Pembaca dan
jamaah yang dirahmati Allah SWT. Sebelum kami memulai membahas buku tentang “Memanusiakan Manusia: Jalan Untuk Mengenal
Diri Agar Datang Fitrah Kembali Fitrah” perkenankan kami untuk mengemukakan
beberapa hujjah atau mengambil asumsi dasar sebagaimana berikut ini:
1. Setiap manusia adalah makhluk dwifungsi. Untuk dapat
menggambarkan peran dan maksud dan tujuan dari diciptakannya manusia, Untuk itu
mari kita pelajari 3 (tiga) buah firman Allah SWT berikut ini:
Pertama, setiap manusia
siapapun orangnya adalah seorang abd’ (hamba)-Nya yang harus mengabdi kepada
Allah SWT selaku Rabb bagi setiap umat manusia. Adanya peran sebagai seorang
abd’ (hamba) menunjukkan bahwa seorang abd’ (hamba) terikat dengan ketentuan
penghambaan seorang hamba kepada Allah SWT selaku Tuhan bagi dirinya.
Sebagaimana firman-Nya berikut ini: “dan aku tidak
menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku. Aku
tidak menghendaki rezeki sedikitpun dari mereka dan aku tidak menghendaki
supaya mereka memberi-Ku makan. Sesungguhnya Allah Dialah Maha pemberi rezeki
yang mempunyai kekuatan lagi sangat kokoh. (surat Adz-Dzaariyaat (51) ayat
56-57-58).
Kedua,
setiap manusia selain terikat sebagai seorang hamba
yang harus mengabdi kepada Allah SWT maka ia juga sekaligus seorang khalifah
Allah SWT di muka bumi, yang bermakna perpanjangan tangan Allah SWT di muka
bumi sebagaimana dikemukakan dalam firmanNya berikut ini: “ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat:” Sesungguhnya
Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi”. Mereka berkata:” Mengapa
Engkau hendak menjadikan (khalifah) di muka bumi orang yang akan membuat
kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih
dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku
mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”. (surat Al Baqarah (2) ayat 30).” Adanya
kekhalifahan di muka bumi maka diharapkan terciptalah apa yang dinamakan dengan
ketenteraman,
ketertiban, serta terpeliharanya apa apa yang diciptakan oleh Allah SWT di muka
bumi.
Sekarang apa itu
khalifah? Khalifah adalah pengganti
atau pengatur atau pemelihara atau penjaga atau pengayom atau pengawas terhadap
apa-apa yang telah Allah SWT ciptakan di muka bumi. Adanya khalifah dimuka
bumi, maka khalifah tersebut secara tidak langsung adalah pelaksana tugas-tugas
sehari-hari Allah SWT atau perpanjangan tangan Allah SWT (Ex Officio Allah SWT)
di muka bumi dengan demikian akan terciptalah kedamaian dan akan terciptalah
ketentraman di muka bumi oleh sebab adanya khalifah. Timbul pertanyaan lagi, siapakah yang
berhak menjadi khalifah di muka bumi atau apakah khalifah hanya berlaku untuk
satu kelompok tertentu saja? Seluruh anak dan keturunan dari Nabi Adam, as, adalah khalifah di muka
bumi.Allah SWT tidak memberikan batasan, siapapun orang yang lahir di
muka bumi ini pasti khalifah di muka bumi. Untuk menjadi khalifah di muka bumi Allah SWT tidak memandang latar
belakang seseorang, tidak ada batasan keturunan tertentu, ras, suku, agama,
beriman ataupun kafir, sepanjang orang tersebut anak dan keturunan dari Nabi
Adam as, yang terdiri dari jasmani dan ruh (makhluk dwidimensi) maka ia adalah
khalifah di muka bumi.
Khalifah adalah sebuah ketentuan umum yang
berlaku untuk siapapun juga tanpa memandang latar belakang seseorang, termasuk
di dalamnya diri kita dan juga anak dan keturunan kita adalah khalifah-Nya di
muka bumi. Selanjutnya berdasarkan
ketentuan dalam surat
Ali ‘Imran (3) ayat 33-34 berikut
ini: “Sesungguhnya Allah telah memilih Adam, Nuh, keluarga Ibrahim dan keluarga
Imran melebihi segala umat (di masa mereka masing-masing), (sebagai satu
keturunan yang sebagiannya (keturunan) dari yang lain. Dan Allah Maha Mendengar
lagi Maha Mengetahui.” dan juga berdasarkan surat Maryam (19) ayat 58, yang kami
kemukakan berikut ini:“Mereka itu adalah orang-orang yang telah diberi nikmat oleh Allah,
yaitu para nabi dari keturunan Adam, dan dari orang-orang yang Kami angkat
bersama Nuh, dan dari keturunan Ibrahim dan Israil, dan dari orang-orang yang
telah Kami beri petunjuk dan telah Kami pilih. Apabila dibacakan ayat-ayat
Allah Yang Maha Pemurah kepada mereka, maka mereka menyungkur dengan bersujud
dan menangis. (surat Maryam (19) ayat
58). Berdasarkan ketentuan tiga buah
ayat di atas, Nabi
Adam as, beserta anak dan keturunannya akan dijadikan Allah SWT sebagai
“makhluk pilihan” dibandingkan dengan makhluk ciptaan Allah SWT yang lainnya.
Adanya kondisi ini
berarti Nabi Adam as, beserta anak dan keturunannya selain dijadikan oleh Allah
SWT sebagai khalifah-Nya di muka bumi juga akan dijadikan sebagai “makhluk
pilihan” sepanjang ia mampu menjadi abd’ (hamba)-Nya yang baik lagi benar.
Sekarang untuk apakah Allah SWT menjadikan Nabi Adam as, beserta anak dan
keturunannya menjadi “makhluk pilihan”? Allah
SWT menjadikan Nabi Adam as, beserta anak dan keturunannya sebagai “makhluk
pilihan” untuk menjadi pembeda kekhalifahan yang ada di muka bumi, atau untuk
proses menseleksi kekhalifahan yang ada di muka bumi ini. Sebab jika tanpa ada pembeda
yang jelas antara khalifah dengan kategori “makhluk pilihan” dengan khalifah
dengan kategori “non makhluk pilihan”
akan menyulitkan penilaian mana khalifah yang sesuai dengan kriteria
yang baik dan benar dan mana khalifah yang tidak sesuai dengan kriteria yang
baik dan benar atau mana khalifah yang berhak menjadi penghuni syurga dan mana
khalifah yang berhak menjadi penghuni neraka. Kondisi ini sejalan dengan
firman-Nya yang termaktub di dalam surat Adz Dzaairiyaat (51) ayat 56
sebagaimana berikut ini: “dan aku tidak menciptakan
jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.” Adanya bentuk
penghambaan kepada Allah SWT merupakan jalan untuk membuktikan pantaskah
manusia menjadi makhluk pilihan.
Untuk apakah Allah
SWT merencanakan dan menjadikan adanya manusia yang dijadikan abd’ (hamba)-Nya
yang juga khalifah-Nya di muka bumi? Jawabannya adalah pasti ada sesuatu
dibalik rencana penciptaan manusia di muka bumi, apakah itu? Sebelum Nabi Adam
as, diciptakan, seluruh kehidupan dalam
keadaan tenang dan tentram di dalam syurga (jannah), tidak ada gejolak, semua
makhluk ciptaan Allah SWT yang pada waktu itu hanya ada malaikat baik yang
diciptakan dari unsur nur (cahaya) dan unsur naar (api). Mereka semuanya patuh
dan taat kepada Allah SWT dan mereka selalu bertasbih untuk selalu memuji dan
mensucikan Allah SWT. Ini berarti bahwa kehidupan pada saat sebelum Nabi Adam as, diciptakan
adalah monoton (searah).
Di lain sisi, seperti
kita ketahui bersama bahwa Allah SWT adalah Dzat yang menamakan dirinya sendiri
adalah Allah, dimana Dzat-Nya Allah SWT sangat hebat kekuatannya, tidak ada
satupun makhluk atau ciptaannya yang dapat melihatnya, menjangkau apalagi
menandinginya. DzatNya Allah SWT juga mempunyai Sifat Salbiyah (wujud,
qidam, baqa, qiyamuhu binafsih, wahdaniah, muqalafah lil hawadish) serta Sifat Ma’ani (qudrat, iradat, sama’,
bashar, kalam, hayat, ilmu) serta af’al (perbuatan) Allah SWT yang
termaktub dalam 99 (sembilan puluh sembilan) Nama-Nama Allah SWT yang Indah
dimana itu semua adalah satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan antara Dzat,
Sifat dan Af’al yang dimiliki oleh Allah SWT.
Selanjutnya jika kehidupan yang ada sebelum
Nabi Adam as, diciptakan bersifat monoton (searah), timbul pertanyaan dapat
aktifkah sifat dan af’al (perbuatan) yang dimiliki oleh Allah SWT? Sesuatu baru dapat
dikatakan hebat dan mampu, jika ada yang mengatakan itu hebat dan mampu. Sekarang jika tidak ada yang mengatakan
bahwa itu hebat dan mampu, apakah sesuatu itu dapat dikatakan hebat dan mampu? Seseorang baru
akan dikatakan dia kaya, jika ada orang yang miskin. Seseorang baru
dapat dikatakan patuh dan
taat, jika ada
orang yang membandel dan ingkar janji.
Sekarang bagaimana dengan kebesaran dan kemahaan Allah SWT? Jika seluruh makhluk ciptaan Allah SWT
semuanya kaya, tidak ada yang miskin, bagaimanakah dengan Al-Ghani (Maha
Kaya)-Nya Allah SWT? Jika makhluk sudah tidak membutuhkan dan memerlukan Allah
SWT, dimana letak Keesaan Allah SWT dan
dimana letak bahwa Allah SWT dibutuhkan oleh makhluknya? Adanya
penciptaan manusia di muka bumi adalah cara Allah SWT untuk menunjukkan, untuk
memperlihatkan dan mempertontonkan kemampuan dan kehebatan dari DzatNya Allah
SWT, Sifat Allah SWT dan perbuatan
(Af’al) Allah SWT sehingga dengan demikian Aktiflah apa-apa yang dimiliki oleh
Allah SWT.
Dan yang Ketiga, berdasarkan firman-Nya berikut ini: “Dan (juga) pada dirimu sendiri, maka apakah kamu tiada memperhatikan. (surat Adz-Dzariyaat (51) ayat 21). Allah SWT berkehendak kepada setiap manusia,
termasuk kepada diri kita, baik sebagai abd’ (hamba) yang juga khalifah untuk
berpikir lalu memperhatikan dengan seksama tentang keberadaan diri ini melalui
pernyataan-Nya yang berbunyi “apakah kamu tiada memperhatikan” akan
dirimu sendiri!. Ketahuilah bahwa Kamu adalah hambaKu dan kamu juga adalah
khalifahKu. Adanya konsep abd’ (hamba) dan juga adanya konsep khalifah yang
melekat pada diri setiap manusia, termasuk diri kita menunjukkan diri kita
adalah makhluk yang memiliki peran “dwifungsi.” Lalu sudahkah kita tahu dan memahami
konsep dasar ini saat hidup di muka bumi ini!
yaitu
sebagai abd’ (hamba)-Nya yang harus menghambakan diri kepada Allah SWT dan juga
sebagai khalifah-Nya di muka bumi sehingga setiap orang harus menjadi
perpanjangan tangan Allah SWT, atau menjadi agen agen Allah SWT di muka bumi.
Adanya konsep dwifungsi di muka bumi maka terjadilah ketentraman, keteraturan,
kebersamaan serta terpeliharanya apa apa yang diciptakan oleh Allah SWT serta
penampilan Allah SWT di muka bumi terlihat dengan nyata.
2. Setiap manusia adalah
makhluk dwidimensi. Setiap
manusia dikatakan sebagai makhluk dwidimensi dikarenakan setiap manusia
siapapun orangnya pasti terdiri dari unsur jasmani dan unsur ruh. Jasmani
berasal dari saripati tanah sedangkan ruh berasal dan diciptakan oleh Allah SWT dan mulai dipersatukan ke duanya saat
masih di dalam rahim seorang ibu. Sebagaimana dikemukakan dalam surat As Sajdah
(32) ayat 7-8-9 berikut ini: Yang memperindah segala sesuatu yang Dia
ciptakan dan yang memulai penciptaan manusia dari tanah. Kemudian Dia
menjadikan keturunannya dari saripati
air yang hina (air mani). Kemudian Dia menyempurna kannya dan meniupkan ruh
(ciptaan)Nya ke dalam (tubuh)nya dan Dia menjadikan pendengaran, penglihatan,
dan hati bagimu, (tetapi) sedikit sekali kamu bersyukur.” Adanya konsep
dwidimensi maka kita harus bisa merawat dan menjaga kesehatan jasmani melalui
ilmu kesehatan dan gizi serta aturan yang ada di dalam AlQuran sedangkan untuk
menjaga kefitrahan ruh dengan mempergunakan konsep Diinul Islam yang sesuai
dengan kehendak Allah SWT.
3. Jasmani asalnya dari
sari pati tanah yang berasal makanan dan minuman yang dikonsumsi dari seorang
bapak dan seorang ibu. Yang mana setiap makanan dan minuman yang akan dikonsumsi
terikat dengan ketentuan yaitu: halal lagi baik (thayyib), membaca Basmallah
dan doa sebelum makan dan minum sebagaimana dikemukakan dalam surat Al Baqarah
(2) ayat 168 berikut ini: ‘Wahai orang orang yang beriman! Makanlah
dari (makanan) yang halal lagi baik terdapat di bumi, dan janganlah kamu
mengikuti langkah langkah syaitan. Sungguh, syaitan itu musuh yang nyata
bagimu.” Selain daripada itu,
jasmani memiliki sifat sifat yang mencerminkan nilai nilai keburukan (insan) dan yang juga memiliki perbuatan
(ahwa) yang berasal dari alam yang paling dikehendaki oleh syaitan. Sedangkan kemampuan fungsi fungsi jasmani sangat
berhubungan erat dengan posisi usia seseorang. Semakin tua usia seseorang maka
kemampuan fungsi fungsi jasmani pasti akan mengalami penurunan kemampuan.
Inilah sunnatullah yang pasti berlaku kepada jasmani manusia.
4. Ruh diciptakan oleh
Allah SWT. Ruh
asalnya dari Allah SWT dan dipersatukan dengan jasmani melalui proses peniupan.
Ruh memiliki sifat yang mencerminkan nilai nilai kebaikan (nass) dan juga
memiliki perbuatan (nafs/anfuss) yang mencerminkan nama nama Allah yang indah
lagi baik (Asmaul Husna) melalui proses sibghah. Ruh juga terikat dengan
ketentuan “datang fitrah, kembali harus fitrah untuk dapat bertemu dengan Allah
SWT di tempat yang fitrah (syurga)” yang mengharuskan diri kita mampu
menjalankan konsep “Tahu Diri, Tahu Aturan Main dan Tahu Tujuan Akhir.”. Kemampuan ruh tidak berhu-bungan langsung
dengan tua atau mudanya seseorang, melainkan sejauh mana diri kita mampu
melaksanakan Diinul Islam secara kaffah.
Semakin kaffah (khusyu’) kita melaksanakan Diinul Islam maka semakin
berkualitas atau semakin fitrah kualitas ruh seseorang.
Untuk itu jangan pernah menjadikan kualitas
(kefitrahan) ruh mengikuti sunnatullah yang berlaku bagi jasmani, yaitu semakin
tua jasmani semakin berkurang kefitrahan ruh. Cukup jasmani saja yang menjadi tua atau berkurang kemampuannya namun
ruh haruslah tetap muda (maksudnya tetap berkualitas, harus tetap fitrah sesuai
dengan kehendak Allah SWT). Ruh yang tetap dalam kondisi fitrah akan sangat
membantu kondisi dan keadaan jasmani yang sedang mengalami penurunan kemampuan,
sehingga kita tetap mampu hidup berkualitas dari waktu ke waktu serta mampu
bermanfaat bagi orang banyak walaupun usia sudah tidak muda lagi bahkan sudah
berada di persimpangan jalan, yaitu dari waktu maghrib menjelang waktu isya. Selain
daripada itu, ketahuilah bahwa ruh inilah menjadi jati diri manusia yang
sesungguhnya. Adanya pernyataan ini maka yang menjadi abd’ (hamba)-Nya dan yang
menjadi khalifah-Nya serta yang menjadi diri kita yang sesungguhnya adalah ruh.
Sehingga ruh adalah subyek sedangkan jasmani adalah obyek yang
harus dikhalifahi (dimanage) oleh ruh, termasuk di dalamnya yang harus
dikhalifahi oleh ruh adalah industri 4.0 dan society 5.0 dan juga reformasi
serta bumi tempat kalifah melaksanakan tugas. Dan ingat ruh yang akan mempertanggungjawabkan
segala
perbuatan diri kita saat menjadi abd’ (hamba) dan juga saat menjadi khalifah
muka bumi ini.
5. Hidup adalah saat
mulai dipersatukannya ruh dengan jasmani sampai dengan saat dipisahkannya
kembali keduanya.
Lalu jasmani akan dikembalikan ke tanah sedangkan ruh untuk sementara waktu
ditempatkan di alam barzah. Saat ruh dan jasmani dipersatukan (saat hidup) maka
terjadilah tarik menarik antara sifat sifat alamiah jasmani yang mencerminkan
nilai nilai keburukan dengan sifat sifat alamiah ruh yang mencerminkan nilai
bilai kebaikan. Jika sifat sifat alamiah
jasmani mampu mengalahkan sifat sifat alamiah ruh maka jiwa kita dikelompokkan
menjadi jiwa fujur (jiwa hewani; jiwa amarah; jiwa musawwilah) sehingga yang
tampil sebagai cerminan diri kita adalah nilai nilai keburukan yang dikehendaki
oleh syaitan. Sedangkan jika sifat sifat ruh mampu mengalahkan sifat sifat
jasmani maka jiwa kita dikelompokkan menjadi jiwa taqwa (jiwa lawwamah; jiwa
muthamainah) sehingga yang tampil sebagai cerminan diri kita adalah nilai nilai
kebaikan yang dikehendaki oleh Allah SWT. Untuk itu jangan sampai kita salah menempatkan
diri kita dihadapan Allah SWT yang pada akhirnya membawa diri kita pada
penyesalan yang tiada berujung sehingga menghantarkan kita menjadi penghuni
neraka. Untuk itu sadarilah delapan hal yang kami kemukakan di atas dengan
sebaik baiknya.
Sebagai
abd’ (hamba)-Nya yang sekaligus juga khalifah-Nya di muka bumi ketahuilah bahwa
setelah dipisahkannya ruh dengan jasmani, yang ada dan yang tertinggal dari
diri kita di muka bumi ini adalah 2(dua) hal yaitu: jejak jejak kebaikan
ataukah jejak jejak keburukan. Adanya jejak jejak kebaikan ataukah jejak jejak
keburukan yang tertinggal di muka bumi merupakan tanda mata bahwa kita pernah
ada dan pernah hidup di muka bumi ini. Dan
melalui jejak jejak kehidupan yang tertinggal inilah maka akan diketahui secara
nyata kualitas diri kita yang sesungguhnya. Jika jejak jejak kebaikan yang
kita tinggalkan dan jejak tersebut mampu dinikmati oleh generasi yang datang dikemudian
hari berarti kita telah berumur panjang dan juga kita telah mampu menjadi
kebanggaan bagi anak keturunan kita yang datang di kemudian hari, yang akhirnya
doa akan terus dipanjatkan untuk kita oleh sebab karya nyata berupa kebaikan
yang kita tinggalkan.
Namun, jika yang
terjadi adalah jejak-jejak keburukan yang kita tinggalkan setelah diri kita
tiada berarti berumur pendeklah diri kita serta hilanglah rasa bangga kepada
diri kita yang berasal dari anak keturunan kita sendiri yang pada akhirnya
menjadikan diri kita menjadi orang yang terlupakan, atau jika disebut nama kita
yang diingat oleh kebanyakan orang adalah keburukan. Semoga kita semua
tidak seperti ini.
Dan
untuk itu ketahuilah
bahwa semua
ini (baik kebaikan atau keburukan) hanya bisa terjadi di sisa usia kita yang
kita miliki. Dimana di sisa usia inipun kita masih dibatasi dengan adanya
ketentuan yang lainnya, yaitu: “waktu tidak bisa diputar ulang; kesempatan
hanya datang satu kali; serta menyesal adanya dibelakang hari.” Jadi
jangan pernah menunda nunda jika kita sudah berniat untuk berbuat kebaikan
dalam bentuk karya nyata. Lakukan saat ini juga karena kita tidak pernah
dibatasi oleh Allah SWT untuk melakukan perbuatan baik. Semoga Allah SWT
memudahkan diri kita untuk berbuat kebaikan dalam bentuk karya nyata di sisa
usia yang kita miliki. Amiin.
Adanya kondisi yang telah kami kemukakan di atas, inilah yang mendorong kami untuk terus berkarya melalui tulisan-tulisan yang
berkenaan dengan Aqidah Islam atau tentang Ketauhidan sepanjang Allah SWT
menghendaki ini terjadi, yang pada akhirnya masyarakat akan selalu memiliki buku-buku
pembanding atas buku-buku yang telah terbit terlebih dahulu, sehingga mampu
menjadikan masyarakat dan generasi yang akan datang menjadi dinamis dengan
perkembangan ilmu maupun perkembangan zaman melalui buku yang kami tulis.
Apalagi
saat ini, diri kita dan juga anak keturunan kita sedang dan akan menghadapi
tantangan berat, yaitu:
1. Adanya informasi dari
Nabi Muhammad SAW tentang kondisi umat akhir zaman;
2. Adanya tantangan
reformasi yang belum menghasilkan sesuatu yang sesuai dengan tujuan reformasi
itu sendiri;
3. Adanya tantangan
revolusi industri 4.0 serta adanya tantangan society 5.0.
4. Adanya bahaya laten
Narkoba dan Dzat Dzat Adiktif lainnnya;
5. Adanya pengaruh
LGBTQQIAAP termasuk di dalamnya ancaman dari pornografi dan pornoaksi serta
adanya pandemi covid 19 yang terjadi di seluruh dunia serta
6. Adanya virus
radikalisme dan juga virus intoleransi.
Dimana ke
enam tantangan ini sudah ada dihadapan diri kita, namun selaku orang tua
(selaku nenek ataupun kakek) belum tentu sepenuhnya akan mengalami hal itu
semuanya. Lalu bagaimana dengan anak dan keturunan kita nanti? Ke enam hal yang
kami kemukakan di atas pasti akan menjadi tantangan, hambatan, rintangan,
ujian, cobaan bagi anak keturunan kita sendiri sebab merekalah yang akan
mengha-dapinya dan mengalaminya.
Sebagai
orang tua, sebagai kakek atau nenek dari generasi milenial, sudah seharusnya
kita mempersiapkan anak keturunan kita siap menghadapi itu semua, namun ingat
tidak boleh keluar dari konsep kefitrahan yang telah ditetapkan berlaku oleh
Allah SWT, yaitu “datang fitrah kembali fitrah untuk bertemu dengan Dzat Yang Maha Fitrah
di tempat yang fitrah melalui suatu proses tahu diri, tahu aturan main dan tahu
tujuan akhir”. Sehingga akan sangat riskan bagi generasi milenial yang
bertindak selaku subyek jika mereka tidak pernah tahu siapa diri mereka yang
sesungguhnya dan siapa Allah SWT yang sesungguhnya dan akhirnya tahu diri dan
tahu aturan main dan tahu tujuan akhir harus menjadi prioritas dalam belajar agama
ini dan semoga diri kita semua mampu menghadapi tantangan dan ancaman yang akan
kami kemukakan di bab II buku ini ditambah umat ini telah berubah menjadi umat yang rajin dan gemar membaca, gemar
mempelajari kitabnya sendiri serta mampu melaksanakan dengan sebaik baiknya isi
dan kandungan AlQuran.
Di dalam buku ini,
kami juga membahas tentang pembinaan diri atau bagaimana cara untuk
mempertahankan kefitrahan diri dalam rangka diri kita selalu sesuai dengan
kehendak Allah SWT serta cara-cara untuk memperoleh kehendak Allah SWT. Untuk
itu kami berharap dengan adanya buku ini, kita semua dapat menemukan kembali
jati diri kita yang sesungguhnya atau kita dapat mereformasi diri kita menjadi
pribadi yang sesuai dengan apa yang Allah SWT rencanakan di awal manusia
diciptakan atau sesuai dengan kehendak Allah SWT sewaktu memperbolehkan dan
mengizinkan iblis/syaitan untuk mengganggu dan menggoda manusia. Dan semoga kita semua dapat sukses menjadi
abd’ (hamba)-Nya yang sekaligus khalifah-Nya di muka bumi yang sekaligus
menjadi makhluk yang terhormat yang dapat pulang kampung ke tempat yang
terhormat, dengan cara yang terhormat, untuk bertemu dengan Dzat Yang Maha
Terhormat, dalam suasana yang saling hormat menghormati yang tentunya hanya
bisa diraih jika kita mampu melaksanakan konsep tahu diri, tahu aturan main dan
tahu tujuan akhir.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar