Sebagai abd’ (hamba)-Nya yang sekaligus khalifah-Nya di muka bumi yang
sedang menjalankan tugas, kita harus tahu bahwa di muka bumi yang saat ini kita
tempati ada satu ketentuan yang siapapun orangnya pasti harus melaksanakannya. Apakah
ketentuan itu? Jawabannya ada pada surat Al Qiyamah (75) ayat 36 berikut ini: “Apakah manusia mengira, bahwa ia akan dibiarkan begitu saja (tanpa
pertanggung jawaban)?” dimana setiap orang, apapun
kedudukannya, apapun jabatannya, apakah kaya, apakah miskin, apakah tua, apakah
muda, apakah pintar, apakah bodoh, semuanya akan dimintakan pertanggung-jawaban
oleh Allah SWT. Adanya kondisi
ini berarti kita tidak bisa sembarangan hidup, kita tidak bisa seenaknya
hidup, kita tidak bisa sembrono saat hidup, kita tidak bisa melanggar ketentuan
pemilik alam semesta ini. Terkecuali diri kita mampu mempertanggung jawabkan
atas apa-apa yang telah kita perbuat dihadapan Allah SWT.
Untuk itu kita harus bisa memahami dengan sebenar-benarnya bahwa kita
akan memper-tanggungjawabkan segala apa yang kita perbuat, secara individual
atau yang bersifat perseorangan. Allah SWT tidak mengenal apa yang dinamakan
dengan pertanggung jawaban secara grup atau kelompok dan juga di dalam
mempertanggungjawabkan apa yang kita lakukan saat hidup di dunia, ketentuan
yang dipakai adalah ketentuan Allah SWT sehingga kita tidak bisa mempergunakan
parameter yang kita buat. Sebagai makhluk yang terhormat sudah sepantasnya dan
sepatutnya berperilaku terhormat, sehingga pulang kampung ke tempat yang
terhormat dengan cara yang terhormat untuk bertemu dengan Yang Maha Terhormat
dalam suasana yang saling hormat menghormati. Timbul pertanyaan, apa buktinya
diri kita terhormat? Salah satu bukti bahwa diri kita terhormat adalah Allah SWT
memerintahkan kepada Malaikat untuk sujud kepada Nabi Adam as.
Adanya perintah sujud kepada Nabi Adam as,
menunjukkan bahwa posisi awal manusia, termasuk posisi awal diri kita, lebih
tinggi kedudukannya dibandingkan dengan malaikat, lebih tinggi kedudukannya
daripada iblis/syaitan.
Adanya kondisi ini berarti seharusnya manusia harus bisa mengalahkan iblis/syaitan
atau mampu berbuat lebih baik dsbandingkan dengan malaikat. Jika yang terjadi
saat ini manusia tunduk patuh sujud kepada iblis/syaitan berarti kekhalifahan
yang sedang kita laksanakan telah keluar dari konsep awal penciptaan
kekhalifahan di muka bumi.
Lalu apakah hanya
dengan berdiam diri saja, apakah hanya dengan berpangku tangan saja, apakah
hanya dengan duduk-duduk santai saja maka kehormatan yang telah kita miliki
akan tetap terjaga dan terpelihara dari waktu ke waktu yang pada akhirnya dapat
menghantar diri kita pulang ke syurga sedangkan syaitan juga sangat memiliki
kepentingan kepada diri kita? Agar kehormatan yang telah kita miliki tetap
terjaga, tetap terpelihara maka kita harus berjuang, maka kita harus berusaha
memenuhi segala aturan yang mengatur tentang kehormatan dari Yang Maha
Terhormat.
Selanjutnya agar diri
kita tetap terhormat dari waktu ke waktu maka kita harus beragama atau memiliki
agama saat menjadi khalifah di muka bumi. Timbul pertanyaan, agama apakah yang
harus kita anut dan selanjutnya apa yang harus kita lakukan setelah memiliki
agama? Jawaban dari pertanyaan ini ada pada pembahasan selanjutnya.
1. Agama Nabi Ibrahim
as. Berdasarkan
surat Al Baqarah (2) ayat 132 berikut ini:
“dan Ibrahim telah Mewasiatkan Ucapan itu kepada
anak-anaknya, demikian pula Ya'qub. (Ibrahim berkata): "Hai anak-anakku!
Sesungguhnya Allah telah memilih agama ini bagimu, Maka janganlah kamu mati
kecuali dalam memeluk agama Islam.” Agama yang harus dipeluk atau yang harus
dilaksanakan oleh diri kita adalah agama Nabi Ibrahim as, yaitu Diinul Islam.
Sekarang timbul pertanyaan, kenapa harus Diinul Islam yang kita jadikan agama
yang haq saat diri kita melaksanakan tugas sebagai khalifah di muka bumi? Diinul
Islam berdasarkan surat Ar Ruum (30) ayat 30 yang kami kemukakan berikut ini: “Maka
hadapkanlah wajahmu dengan Lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah
Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada peubahan
pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak
mengetahui[1168], (surat Ar Ruum (30) ayat 30)
[1168] Fitrah Allah:
Maksudnya ciptaan Allah. manusia diciptakan Allah mempunyai naluri beragama
Yaitu agama tauhid. kalau ada manusia tidak beragama tauhid, Maka hal itu
tidaklah wajar. mereka tidak beragama tauhid itu hanyalah lantara pengaruh
lingkungan.
Diinul Islam adalah konsep ilahiah yang diciptakan dari fitrah Allah SWT yang khusus dipersiapkan untuk oleh Allah SWT untuk kepentingan kekhalifahan yang ada di muka bumi sehingga antara khalifah (maksudnya antara diri kita) dengan Allah SWT akan selalu berada di dalam satu konsep yang bernama Diinul Islam.
Allah SWT juga menciptakan manusia (maksudnya jati diri manusia yang
sesungguhnya adalah ruh) berasal dari fitrah Allah SWT sedangkan Allah SWT
selaku pencipta dari manusia itu sendiri adalah Dzat Yang Maha Fitrah. Dan jika
ini adalah kondisi dasar dari Diinul Islam, jika ini adalah kondisi dasar dari ruh
diri kita berarti jika kita diperintahkan oleh Allah SWT untuk menghadapkan
wajah yang lurus ke fitrah Allah SWT. Ini berarti kita diberikan kesempatan
oleh Allah SWT untuk melakukan sinergi
antara diri kita (ruh diri kita) dengan Allah SWT melalui Diinul Islam
dikarenakan kesemuanya adalah fitrah Allah SWT. Selanjutnya masih berdasarkan ketentuan surat
Ar Rumm (30) ayat 30 yang kami kemukakan di atas, kita akan memperoleh beberapa
ketentuan yang mendasar tentang Diinul Islam, yaitu :
a. Allah
SWT menegaskan bahwa manusia (maksudnya adalah ruh) diciptakan berdasarkan fitrah
Allah SWT, ini berarti bahwa Allah SWT adalah Dzat Yang Maha Fitrah sehingga
dengan kemahafitrahan-Nya diciptakanlah manusia (termasuk di dalamnya Amanah
yang 7 dan Hubbul yang 7).
b. Fitrah
Allah SWT tidak akan pernah mengalami perubahan sedikitpun oleh sebab apapun
juga, dengan demikian maka ruhani, Amanah 7 dan juga Hubbul yang 7 yang
dimiliki oleh manusiapun tidak akan mengalami perubahan sifat fitrahnya jika
kita selalu berada di dalam fitrah Allah SWT.
c. Manusia diperintahkan oleh Allah SWT untuk menghadapkan wajahnya kepada Agama (Diinul
Islam) Allah SWT, ini berarti bahwa manusia diperintahkan oleh Allah SWT untuk tetap berada di dalam fitrah
Allah SWT.
d. Jika
Allah SWT adalah Dzat Yang Maha Fitrah kemudian manusia diciptakan berdasarkan fitrah
Allah SWT maka agama yang lurus juga adalah fitrah Allah SWT.
Berdasarkan apa-apa yang kami kemukakan di
atas, maka Diinul Islam dapat dikatakan sebagai konsep fitrah yang berisi tuntunan
dan pedoman yang harus dilaksanakan oleh diri kita jika kita ingin tetap berada
di dalam kehendak Allah SWT (dalam hal ini tetap berada di dalam kefitrahan).
Jika sekarang Allah SWT memerintahkan kepada manusia untuk menghadapkan
wajahnya menuju agama yang lurus, ini berarti bahwa fitrah yang dimiliki manusia
(dalam hal ini adalah ruh dan Amanah yang 7) dihadapkan atau dipertemukan
dengan fitrah yang dimiliki oleh Allah SWT, selanjutnya apa yang terjadi?
Jika fitrah bertemu dengan fitrah maka terjadilah
kesesuaian, terjadilah keserasian, dan terjadilah keselarasan atau terjadilah
sinergi antara fitrah yang dimiliki manusia dengan fitrah yang dimiliki Allah
SWT melalui jalan Agama yang fitrah (dalam hal ini adalah Diinul Islam). Sekarang jika manusia diciptakan oleh Allah
SWT dari fitrah-Nya (dalam hal ini adalah ruh dan Amanah yang 7) maka fitrah
yang dimiliki manusia sudah pasti lebih sedikit atau bahkan jika dibandingkan
dengan fitrah Allah SWT mungkin fitrah yang dimiliki manusia laksana setetes
air yang menempel di ujung jari di tengah lautan luas. Lalu jika manusia
diperintahkan oleh Allah SWT untuk menghadapkan wajahnya ke fitrah Allah SWT,
siapakah yang paling diuntungkan dengan keadaan tersebut?
Dalam hukum alam yang berlaku, yang kecil
pasti dikalahkan oleh yang besar, akan tetapi dalam ilmu Allah SWT tentang
Diinul Islam, hal ini tidak berlaku sebab jika fitrah yang kecil bertemu dengan
fitrah Yang Maha Besar maka yang kecil akan terbantu atau yang kecil akan
tertolong oleh yang besar. Yang sering menjadi persoalan adalah kita yang
kecil berusaha ingin selamat, berusaha ingin di tolong, tetapi jalan yang
ditempuh justru melawan dan menentang Yang Maha Besar dengan menambah,
mengurangi apa-apa yang telah ditetapkan sebagai syarat dan ketentuan dari Yang
Maha Besar. Sekarang Allah SWT sudah menetapkan kepada setiap khalifah-Nya
jika ia ingin selamat maka kita wajib melaksanakan Diinul Islam secara kaffah
dengan cara tidak menambah, tidak mengurangi, tidak merubah-rubah, atas apa-apa
yang telah Allah SWT tentukan.
Selanjutnya dapatkah kita selamat jika antara
diri kita dengan Allah SWT tidak terjadi keselarasan, tidak terjadi keserasian
dan tidak terjadi keseimbangan dalam hal
fitrah atau tidak sesuai dengan kehendak Allah SWT? Jika handphone saja wajib selaras, serasi dan
seimbang dengan operator selular, apalagi kita dengan Allah SWT. Untuk itu,
kitapun harus selalu selaras, serasi dan seimbang dengan gelombang dan siaran
Allah SWT yaitu Diinul Islam. Jika hal ini tidak terjadi atau kiita tidak dapat
melakukannya maka jangan berharap pertolongan, bantuan dari Allah SWT atau
Apa-Apa yang telah Allah SWT janjikan
kepada kita, dapat kita raih dan dapat kita peroleh.
Setelah diri kita
disiapkan atau diberikan Diinul Islam oleh Allah SWT, apa yang harus kita
lakukan dengan Diinul Islam itu? Berdasarkan surat Al Baqarah (2) ayat 208 yang
kami kemukakan berikut ini: “Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan,
dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu
musuh yang nyata bagimu.” Kita harus melaksanakan Diinul Islam secara kaffah
atau secara utuh dalam satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Selanjutnya
sudahkah kita melaksanakan ketentuan Diinul Islam secara kaffah dengan baik dan
benar sesuai dengan ketentuan Allah SWT yang secara kaffah? Selanjutnya apa
yang dapat kita peroleh jika kita melaksanakan Diinul Islam secara kaffah?
Banyak hal yang akan kita peroleh jika kita melaksanakan Diinul Islam secara kaffah
saat diri menjadi abd’ (hamba) yang juga khalifah di muka bumi, yaitu:
a. Kita tidak sendirian saat melaksanakan tugas di muka bumi
karena Allah SWT akan selalu menyertai diri kita sepanjang diri kita mau
menghadapkan wajah yang lurus (maksudnya menghadapkan kefitrahan Ruhani) ke
fitrah Allah SWT melalui Diinul Islam, akhirnya mampu menghantarkan diri kita
selalu dalam kehendak Allah SWT.
b. Adanya Diinul Islam yang kita laksanakan akan menjadikan
diri kita memiliki pegangan, pedoman, patokan, ukuran, saat melaksanakan
kekhalifahan di muka bumi serta akan membuat dari kita terbebas dari
pertanggungjawaban Amanah yang 7 dan Hubbul yang telah diberikan oleh Allah SWT
kepada diri kita.
c. Adanya Diinul Islam akan memudahkan diri kita mengalahkan
ahwa (hawa nafsu) dan juga syaitan serta dapat menghilangkan pengaruh buruk
yang berasal dari ahwa (hawa nafsu) dan juga syaitan serta diri kita telah
masuk ke dalam benteng Allah SWT.
Hal
yang harus kita perhatikan saat diri kita menjadi abd’ (hamba)-Nya yang
sekaligus khalifah-Nya di muka bumi adalah Allah SWT tidak butuh dengan kaffah yang kita
lakukan, Allah SWT tidak butuh dengan Amanah yang kita lakukan, Allah SWT tidak
butuh dengan ibadah wajib dan ibadah sunnah yang kita lakukan. Allah SWT
memberikan kebebasan memilih kepada diri kita, untuk memilih jalan yang terbaik
bagi diri kita, mau pulang ke syurga silahkan dan jika ingin pulang ke neraka
silahkan. Pilihan hanya
satu, mau menjadi calon penghuni syurga atau menjadi calon penghuni neraka.
Selamat memilih dan bersiap-siaplah menerima konsekuensi masing-masing.
2. Tidak Beragama Di Dunia Akan Hina. Sekarang adakah
resiko bagi manusia yang tidak mau menjadikan Diinul Islam sebagai agama yang
Haq di muka bumi ini? Jika kita merasa bahwa diri kita bukanlah siapa-siapa,
jika kita merasa bahwa diri kita misikin saat hadir di muka bumi, sudah
sepantasnya diri kita mau menerima, mau melaksana-kan, segala apa yang telah
menjadi ketentuan pencipta dan pemilik langit dan bumi. Akan tetapi jika kita
tidak mau melaksanakan, tidak mau menerima Diinul Islam sebagai Agama yang haq
berarti diri kita termasuk orang yang tidak tahu diri. Untuk itu
bersiap-siaplah menerima hal-hal yang dikemukakan di dalam surat Al Hajj (22)
ayat 9-10 yang kami kemukakan berikut ini: “dengan
memalingkan lambungnya untuk menyesatkan manusia dari jalan Allah. ia mendapat
kehinaan di dunia dan dihari kiamat Kami merasakan kepadanya azab neraka yang
membakar.(akan dikatakan kepadanya): "Yang demikian itu, adalah disebabkan
perbuatan yang dikerjakan oleh kedua tangan kamu dahulu dan Sesungguhnya Allah
sekali-kali bukanlah penganiaya hamba-hamba-Nya.” Apakah itu? Allah SWT akan
memberikan hadiah berupa kehinaan di dunia dan juga kehinaan di hari kiamat
kelak. Jika sampai hal ini terjadi pada diri kita berarti diri kita
telah keluar dari konsep awal penciptaan manusia. Apa buktinya? Dari makhluk yang
terhormat telah turun pangkat menjadi makhluk yang dihinakan seperti halnya
iblis/syaitan.Dari makhluk yang berhak menempati syurga menjadi makhluk
penghuni neraka.
Sebagai abd’ (hamba) yang juga adalah khalifah di muka
bumi, kita tidak bisa menganggap remeh apalagi menganggap enteng ancaman Allah SWT ini dikarenakan Allah SWT
tidak akan pernah ingkar janji kepada makhluk-Nya. Untuk itu jika saat
ini diri kita masih belum melaksana-kan Diinul Islam secara kaffah, segera
perbaiki diri saat ini juga sebab waktu tidak akan pernah kembali lagi serta
penyesalan tidak ada di muka. Atau
jika saat ini diri kita masih percaya bahwa ada Agama lain selain Diinul Islam
mampu mempertahankan kefitrahan diri yang sesuai dengan kehendak Allah SWT
serta mampu menghantarkan diri kita ke syurga, cepat-cepatlah lakukan Taubatan Nasuha sebelum ruh tiba dikerongkongan,
terkecuali jika kita ingin merasakan panasnya api Neraka Jahannam yang panasnya
70 (tujuh puluh) kali dari api dunia.
3. Di Dunia Harus Mencari Ridha Allah SWT dan Amal Shaleh. Sebagai makhluk yang
menumpang di muka bumi, sebagai makhluk yang ada karena dihendaki oleh pencipta
dan pemilik dari langit dan bumi, sebagai tamu yang tahu diri tentu sudah
seharusnya dan sudah pula sepatutnya diri kita menjadi tamu yang menyenangkan
bagi pemilik langit dan bumi, atau menjadi tamu yang keberadaannya sesuai
dengan kehendak pemilik langit dan bumi. Timbul pertanyaan, agar diri kita bisa
melakukan hal itu semua, apa yang harus kita lakukan? Berdasarkan surat Al
Kahfi (18) ayat 28 yang kami kemukakan berikut ini: “dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru
Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya; dan janganlah
kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan dunia ini;
dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari
mengingati Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu
melewati batas.” Kita
harus selalu mencari ridha Allah SWT di dalam setiap aktivitas yang kita
lakukan serta mengerjakan amal shaleh. Selain daripada itu kita tidak
diperkenankan untuk mengejar kehidupan dunia semata dengan mengabaikan
kehidupan akhirat serta kita tidak diperkenankan pula untuk memperturutkan ahwa
(hawa nafsu).
Timbul
pertanyaan, apakah hanya sekedar itu saja kita berbuat saat menjadi abd’
(hamba) yang juga khalifah di muka bumi? Sebagai abd’ (hamba) yang juga khalifah yang
keberadaannya ada karena kehendak Allah SWT maka sudah sepatutnya diri kita
selalu menyamakan perilaku dan perbuatan yang kita lakukan sesuai dengan
perilaku dan perbuatan dari pencipta dan pemilik langit dan bumi. Apa
maksudnya? Jika Allah SWT selaku
pencipta dan pemilik memiliki nama Ar Rachman maka saat diri kita menjadi abd’
(hamba) yang juga khalifah juga harus melakukan perbuatan yang sesuai dengan Ar
Rachman yang dimiliki Allah SWT. Sekarang bagaimana dengan Al Aliem yang
dimiliki Allah SWT? Sebagai abd’ (hamba) yang juga khalifah kita pun harus
mengamalkan dan mengajarkan ilmu yang telah diberikan oleh Allah SWT sesuai dengan Nilai-Nilai Kebaikan
kepada sesama manusia. Demikian seterusnya sesuai dengan Asmaul Husna dan juga
sifat Ma'ani Allah SWT.
Sekarang
bagaimana jika diri kita tidak mau menyesuaikan diri sesuai dengan perilaku dan
perbuatan Allah SWT saat kita hidup di dunia atau kita tidak mau melaksanakan
perintah dari pemilik dan pencipta langit dan bumi? Jika sampai diri kita
melakukan hal ini berarti diri kita telah menjadi tamu yang tidak bisa
menyenangkan bagi pencipta dan pemilik langit dan bumi atau telah menjadi tamu
yang tidak tahu diri dikarenakan perintah tuan rumah sudah kita langgar atau
diri kita sudah berani menantang Allah SWT di langit dan di bumi yang dimiliki
oleh Allah SWT. Dan sebagai abd’ (hamba) yang sekaligus khalifah di muka bumi
sudahkah kita menyadari bahwa Allah SWT sangat berkuasa, sudahkah kita mengakui
bahwa Allah SWT Maha segalanya, sudahkah kita melaksanakan segala apa-apa yang
telah diperintahkan Allah SWT dengan ikhlas? Jika kita masih berkeinginan untuk hidup di
muka bumi yang tidak pernah kita ciptakan dan juga tidak pernah kita miliki,
tidak ada jalan lain kecuali menjadi tamu yang sesuai dengan kehendak pencipta
dan pemiliki langit dan bumi atau jadilah yang dapat menyenangkan hati tuan
rumah, terkecuali jika kita ingin menjadi tamu yang tidak tahu diri di
langit dan di bumi ini.
J. KEHIDUPAN DUNIA BAGI
MANUSIA.
Sebelum kami membahas
sub bab ini, perkenankan kami mengemukakan sebuah ilustrasi sebagai berikut :
Sebagai seorang yang hidup di rantau tentu suatu ketika kita akan kembali ke
kampung halaman. Jika kondisi ini sudah menjadi pedoman bagi diri kita saat
merantau, tentu hal ini akan menimbulkan konsekuensi yang harus kita lakukan
saat hidup dirantau. Apakah itu? Seorang perantau yang akan kembali ke kampung
halaman, tentu harus memikirkan bekal untuk kembali ke kampung halaman atau
kita harus menyisihkan tabungan untuk bekal kembali ke kampung halaman. Adanya kondisi ini
berarti kita tidak bisa seenaknya hidup di rantau, kita tidak bisa
berfoya-foya, kita harus mempersiapkan segala sesuatu untuk pulang kampung.
Sekarang dapatkah
kita disebut telah sukses hidup dirantau jika saat pulang kampung tidak
memiliki apapun kecuali baju yang ada di badan atau mungkinkah kita disambut
dengan karpet merah jika kita pulang kampung hanya dengan baju di badan saja?
Jika diri kita tidak mau dianggap gagal atau dianggap sebagai pecundang saat
pulang kampung setelah hidup di rantau, maka tidak ada jalan lain kecuali
mempersiapkan bekal dengan sebaik mungkin saat hidup di negeri orang. Jika
kondisi ini berlaku dalam kehidupan sehari-hari, sekarang bagaimana dengan diri
kita yang saat ini hidup di rantau, apakah keadaan ini tidak berlaku saat diri
kita menjadi khalifah di muka bumi? Ilustrasi tentang hidup di rantau
kondisinya sama dengan hidup yang saat ini kita laksanakan, yaitu jika kita merasa
kampung halaman diri kita nanti adalah syurga ataukah neraka, berarti saat ini
kita harus mempersiapkan bekal untuk menuju syurga atau bekal untuk menuju neraka.
Sebagai abd
(hamba)-Nya yang sekaligus khalifah-Nya di muka bumi yang sudah tahu diri, tentu kita harus
menyadari bahwa bekal untuk menuju kampung akhirat
baik syurga ataupun neraka hanya tersedia saat diri kita hidup di muka
bumi ini. Jika ini adalah kondisinya berarti kehidupan dunia yang saat
ini kita lakukan adalah sarana untuk mencari bekal untuk menuju kehidupan
akhirat. Sekarang bekal yang manakah yang sedang kita persiapkan saat ini,
apakah bekal untuk ke Neraka Jahannam ataukah bekal untuk ke syurga? Syurga dan neraka adalah tempat kembali
manusia setelah melaksanakan tugas sebagai khalifah di muka bumi.
Syurga dan juga
neraka sebagai tempat kembali bukanlah barang gratisan yang begitu saja akan
diberikan oleh Allah SWT kepada manusia. Untuk dapat memasuki syurga ataupun
untuk dapat memasuki neraka, kita diwajibkan terlebih dahulu memiliki tiket
masuk. Adanya kondisi ini berarti hanya orang-orang
tertentu saja yang dapat memasuki syurga dan hanya orang-orang yang tertentu
pula yang dapat memasuki neraka. Atau dengan kata
lain kita tidak bisa semba-rangan
untuk masuk ke syurga ataupun masuk ke neraka. Lalu, sudahkah
kita semua memesan tempat di syurga atau
di neraka?
Kami persilahkan anda memilih sendiri-sendiri kaveling yang di
idam-idamkan atau keveling yang paling cocok dengan apa yang sedang anda lakukan
saat ini. Ingat, jika anda telah menjual sapi, maka jangan pernah
berharap mendapatkan dan memperoleh air susunya kembali atau jika anda telah
keluar dari kehendak Allah SWT maka jangan pernah berharap mendapatkan syurga
dengan segala fasilitasnya. Jika untuk memasuki syurga ataupun neraka
memerlukan tiket masuk. Timbul pertanyaan, dimanakah tempat membeli tiket masuk
ke syurga ataupun neraka? Tiket syurga ataupun tiket neraka dapat dibeli saat diri kita menjadi khalifah
di muka bumi dimulai dari saat Ruh ditiupkan sampai dengan ruh berpisah dengan jasmani.
Adanya kondisi ini berarti baik tiket masuk ke syurga maupun tiket masuk ke neraka
tidak dijual di sembarang waktu dan di sembarang tempat, yaitu hanya tersedia
saat diri kita hidup di dunia saja. Sekarang
bagaimanakah caranya membeli atau memiliki tiket masuk ke syurga ataupun tiket
masuk ke neraka?
Untuk memperoleh atau untuk membeli tiket masuk ke syurga atau tiket masuk
ke beraka syarat dan ketentuannya sangat berbeda karena ada perbedaan fasilitas
diantara keduanya. Jika kita mengacu surat Al Qashash (28) ayat 77 berikut
ini: “dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan
orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap
keridhaan-Nya; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena)
mengharapkan perhiasan dunia ini; dan janganlah kamu mengikuti orang yang
hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati Kami, serta menuruti hawa nafsunya
dan adalah keadaannya itu melewati batas.” dan surat Al Baqarah
(2) ayat 208 yang kami kemukakan di atas ini, untuk memperoleh tiket masuk ke syurga caranya
melaksanakan Diinul Islam secara kaffah, yang dilanjutkan dengan selalu berbuat
baik kepada sesama serta jangan berbuat kerusakan di muka bumi.
Sedangkan tiket masuk
ke neraka akan didistribusikan oleh syaitan sang laknatullah melalui animisme,
tidak mau menjadikan Diinul Islam sebagai agama yang haq, berbuat kerusakan di
muka bumi, mempertuhankan ahwa (hawa nafsu), Nilai-Nilai Keburukan dijadikan
pedoman saat menjadi abd’ (hamba) yang juga khalifah di muka bumi, Amanah yang 7
dan Hubbul yang 7 dikuasakan penggunaannya kepada Jasmani dan lain sebagainya
yang sesuai dengan kehendak syaitan. Sebagai abd’ (hamba) yang juga khalifah
yang sedang melaksana-kan tugas di muka bumi, yang manakah kondisi diri kita,
apakah yang menjadi calon penghuni neraka ataukah yang menjadi calon penghuni syurga.
Syurga maupun neraka mempunyai 7(tujuh) tingkat 8(delapan) nama, dimana
tingkatan-tingkatan atau keveling yang ada di dalam syurga terdiri dari Syurga Firdaus; Syurga 'Adn; Syurga Na'iim;
Syurga Na'wa; Syurga Darussalaam; Syurga Daarul Muaqaamah; Syurga Al-Muqqamul
Amin dan Syurga Khuldi. Sedangkan tingkatan yang ada
di dalam neraka terdiri dari Neraka Jahannam;
Neraka Jahiim; Neraka Hawiyah; Neraka Wail; Neraka Sa'iir; Neraka Ladhaa;
Neraka Saqar dan Neraka Hutomah. Timbul pertanyaan, apakah dengan memiliki satu tiket tanda masuk kita
bisa memilih di tingkat mana kita akan kembali? Adanya tingkatan syurga dan neraka
yang berjumlah 7(tujuh) tingkat menunjukkan bahwa masing-masing tingkat baik syurga
maupun neraka memiliki syarat dan ketentuan yang berbeda-beda. Semakin baik seseorang di dalam memenuhi
syarat dan ketentuan masuk syurga maka semakin tinggi tingkatan syurga yang
dapat kita capai, demikian pula sebaliknya. Hal yang samapun terjadi pada neraka,
semakin tinggi kebobrokan seseorang memenuhi syarat dan ketentuan masuk neraka
maka semakin tinggi pula tingkat neraka yang akan ditempati, demikian pula
sebaliknya.
Sebagai abd’
(hamba)-Nya yang juga khalifah-Nya di muka bumi, di tingkat syurga yang manakah
kelak kita akan pulang atau di tingkat neraka manakah kelak kita akan pulang?
Agar saat diri kita mencari bekal untuk pulang kampung ke negeri akhirat dapat
kita laksana-kan sebaik mungkin, kiranya 6(enam) ketentuan Allah SWT tentang
kehidupan dunia yang akan kami kemukakan di bawah ini dapat kita jadikan
pedoman, yaitu:
1.
Dunia adalah Tempat
Kesenanangan Sementara. Dunia
adalah la’ib (main main) dan laghwu (senda gurau). Dunia hanyalah tempat sandiwara
kehidupan dipentaskan. Bukankah hidup ini sebenarnya adalah sangat sederhana?
Kita bagaikan aktor ataupun artis yang sedang memegang peran masing masing.
Sedangkan sutradaranya adalah Allah SWT. Di sandiwara kehidupan ini, ada
skenario Tuhan yang wajib diperankan dengan sebaik baiknya dan juga semaksimal
mungkin diperankan oleh diri kita, sebagaimana termaktub dalam surat Al An'am (6) ayat 32
berikut ini: “dan Tiadalah kehidupan dunia ini, selain dari
main-main dan senda gurau belaka[468]. dan sungguh kampung akhirat itu lebih
baik bagi orang-orang yang bertaqwa. Maka tidakkah kamu memahaminya?”.
[468] Maksudnya:
kesenangan-kesenangan duniawi itu hanya sebentar dan tidak kekal. janganlah
orang terperdaya dengan kesenangan-kesenangan dunia, serta lalai dari
memperhatikan urusan akhirat.
Jika kehidupan dunia
sudah dikatakan oleh Allah SWT sebagai tempat kesenangan sementara berarti ada
tempat kesenangan yang tetap yang akan disediakan Allah SWT. Timbul pertanyaan
dimanakah letak kesenangan tetap tersebut? Letak kesenangan tetap ada pada
kehidupan akhirat. Sebagai seorang khalifah yang sedang melaksanakan tugas di
muka bumi ini kita diminta oleh Allah SWT untuk memahani hal ini.
Sekarang untuk
siapakah kesenangan tetap yang ada di negeri akhirat itu, apakah untuk Allah
SWT ataukah untuk diri kita? Allah SWT tidak membutuhkan itu semua, dan jika
Allah SWT tidak membutuhkan, lalu siapakah yang membutuhkan? Jika kita merasa
sangat membutuhkan kesenangan tetap yang ada di negeri akhirat, maka kita harus
memiliki bekal untuk menuju kesana atau kita harus berusaha memiliki tiket
masuk menuju kesenangan tetap yang ada di negeri akhirat. Hal
yang harus kita perhatikan adalah kita tidak akan mungkin memperoleh tempat
kembali berupa syurga jika tiket yang kita miliki adalah tiket masuk ke neraka
atau bekal yang sesuai dengan kehendak syaitan.
2. Dunia adalah Tempat
Ujian. Kehidupan
dunia adalah tempat ujian, hal ini berdasarkan surat Thaahaa (20) ayat
131-132 berikut ini: “dan janganlah kamu tujukan kedua matamu kepada apa yang telah Kami
berikan kepada golongan-golongan dari mereka, sebagai bunga kehidupan dunia
untuk Kami cobai mereka dengannya. dan karunia Tuhan kamu adalah lebih baik dan
lebih kekal.dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan
bersabarlah kamu dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta rezki kepadamu,
kamilah yang memberi rezki kepadamu. dan akibat (yang baik) sebagai tempat ujian berarti saat ini diri
kita sedang melaksanakan test atau sedang di uji oleh Allah SWT untuk
menghadapi musuh abadi manusia, dalam hal ini ahwa (hawa nafsu) dan juga
syaitan. Adanya test atau ujian yang dilakukan oleh Allah SWT maka akan
menghasilkan apa yang dinamakan dengan nilai seseorang, kelulusan seseorang,
kemenangan seseorang atau kekalahan seseorang. Jika kita lulus ujian melawan ahwa (hawa nafsu) dan juga syaitan
berarti diri kita adalah pemenang dan syaitan adalah pecundang. Pemenang akan
memperoleh syurga sedangkan pecundang akan memperoleh neraka.Selanjutnya
sudahkah diri kita mempersiapkan diri untuk menjadi pemenang atau lulus dari
ujian Allah SWT?
3. Dunia adalah Laksana
Air Hujan. Allah
SWT telah mengingatkan bahwa kehidupan dunia laksana air hujan yang turun ke
bumi, sebagaimana dikemukanan dalam surat Al Kahfi (18) ayat 45-46 yang kami kemukakan berikut ini: “dan berilah perumpamaan kepada mereka (manusia), kehidupan dunia
sebagai air hujan yang Kami turunkan dari langit, Maka menjadi subur karenanya
tumbuh-tumbuhan di muka bumi, kemudian tumbuh-tumbuhan itu menjadi kering yang
diterbangkan oleh angin. dan adalah Allah, Maha Kuasa atas segala sesuatu.harta
dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan-amalan yang kekal
lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk
menjadi harapan.” Saat air hujan
turun semuanya terlihat baik dan semuanya tumbuh dengan baik namun apa yang
tumbuh dan baik itu tidak selamanya seperti itu. Air hujan hanyalah sarana
untuk menghidupkan apa apa yang gersang di muka bumi. Adanya kondisi ini Allah
SWT mengingatkan kepada diri kita agar jangan sampai diri kita tertipu dengan
kehidupan dunia lalu lupa dengan kehidupan akhirat yang menjadi tujuan akhir
diri kita. Allah SWT memberikan peringatan dini kepada diri kita seperti ini
karena syaitan dengan segala kemampuan yang dimilikinya mampu memanipulasi
sesuatu yang tidak baik menjadi baik atau mampu menjadikan sesuatu yang baik
menjadi sesuatu yang tidak baik. Jika sampai diri kita mampu dipengaruhi
syaitan maka kita tidak akan mampu menjadi seorang pemenang, atau yang akan
disambut dengan karpet merah saat pulang kampung. Untuk itu berhati-hatilah
dengan syaitan saat diri kita melaksanakan tugas di muka bumi.
4. Dunia adalah Mataa’ (kesenangan yang menipu). Dunia adalah mataa’ (kesenangan yang menipu).
Ketertipuan terhadap dunia terjadi ketika kita menjadikan dunia sebagai tujuan
akhir. Padahal dunia ini hanyalah perantara atau media untuk menggapai kebahagiaan
hidup di alam abadi. Dunia adalah media untuk mencari bekal hidup agar kelak
kita meraih syurga. Sebagaimana dikemukakan dalam surat Ali Imran (3) ayat 14
berikut ini: “Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa apa yang
diingini, yaitu: wanita wanita, anak anak, harta yang banyak dari jenis emas,
perak, kuda pilihan, binatang binatang ternak dan sawah lading. Itulah
kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allah lah tempat kembali yang baik
(syurga). (surat Ali Imran (3) ayat 14)”.
5. Dunia adalah Qalil (kecil). Dunia adalah qalil (kecil). Dalam ayat ini
Allah SWT membandingkan dunia dengan akhirat. Segala yang ada dunia ini kecil.
Manusia itu kecil. Harta itu kecil. Nikmat di dunia itu kecil. Kesengsaraan di
dunia itu kecil. Kelak di akhiratlah segala yang besar besar itu berada.
Sebagaimana dikemukakan dalam surat An Nisaa (4) ayat 77 berikut ini: “Kesenangan
di dunia ini hanya kecil (sebentar) dan akhirat itu lebih baik untuk orang
orang yang bertaqwa, dan kamu tidak akan dianiaya sedikitpun. (surat An Nisaa
(4) ayat 77)”. Kenikmatan di
syurga, kata Rasul SAW, belum pernah terdengar telinga, belum pernah terlihat
mata, bahkan belum pernah terjamah oleh pikiran manusia. Begitu pula dengan
kesengsaraan dan kebinasaan di neraka, yang belum pernah terjamah dan dirasakan
oleh manusia. Untuk itu bersabarlah di dunia yang singkat dan kecil ini. Jangan
terlena dengan kenikmatan dunia yang kecil ini. Jangan menyerah dengan cobaan
dan kesengsaraan hidup di dunia yang juga kecil ini. Asalkan kita berada di
titian iman dan taqwa hingga ajal tiba, Allah akan menjanjikan kenikmatan yang
jauh lebih indah, kekal dan abadi.
6. Dunia adalah Penjara. Dunia adalah penjara. Ada yang mengungkapkan
bahwa yang dimaksud dengan penjara adalah beragam aturan aturan yang membatasi
diri seorang muslim. Hal ini tertuang dalam hadits berikut ini: “Dari Abu Hurairah ra,
Rasulullah SAW bersabda, “Dunia itu penjara bagi orang mukmin dan syurga bagi
orang kafir.” (Hadits Riwayat Ahmad)”. Sebagaimana kita ketahui bahwa di dunia ini
seorang muslim diikat oleh aturan yang bernama syariat. Ada perintah dan ada
larangan. Ada perintah untuk mengontrol dan mengalahkan hawa nafsu. Ada
kewajiban, sunnah, mubah, makruh, serta haram. Ada perintah shalat, puasa,
zakat, serta berhaji bagi yang mampu. Ada larangan judi, zinah, korupsi, minum
minuman keras, meninggalkan shalat dan lain lain. Sebagian ulama berpendapat
bahwa semua itulah yang dimaksud dengan belenggu.
Kematian adalah saat dimana belenggu belenggu itu terlepas. Kematian adalah masa terbebasnya diri seorang muslim dari segala belenggu belenggu yang selama di dunia telah mengikatnya. Allah SWT berfirman: “Kehidupan dunia dijadikan terasa indah dalam pandangan orang-orang yang kafir, dan mereka menghina orang-orang beriman. Padahal orang-orang yang bertakwa itu berada di atas mereka pada hari kiamat. Dan Allah memberi rezeki kepada orang yang Dia kehendaki tanpa perhitungan. (surat Al-Baqarah (2) ayat 212)”. Kematian adalah masa kebahagiaan bagi seorang muslim karena ia akan segera disambut dengan kenikmatan kenikmatan akhirat sebagai hadiah atas kesabarannya meniti jalan yang telah diatur oleh Allah di dunia.
Sebagai abd’ (hamba)-Nya yang juga khalifah-Nya yang sedang melaksanakan tugas di muka bumi, mulai saat ini sampai dengan ruh tiba dikerongkongan, dalam kondisi apapun juga kita harus selalu menyadari bahwa kita adalah seorang perantau yang harus pulang ke negeri akhirat yang terdiri dari syurga dan neraka. Jika syurga yang akan kita jadikan kampung halaman kita kelak maka mulai saat ini kita harus selalu memenuhi segala ketentuan sebagai calon penghuni syurga. Demikian pula sebaliknya jika kita ingin pulang ke neraka maka kita harus memenuhi segala ketentuan sebagai calon penghuni neraka. Pilihan ada pada diri kita masing-masing.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar