Label

MEMANUSIAKAN MANUSIA: INILAH JATIDIRI MANUSIA YANG SESUNGGUHNYA (79) SETAN HARUS JADI PECUNDANG: DIRI PEMENANG (68) SEBUAH PENGALAMAN PRIBADI MENGAJAR KETAUHIDAN DI LAPAS CIPINANG (65) INILAH ALQURAN YANG SESUNGGUHNYA (60) ROUTE TO 1.6.799 JALAN MENUJU MAKRIFATULLAH (59) MUTIARA-MUTIARA KEHIDUPAN: JALAN MENUJU KERIDHAAN ALLAH SWT (54) PUASA SEBAGAI KEBUTUHAN ORANG BERIMAN (50) ENERGI UNTUK MEMOTIVASI DIRI & MENJAGA KEFITRAHAN JIWA (44) RUMUS KEHIDUPAN: TAHU DIRI TAHU ATURAN MAIN DAN TAHU TUJUAN AKHIR (38) TAUHID ILMU YANG WAJIB KITA MILIKI (36) THE ART OF DYING: DATANG FITRAH KEMBALI FITRAH (33) JIWA YANG TENANG LAGI BAHAGIA (27) BUKU PANDUAN UMROH (26) SHALAT ADALAH KEBUTUHAN DIRI (25) HAJI DAN UMROH : JADIKAN DIRI TAMU YANG SUDAH DINANTIKAN KEDATANGANNYA OLEH TUAN RUMAH (24) IKHSAN: INILAH CERMINAN DIRI KITA (24) RUKUN IMAN ADALAH PONDASI DASAR DIINUL ISLAM (23) ZAKAT ADALAH HAK ALLAH SWT YANG HARUS DITUNAIKAN (20) KUMPULAN NASEHAT UNTUK KEHIDUPAN YANG LEBIH BAIK (19) MUTIARA HIKMAH DARI GENERASI TABI'IN DAN TABI'UT TABIIN (18) INSPRIRASI KESEHATAN DIRI (15) SYAHADAT SEBAGAI SEBUAH PERNYATAAN SIKAP (14) DIINUL ISLAM ADALAH AGAMA FITRAH (13) KUMPULAN DOA-DOA (10) BEBERAPA MUKJIZAT RASULULLAH SAW (5) DOSA DAN JUGA KEJAHATAN (5) DZIKIR UNTUK KEBAIKAN DIRI (4) INSPIRASI DARI PARA SAHABAT NABI (4) INILAH IBADAH YANG DISUKAI NABI MUHAMMAD SAW (3) PEMIMPIN DA KEPEMIMPINAN (3) TAHU NABI MUHAMMAD SAW (3) DIALOQ TOKOH ISLAM (2) SABAR ILMU TINGKAT TINGGI (2) SURAT TERBUKA UNTUK PEROKOK dan KORUPTOR (2) IKHLAS DAN SYUKUR (1)

Minggu, 12 Mei 2024

SIFAT, PERBUATAN DAN KEMAMPUAN JASMANI (PART 1 of 3)

 

Setiap manusia pasti terdiri dari jasmani dan juga ruh yang menandakan bahwa manusia adalah makhluk dwidimensi, sebagaimana firman Allah SWT berikut ini: “kemudian Dia menyempur-nakan dan meniupkan ke dalamnya roh (ciptaan)-Nya dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati; (tetapi) kamu sedikit sekali bersyukur (surat As Sajdah (32) ayat 9)”.  Dimana jasmani asalnya dari sari pati tanah sedangkan ruh asalnya dari Nur Allah SWT. Adanya perbedaan asal usul dari keduanya maka dapat dipastikan antara jasmani dan ruhani pasti memiliki sifat, perbuatan dan kemampuan yang berbeda serta cara perawatannya juga dapat dipastikan berbeda pula dan juga ketentuan yang mengikat keduanya pun berbeda pula. Jasmani memiliki sifat yang di dalam AlQuran diistilahkan dengan istilah insan, sedangkan perbuatan dari sifat jasmani (insan) disebut juga dengan ahwa (hawa nafsu). Adapun kemampuan jasmani untuk melakukan perbuatannya disebut juga dengan basyar. Sifat sifat alamiah jasmani yang berasal dari saripati alam mencerminkan nilai nilai keburukan yang kesemuanya sangat dikehendaki oleh syaitan.

 

Lalu bagaimana dengan ruh? Ruh juga memiliki sifat alamiah seperti halnya jasmani, yang di dalam AlQuran dikemukakan sebagai Nass. Lalu perbuatan dari sifat alamiah ruh (Nass) disebut juga dengan istilah Nafs/Anfuss sedangkan kemampuan dari ruh disebut juga dengan Ruh. Adapun sifat sifat alamiah ruh yang berasal dari Nur Allah SWT mencerminkan nilai nilai kebaikan yang berasal dari Allah SWT yaitu cerminan dari asmaul husna. Berdasarkan uraian ini, menunjukkan bahwa di dalam diri setiap manusia termasuk di dalam diri kita, pasti terdapat dua buah sifat, yaitu adanya nilai nilai keburukan yang berasal dari sifat alamiah jasmani dan juga adanya nilai nilai kebaikan yang berasal dari sifat alamiah ruhani. Lalu dengan adanya dua buah sifat yang berlainan dalam diri manusia maka akan memiliki dampak yang sangat berbeda dalam kehidupan manusia, yaitu adanya pengaruh buruk dari nilai nilai keburukan dan adanya pengaruh baik dari nilai nilai kebaikan.

 

Lalu bisakah kita menghindarkan diri dari ketentuan dalam surat As Sajdah (32) ayat 9 di atas? Sepanjang diri kita masih disebut manusia maka sepanjang itu pula kita tidak bisa melepaskan diri dari ketentuan yang berlaku. Kita harus tetap berhadapan dengan nilai nilai keburukan (ahwa/hawa nafsu) yang ada di dalam jasmani manusia. Inilah yang kami istilahkan dengan musuh dalam selimut dan ingat musuh dalam selimut ini sangat dikehendaki oleh syaitan dan sudah pula diskenariokan oleh Allah SWT. Adanya musuh di dalam selimut yang terdapat di dalam jasmani, disinilah salah satu letak dari permainan yang sesungguhnya dimana diri kita yang sesungguhnya adalah ruhani harus mampu memanfaatkan dan mendayagunakan jasmani yang sesuai dengan kehendak Allah SWT. Dengan ketentuan gunakan dan manfaatkan jasmani untuk kepentingan ruh tetapi sifat sifat alamiahnya harus dihilangkan. Lalu diganti dengan sifat sifat alamiah ruh sehingga yang tampil menjadi perilaku kehidupan kita adalah nilai nilai kebaikan yang sesuai dengan kehendak Allah SWT.

 

Di lain sisi, hidup adalah saat dipersatukannya ruh dengan jasmani, sehingga pada saat hidup itulah terjadi apa yang dinamakan dengan tarik menarik antar dua buah sifat yang saling bertentangan dikarenakan berasal dari asal usul yang berbeda. Lalu dengan adanya tarik menarik di antara keduanya (jasmani dengan ruh) maka manusia dapat dibagi menjadi dua golongan, yaitu:

 

Pertama, Golongan yang dikalahkan, diperbudak, dibinasakan dan senantiasa berada di bawah perintah nafsunya (suatu keadaan dimana sifat sifat jasmani mampu mengalahkan sifat sifat ruh) sehingga nilai nilai kebaikan mampu dikalahkan oleh nilai nilai keburukan, yang pada akhirnya nilai nilai keburukan yang menjadi perilaku manusia (jiwa fujur). Allah SWT berfirman: “dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan Sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya. (surat Asy Syams (91) ayat 7 sampai 10)”. Golongan jiwa fujur akan dibedakan menjadi tiga, yaitu jiwa hewani, jiwa amarah dan jiwa mushawwilah.

 

Kedua, Golongan yang dapat mengalahkan dan menundukkan nafsunya sehingga nafsunya taat dan menjalankan perintahnya (suatu keadaan dimana sifat sifat jasmani mampu dikalahkan oleh sifat sifat ruh) sehingga nilai nilai kebaikan mampu mengalahkan nilai nilai keburukan  sehingga nilai nilai kebaikan yang menjadi perilaku manusia (jiwa taqwa). Adanya kondisi ini, dimanakah posisi diri kita saat ini, apakah yang termasuk di dalam jiwa fujur, ataukah yang termasuk di dalam jiwa taqwa? Semoga jiwa kita termasuk di dalam jiwa taqwa.

 

Sebagai abd’ (hamba)-Nya yang juga khalifah-Nya di muka bumi, ketahuilah bahwa ahwa (hawa nafsu) dapat dipastikan akan menjerumuskan manusia kepada kebinasaan, menolong musuh, rakus terhadap sesuatu yang buruk, dan mengikuti kejahatan dan keburukan. Ahwa (hawa nafsu), sesuai dengan tabiatnya menyukai pelanggaran. Karena itu, nikmat yang tidak ada bandingnya adalah dapat lari darinya dan membebaskan diri dari perbudakan ahwan(hawa nafsu). Ahwa (hawa nafsu) juga adalah hijab atau penghalang terbesar antara hamba dengan Allah SWT. Dan manusia yang paling mengetahui nafsunya adalah manusia yang paling keras menegur dan membencinya. Disinilah letak dari pentingnya kita berjihad melawan hawa nafsu yang sesuai dengan  ketentuan hadits berikut ini: “Jihad yang paling utama adalah seseorang berjihad (berjuang) melawan dirinya dan hawa nafsunya”  (Hadits shahih diriwayatkan oleh Ibnu Najjar dari Abu Dzarr).

 

Selain daripada itu, berdasarkan surat An Nazi’at (79) ayat 37 sampai 41 berikut ini: Adapun orang yang melampaui batas, dan lebih mengutamakan kehidupan dunia, Maka Sesungguhnya nerakalah tempat tinggal(nya).dan Adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, Maka Sesungguhnya syurgalah tempat tinggal(nya)”. Ahwa (hawa nafsu) pada hakekatnya menyeru manusia untuk berbuat melampaui batas dan mengutamakan kehidupan dunia dengan mengesampingkan kehidupan akhirat. Sedangkan Allah menyeru untuk bertaqwa dan tidak menuruti keinginan ahwa (hawa nafsu).Adanya kondisi ini menunjukkan di dalam diri manusia ada sesuatu yang saling kontroversial, namun dibalik kontroversial ini terdapat sebuah permainan yang harus kita laksanakan, yaitu mampukah diri kita berada sesuai dengan kehendak Allah SWT ataukah berada sesuai dengan kehendak syaitan.

 

Di dalam ahwa (hawa nafsu) juga terdapat perilaku binatang, seperti keserakahan burung gagak, ketamakan anjing, kebodohan burung merak, kedurhakaan biawak, kedengkian unta, keganasan singa, kefasikan tikus, kekejian ular, kesiasiaan kera, penghimpunan lebah, makarnya srigala, kepandiran kupu kupu, dan tidurnya anjing hutan. Adanya perilaku binatang yang kami kemukakan di atas ini, bukanlah isapan jempol melainkan sesuatu yang nyata. Lihatlah orang yang mempertuhankan ahwa (hawa nafsu)nya sehingga perilakunya telah berubah tidak ubahnya seperti perilaku binatang. 

 

Sebagai abd’ (hamba)-Nya yang juga adalah khalifah-Nya di muka bumi, ketahuilah bahwa dalam jiwa setiap manusia, ada tiga penyeru yang saling tarik menarik, yaitu: (1) Penyeru yang mendorong seseorang untuk berperilaku seperti perilaku syaitan, misalnya congkak, dengki, tinggi hati, melampaui batas, suka berbuat jahat, suka mencela, merusak dan suka menipu; (2) Penyeru yang mendorong seseorang untuk berperilaku seperti perilaku binatang, yaitu penyeru yang menuntutnya untuk memenuhi tuntutan syahwat; (3) Penyeru yang mendorong seseorang untuk berperilaku seperti perilaku malaikat, misalnya suka berbuat kebajikan, gemar memberi dan menerima nasehat, berbakti, cinta ilmu, dan selalu bersikap taat. Untuk itu ketahuilah bahwa melatih nafsu (mengendalikan ahwa atau hawa nafsu) lebih sulit daripada melatih singa. Singa, jika sudah dimasukkan ke dalam kerang-keng oleh pemiliknya, amanlah kita dari bahayanya. Adapun ahwa (hawa nafsu), walaupun sudah dipenjarakan, belum tentu kita aman dari bahayanya. Dan jihad melawan ahwa (hawa nafsu) wajib hukumnya bagi setiap manusia tanpa terkecuali. Jihad melawan ahwa (hawa nafsu) terdiri dari empat tahapan, yaitu:

 

a.  Melawannya dengan mempelajari petunjuk dan Agama yang benar. Agama yang mengantarkan kita kepada keberuntungan dan kebahagiaan hidup dan mati yang hanya dapat diraih dengan agama ini, Jika tidak mengetahui tentang ajaran agama ini, Diinul Islam, maka seseorang akan merana di dunia dan akhirat.

b.  Melawannya dengan mengamalkan ajaran Islam setelah mengetahuinya. Jika tidak diamalkan, agama hanya menjadi pengetahuan yang tidak bermanfaat atau bahkan menjadi pengetahuan yang berbahaya.

c. Melawannya dengan mengajak manusia kepada agama Islam yang benar dan mengajarkannya kepada yang belum mengetahui. Jika tidak melakukan hal ini, seseorang dapat dituduh telah menyembunyikan petunjuk dan keterangan yang diturunkan oleh Allah SWT. Ilmunya tidak bermanfaat, dan karenanya tidak dapat menyelamatkannya dari siksa api neraka.

d. Melawannya dengan kesabaran dalam menghadapi kesulitan dan celaan ketika mengajak manusia ke jalan Allah dan semuanya harus dilakukan karena Allah semata.

 

Agar diri kita mampu sukses melawan dan mengalahkan ahwa (hawa nafsu), Allah SWT berfirman dalam surat Al Ankabuut (29) ayat 69 berikut ini: “dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar- benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan kami. dan Sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik”.  Untuk itu ketahuilah bahwa kesuksesan melawan ahwa (hawa nafsu) sangat tergantung kepada jihadnya (kesunggu-hannya) di dalam memerangi ahwa (hawa nafsu). Oleh karena itu, orang yang paling sempurna pencapaiannya adalah orang yang paling keras jihadnya. Adapun jihad yang diwajibkan, secara berurutan dapat kami kemukakan adalah: (1) jihad melawan ahwa (hawa nafsu); (2) jihad melawan ego; (3) jihad melawan syaitan dan; (4) jihad melawan dunia. Barangsiapa berjihad melawan hal ini, Allah SWT akan membentangkan baginya jalan untuk meraih ridha-Nya yang akan menghantar-kannya ke syurga.

Sementara orang yang meninggalkan jihad secara sengaja, akan kehilangan petunjuk sebesar jihad yang ditinggalkannya. Rasulullah SAW bersabda: “Jihad yang paling utama adalah orang yang berjihad melawan nafsunya karena Allah SWT”. Oleh karena itu, selama belum mampu menundukkan dan memaksa nafsunya untuk melaksanakan perintah dan meninggalkan larangan, seseorang tidak mungkin dapat memerangi musuh yang berada di luar dirinya. Nabi SAW bersabda: Orang yang berjihad adalah orang yang menerangi nafsunya dalam taat kepada Allah, sedangkan orang yang berhijrah adalah orang yang meninggalkan larangan Allah. (Hadits Riwayat Ahmad dan Ibnu Majah)”. Tidak mungkin ia dapat memerangi dan berada di tengah tengah musuh jika musuh yang berada di depannya masih menguasai dirinya. Sekedar keluar untuk menghadapinya, ia pun tidak akan mampu, kecuali jika ia menundukkan, atau mengalah-kan nafsunya terlebih dahulu.

 

Sedangkan menurut hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Ath Thirmidzi sebagaimana berikut ini: “Orang yang cerdas adalah orang yang dapat menundukkan nafsunya kemudian bekerja untuk kehidupan setelah mati. Sementara orang yang lemah akalnya adalah orang yang menuruti hawa nafsunya kemudian berharap kepada Allah”. Berdasarkan hadits ini, manusia terbagi dua kelompok, yaitu : orang yang cerdas dan orang yang lemah akalnya. Orang yang cerdas adalah orang yang cerdik yang berpendirian teguh dan selalu memperhatikan akibat segala sesuatu. Ia dapat menundukkan dan menggunakan nafsunya untuk berbuat sesuatu yang bermanfaat bagi kehidupan di akhirat. Orang yang lemah akalnya adalah orang yang dungu yang tidak berpengetahuan, yang tidak pernah memikirkan buah dari perbuatannya. Orang tersebut lebih suka mengikuti nafsunya yang cenderung kepada sesuatu yang membawa kenikmatan duniawi, meskipun sebenarnya kenikmatan itu membawa malapetaka bagi kehidupannya di akhirat, bahkan juga bagi kehidupannya di dunia.

 

Orang yang mengikuti keinginan ahwa (hawa nafsu)nya, dan ini yang biasanya terjadi, akan segera mendapatkan aib di dunia, akan segara jatuh martabatnya di mata Allah dan manusia, dan akan segera mendapatkan kehinaan. Dia tidak akan mendapatkan kebaikan dunia dan akhirat yang berupa ilmu yang bermanfaat dan rezeki yang luas lagi berkah.Sedangkan orang yang melawan nafsunya serta tidak menuruti keinginannya, akan segera mendapatkan balasan di dunia serta berkahnya yang berupa ilmu, iman dan rezeki. Atau dengan kata lain, siapa saja yang mampu menguasai, mengalahkan dan menundukkan hawa nafsunya, maka ia akan menjadi orang yang mulia karena ia telah mengalahkan dan menawan musuhnya yang paling kuat serta mencegah kejahatannya.

 

Agar diri kita mampu mengalahkan musuh dalam selimut dengan cara yang bermartabat lagi terhormat. Prinsip perang ala “Sun Tzu” berikut ini bisa kita jadikan pedoman, yaitu: “Ia yang mengenal pihak lain (musuh) dan mengenal dirinya sendiri, tidak akan dikalahkan dalam seratus pertempuran. Ia yang tidak mengenal pihak lain (musuh) tetapi mengenal dirinya sendiri memiliki suatu peluang yang seimbang untuk menang atau kalah. Ia yang tidak mengenal pihak lain (musuh) dan dirinya sendiri cenderung kalah dalam setiap pertempuran.Jika Anda mengenal diri dan musuh Anda, Anda tidak akan kalah dalam seratus pertempuran. (Sun Tzu dalam The Art of War)”.  Sekarang sudahkah kita mengenal diri dan mengenal musuh yang akan kita hadapi? Adalah sebuah yang tidak dapat dimengerti oleh akal sehat jika kita ingin mengalahkan musuh tanpa pernah memiliki ilmu tentang musuh (dalam hal ini ahwa (hawa nafsu) dan juga syaitan).   Adanya prinsip perang ala “Sun Tzu” mengharuskan kita untuk mengetahui hakekat dan sifat sifat jasmani terlebih dahulu sehingga dengan kita mengetahui hal yang paling mendasar ini maka langkah untuk melawan dalam kerangka mengalahkan ahwa (hawa nafsu) menjadi lebih mudah (kenali terlebih dahulu apa yang dinamakan dengan musuh dalam selimut itu) yang dibarengi dengan diri kita tahu tentang diri sendiri yang ditunjang dengan tahu dan mengerti tentang Allah SWT.

 

Dan untuk lebih memudahkan diri kita belajar tentang ahwa (hawa nafsu) yang mencerminkan nilai nilai keburukan Ada baiknya kita terlebih dahulu mempelajari sebuah pernyataan yang berasal dari Dorothy Law Nolte, Phd’ tentang anak anak yang belajar dari lingkungannya, yaitu:

 

a.      Jika anak tumbuh di lingkungan yang sering mengkritik, ia belajar untuk menyalahkan;

b.       Jika anak tumbuh di lingkungan yang penuh kekerasan, ia belajar untuk berkelahi;

c.    Jika anak tumbuh di lingkungan  yang sering menakutnakuti, ia belajar untuk mudah untuk khawatir;

d.      Jika  anak  tumbuh  di lingkungan  yang  penuh  kesedihan, ia belajar untuk mengasihi diri;

e.   Jika anak tumbuh di lingkungan yang sering mempermalukan, ia belajar menjadi pemalu;

f.  Jika anak tumbuh di lingkungan yang penuh kecemburuan, ia belajar untuk mendendam;

g.       Jika anak tumbuh di lingkungan yang sering menyalahkan, ia dihantui rasa bersalah;

h.      Jika anak tumbuh di lingkungan yang memberi semangat, ia belajar untuk percaya diri;

i.      Jika anak tumbuh di lingkungan yang penuh toleransi, ia belajar untuk bersabar;

j.      Jika anak tumbuh di lingkungan yang memberi pujian, ia belajar untuk menghargai;

k.   Jika anak tumbuh di lingkungan  yang  menerima  apa  adanya, ia belajar untuk mencintai;

l.  Jika anak tumbuh di lingkungan yang memberikan dukungan,ia belajar untuk menyenangi dirinya;

m.   Jika anak tumbuh di lingkungan yang memberikan penghargaan, ia belajar memiliki tujuan dan cita cita;

n.   Jika anak tumbuh di lingkungan yang menjunjung tinggi kejujuran, ia belajar untuk mencintai kebenaran;

o.    Jika anak tumbuh di lingkungan yang menghargai keadilan, ia belajar untuk bersikap adil;

p.    Jika anak tumbuh di lingkungan yang baik hati dan penuh tanggung jawab, ia belajar untuk menghormati;

q.   Jika anak tumbuh di lingkungan yang penuh rasa aman, ia belajar untuk memiliki keyakinan dan berbaik sangka;

r.       Jika anak tumbuh di lingkungan yang bersahabat, ia belajar untuk merasa bahwa dunia ini indah dan hidup ini begitu berharga.

 

Jika anak saja bisa berubah perilakunya dikarenakan adanya pengaruh lingkungan. Hal yang samapun berlaku pada diri kita, jika selalu berada di dalam lingkungan yang sama dengan anak tersebut (maksudnya jika kita selalu berada di dalam lingkungan nilai nilai keburukan yang berasal dari jasmani dan nilai nilai kebaikan yang berasal dari ruh), maka kitapun akan terpengaruh dengan lingkungan itu. Sekarang mari kita pelajari tentang sifat, perbuatan dan kemampuan jasmani yang mencerminkan nilai nilai keburukan sebagaimana berikut ini:

 

A.     SIFAT-SIFAT JASMANI MANUSIA.

Sekarang mari kita perhatikan diri kita. Saat diri kita masih hidup berarti kita sedang berhadapan langsung dengan 2 (dua) buah lingkungan, yaitu lingkungan yang bercirikan nilai nilai keburukan (insan) yang berasal dari sifat alamiah jasmani dan juga lingkungan yang bercirikan nilai nilai kebaikan (nass) yang berasal dari sifat alamiah ruh. Lalu di posisi manakah diri kita saat ini, apakah yang sesuai dengan kehendak syaitan ataukah yang sesuai dengan kehendak Allah SWT!.

 

Untuk bisa menentukan dimana posisi kita saat ini, mari kita pelajari salah satu lingkungan yang melingkungi diri kita dalam hal ini adalah lingkungan yang berasal dari dalam jasmani diri kita sendiri yang bercirikan nilai nilai keburukan (insan), yaitu :

 

1.  Diciptakan Dengan Keadaan Lemah (Terbatas). Salah satu sifat dari jasmani manusia adalah lemah atau bersifat lemah atau disebut juga dengan dhaif. Hal ini berdasarkan surat An Nisaa’ (4) ayat 28 berikut ini : Allah hendak memberikan keringanan kepadamu, dan manusia dijadikan bersifat lemah.” Dan juga berdasarkan surat Ar Ruum (30) ayat 54 sebagaimana kami kemukakan berikut ini: Allah, Dialah yang menciptakan kamu dari Keadaan lemah, kemudian Dia menjadikan (kamu) sesudah Keadaan lemah itu menjadi kuat, kemudian Dia menjadikan (kamu) sesudah kuat itu lemah (kembali) dan beruban. Dia menciptakan apa yang dikehendaki-Nya dan Dialah yang Maha mengetahui lagi Maha Kuasa.” Adanya sifat lemah dalam jasmani menunjukkan bahwa jasmani memiliki keterbatasan sehingga jasmani tidak mampu selamanya kuat sehingga jasmani memiliki penurunan fungsi setelah mencapai titik optimalnya.

 

Jika jasmani memiliki sifat lemah (dhaif) berarti perbuatan jasmani (ahwa yang ada pada diri kita) adalah melemahkan diri kita. Sedangkan kekuatan untuk melemahkan sangat tergantung dengan kemampuan sifat lemah itu sendiri yang mempengaruhi manusia. Adanya sifat lemah di dalam jasmani, ini menandakan kepada kita bahwa kemampuan jasmani manusia ada batasnya (terbatas). Jika sifat jasmani adalah lemah atau mempunyai keterbatasan, sekarang bagaimana dengan sifat Allah SWT dan juga dengan sifat ruh yang juga berasal dari Allah SWT? Allah SWT tidak mempunyai sedikitpun sifat lemah dan juga kelemahan dan demikian pula dengan ruh. Ruh juga tidak mempunyai kelemahan sepanjang ruh dapat dijaga dan dirawat dengan baik dan benar atau tidak dijajah oleh nilai nilai keburukan yang berasal dari sifat alamiah jasmani.

 

Sifat lemah pasti ada di dalam diri kita sebab diri kita sama-sama lemah dibandingkan alam karena keduanya ada karena ada yang mengadakan atau ada yang menciptakan. Pencipta pasti ada sebelum ciptaannya ada serta pencipta lebih kuat dan lebih mampu dari yang diciptakan. Ini berarti diri kita dan alam sama-sama diciptakan dalam kondisi lemah. Jika setiap jasmani telah memiliki sifat lemah lalu bagaimanakah perbuatannya (ahwanya) dari sifat lemah ini di dalam mempengaruhi diri kita atau mempengaruh sifat ruh? Jika sifat lemah mampu mempengaruhi atau mampu mengalahkan sifat ruhi maka manusia dibuat malas untuk beraktifitas, hanya berorientasi jangka pendek, rendah motivasi, selalu bersikap pesimis dan lain sebagainya yang akhirnya manusia berada di dalam koridor nilai-nilai keburukan atau  berada di dalam suatu keadaan yang paling dikehendaki oleh syaitan. Hal ini sangat bertentangan kehendak Allah SWT kepada diri kita yang selalu memerintahkan diri kita untuk selalu aktif berbuat kebaikan dimanapun dan kapanpun, beriorientasi jangka panjang (maksudnya tidak hanya untuk duniawi semata), selalu memiliki motivasi untuk maju dengan selalu bersikap optimis. Dan jika sampai diri kita mampu dipengaruhi oleh ahwa (hawa nafsu) berarti kita sendirilah yang memberikan kesempatan bagi syaitan untuk melaksanakan aksinya kepada diri kita.

 

2.    Keluh Kesah dan Kikir (Bakhil). Salah satu sifat jasmani manusia selalu berkeluh kesah dan selalu kikir (bakhil). Hal ini berdasarkan surat Al Ma’aarij (70) ayat 19-20-21 berikut ini: Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir. Apabila ditimpa kesusuahan ia berkeluh kesah. Dan apabila dapat kebaikan ia amat kikir.”  Jika jasmani memiliki sifat berkeluh kesah dan selalu kikir (bakhil) berarti perbuatan jasmani (ahwa yang ada pada diri kita) adalah selalu merasa dirinya kekurangan sehingga memilitkan diri untuk tidak berbagi kepada orang yang membutuhkan. Pada akhirnya orang seperti ini hanya mementingkan diri sendiri, keluarga dan kelompoknya saja.

 

Kondisi ini terlihat jika manusia ditimpa kesusahan ia selalu berkeluh kesah dan jika ia mendapat kebaikan selalu merasa kurang dan akan kikir untuk berbagi kepada sesama. Jika di dalam diri kita sudah ada sifat demikian, bagaimanakah kita harus bersikap sedangkan di lain sisi kita harus berbagi kepada fakir miskin atau wajib menunaikan hak Allah SWT melalui zakat, infaq, shadaqah. Kedua keadaan tersebut di atas akan ada selama ruh dan jasmani masih bersatu maka tarik menarik keduanya akan terjadi. Jika Nilai-Nilai Ilahiah yang berasal dari ruh dapat mengalahkan sifat-sifat jasmani yang berasal dari alam maka kita akan menjadi dermawan dan jika sebaliknya yang terjadi maka kikir dan bakhil serta mementingkan diri sendiri yang terjadi.



Selanjutnya apa yang akan terjadi jika sifat keluh kesah dan kikir sampai mempengaruhi diri kita atau jika ahwa (hawa nafsu) mempengaruhi diri kita melalui sifat keluh kesah dan kikir? Jika sifat ini mempengaruhi diri kita maka kita selalu merasa kekurangan sehingga tidak bisa menerima sesuatu secara ikhlas, selalu iri melihat orang lain sukses dan juga selalu mementingkan diri sendiri, susah untuk diajak berbagi untuk kepentingan bersama, demikian seterusnya yang kesemuanya berkesesuaian dengan kehendak syaitan. Kondisi ini sangat bertentangan dengan perintah Allah SWT kepada diri kita, seperti kita diharuskan ikhlas menerima sesuatu, mau berbagi, tidak mendahulukan kepentingan pribadi serta selalu bersyukur. Sekarang yang manakah perbuatan kita?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar