ke luar dalam satu iring-iringan yang lengkap dengan pengawal, hamba sahaya dan inang pengasuh untuk memperlihatkan kemegahannya kepada kaumnya.

 

Sebagai abd (hamba)-Nya yang sekaligus juga khalifah-Nya yang tidak pernah mencip-takan dan memiliki langit dan bumi, berarti diri kita tidak memiliki alasan yang dapat dipertanggungjawabkan untuk berlaku sombong di muka bumi ini yang dimiliki Allah SWT. Jika sampai diri kita kita berlaku sombong di muka bumi berarti diri kita telah menerapkan prinsip hidup atau peribahasa sebagai berikut, tamu yang berlagak seperti tuan rumah, atau dikasih hati minta rempela atau sudahlah menumpang masih pula kurang ajar alias tidak tahu diri. Sekarang dari manakah asalnya sikap sombong yang ada pada diri manusia? Sikap sombong yang ada pada diri manusia ditularkan oleh iblis/syaitan. Selanjutnya jika kita bersikap sombong berarti diri kita sudah berperilaku seperti iblis/syaitan. Sebagai abd’ (hamba)-Nya yang juga khalifah-Nya yang sedang merantau atau sebagai tamu yang baik jangan pernah sekalipun diri kita berlaku sombong baik kepada sesama apalagi kepada Allah SWT. Hal ini dikarenakan perilaku sombong, angkuh, congkak, tidak akan dapat menghantarkan diri kita ke kampung kebahagiaan, dikarenakan tempat kembali orang sombong adalah neraka Jahannam.

 

Sebagai makhluk yang terhormat, tentu diri kita wajib mencerminkan, menjaga serta mempertahankan kehormatan yang kita miliki tersebut saat diri kita hidup di muka bumi. Sekarang mungkinkah seorang yang terhormat dapat mempertahankan kehorma-tan yang dimilikinya jika saat hidup di dunia selalu sombong seperti sombongnya iblis melawan perintah Allah SWT, hidup tanpa etika, tanpa sopan santun, tanpa tata krama sehingga perintah dan larangan Allah SWT dilanggarnya, hidup seenaknya saja sehingga alam yang tidak pernah diciptakan dan dimiliki di rusak? Jika ini yang kita lakukan berarti memang diri kita tidak pantas menyandang gelar sebagai makhluk yang terhormat atau menjadi perpanjangan tangan Allah SWT di muka bumi. Hasil akhir dari ini semua adalah pulang kampung ke neraka Jahannam.  

 

2.   Jangan Mencintai Dunia. Seorang perantau yang menetap di negeri orang, suatu saat pasti akan kembali ke kampung halaman. Jika ini adalah konsep dasar merantau berarti hidup di rantau yang dilakukan oleh seseorang bukanlah tujuan akhir, akan tetapi tujuan sementara dalam rangka untuk mencari bekal pulang kampung atau untuk pembuktian diri atas keberhasilan hidup di rantau. Adanya kondisi ini berarti kualitas hidup di rantau sangat berhubungan erat dengan keberhasilan di kampung halaman. Adanya kondisi ini berarti segala apa yang kita lakukan saat hidup di rantau, akan mempengaruhi keberha-silan atau ketidakberhasilan hidup di kampung halaman. Sekarang bagaimana dengan diri kita yang saat ini sedang merantau ke muka bumi, apakah kualitas merantau yang kita lakukan saat ini akan memberikan dampak keberhasilankah atau memberikan dampak ketidakberhasi-lankah untuk  pulang ke negeri akhirat? Agar diri kita berhasil menuju negeri akhirat yang bernama syurga, tentu saat ini kita harus mencari bekal sebanyak mungkin di dalam koridor ketentuan untuk masuk Syurga.

 

Hal yang harus kita perhatikan adalah bekal untuk masuk syurga tidak sama dengan bekal untuk masuk neraka. Adanya perbedaan bekal untuk masuk syurga dan neraka, hal ini akan mempengaruhi pula pola kerja saat diri kita menjadi abd’ (hamba)-Nya yang juga khalifah-Nya di muka bumi. Untuk itu sewaktu kita hidup di dunia maka kita harus menentukan mau pulang kemanakah diri kita, apakah mau ke syurga ataukah ke neraka. Jika pilihan kita adalah neraka jahannam, nomorsatukan kehidupan dunia, nomor-akhirkan  kehidu-pan akhirat atau cintai kehidupan dunia, lalaikan kehidupan akhirat. Akan tetapi jika kita mengambil keputusan untuk pulang kampung ke syurga berarti kita tidak boleh mencintai dunia, kita tidak boleh menomorsatukan dunia, dengan mengakhirkan akhirat. Apalagi Allah SWT selaku pencipta dan pemilik kekhalifahan di muka bumi melalui surat Al Baqarah (2) ayat 204 berikut ini: “dan di antara manusia ada orang yang ucapannya tentang kehidupan dunia menarik hatimu, dan dipersaksikannya kepada Allah (atas kebenaran) isi hatinya, Padahal ia adalah penantang yang paling keras.” telah mengingatkan agar jangan sampai kehidupan dunia menarik hati kita sehingga mengabaikan kehidupan akhirat. Adanya peringatan dari Allah SWT seharusnya dapat menjadikan diri kita mawas diri saat menjadi abd’ (hamba)-Nya yang sekaligus khalifah-Nya di muka bumi karena kehidupan dunia bukanlah kehidupan yang hakiki.

 

Yang menjadi persoalan saat ini adalah kita berkehendak untuk pulang kampung ke syurga namun perilaku hidup kita selalu tidak konsisten dengan apa yang kita hendaki. Seolah-olah dengan perilaku ziq-zaq, kadang baik kadang buruk, dapat menghantarkan diri kita ke syurga. Jika ini yang kita lakukan kita akan berada di daerah abu-abu, sedangkan Allah SWT hanya menetapkan hitam atau putih saja. Allah SWT berfirman: Maka berpalinglah (hai Muhammad) dari orang yang berpaling dari peringatan Kami, dan tidak mengingini kecuali kehidupan duniawi.Itulah sejauh-jauh pengetahuan mereka. Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang paling mengetahui siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia pulalah yang paling mengetahui siapa yang mendapat petunjuk. (surat An Najm (53) ayat 29-30). Selain daripada itu Allah SWT juga mengingatkan kepada diri kita untuk tidak banyak bergaul dengan orang yang menomorsatukan kehidupan dunia disbanding-kan kehidupan akhirat atau orang yang selalu menginginkan kehidupan duniawi. Hal ini agar diri kita tidak tergoda atau digoda oleh mereka sehingga maksud dan tujuan kita yang seharusnya pulang ke syurga justru berubah menjadi ke neraka Jahannam.  

 

3.   Jangan Tukar Akhirat dengan Dunia. Seorang perantau yang menetap di negeri orang, suatu saat pasti akan kembali ke kampung halamannya sendiri. Jika ini adalah konsep dasar merantau berarti hidup di rantau bukan tujuan akhir, akan tetapi tujuan sementara dalam rangka untuk mencari bekal pulang kampung. Adanya kondisi ini berarti sukses dan gagalnya kehidupan di rantau sangat menentukan kehidupan di kampung halaman. Jika sukses di rantau akan menghasilkan bekal yang baik untuk pulang ke kampung halaman. Sedangkan jika gagal dirantau akan menghasilkan bekal yang buruk untuk pulang kampung. Sekarang bagaimana dengan penghambaan dan kekhalifahan yang sedang kita laksanakan di muka bumi saat ini?

 

Penghambaan dan kekhalifahan di muka bumi yang sedang kita laksanakan saat ini pada prinsipnya sama dengan kehidupan di rantau, yaitu jika kita sukses menjadi abd’ (hamba)-Nya yang juga khalifah-Nya yang dikehendaki Allah SWT maka akan menghantarkan diri kita ke syurga. Sedangkan jika kita gagal menjadi abd’ (hamba)-Nya yang sekaligus khalifah-Nya yang dikehendaki Allah SWT maka akan menghantarkan diri kita ke neraka Jahannam. Adanya kondisi ini berarti kehidupan dunia yang saat ini kita jalani sangat menentukan keberhasilan diri kita untuk pulang kampung, apakah ke syurga ataukah ke neraka.

 

Sebagai abd’ (hamba)-Nya yang sekaligus khalifah-Nya sudahkah diri kita menyesuaikan diri secara konsisten dengan tujuan akhir kehidupan diri kita? Sekarang bagaimana dengan kehidupan akhirat, apakah itu syurga ataukah neraka, yang akan menjadi tujuan akhir kita, apakah keduanya dapat diraih dengan begitu saja? Untuk dapat meraih syurga ataupun neraka sangat dibutuhkan konsistensi perilaku atau perbuatan saat hidup di dunia dengan apa yang akan hendak kita capai. Untuk memperoleh tiket masuk syurga, kita harus konsisten dari waktu ke waktu berada di dalam kehendak Allah SWT. Sedangkan untuk memperoleh tiket neraka kitapun harus konsisten berada di dalam kehendak ahwa (hawa nafsu) dan syaitan. Sekarang manakah yang lebih baik antara kehidupan dunia dengan kehidupan akhirat? 

 

Allah SWT selaku pencipta kekhalifahan yang ada di muka bumi, telah mengemukakan bahwa kehidupan dunia tidak sama dengan kehidupan akhirat, kehidupan dunia tidak sebanding dengan kehidupan akhirat, kehidupan akhirat lebih baik dari kehidupan dunia. Sebagaimana dikemukakan dalam surat Al Ahzab (33) ayat 28-29 berikut ini: Hai Nabi, Katakanlah kepada isteri-isterimu: "Jika kamu sekalian mengingini kehidupan dunia dan perhiasannya, Maka Marilah supaya kuberikan kepadamu mut'ah[1212] dan aku ceraikan kamu dengan cara yang baik.dan jika kamu sekalian menghendaki (keredhaan) Allah dan Rasulnya-Nya serta (kesenangan) di negeri akhirat, Maka Sesungguhnya Allah menyediakan bagi siapa yang berbuat baik diantaramu pahala yang besar.(surat Al Ahzab (33) ayat 28-29)

 

[1212] Mut'ah Yaitu: suatu pemberian yang diberikan kepada perempuan yang telah diceraikan menurut kesanggupan suami.

 

Dan juga berdasarkan surat Al Qashash (28) ayat 60-61 yang kami kemukakan  berikut ini: “dan apa saja[1130] yang diberikan kepada kamu, Maka itu adalah kenikmatan hidup duniawi dan perhiasannya; sedang apa yang di sisi Allah adalah lebih baik dan lebih kekal. Maka Apakah kamu tidak memahaminya? Maka Apakah orang yang Kami janjikan kepadanya suatu janji yang baik (surga) lalu ia memperolehnya, sama dengan orang yang Kami berikan kepadanya kenikmatan hidup duniawi[1131]; kemudian Dia pada hari kiamat Termasuk orang-orang yang diseret (ke dalam neraka)? (surat Al Qashash (28) ayat 60-61)

 

[1130] Maksudnya: hal-hal yang berhubungan dengan duniawi Seperti, pangkat kekayaan keturunan dan sebagainya.

[1131] Maksudnya: orang yang diberi kenikmatan hidup duniawi, tetapi tidak dipergunakannya untuk mencari kebahagiaan hidup di akhirat, karena itu Dia di akhirat diseret ke dalam neraka.

 

Selanjutnya apa yang harus kita sikapi dengan ketentuan Allah SWT ini? Sebagai abd’ (hamba)-Nya yang sekaligus khalifah-Nya jangan sampai diri kita menukar kehidupan akhirat yang lebih baik dengan kehidupan dunia yang kelihatannya baik padahal buruk. Timbul pertanyaan dari manakah asalnya kehidupan dunia dapat ditampilkan seolah-olah lebih baik dibandingkan dengan kehidupan akhirat? Disinilah letak kelihaian syaitan, kehebatan syaitan mempengaruhi manusia dengan membuat suatu yang sebenarnya hanya tujuan sementara menjadi tujuan akhir, yang sebenarnya kehidupan dunia tempat mencari bekal untuk kehidupan akhirat diputar bahwa kehidupan dunia itulah yang sebenarnya. Lalu bagaimanakah caranya jika kita telah terlanjur dipengaruhi oleh syaitan? Langkah pertama lakukan Taubatan Nasuha, yang dilanjutkan kembali ke jalan  Allah SWT dengan melaksanakan Diinul Islam secara kaffah saat ini juga. 

 

Sekarang, mari kita lakukan perbandingan antara kehidupan dunia dari sudut pandang orang mukmin yang dikehendaki Allah SWT dibandingkan dengan kehidupan dunia dari sudut pandang orang kafir yang dikehendaki syaitan. Timbul pertanyaan, apakah sama kondisinya ataukah berbeda kondisinya? Berikut ini akan kami kemukakaan beberapa ketentuan tentang kehidupan dunia dari sudut pandang orang mukmin, yaitu:

 

a.    Kehidupan dunia bagi orang mukmin adalah saat untuk memperoleh rahmat Allah SWT atau saat untuk merasakan nikmatnya bertuhankan kepada Allah SWT atau saat mendapatkan kebajikan bagi kehidupan dunia dan juga bagi kehidupan akhirat kelak. Sebagaimana dikemukakan dalam surat Al A'raaf (7) ayat 156 berikut ini: “dan tetapkanlah untuk Kami kebajikan di dunia ini dan di akhirat; Sesungguhnya Kami kembali (bertaubat) kepada Engkau. Allah berfirman: "Siksa-Ku akan Kutimpakan kepada siapa yang aku kehendaki dan rahmat-Ku meliputi segala sesuatu. Maka akan aku tetapkan rahmat-Ku untuk orang-orang yang bertakwa, yang menunaikan zakat dan orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat kami.” Sebagai abd’ (hamba) yang sekaligus khalifah di muka bumi sudahkah kita memanfaatkan sebaik mungkin kesempatan yang telah diberikan oleh Allah SWT?

 

b.  Kehidupan dunia bagi orang mukmin adalah saat untuk mengumpulkan pahala untuk kebaikan hidup di dunia dan pahala untuk kebaikan hidup di akhirat kelak. Sebagaimana dikemukakan dalam surat Ali Imran (3) ayat 148 berikut ini: “karena itu Allah memberikan kepada mereka pahala di dunia[236] dan pahala yang baik di akhirat. dan Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebaikan.” Sebagai khalifah di muka bumi sudahkah kita memanfaatkan sebaik mungkin kesempatan yang telah diberikan oleh Allah SWT?

 

[236] Pahala dunia dapat berupa kemenangan-kemenangan, memperoleh harta rampasan, pujian-pujian dan lain-lain.

 

c. Kehidupan dunia bagi orang mukmin adalah saat untuk memperoleh atau mendapatkan kebaikan dari Allah SWT sebagai balasan atas perbuatan baik yang kita lakukan saat menjadi abd’ (hamba) yang juga khalifah di muka bumi. Sebagaimana dikemukakan dalam surat An Nahl (16) ayat 30 berikut ini: “dan dikatakan kepada orang-orang yang bertakwa: "Apakah yang telah diturunkan oleh Tuhanmu?" mereka menjawab: "(Allah telah menurunkan) kebaikan". orang-orang yang berbuat baik di dunia ini mendapat (pembalasan) yang baik. dan Sesungguhnya kampung akhirat adalah lebih baik dan Itulah Sebaik-baik tempat bagi orang yang bertakwa.”

 

d. Kehidupan dunia bagi orang mukmin adalah kesempatan untuk memperoleh, kesempatan untuk mendayagunakan, kesempatan untuk merasakan segala perhiasan yang telah dihalalkan oleh Allah SWT untuk kepentingan dunia dan kepentingan akhirat serta untuk aktualisasi diri dan juga untuk memperoleh tiket masuk ke syurga. Sebagaimana dikemukakan dalam surat Al A'raaf (7) ayat 31-32-33 berikut ini: “Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di Setiap (memasuki) mesjid[534], Makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan[535]. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan. Katakanlah: "Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rezki yang baik?" Katakanlah: "Semuanya itu (disediakan) bagi orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia, khusus (untuk mereka saja) di hari kiamat[536]." Demikianlah Kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi orang-orang yang mengetahui. Katakanlah: "Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui.”

 

[534] Maksudnya: tiap-tiap akan mengerjakan sembahyang atau thawaf keliling ka'bah atau ibadat-ibadat yang lain.

[535] Maksudnya: janganlah melampaui batas yang dibutuhkan oleh tubuh dan jangan pula melampaui batas-batas makanan yang dihalalkan.

[536] Maksudnya: perhiasan-perhiasan dari Allah dan makanan yang baik itu dapat dinikmati di dunia ini oleh orang-orang yang beriman dan orang-orang yang tidak beriman, sedang di akhirat nanti adalah semata-mata untuk orang-orang yang beriman saja.

 

e.     Kehidupan dunia bagi orang mukmin adalah saat merasakan atau menerima berita gembira atau merasakan janji-janji Allah SWT baik untuk kehidupan dunia maupun untuk kehidupan akhirat. Sebagaimana dikemukakan dalam surat Yunus (10) ayat 62-63-64 berikut ini: “Ingatlah, Sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa. bagi mereka berita gembira di dalam kehidupan di dunia dan (dalam kehidupan} di akhirat. tidak ada perobahan bagi kalimat-kalimat (janji-janji) Allah. yang demikian itu adalah kemenangan yang besar.”

 

f.    Kehidupan dunia bagi orang mukmin adalah saat  diberikannya kesenangan yang berasal dari Allah SWT serta saat dihilangkannya azab yang menghinakan yang kita alami saat hidup di dunia. Sebagaimana dikemukakan dalam surat Yunus (10) ayat 98 berikut ini: “dan mengapa tidak ada (penduduk) suatu kota yang beriman, lalu imannya itu bermanfaat kepadanya selain kaum Yunus? tatkala mereka (kaum Yunus itu), beriman, Kami hilangkan dari mereka azab yang menghinakan dalam kehidupan dunia, dan Kami beri kesenangan kepada mereka sampai kepada waktu yang tertentu.”

 

g. Kehidupan dunia bagi orang mukmin adalah kesempatan untuk memperoleh perlindungan saat diri kita  hidup di dunia yang berasal langsung dari Allah SWT untuk kepentingan akhirat. Sebagaimana dikemukakan dalam surat Fushshilat (41) ayat 30-31 berikut ini: “Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: "Tuhan Kami ialah Allah" kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, Maka Malaikat akan turun kepada mereka dengan mengatakan: "Janganlah kamu takut dan janganlah merasa sedih; dan gembirakanlah mereka dengan jannah yang telah dijanjikan Allah kepadamu".kamilah pelindung-pelindungmu dalam kehidupan dunia dan akhirat; di dalamnya kamu memperoleh apa yang kamu inginkan dan memperoleh (pula) di dalamnya apa yang kamu minta.”

 

h.   Kehidupan dunia bagi orang mukmin adalah saat diri kita  diberikan kesempatan untuk menjadi penguasa atau melaksanakan misi sebagai abd’ (hamba) yang juga khalifah di muka bumi. Sebagaimana dikemukakan dalam surat Yusuf (12) ayat 101 berikut ini: “Ya Tuhanku, Sesungguhnya Engkau telah menganugerahkan kepadaku sebahagian kerajaan dan telah mengajarkan kepadaku sebahagian ta'bir mimpi. (ya Tuhan) Pencipta langit dan bumi. Engkaulah pelindungku di dunia dan di akhirat, wafatkanlah aku dalam Keadaan Islam dan gabungkanlah aku dengan orang-orang yang saleh.”

 

i.    Kehidupan dunia bagi orang mukmin adalah saat diri kita dicintai oleh Allah SWT.  Sebagaimana dikemukakan dalam hadits berikut ini: “Abu Hurairah ra, berkata: Nabi SAW bersabda: Allah ta'ala berfirman: Hamba-Ku yang mukmin Aku cintai lebih dari sementara Malaikat-Ku. (Hadits Riwayat Aththabarani; 272:113).” 

 

j.     Kehidupan dunia bagi orang mukmin adalah saat dosa-dosa manusia diampuni oleh Allah SWT.  Sebagaimana dikemukakan dalam hadits berikut ini:  Abu Dardaa ra, berkata: Nabi SAW bersabda: Allah ta'ala berfirman: Andaikan hamba-Ku menghadap Aku dengan dosa-dosa sepenuh wadah-wadah yang ada di bumi, namun tidak bersyirik menyekutukan sesuatu pada-Ku, akan kuhadapinya dengan pengampunan sepenuh wadah-wadah itu. (Hadits Riwayat Ath Thabarani; 272:127).”

 

Sebagai abd’ (hamba)-Nya yang juga khalifah-Nya di muka bumi sudahkah kita meman-faatkan sepuluh kesempatan yang telah Allah SWT sediakan dalam rangka menghantar-kan diri kita pulang kampung ke syurga atau dalam rangka merasakan nikmatnya bertuhankan kepada Allah SWT saat diri kita hidup di muka bumi ini? Apabila diri kita hanya diam saja atau kita tidak bereaksi untuk menyambut 10 (sepuluh) fasilitas yang telah dipersiapkan oleh Allah SWT berarti ada sesuatu yang salah di dalam diri kita, dikarenakan kita sudah merasa hebat karena sudah tidak membutuhkan Allah SWT lagi.

 

Hal lain yang harus kita perhatikan adalah ke sepuluh kesempatan yang telah disiapkan oleh Allah SWT bukanlah untuk kepentingan Allah SWT, melainkan untuk kepentingan diri kita saat hidup di dunia. Jika sekarang kita mampu memperoleh kesempatan itu, timbul pertanyaan, mungkinkah kehidupan yang kita jalani di dunia menjadi susah, menjadikan diri kita miskin, menjadikan diri kita bodoh, menjadikan diri kita sebagai antek syaitan? Adanya fasilitas yang telah dipersiapkan oleh Allah SWT untuk diri kita, akan dapat menghantar-kan diri kita bahagia, akan dapat menghantarkan diri kita berkecukupan, akan dapat menghantarkan diri kita menguasai ilmu dan pengetahuan, akan dapat menghantarkan diri kita menjadi warga kelas satu di muka bumi ini serta akan dapat menjadikan syaitan sebagai pecundang. Yang menjadi persoalan saat ini adalah kita mau memperoleh segala yang dipersiapkan oleh Allah SWT, namun kita tidak mau memenuhi segala yang dikehendaki oleh Allah SWT. Jika ini yang terjadi maka sia-sialah fasilitas yang telah dipersiapkan oleh Allah SWT untuk diri kita.

 

Sekarang bagaimana dengan posisi kehidupan dunia bagi orang kafir atau orang yang memiliki jiwa fujur atau bagi seseorang yang hidupnya sudah sesuai dengan kehendak syaitan? Kehidupan dunia bagi orang kafir dapat kami kemukakan sebagai berikut:

 

a.   Orang kafir adalah orang yang menukar kehidupan akhirat dengan kehidupan dunia atau orang yang mementingkan kehidupan dunia daripada kehidupan akhirat (syurga telah ditukar dengan neraka). Sebagaimana dikemukakan dalam surat An Nahl (16) ayat 107 berikut ini: “yang demikian itu disebabkan karena Sesungguhnya mereka mencintai kehidupan di dunia lebih dari akhirat, dan bahwasanya Allah tiada memberi petunjuk kepada kaum yang kafir. dan juga berdasarkan surat Al Baqarah (2) ayat 86 yang kami kemukakan berikut ini; “Itulah orang-orang yang membeli kehidupan dunia dengan (kehidupan) akhirat, Maka tidak akan diringankan siksa mereka dan mereka tidak akan ditolong.”   

 

b.  Kehidupan dunia bagi orang kafir adalah saat dimana anak dan harta benda dijadikan azab bagi mereka atau saat anak dan harta benda menjadi alat penyiksa bagi orang kafir. Sebagaimana dikemukakan dalam surat At Taubah (9) ayat 55 berikut ini: “Maka janganlah harta benda dan anak-anak mereka menarik hatimu. Sesungguhnya Allah menghendaki dengan (memberi) harta benda dan anak-anak itu untuk menyiksa mereka dalam kehidupan di dunia dan kelak akan melayang nyawa mereka, sedang mereka dalam Keadaan kafir.” dan juga surat At Taubah (9) ayat 85 berikut ini: “dan janganlah harta benda dan anak-anak mereka menarik hatimu. Sesungguhnya Allah menghendaki akan mengazab mereka di dunia dengan harta dan anak-anak itu dan agar melayang nyawa mereka, dalam Keadaan kafir.”  

 

c.     Kehidupan dunia bagi orang kafir adalah saat Allah SWT melakukan penghinaan atau saat orang kafir menerima stempel terhina. Sebagaimana dikemukakan dalam surat Al Maaidah (5) ayat 33 berikut ini: “Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka didunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar.”

 

d.    Kehidupan dunia bagi orang kafir adalah saat dihapusnya segala amalan yang telah dilakukan sehingga apa yang dilakukan tidak mendapatkan ganjaran apapun. Sebagaimana dikemukakan dalam surat Ali Imran (3) ayat 21-22 berikut ini: “Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada ayat-ayat Allah dan membunuh Para Nabi yang memamg tak dibenarkan dan membunuh orang-orang yang menyuruh manusia berbuat adil, Maka gembirakanlah mereka bahwa mereka akan menerima siksa yg pedih. mereka itu adalah orang-orang yang lenyap (pahala) amal-amalnya di dunia dan akhirat, dan mereka sekali-kali tidak memperoleh penolong.”

 

e.     Kehidupan dunia bagi orang kafir adalah saat tertipunya mereka dengan kehidupan dunia sehingga kehidupan dunia di anggap lebih baik dari kehidupan akhirat. Sebagaimana dikemukakan dalam  surat Al A'raaf (7) ayat 51 berikut ini: “(yaitu) orang-orang yang menjadikan agama mereka sebagai main-main dan senda gurau, dan kehidupan dunia telah menipu mereka." Maka pada hari (kiamat) ini, Kami melupakan mereka sebagaimana mereka melupakan Pertemuan mereka dengan hari ini, dan (sebagaimana) mereka selalu mengingkari ayat-ayat kami.”

 

f.    Kehidupan dunia bagi orang kafir adalah saat atau kesempatan  untuk membeli tiket masuk ke neraka atau saat mengadakan persahabatan dengan syaitan agar bisa menempati neraka bersama sama. Sebagaimana dikemukakan dalam surat Yunus (10) ayat 7-8 berikut ini: “Sesungguhnya orang-orang yang tidak mengharapkan (tidak percaya akan) Pertemuan dengan Kami, dan merasa puas dengan kehidupan dunia serta merasa tenteram dengan kehidupan itu dan orang-orang yang melalaikan ayat-ayat Kami, mereka itu tempatnya ialah neraka, disebabkan apa yang selalu mereka kerjakan.”

 

g.   Kehidupan dunia bagi orang kafir adalah saat Allah SWT menyiksa atau saat Allah SWT tidak akan memberikan pertolongan.  Sebagaimana dikemukakan dalam surat Ali Imran (3) ayat 56 “Adapun orang-orang yang kafir, Maka akan Ku-siksa mereka dengan siksa yang sangat keras di dunia dan di akhirat, dan mereka tidak memperoleh penolong.”

 

h.      Kehidupan dunia bagi orang kafir adalah saat Allah SWT mengadu domba antara orang kafir dengan orang kafir. Sebagaimana dikemukakan dalam hadits berikut ini: “Jabir ra, berkata: Nabi SAW bersabda: Allah ta'ala berfirman: Aku membalas hamba yang Aku benci dengan hamba yang Aku benci pula kemudian Aku masukkan ke dalam Neraka. (Hadits Qudsi Riwayat Aththabarani; 272:75)  

 

Berdasarkan apa-apa yang kami kemukakan di atas, terlihat sangat jelas perbedaan yang sangat mencolok antara kehidupan dunia dari sudut pandang orang mukmin disbanding-kan dengan sudut pandang orang kafir. Sebagai abd’ (hamba)-Nya yang juga khalifah-Nya tentu kita harus dapat menjadikan kehidupan dunia yang saat ini kita lakukan adalah kesempatan bagi diri kita memperoleh kebaikan dunia, untuk kebaikan akhirat atau kesempatan untuk membeli tiket masuk ke syurga serta mampu menjadi kebang-gaan Allah SWT.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar