K.
ADANYA CARA HIDUP DI DUNIA.
Sebagai
abd’ (hamba)-Nya dan juga khalifah-Nya yang sedang menumpang di muka bumi;
sebagai abd’ (hamba) dan juga khalifah yang sedang merantau ke muka bumi,
sebagai abd’ (hamba) dan juga khalifah yang sedang menjadi tamu di muka bumi,
dikarenakan langit dan bumi bukan kita yang ciptakan dan bukan pula kita yang
miliki. Maka sebagai
tamu yang tahu diri maka kita harus memiliki apa yang dinamakan dengan adab,
sopan santun, tata karma sehingga dapat menyenangkan hati tuan rumah; sebagai
perantau yang baik kita wajib mempersiapkan bekal (maksudnya amal shaleh)
sebanyak mungkin yang harus kita persiap-kan saat hidup di muka bumi untuk
persiapan pulang kampung ke negeri akhirat.
Sekarang
setelah menjadi tamu yang baik dapatkah kita sewenang-wenang memperlakukan
langit dan bumi seolah-olah kita yang memiliki? Dapatkah kita merusak langit
dan bumi atas nama pemilik? Dapatkah kita menghambur-hamburkankan segala jerih
payah di muka bumi tanpa memikirkan bekal untuk pulang ke negeri akhirat? Jika
kita termasuk tamu yang baik yang menyenangkan hati tuan rumah maka kita harus
menjaga, merawat, memelihara langit dan bumi sesuai dengan kehendak dari
pencipta dan pemiliknya. Sedangkan jika kita termasuk perantau yang baik maka
kita harus mencari, membekali diri dengan bekal yang cukup untuk pulang kampung
ke negeri akhirat.
Adanya
Allah SWT sebagai pencipta dan pemilik maka segala ketentuan, segala undang-undang, segala
hukum yang berlaku di langit dan di bumi adalah ketentuan, hukum, undang-undang
Allah SWT semata. Adanya kondisi ini berarti di langit dan di muka bumi ini
tidak ada ketentuan, tidak ada hukum, tidak ada undang-undang selain yang
dimiliki oleh Allah SWT. Hal yang samapun berlaku pada penghambaan dan kekhalifahan
di muka bumi yang sedang kita laksanakan saat ini.
Sebagai
tamu yang memiliki adab sopan santun serta tata krama; sebagai perantau yang
baik, maka sudah seharusnya segala ketentuan, segala hukum, segala
undang-undang Allah SWT yang berlaku di langit dan di bumi wajib kita
laksanakan sesuai dengan kehendak Allah SWT selaku pencipta dan pemilik langit
dan bumi serta kekhalifahan yang ada di muka bumi. Sekarang Allah SWT sudah
menetapkan bahwa agama yang haq adalah Diinul Islam yang harus dilaksnakan
secara kaffah, Allah SWT juga menetapkan bahwa syaitan adalah musuh, Nabi
Muhammad SAW adalah Nabi dan Rasul terakhir, jangan merusak alam serta jangan
pernah berbuat syirik atau musyrik. Jika hal ini sudah ditetapkan oleh Allah
SWT maka ketentuan-ketentuan di atas wajib berlaku di jagat raya ini.
Setelah diri kita sukses
menjadi pembesar, setelah sukses menjadi legislatif, setelah sukses menjadi
eksekutif, setelah sukses menjadi yudikatif, setelah sukses menjadi
konglomerat, apakah dengan kesuksesan tersebut kita bisa semena-mena merubah
ketentuan Allah SWT atau merusak alam? Apapun bentuk kesuksesan yang kita raih
di muka bumi tidak akan pernah menjadikan diri kita menjadi pencipta dan
pemilik dari langit dan bumi; tidak akan pernah menjadikan diri kita mampu
menciptakan ruhani, amanah yang 7, hubbul yang 7, perasaan, air dan udara;
tidak akan pernah menjadikan manusia menjadi tuan rumah di muka bumi ini
dikarenakan manusia tidak akan mungkin bisa menciptakan langit dan bumi. Dan jika
ini kondisi dari manusia baik yang sukses ataupun tidak sukses, yang menjadi
pejabat ataukah yang tidak, yang menjadi pemuka agama ataupun yang tidak, maka
tidak ada alasan bagi kita untuk merubah atau menyesuaikan segala ketentuan Allah
SWT yang berlaku di muka bumi ini sesuai dengan kehendak diri kita, karena kita
bukanlah pencipta dan pemilik dari alam semesta ini.
1. Jangan
Sombong di dunia. Sebagai abd’ (hamba)-Nya yang juga khalifah-Nya
pernahkah diri kita membayangkan punya apakah diri kita saat lahir ke muka bumi
ini? Apakah diri kita lahir ke muka bumi langsung menciptakan sendiri jasmani,
ruhani, Amanah yang 7, Hubbul yang 7, hati ruhani, akal, perasaan, udara, air,
langit dan bumi serta Diinul Islam? Jika kita memiliki kemampuan untuk menciptakan itu semua, kenapa saat diri kita
lahir dalam kondisi lemah yang hanya bisa menangis untuk segala apa yang kita
rasakan? Setiap manusia yang ada di muka
bumi ini, termasuk diri kita, tidak memiliki kemampuan untuk menciptakan langit
dan bumi, untuk menciptakan jasmani dan
ruh, untuk menciptakan amanah 7, hubbul, akal, perasaan, untuk
menciptakan udara dan air, serta untuk menciptakan Diinul Islam, apapun
kedudukan manusia itu.
Setiap
manusia yang ada di muka bumi adalah tamu yang menumpang di bumi Allah SWT,
setiap manusia adalah perantau yang harus pulang ke negeri akhirat. Jika setiap
manusia itu miskin, jika setiap manusia itu hina, jika setiap manusia tidak
memiliki apa-apa dimuka bumi, sekarang patut dan pantaskah manusia sombong di
langit dan di bumi Allah SWT ini? Jika kita termasuk orang yang sudah tahu diri
maka jangan sampai diri kita mencontoh perbuatan karun yang bersikap sombong
atau menjadi karun-karun generasi baru di muka bumi ini, sebagaimana
dikemukakan dalam surat Al Qashash (28) ayat 78, 79 berikut ini: “Karun berkata: "Sesungguhnya aku hanya diberi harta itu, karena
ilmu yang ada padaku". dan Apakah ia tidak mengetahui, bahwasanya Allah
sungguh telah membinasakan umat-umat sebelumnya yang lebih kuat daripadanya,
dan lebih banyak mengumpulkan harta? dan tidaklah perlu ditanya kepada
orang-orang yang berdosa itu, tentang dosa-dosa mereka. Maka keluarlah Karun
kepada kaumnya dalam kemegahannya[1139]. berkatalah orang-orang yang
menghendaki kehidupan dunia: "Moga-moga kiranya kita mempunyai seperti apa
yang telah diberikan kepada Karun; Sesungguhnya ia benar-benar mempunyai
keberuntungan yang besar". (surat Al Qashash (28) ayat 78-79)
[1139]
Menurut mufassir: Karun ke luar dalam satu iring-iringan yang lengkap dengan
pengawal, hamba sahaya dan inang pengasuh untuk memperlihatkan kemegahannya
kepada kaumnya.
Sebagai
abd (hamba)-Nya yang sekaligus juga khalifah-Nya yang tidak pernah mencip-takan
dan memiliki langit dan bumi, berarti diri kita tidak memiliki alasan yang
dapat dipertanggungjawabkan untuk berlaku sombong di muka bumi ini yang
dimiliki Allah SWT. Jika sampai diri kita kita berlaku sombong di muka bumi berarti diri
kita telah menerapkan prinsip hidup atau peribahasa sebagai berikut, tamu yang
berlagak seperti tuan rumah, atau dikasih hati minta rempela atau sudahlah
menumpang masih pula kurang ajar alias tidak tahu diri. Sekarang dari manakah asalnya sikap sombong
yang ada pada diri manusia? Sikap sombong yang ada pada diri manusia ditularkan
oleh iblis/syaitan. Selanjutnya jika kita bersikap sombong berarti diri kita sudah
berperilaku seperti iblis/syaitan. Sebagai abd’ (hamba)-Nya yang
juga khalifah-Nya yang sedang merantau atau sebagai tamu yang baik jangan
pernah sekalipun diri kita berlaku sombong baik kepada sesama apalagi kepada
Allah SWT. Hal ini dikarenakan perilaku sombong, angkuh, congkak, tidak akan
dapat menghantarkan diri kita ke kampung kebahagiaan, dikarenakan tempat
kembali orang sombong adalah neraka Jahannam.
Sebagai
makhluk yang terhormat, tentu diri kita wajib mencerminkan, menjaga serta
mempertahankan kehormatan yang kita miliki tersebut saat diri kita hidup di
muka bumi. Sekarang mungkinkah seorang yang terhormat dapat mempertahankan
kehorma-tan yang dimilikinya jika saat hidup di dunia selalu sombong seperti
sombongnya iblis melawan perintah Allah SWT, hidup tanpa etika, tanpa sopan
santun, tanpa tata krama sehingga perintah dan larangan Allah SWT dilanggarnya,
hidup seenaknya saja sehingga alam yang tidak pernah diciptakan dan dimiliki di
rusak? Jika ini yang kita lakukan berarti memang diri kita tidak pantas
menyandang gelar sebagai makhluk yang terhormat atau menjadi perpanjangan
tangan Allah SWT di muka bumi. Hasil akhir dari ini semua adalah pulang kampung
ke neraka Jahannam.
2. Jangan
Mencintai Dunia. Seorang perantau yang menetap di negeri
orang, suatu saat pasti akan kembali ke kampung halaman. Jika ini adalah konsep
dasar merantau berarti hidup di rantau yang dilakukan oleh seseorang bukanlah
tujuan akhir, akan tetapi tujuan sementara dalam rangka untuk mencari bekal
pulang kampung atau untuk pembuktian diri atas keberhasilan hidup di rantau.
Adanya kondisi ini berarti kualitas hidup di rantau sangat berhubungan erat
dengan keberhasilan di kampung halaman. Adanya kondisi ini berarti segala apa
yang kita lakukan saat hidup di rantau, akan mempengaruhi keberha-silan atau
ketidakberhasilan hidup di kampung halaman. Sekarang
bagaimana dengan diri kita yang saat ini sedang merantau ke muka bumi, apakah
kualitas merantau yang kita lakukan saat ini akan memberikan dampak
keberhasilankah atau memberikan dampak ketidakberhasi-lankah untuk pulang ke negeri akhirat? Agar diri kita
berhasil menuju negeri akhirat yang bernama syurga, tentu saat ini kita harus
mencari bekal sebanyak mungkin di dalam koridor ketentuan untuk masuk Syurga.
Hal
yang harus kita perhatikan adalah bekal untuk masuk syurga tidak sama dengan
bekal untuk masuk neraka. Adanya
perbedaan bekal untuk masuk syurga dan neraka, hal ini akan mempengaruhi pula
pola kerja saat diri kita menjadi abd’ (hamba)-Nya yang juga khalifah-Nya di
muka bumi. Untuk itu sewaktu kita hidup di dunia maka kita harus menentukan
mau pulang kemanakah diri kita, apakah mau ke syurga ataukah ke neraka. Jika
pilihan kita adalah neraka jahannam, nomorsatukan kehidupan dunia,
nomor-akhirkan kehidu-pan akhirat atau
cintai kehidupan dunia, lalaikan kehidupan akhirat. Akan tetapi jika kita
mengambil keputusan untuk pulang kampung ke syurga berarti kita tidak boleh
mencintai dunia, kita tidak boleh menomorsatukan dunia, dengan mengakhirkan
akhirat. Apalagi Allah SWT selaku pencipta dan pemilik kekhalifahan di muka
bumi melalui surat Al Baqarah (2) ayat 204 berikut ini: “dan di antara manusia ada orang yang ucapannya
tentang kehidupan dunia menarik hatimu, dan dipersaksikannya kepada Allah (atas
kebenaran) isi hatinya, Padahal ia adalah penantang yang paling keras.” telah
mengingatkan agar jangan sampai kehidupan dunia menarik hati kita sehingga
mengabaikan kehidupan akhirat. Adanya peringatan dari Allah SWT seharusnya dapat
menjadikan diri kita mawas diri saat menjadi abd’ (hamba)-Nya yang sekaligus khalifah-Nya
di muka bumi karena kehidupan dunia bukanlah kehidupan yang hakiki.
Yang
menjadi persoalan saat ini adalah kita berkehendak untuk pulang kampung ke syurga
namun perilaku hidup kita selalu tidak konsisten dengan apa yang kita hendaki.
Seolah-olah dengan perilaku ziq-zaq, kadang baik kadang buruk, dapat
menghantarkan diri kita ke syurga. Jika ini yang kita lakukan kita akan berada
di daerah abu-abu, sedangkan Allah SWT hanya menetapkan hitam atau putih saja. Allah
SWT berfirman: “Maka berpalinglah
(hai Muhammad) dari orang yang berpaling dari peringatan Kami, dan tidak
mengingini kecuali kehidupan duniawi.Itulah sejauh-jauh pengetahuan mereka.
Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang paling mengetahui siapa yang tersesat dari
jalan-Nya dan Dia pulalah yang paling mengetahui siapa yang mendapat petunjuk. (surat An
Najm (53) ayat 29-30). Selain daripada itu Allah SWT juga
mengingatkan kepada diri kita untuk tidak banyak bergaul dengan orang yang
menomorsatukan kehidupan dunia disbanding-kan kehidupan akhirat atau orang yang
selalu menginginkan kehidupan duniawi. Hal ini agar diri kita tidak tergoda
atau digoda oleh mereka sehingga maksud dan tujuan kita yang seharusnya pulang
ke syurga justru berubah menjadi ke neraka Jahannam.
3. Jangan
Tukar Akhirat dengan Dunia. Seorang perantau yang menetap
di negeri orang, suatu saat pasti akan kembali ke kampung halamannya sendiri.
Jika ini adalah konsep dasar merantau berarti hidup di rantau bukan tujuan
akhir, akan tetapi tujuan sementara dalam rangka untuk mencari bekal pulang
kampung. Adanya kondisi ini berarti sukses dan gagalnya kehidupan di rantau
sangat menentukan kehidupan di kampung halaman. Jika sukses di rantau akan
menghasilkan bekal yang baik untuk pulang ke kampung halaman. Sedangkan jika
gagal dirantau akan menghasilkan bekal yang buruk untuk pulang kampung.
Sekarang bagaimana dengan penghambaan dan kekhalifahan yang sedang kita
laksanakan di muka bumi saat ini?
Penghambaan dan kekhalifahan
di muka bumi yang sedang kita laksanakan saat ini pada prinsipnya sama dengan
kehidupan di rantau, yaitu jika kita sukses menjadi abd’ (hamba)-Nya yang juga khalifah-Nya
yang dikehendaki Allah SWT maka akan menghantarkan diri kita ke syurga.
Sedangkan jika kita gagal menjadi abd’ (hamba)-Nya yang sekaligus khalifah-Nya
yang dikehendaki Allah SWT maka akan menghantarkan diri kita ke neraka
Jahannam.
Adanya kondisi ini berarti kehidupan dunia yang saat ini kita jalani sangat menentukan
keberhasilan diri kita untuk pulang kampung, apakah ke syurga ataukah ke neraka.
Sebagai abd’ (hamba)-Nya yang
sekaligus khalifah-Nya sudahkah diri kita menyesuaikan diri secara konsisten
dengan tujuan akhir kehidupan diri kita? Sekarang bagaimana dengan
kehidupan akhirat, apakah itu syurga ataukah neraka, yang akan menjadi tujuan
akhir kita, apakah keduanya dapat diraih dengan begitu saja? Untuk dapat meraih syurga ataupun neraka
sangat dibutuhkan konsistensi perilaku atau perbuatan saat hidup di dunia
dengan apa yang akan hendak kita capai. Untuk memperoleh tiket masuk syurga, kita
harus konsisten dari waktu ke waktu berada di dalam kehendak Allah SWT.
Sedangkan untuk memperoleh tiket neraka kitapun harus konsisten berada di dalam
kehendak ahwa (hawa nafsu) dan syaitan. Sekarang manakah yang lebih baik
antara kehidupan dunia dengan kehidupan akhirat?
Allah
SWT selaku pencipta kekhalifahan yang ada di muka bumi, telah mengemukakan
bahwa kehidupan dunia tidak sama dengan kehidupan akhirat, kehidupan dunia
tidak sebanding dengan kehidupan akhirat, kehidupan akhirat lebih baik dari
kehidupan dunia. Sebagaimana dikemukakan dalam surat Al Ahzab (33) ayat 28-29 berikut
ini: Hai Nabi, Katakanlah kepada
isteri-isterimu: "Jika kamu sekalian mengingini kehidupan dunia dan
perhiasannya, Maka Marilah supaya kuberikan kepadamu mut'ah[1212] dan aku
ceraikan kamu dengan cara yang baik.dan jika kamu sekalian menghendaki
(keredhaan) Allah dan Rasulnya-Nya serta (kesenangan) di negeri akhirat, Maka
Sesungguhnya Allah menyediakan bagi siapa yang berbuat baik diantaramu pahala
yang besar.(surat Al Ahzab (33) ayat 28-29)
[1212]
Mut'ah Yaitu: suatu pemberian yang diberikan kepada perempuan yang telah
diceraikan menurut kesanggupan suami.
Dan
juga berdasarkan surat Al Qashash (28) ayat 60-61 yang kami kemukakan berikut ini: “dan apa saja[1130] yang diberikan kepada kamu,
Maka itu adalah kenikmatan hidup duniawi dan perhiasannya; sedang apa yang di
sisi Allah adalah lebih baik dan lebih kekal. Maka Apakah kamu tidak
memahaminya? Maka Apakah orang yang Kami janjikan kepadanya suatu janji yang
baik (surga) lalu ia memperolehnya, sama dengan orang yang Kami berikan
kepadanya kenikmatan hidup duniawi[1131]; kemudian Dia pada hari kiamat
Termasuk orang-orang yang diseret (ke dalam neraka)? (surat Al
Qashash (28) ayat 60-61)
[1130]
Maksudnya: hal-hal yang berhubungan dengan duniawi Seperti, pangkat kekayaan
keturunan dan sebagainya.
[1131]
Maksudnya: orang yang diberi kenikmatan hidup duniawi, tetapi tidak
dipergunakannya untuk mencari kebahagiaan hidup di akhirat, karena itu Dia di
akhirat diseret ke dalam neraka.
Selanjutnya
apa yang harus kita sikapi dengan ketentuan Allah SWT ini? Sebagai abd’
(hamba)-Nya yang sekaligus khalifah-Nya jangan sampai diri kita menukar
kehidupan akhirat yang lebih baik dengan kehidupan dunia yang kelihatannya baik
padahal buruk. Timbul pertanyaan dari manakah asalnya kehidupan dunia dapat
ditampilkan seolah-olah lebih baik dibandingkan dengan kehidupan akhirat? Disinilah letak kelihaian syaitan, kehebatan
syaitan mempengaruhi manusia dengan membuat suatu yang sebenarnya hanya tujuan
sementara menjadi tujuan akhir, yang sebenarnya kehidupan dunia tempat mencari
bekal untuk kehidupan akhirat diputar bahwa kehidupan dunia itulah yang
sebenarnya. Lalu bagaimanakah caranya jika kita telah terlanjur dipengaruhi
oleh syaitan? Langkah pertama lakukan Taubatan Nasuha, yang dilanjutkan kembali
ke jalan Allah SWT dengan melaksanakan
Diinul Islam secara kaffah saat ini juga.
Sekarang,
mari kita lakukan perbandingan antara kehidupan dunia dari sudut pandang orang
mukmin yang dikehendaki Allah SWT dibandingkan dengan kehidupan dunia dari
sudut pandang orang kafir yang dikehendaki syaitan. Timbul pertanyaan, apakah
sama kondisinya ataukah berbeda kondisinya? Berikut ini akan kami kemukakaan
beberapa ketentuan tentang kehidupan dunia dari sudut pandang orang mukmin,
yaitu:
a. Kehidupan
dunia bagi orang mukmin adalah saat untuk memperoleh rahmat Allah SWT atau saat
untuk merasakan nikmatnya bertuhankan kepada Allah SWT atau saat mendapatkan
kebajikan bagi kehidupan dunia dan juga bagi kehidupan akhirat kelak. Sebagaimana dikemukakan
dalam surat Al A'raaf (7) ayat 156 berikut ini: “dan tetapkanlah untuk Kami kebajikan di dunia ini
dan di akhirat; Sesungguhnya Kami kembali (bertaubat) kepada Engkau. Allah
berfirman: "Siksa-Ku akan Kutimpakan kepada siapa yang aku kehendaki dan
rahmat-Ku meliputi segala sesuatu. Maka akan aku tetapkan rahmat-Ku untuk
orang-orang yang bertakwa, yang menunaikan zakat dan orang-orang yang beriman
kepada ayat-ayat kami.” Sebagai abd’ (hamba) yang
sekaligus khalifah di muka bumi sudahkah kita memanfaatkan sebaik mungkin
kesempatan yang telah diberikan oleh Allah SWT?
b. Kehidupan dunia bagi orang mukmin adalah
saat untuk mengumpulkan pahala untuk kebaikan hidup di dunia dan pahala untuk
kebaikan hidup di akhirat kelak. Sebagaimana dikemukakan
dalam surat Ali Imran (3) ayat 148 berikut ini: “karena itu Allah memberikan kepada mereka pahala
di dunia[236] dan pahala yang baik di akhirat. dan Allah menyukai orang-orang
yang berbuat kebaikan.” Sebagai khalifah di muka bumi
sudahkah kita memanfaatkan sebaik mungkin kesempatan yang telah diberikan oleh
Allah SWT?
[236] Pahala dunia dapat berupa
kemenangan-kemenangan, memperoleh harta rampasan, pujian-pujian dan lain-lain.
c. Kehidupan
dunia bagi orang mukmin adalah saat untuk memperoleh atau mendapatkan kebaikan
dari Allah SWT sebagai balasan atas perbuatan baik yang kita lakukan saat
menjadi abd’ (hamba) yang juga khalifah di muka bumi.
Sebagaimana dikemukakan dalam surat An Nahl (16) ayat 30 berikut ini: “dan dikatakan kepada orang-orang yang bertakwa:
"Apakah yang telah diturunkan oleh Tuhanmu?" mereka menjawab:
"(Allah telah menurunkan) kebaikan". orang-orang yang berbuat baik di
dunia ini mendapat (pembalasan) yang baik. dan Sesungguhnya kampung akhirat
adalah lebih baik dan Itulah Sebaik-baik tempat bagi orang yang bertakwa.”
d. Kehidupan
dunia bagi orang mukmin adalah kesempatan untuk memperoleh, kesempatan untuk
mendayagunakan, kesempatan untuk merasakan segala perhiasan yang telah
dihalalkan oleh Allah SWT untuk kepentingan dunia dan kepentingan akhirat serta
untuk aktualisasi diri dan juga untuk memperoleh tiket masuk ke syurga.
Sebagaimana dikemukakan dalam surat Al A'raaf (7) ayat 31-32-33 berikut ini: “Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di
Setiap (memasuki) mesjid[534], Makan dan minumlah, dan janganlah
berlebih-lebihan[535]. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang
berlebih-lebihan. Katakanlah: "Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari
Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang
mengharamkan) rezki yang baik?" Katakanlah: "Semuanya itu
(disediakan) bagi orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia, khusus (untuk
mereka saja) di hari kiamat[536]." Demikianlah Kami menjelaskan ayat-ayat
itu bagi orang-orang yang mengetahui. Katakanlah: "Tuhanku hanya
mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak ataupun yang tersembunyi,
dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar,
(mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan
hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang
tidak kamu ketahui.”
[534] Maksudnya: tiap-tiap akan mengerjakan
sembahyang atau thawaf keliling ka'bah atau ibadat-ibadat yang lain.
[535] Maksudnya: janganlah melampaui batas yang
dibutuhkan oleh tubuh dan jangan pula melampaui batas-batas makanan yang
dihalalkan.
[536] Maksudnya: perhiasan-perhiasan dari Allah
dan makanan yang baik itu dapat dinikmati di dunia ini oleh orang-orang yang
beriman dan orang-orang yang tidak beriman, sedang di akhirat nanti adalah
semata-mata untuk orang-orang yang beriman saja.
e. Kehidupan
dunia bagi orang mukmin adalah saat merasakan atau menerima berita gembira atau
merasakan janji-janji Allah SWT baik untuk kehidupan dunia maupun untuk
kehidupan akhirat. Sebagaimana dikemukakan dalam surat
Yunus (10) ayat 62-63-64 berikut ini: “Ingatlah,
Sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan
tidak (pula) mereka bersedih hati. (yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka
selalu bertakwa. bagi mereka berita gembira di dalam kehidupan di dunia dan
(dalam kehidupan} di akhirat. tidak ada perobahan bagi kalimat-kalimat
(janji-janji) Allah. yang demikian itu adalah kemenangan yang besar.”
f. Kehidupan dunia bagi orang mukmin adalah
saat diberikannya kesenangan yang
berasal dari Allah SWT serta saat dihilangkannya azab yang menghinakan yang
kita alami saat hidup di dunia. Sebagaimana dikemukakan
dalam surat Yunus (10) ayat 98 berikut ini: “dan mengapa tidak ada (penduduk) suatu kota yang
beriman, lalu imannya itu bermanfaat kepadanya selain kaum Yunus? tatkala
mereka (kaum Yunus itu), beriman, Kami hilangkan dari mereka azab yang
menghinakan dalam kehidupan dunia, dan Kami beri kesenangan kepada mereka
sampai kepada waktu yang tertentu.”
g. Kehidupan
dunia bagi orang mukmin adalah kesempatan untuk memperoleh perlindungan saat
diri kita hidup di dunia yang berasal
langsung dari Allah SWT untuk kepentingan akhirat.
Sebagaimana dikemukakan dalam surat Fushshilat (41) ayat 30-31 berikut ini: “Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan:
"Tuhan Kami ialah Allah" kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka,
Maka Malaikat akan turun kepada mereka dengan mengatakan: "Janganlah kamu
takut dan janganlah merasa sedih; dan gembirakanlah mereka dengan jannah yang
telah dijanjikan Allah kepadamu".kamilah pelindung-pelindungmu dalam
kehidupan dunia dan akhirat; di dalamnya kamu memperoleh apa yang kamu inginkan
dan memperoleh (pula) di dalamnya apa yang kamu minta.”
h. Kehidupan
dunia bagi orang mukmin adalah saat diri kita
diberikan kesempatan untuk menjadi penguasa atau melaksanakan misi
sebagai abd’ (hamba) yang juga khalifah di muka bumi. Sebagaimana
dikemukakan dalam surat Yusuf (12) ayat 101 berikut ini: “Ya Tuhanku, Sesungguhnya Engkau telah
menganugerahkan kepadaku sebahagian kerajaan dan telah mengajarkan kepadaku
sebahagian ta'bir mimpi. (ya Tuhan) Pencipta langit dan bumi. Engkaulah pelindungku
di dunia dan di akhirat, wafatkanlah aku dalam Keadaan Islam dan gabungkanlah
aku dengan orang-orang yang saleh.”
i. Kehidupan dunia bagi orang mukmin adalah
saat diri kita dicintai oleh Allah SWT. Sebagaimana dikemukakan dalam hadits berikut
ini: “Abu Hurairah ra, berkata:
Nabi SAW bersabda: Allah ta'ala berfirman: Hamba-Ku yang mukmin Aku cintai
lebih dari sementara Malaikat-Ku. (Hadits Riwayat Aththabarani; 272:113).”
j. Kehidupan dunia bagi orang mukmin adalah
saat dosa-dosa manusia diampuni oleh Allah SWT. Sebagaimana dikemukakan dalam hadits berikut
ini: Abu Dardaa ra, berkata: Nabi SAW bersabda: Allah
ta'ala berfirman: Andaikan hamba-Ku menghadap Aku dengan dosa-dosa sepenuh
wadah-wadah yang ada di bumi, namun tidak bersyirik menyekutukan sesuatu
pada-Ku, akan kuhadapinya dengan pengampunan sepenuh wadah-wadah itu. (Hadits
Riwayat Ath Thabarani; 272:127).”
Sebagai
abd’ (hamba)-Nya yang juga khalifah-Nya di muka bumi sudahkah kita meman-faatkan
sepuluh kesempatan yang telah Allah SWT sediakan dalam rangka menghantar-kan
diri kita pulang kampung ke syurga atau dalam rangka merasakan nikmatnya
bertuhankan kepada Allah SWT saat diri kita hidup di muka bumi ini? Apabila diri kita
hanya diam saja atau kita tidak bereaksi untuk menyambut 10 (sepuluh) fasilitas
yang telah dipersiapkan oleh Allah SWT berarti ada sesuatu yang salah di dalam
diri kita, dikarenakan kita sudah merasa hebat karena sudah tidak membutuhkan Allah
SWT lagi.
Hal
lain yang harus kita perhatikan adalah ke sepuluh kesempatan yang telah
disiapkan oleh Allah SWT bukanlah untuk kepentingan Allah SWT, melainkan untuk
kepentingan diri kita saat hidup di dunia. Jika
sekarang kita mampu memperoleh kesempatan itu, timbul pertanyaan, mungkinkah
kehidupan yang kita jalani di dunia menjadi susah, menjadikan diri kita miskin,
menjadikan diri kita bodoh, menjadikan diri kita sebagai antek syaitan? Adanya fasilitas
yang telah dipersiapkan oleh Allah SWT untuk diri kita, akan dapat menghantar-kan
diri kita bahagia, akan dapat menghantarkan diri kita berkecukupan, akan dapat
menghantarkan diri kita menguasai ilmu dan pengetahuan, akan dapat
menghantarkan diri kita menjadi warga kelas satu di muka bumi ini serta akan dapat
menjadikan syaitan sebagai pecundang. Yang menjadi persoalan saat
ini adalah kita mau memperoleh segala yang dipersiapkan oleh Allah SWT, namun
kita tidak mau memenuhi segala yang dikehendaki oleh Allah SWT. Jika ini yang
terjadi maka sia-sialah fasilitas yang telah dipersiapkan oleh Allah SWT untuk
diri kita.
Sekarang
bagaimana dengan posisi kehidupan dunia bagi orang kafir atau orang yang
memiliki jiwa fujur atau bagi seseorang yang hidupnya sudah sesuai dengan
kehendak syaitan? Kehidupan dunia bagi orang kafir dapat kami kemukakan sebagai
berikut:
a. Orang
kafir adalah orang yang menukar kehidupan akhirat dengan kehidupan dunia atau
orang yang mementingkan kehidupan dunia daripada kehidupan akhirat (syurga
telah ditukar dengan neraka). Sebagaimana dikemukakan dalam surat An Nahl (16)
ayat 107 berikut ini: “yang
demikian itu disebabkan karena Sesungguhnya mereka mencintai kehidupan di dunia
lebih dari akhirat, dan bahwasanya Allah tiada memberi petunjuk kepada kaum
yang kafir. dan juga berdasarkan surat Al Baqarah (2)
ayat 86 yang kami kemukakan berikut ini; “Itulah orang-orang yang membeli kehidupan dunia dengan (kehidupan)
akhirat, Maka tidak akan diringankan siksa mereka dan mereka tidak akan
ditolong.”
b. Kehidupan
dunia bagi orang kafir adalah saat dimana anak dan harta benda dijadikan azab
bagi mereka atau saat anak dan harta benda menjadi alat penyiksa bagi orang
kafir. Sebagaimana dikemukakan dalam surat At Taubah (9) ayat 55
berikut ini: “Maka janganlah
harta benda dan anak-anak mereka menarik hatimu. Sesungguhnya Allah menghendaki
dengan (memberi) harta benda dan anak-anak itu untuk menyiksa mereka dalam
kehidupan di dunia dan kelak akan melayang nyawa mereka, sedang mereka dalam
Keadaan kafir.” dan juga surat At Taubah (9)
ayat 85 berikut ini: “dan
janganlah harta benda dan anak-anak mereka menarik hatimu. Sesungguhnya Allah
menghendaki akan mengazab mereka di dunia dengan harta dan anak-anak itu dan
agar melayang nyawa mereka, dalam Keadaan kafir.”
c. Kehidupan
dunia bagi orang kafir adalah saat Allah SWT melakukan penghinaan atau saat
orang kafir menerima stempel terhina. Sebagaimana
dikemukakan dalam surat Al Maaidah (5) ayat 33 berikut ini: “Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang
memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah
mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan
bertimbal balik, atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). yang demikian
itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka didunia, dan di akhirat mereka
beroleh siksaan yang besar.”
d. Kehidupan
dunia bagi orang kafir adalah saat dihapusnya segala amalan yang telah
dilakukan sehingga apa yang dilakukan tidak mendapatkan ganjaran apapun.
Sebagaimana dikemukakan dalam surat Ali Imran (3) ayat 21-22 berikut ini: “Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada
ayat-ayat Allah dan membunuh Para Nabi yang memamg tak dibenarkan dan membunuh
orang-orang yang menyuruh manusia berbuat adil, Maka gembirakanlah mereka bahwa
mereka akan menerima siksa yg pedih. mereka itu adalah orang-orang yang lenyap
(pahala) amal-amalnya di dunia dan akhirat, dan mereka sekali-kali tidak
memperoleh penolong.”
e. Kehidupan
dunia bagi orang kafir adalah saat tertipunya mereka dengan kehidupan dunia
sehingga kehidupan dunia di anggap lebih baik dari kehidupan akhirat.
Sebagaimana dikemukakan dalam surat Al
A'raaf (7) ayat 51 berikut ini: “(yaitu)
orang-orang yang menjadikan agama mereka sebagai main-main dan senda gurau, dan
kehidupan dunia telah menipu mereka." Maka pada hari (kiamat) ini, Kami
melupakan mereka sebagaimana mereka melupakan Pertemuan mereka dengan hari ini,
dan (sebagaimana) mereka selalu mengingkari ayat-ayat kami.”
f. Kehidupan dunia bagi orang kafir adalah
saat atau kesempatan untuk membeli tiket
masuk ke neraka atau saat mengadakan persahabatan dengan syaitan agar bisa
menempati neraka bersama sama. Sebagaimana dikemukakan
dalam surat Yunus (10) ayat 7-8 berikut ini: “Sesungguhnya orang-orang yang tidak mengharapkan
(tidak percaya akan) Pertemuan dengan Kami, dan merasa puas dengan kehidupan
dunia serta merasa tenteram dengan kehidupan itu dan orang-orang yang
melalaikan ayat-ayat Kami, mereka itu tempatnya ialah neraka, disebabkan apa
yang selalu mereka kerjakan.”
g. Kehidupan
dunia bagi orang kafir adalah saat Allah SWT menyiksa atau saat Allah SWT tidak
akan memberikan pertolongan. Sebagaimana dikemukakan dalam surat Ali Imran
(3) ayat 56 “Adapun
orang-orang yang kafir, Maka akan Ku-siksa mereka dengan siksa yang sangat
keras di dunia dan di akhirat, dan mereka tidak memperoleh penolong.”
h. Kehidupan
dunia bagi orang kafir adalah saat Allah SWT mengadu domba antara orang kafir
dengan orang kafir. Sebagaimana dikemukakan dalam hadits
berikut ini: “Jabir ra,
berkata: Nabi SAW bersabda: Allah ta'ala berfirman: Aku membalas hamba yang Aku
benci dengan hamba yang Aku benci pula kemudian Aku masukkan ke dalam Neraka. (Hadits Qudsi
Riwayat Aththabarani; 272:75)
Berdasarkan
apa-apa yang kami kemukakan di atas, terlihat sangat jelas perbedaan yang
sangat mencolok antara kehidupan dunia dari sudut pandang orang mukmin disbanding-kan
dengan sudut pandang orang kafir. Sebagai abd’ (hamba)-Nya yang juga khalifah-Nya
tentu kita harus dapat menjadikan kehidupan dunia yang saat ini kita lakukan
adalah kesempatan bagi diri kita memperoleh kebaikan dunia, untuk kebaikan
akhirat atau kesempatan untuk membeli tiket masuk ke syurga serta mampu menjadi
kebang-gaan Allah SWT.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar