Setiap
manusia pasti terdiri dari jasmani dan juga ruh yang menandakan bahwa manusia
adalah makhluk dwidimensi, sebagaimana firman Allah SWT berikut ini: “kemudian
Dia menyempur-nakan dan meniupkan ke dalamnya roh (ciptaan)-Nya dan Dia
menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati; (tetapi) kamu sedikit
sekali bersyukur (surat As Sajdah (32) ayat 9)”. Dimana jasmani asalnya dari sari pati
tanah sedangkan ruh asalnya dari Nur Allah SWT. Adanya perbedaan asal usul dari
keduanya maka dapat dipastikan antara jasmani dan ruhani pasti memiliki sifat,
perbuatan dan kemampuan yang berbeda serta cara perawatannya juga dapat
dipastikan berbeda pula dan juga ketentuan yang mengikat keduanya pun berbeda
pula. Jasmani memiliki sifat yang di dalam AlQuran diistilahkan dengan
istilah insan, sedangkan perbuatan dari sifat jasmani (insan) disebut juga
dengan ahwa (hawa nafsu). Adapun kemampuan jasmani untuk melakukan perbuatannya
disebut juga dengan basyar. Sifat sifat alamiah jasmani yang berasal dari
saripati alam mencerminkan nilai nilai keburukan yang kesemuanya sangat
dikehendaki oleh syaitan.
Lalu
bagaimana dengan ruh? Ruh juga memiliki sifat alamiah seperti halnya jasmani, yang
di dalam AlQuran dikemukakan sebagai Nass. Lalu perbuatan dari sifat alamiah
ruh (Nass) disebut juga dengan istilah Nafs/Anfuss sedangkan kemampuan dari ruh
disebut juga dengan Ruh. Adapun sifat sifat alamiah ruh yang berasal dari Nur
Allah SWT mencerminkan nilai nilai kebaikan yang berasal dari Allah SWT yaitu
cerminan dari asmaul husna. Berdasarkan uraian ini, menunjukkan bahwa di dalam
diri setiap manusia termasuk di dalam diri kita, pasti terdapat dua buah sifat,
yaitu adanya nilai nilai keburukan yang berasal dari sifat alamiah jasmani dan
juga adanya nilai nilai kebaikan yang berasal dari sifat alamiah ruhani. Lalu
dengan adanya dua buah sifat yang berlainan dalam diri manusia maka akan
memiliki dampak yang sangat berbeda dalam kehidupan manusia, yaitu adanya
pengaruh buruk dari nilai nilai keburukan dan adanya pengaruh baik dari nilai
nilai kebaikan.
Lalu
bisakah kita menghindarkan diri dari ketentuan dalam surat As Sajdah (32) ayat
9 di atas? Sepanjang diri kita masih disebut manusia maka sepanjang itu pula
kita tidak bisa melepaskan diri dari ketentuan yang berlaku. Kita harus tetap
berhadapan dengan nilai nilai keburukan (ahwa/hawa nafsu) yang ada di dalam
jasmani manusia. Inilah yang kami istilahkan dengan musuh dalam selimut dan
ingat musuh dalam selimut ini sangat dikehendaki oleh syaitan dan sudah pula
diskenariokan oleh Allah SWT. Adanya
musuh di dalam selimut yang terdapat di dalam jasmani, disinilah salah satu
letak dari permainan yang sesungguhnya dimana diri kita yang sesungguhnya
adalah ruhani harus mampu memanfaatkan dan mendayagunakan jasmani yang sesuai
dengan kehendak Allah SWT. Dengan ketentuan gunakan dan manfaatkan jasmani
untuk kepentingan ruh tetapi sifat sifat alamiahnya harus dihilangkan. Lalu
diganti dengan sifat sifat alamiah ruh sehingga yang tampil menjadi perilaku
kehidupan kita adalah nilai nilai kebaikan yang sesuai dengan kehendak Allah
SWT.
Di
lain sisi, hidup adalah saat dipersatukannya ruh dengan jasmani, sehingga pada
saat hidup itulah terjadi apa yang dinamakan dengan tarik menarik antar dua
buah sifat yang saling bertentangan dikarenakan berasal dari asal usul yang berbeda.
Lalu dengan adanya tarik menarik di antara keduanya (jasmani dengan ruh) maka
manusia dapat dibagi menjadi dua golongan, yaitu:
Pertama, Golongan yang dikalahkan, diperbudak,
dibinasakan dan senantiasa berada di bawah perintah nafsunya (suatu keadaan
dimana sifat sifat jasmani mampu mengalahkan sifat sifat ruh) sehingga nilai
nilai kebaikan mampu dikalahkan oleh nilai nilai keburukan, yang pada akhirnya
nilai nilai keburukan yang menjadi perilaku manusia (jiwa fujur). Allah SWT
berfirman: “dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), Maka Allah mengilhamkan
kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. Sesungguhnya beruntunglah
orang yang mensucikan jiwa itu, dan Sesungguhnya merugilah orang yang
mengotorinya. (surat Asy Syams (91) ayat 7 sampai 10)”. Golongan jiwa
fujur akan dibedakan menjadi tiga, yaitu jiwa hewani, jiwa amarah dan jiwa
mushawwilah.
Kedua, Golongan yang dapat mengalahkan dan
menundukkan nafsunya sehingga nafsunya taat dan menjalankan perintahnya (suatu
keadaan dimana sifat sifat jasmani mampu dikalahkan oleh sifat sifat ruh)
sehingga nilai nilai kebaikan mampu mengalahkan nilai nilai keburukan sehingga nilai nilai kebaikan yang menjadi
perilaku manusia (jiwa taqwa). Adanya kondisi ini, dimanakah posisi diri kita
saat ini, apakah yang termasuk di dalam jiwa fujur, ataukah yang termasuk di
dalam jiwa taqwa? Semoga jiwa kita termasuk di dalam jiwa taqwa.
Sebagai
abd’ (hamba)-Nya yang juga khalifah-Nya di muka bumi, ketahuilah bahwa ahwa (hawa
nafsu) dapat dipastikan akan menjerumuskan manusia kepada kebinasaan, menolong
musuh, rakus terhadap sesuatu yang buruk, dan mengikuti kejahatan dan
keburukan. Ahwa (hawa nafsu), sesuai dengan tabiatnya menyukai pelanggaran.
Karena itu, nikmat yang tidak ada bandingnya adalah dapat lari darinya dan
membebaskan diri dari perbudakan ahwan(hawa nafsu). Ahwa (hawa nafsu) juga adalah
hijab atau penghalang terbesar antara hamba dengan Allah SWT. Dan
manusia yang paling mengetahui nafsunya adalah manusia yang paling keras
menegur dan membencinya. Disinilah letak dari pentingnya kita berjihad melawan
hawa nafsu yang sesuai dengan ketentuan
hadits berikut ini: “Jihad yang paling utama adalah seseorang berjihad (berjuang) melawan
dirinya dan hawa nafsunya” (Hadits
shahih diriwayatkan oleh Ibnu Najjar dari Abu Dzarr).
Selain
daripada itu, berdasarkan surat An Nazi’at (79) ayat 37 sampai 41 berikut ini: Adapun
orang yang melampaui batas, dan lebih mengutamakan kehidupan dunia, Maka
Sesungguhnya nerakalah tempat tinggal(nya).dan Adapun orang-orang yang takut
kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, Maka
Sesungguhnya syurgalah tempat tinggal(nya)”. Ahwa (hawa nafsu) pada hakekatnya
menyeru manusia untuk berbuat melampaui batas dan mengutamakan kehidupan dunia
dengan mengesampingkan kehidupan akhirat. Sedangkan Allah menyeru untuk
bertaqwa dan tidak menuruti keinginan ahwa (hawa nafsu).Adanya kondisi ini
menunjukkan di dalam diri manusia ada sesuatu yang saling kontroversial, namun
dibalik kontroversial ini terdapat sebuah permainan yang harus kita laksanakan,
yaitu mampukah diri kita berada sesuai dengan kehendak Allah SWT ataukah berada
sesuai dengan kehendak syaitan.
Di
dalam ahwa (hawa nafsu) juga terdapat perilaku binatang, seperti keserakahan
burung gagak, ketamakan anjing, kebodohan burung merak, kedurhakaan biawak,
kedengkian unta, keganasan singa, kefasikan tikus, kekejian ular, kesiasiaan
kera, penghimpunan lebah, makarnya srigala, kepandiran kupu kupu, dan tidurnya
anjing hutan. Adanya perilaku binatang yang kami kemukakan di atas ini,
bukanlah isapan jempol melainkan sesuatu yang nyata. Lihatlah orang yang
mempertuhankan ahwa (hawa nafsu)nya sehingga perilakunya telah berubah tidak
ubahnya seperti perilaku binatang.
Sebagai
abd’ (hamba)-Nya yang juga adalah khalifah-Nya di muka bumi, ketahuilah bahwa
dalam jiwa setiap manusia, ada tiga penyeru yang saling tarik menarik, yaitu: (1) Penyeru yang mendorong seseorang untuk
berperilaku seperti perilaku syaitan, misalnya congkak, dengki, tinggi hati,
melampaui batas, suka berbuat jahat, suka mencela, merusak dan suka menipu; (2) Penyeru yang mendorong seseorang untuk berperilaku seperti perilaku
binatang, yaitu penyeru yang menuntutnya untuk memenuhi tuntutan syahwat; (3) Penyeru yang mendorong seseorang untuk
berperilaku seperti perilaku malaikat, misalnya suka berbuat kebajikan, gemar
memberi dan menerima nasehat, berbakti, cinta ilmu, dan selalu bersikap taat.
Untuk itu ketahuilah bahwa melatih nafsu (mengendalikan ahwa atau hawa nafsu)
lebih sulit daripada melatih singa. Singa, jika sudah dimasukkan ke dalam
kerang-keng oleh pemiliknya, amanlah kita dari bahayanya. Adapun ahwa (hawa
nafsu), walaupun sudah dipenjarakan, belum tentu kita aman dari bahayanya. Dan
jihad melawan ahwa (hawa nafsu) wajib hukumnya bagi setiap manusia tanpa
terkecuali. Jihad melawan ahwa (hawa nafsu) terdiri dari empat tahapan, yaitu:
a. Melawannya
dengan mempelajari petunjuk dan Agama yang benar. Agama yang mengantarkan kita
kepada keberuntungan dan kebahagiaan hidup dan mati yang hanya dapat diraih
dengan agama ini, Jika tidak mengetahui tentang ajaran agama ini, Diinul Islam,
maka seseorang akan merana di dunia dan akhirat.
b. Melawannya dengan mengamalkan ajaran Islam setelah mengetahuinya. Jika tidak diamalkan, agama hanya menjadi pengetahuan yang tidak bermanfaat atau bahkan menjadi pengetahuan yang berbahaya.
c. Melawannya dengan mengajak manusia kepada agama Islam yang benar dan mengajarkannya kepada yang belum mengetahui. Jika tidak melakukan hal ini, seseorang dapat dituduh telah menyembunyikan petunjuk dan keterangan yang diturunkan oleh Allah SWT. Ilmunya tidak bermanfaat, dan karenanya tidak dapat menyelamatkannya dari siksa api neraka.
d. Melawannya dengan kesabaran dalam menghadapi kesulitan dan celaan ketika mengajak manusia ke jalan Allah dan semuanya harus dilakukan karena Allah semata.
Agar
diri kita mampu sukses melawan dan mengalahkan ahwa (hawa nafsu), Allah SWT
berfirman dalam surat Al Ankabuut (29) ayat 69 berikut ini: “dan
orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar- benar akan
Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan kami. dan Sesungguhnya Allah
benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik”. Untuk itu ketahuilah bahwa kesuksesan
melawan ahwa (hawa nafsu) sangat tergantung kepada jihadnya (kesunggu-hannya)
di dalam memerangi ahwa (hawa nafsu). Oleh karena itu, orang yang paling
sempurna pencapaiannya adalah orang yang paling keras jihadnya. Adapun jihad
yang diwajibkan, secara berurutan dapat kami kemukakan adalah: (1) jihad melawan ahwa (hawa nafsu); (2) jihad melawan ego; (3) jihad melawan syaitan dan; (4) jihad melawan dunia.
Barangsiapa berjihad melawan hal ini, Allah SWT akan membentangkan baginya
jalan untuk meraih ridha-Nya yang akan menghantar-kannya ke syurga.
Sementara
orang yang meninggalkan jihad secara sengaja, akan kehilangan petunjuk sebesar
jihad yang ditinggalkannya. Rasulullah SAW bersabda: “Jihad yang paling utama adalah
orang yang berjihad melawan nafsunya karena Allah SWT”. Oleh karena
itu, selama belum mampu menundukkan dan memaksa nafsunya untuk melaksanakan
perintah dan meninggalkan larangan, seseorang tidak mungkin dapat memerangi
musuh yang berada di luar dirinya. Nabi SAW bersabda: Orang yang berjihad adalah orang
yang menerangi nafsunya dalam taat kepada Allah, sedangkan orang yang berhijrah
adalah orang yang meninggalkan larangan Allah. (Hadits Riwayat Ahmad dan Ibnu
Majah)”. Tidak mungkin ia dapat memerangi dan berada di tengah tengah
musuh jika musuh yang berada di depannya masih menguasai dirinya. Sekedar
keluar untuk menghadapinya, ia pun tidak akan mampu, kecuali jika ia
menundukkan, atau mengalah-kan nafsunya terlebih dahulu.
Sedangkan
menurut hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Ath Thirmidzi sebagaimana berikut
ini: “Orang
yang cerdas adalah orang yang dapat menundukkan nafsunya kemudian bekerja untuk
kehidupan setelah mati. Sementara orang yang lemah akalnya adalah orang yang
menuruti hawa nafsunya kemudian berharap kepada Allah”. Berdasarkan
hadits ini, manusia terbagi dua kelompok, yaitu : orang yang cerdas dan orang
yang lemah akalnya. Orang yang cerdas adalah orang yang cerdik yang berpendirian teguh dan
selalu memperhatikan akibat segala sesuatu. Ia dapat menundukkan dan
menggunakan nafsunya untuk berbuat sesuatu yang bermanfaat bagi kehidupan di
akhirat. Orang yang lemah akalnya adalah orang yang dungu yang tidak
berpengetahuan, yang tidak pernah memikirkan buah dari perbuatannya.
Orang tersebut lebih suka mengikuti nafsunya yang cenderung kepada sesuatu yang
membawa kenikmatan duniawi, meskipun sebenarnya kenikmatan itu membawa
malapetaka bagi kehidupannya di akhirat, bahkan juga bagi kehidupannya di
dunia.
Orang yang mengikuti
keinginan ahwa (hawa nafsu)nya, dan ini yang biasanya terjadi, akan segera
mendapatkan aib di dunia, akan segara jatuh martabatnya di mata Allah dan
manusia, dan akan segera mendapatkan kehinaan. Dia tidak akan mendapatkan kebaikan dunia dan
akhirat yang berupa ilmu yang bermanfaat dan rezeki yang luas lagi
berkah.Sedangkan orang yang melawan nafsunya serta tidak menuruti keinginannya,
akan segera mendapatkan balasan di dunia serta berkahnya yang berupa ilmu, iman
dan rezeki. Atau dengan kata lain, siapa saja yang mampu menguasai, mengalahkan
dan menundukkan hawa nafsunya, maka ia akan menjadi orang yang mulia karena ia
telah mengalahkan dan menawan musuhnya yang paling kuat serta mencegah
kejahatannya.
Agar
diri kita mampu mengalahkan musuh dalam selimut dengan cara yang bermartabat
lagi terhormat. Prinsip perang ala “Sun
Tzu” berikut ini bisa kita jadikan pedoman, yaitu: “Ia yang mengenal pihak lain
(musuh) dan mengenal dirinya sendiri, tidak akan dikalahkan dalam seratus
pertempuran. Ia yang tidak mengenal pihak lain (musuh) tetapi mengenal dirinya
sendiri memiliki suatu peluang yang seimbang untuk menang atau kalah. Ia yang
tidak mengenal pihak lain (musuh) dan dirinya sendiri cenderung kalah dalam
setiap pertempuran.Jika Anda mengenal diri dan musuh Anda, Anda tidak akan
kalah dalam seratus pertempuran. (Sun
Tzu dalam The Art of War)”. Sekarang sudahkah kita mengenal diri
dan mengenal musuh yang akan kita hadapi? Adalah sebuah yang tidak dapat
dimengerti oleh akal sehat jika kita ingin mengalahkan musuh tanpa pernah
memiliki ilmu tentang musuh (dalam hal ini ahwa (hawa nafsu) dan juga syaitan). Adanya
prinsip perang ala “Sun Tzu” mengharuskan kita untuk mengetahui hakekat dan
sifat sifat jasmani terlebih dahulu sehingga dengan kita mengetahui hal yang
paling mendasar ini maka langkah untuk melawan dalam kerangka mengalahkan ahwa
(hawa nafsu) menjadi lebih mudah (kenali terlebih dahulu apa yang dinamakan
dengan musuh dalam selimut itu) yang dibarengi dengan diri kita tahu tentang
diri sendiri yang ditunjang dengan tahu dan mengerti tentang Allah SWT.
Dan
untuk lebih memudahkan diri kita belajar tentang ahwa (hawa nafsu) yang
mencerminkan nilai nilai keburukan Ada baiknya kita terlebih dahulu mempelajari
sebuah pernyataan yang berasal dari “Dorothy Law Nolte, Phd’ tentang
anak anak yang belajar dari lingkungannya, yaitu:
a. Jika anak tumbuh di
lingkungan yang sering mengkritik, ia belajar untuk menyalahkan;
b. Jika anak tumbuh di lingkungan yang penuh
kekerasan, ia belajar untuk berkelahi;
c. Jika anak tumbuh di
lingkungan yang sering menakutnakuti, ia
belajar untuk mudah untuk khawatir;
d. Jika anak tumbuh di lingkungan yang penuh kesedihan, ia belajar untuk mengasihi diri;
e. Jika anak tumbuh di
lingkungan yang sering mempermalukan, ia belajar menjadi pemalu;
f. Jika anak tumbuh di
lingkungan yang penuh kecemburuan, ia belajar untuk mendendam;
g. Jika anak tumbuh di
lingkungan yang sering menyalahkan, ia dihantui rasa bersalah;
h. Jika anak tumbuh di lingkungan yang memberi
semangat, ia belajar untuk percaya diri;
i. Jika anak tumbuh di
lingkungan yang penuh toleransi, ia belajar untuk bersabar;
j. Jika anak tumbuh di
lingkungan yang memberi pujian, ia belajar untuk menghargai;
k. Jika anak tumbuh di lingkungan yang menerima apa adanya, ia belajar untuk mencintai;
l. Jika anak tumbuh di
lingkungan yang memberikan dukungan,ia belajar untuk menyenangi dirinya;
m. Jika anak tumbuh di lingkungan yang memberikan
penghargaan, ia belajar memiliki tujuan dan cita cita;
n. Jika anak tumbuh di lingkungan yang menjunjung
tinggi kejujuran, ia belajar untuk mencintai kebenaran;
o. Jika anak tumbuh di lingkungan yang menghargai
keadilan, ia belajar untuk bersikap adil;
p. Jika anak tumbuh di lingkungan yang baik hati
dan penuh tanggung jawab, ia belajar untuk menghormati;
q. Jika anak tumbuh di lingkungan yang penuh rasa
aman, ia belajar untuk memiliki keyakinan dan berbaik sangka;
r. Jika anak tumbuh di
lingkungan yang bersahabat, ia belajar untuk merasa bahwa dunia ini indah dan
hidup ini begitu berharga.
Jika
anak saja bisa berubah perilakunya dikarenakan adanya pengaruh lingkungan. Hal
yang samapun berlaku pada diri kita, jika selalu berada di dalam lingkungan
yang sama dengan anak tersebut (maksudnya jika kita selalu berada di dalam
lingkungan nilai nilai keburukan yang berasal dari jasmani dan nilai nilai
kebaikan yang berasal dari ruh), maka kitapun akan terpengaruh dengan
lingkungan itu. Sekarang mari kita pelajari tentang sifat, perbuatan dan
kemampuan jasmani yang mencerminkan nilai nilai keburukan sebagaimana berikut
ini:
A.
SIFAT-SIFAT JASMANI MANUSIA.
Sekarang
mari kita perhatikan diri kita. Saat diri kita masih hidup berarti kita sedang
berhadapan langsung dengan 2 (dua) buah lingkungan, yaitu lingkungan yang
bercirikan nilai nilai keburukan (insan) yang berasal dari sifat alamiah jasmani
dan juga lingkungan yang bercirikan nilai nilai kebaikan (nass) yang berasal
dari sifat alamiah ruh. Lalu di posisi manakah diri kita saat ini, apakah yang
sesuai dengan kehendak syaitan ataukah yang sesuai dengan kehendak Allah SWT!.
Untuk
bisa menentukan dimana posisi kita saat ini, mari kita pelajari salah satu
lingkungan yang melingkungi diri kita dalam hal ini adalah lingkungan yang
berasal dari dalam jasmani diri kita sendiri yang bercirikan nilai nilai
keburukan (insan), yaitu :
1. Diciptakan
Dengan Keadaan Lemah (Terbatas). Salah
satu sifat dari jasmani manusia adalah lemah atau bersifat lemah atau disebut
juga dengan dhaif. Hal ini berdasarkan surat An Nisaa’ (4) ayat 28 berikut ini
: Allah hendak memberikan keringanan kepadamu, dan manusia dijadikan
bersifat lemah.” Dan juga berdasarkan surat
Ar Ruum (30) ayat 54 sebagaimana kami kemukakan berikut ini: Allah, Dialah yang menciptakan kamu
dari Keadaan lemah, kemudian Dia menjadikan (kamu) sesudah Keadaan lemah itu
menjadi kuat, kemudian Dia menjadikan (kamu) sesudah kuat itu lemah (kembali)
dan beruban. Dia menciptakan apa yang dikehendaki-Nya dan Dialah yang Maha
mengetahui lagi Maha Kuasa.” Adanya
sifat lemah dalam jasmani menunjukkan bahwa jasmani memiliki keterbatasan
sehingga jasmani tidak mampu selamanya kuat sehingga jasmani memiliki penurunan
fungsi setelah mencapai titik optimalnya.
Jika jasmani memiliki sifat lemah (dhaif)
berarti perbuatan jasmani (ahwa yang ada pada diri kita) adalah melemahkan diri
kita. Sedangkan kekuatan untuk melemahkan sangat tergantung dengan kemampuan
sifat lemah itu sendiri yang mempengaruhi manusia. Adanya sifat lemah di dalam
jasmani, ini menandakan kepada kita bahwa kemampuan jasmani manusia ada
batasnya (terbatas). Jika sifat jasmani adalah lemah atau mempunyai
keterbatasan, sekarang bagaimana dengan sifat Allah SWT dan juga dengan sifat
ruh yang juga berasal dari Allah SWT? Allah SWT tidak mempunyai sedikitpun sifat lemah
dan juga kelemahan dan demikian pula dengan ruh. Ruh juga tidak mempunyai
kelemahan sepanjang ruh dapat dijaga dan dirawat dengan baik dan benar atau
tidak dijajah oleh nilai nilai keburukan yang berasal dari sifat alamiah jasmani.
Sifat lemah pasti ada di dalam diri kita sebab
diri kita sama-sama lemah dibandingkan alam karena keduanya ada karena ada yang
mengadakan atau ada yang menciptakan. Pencipta pasti ada sebelum ciptaannya ada
serta pencipta lebih kuat dan lebih mampu dari yang diciptakan. Ini berarti
diri kita dan alam sama-sama diciptakan dalam kondisi lemah. Jika setiap
jasmani telah memiliki sifat lemah lalu bagaimanakah perbuatannya (ahwanya) dari
sifat lemah ini di dalam mempengaruhi diri kita atau mempengaruh sifat ruh? Jika sifat lemah
mampu mempengaruhi atau mampu mengalahkan sifat ruhi maka manusia dibuat malas
untuk beraktifitas, hanya berorientasi jangka pendek, rendah motivasi, selalu
bersikap pesimis dan lain sebagainya yang akhirnya manusia berada di
dalam koridor nilai-nilai keburukan atau
berada di dalam suatu keadaan yang paling dikehendaki oleh syaitan. Hal
ini sangat bertentangan kehendak Allah SWT kepada diri kita yang selalu
memerintahkan diri kita untuk selalu aktif berbuat kebaikan dimanapun dan
kapanpun, beriorientasi jangka panjang (maksudnya tidak hanya untuk duniawi
semata), selalu memiliki motivasi untuk maju dengan selalu bersikap optimis.
Dan jika sampai diri kita mampu dipengaruhi oleh ahwa (hawa nafsu) berarti kita
sendirilah yang memberikan kesempatan bagi syaitan untuk melaksanakan aksinya
kepada diri kita.
2. Keluh
Kesah dan Kikir (Bakhil). Salah satu sifat jasmani
manusia selalu berkeluh kesah dan selalu
kikir (bakhil). Hal ini berdasarkan
surat Al Ma’aarij (70) ayat 19-20-21 berikut ini: Sesungguhnya
manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir. Apabila ditimpa kesusuahan
ia berkeluh kesah. Dan apabila dapat kebaikan ia amat kikir.” Jika
jasmani memiliki sifat berkeluh kesah dan selalu kikir (bakhil) berarti
perbuatan jasmani (ahwa yang ada pada diri kita) adalah selalu merasa dirinya
kekurangan sehingga memilitkan diri untuk tidak berbagi kepada orang yang
membutuhkan. Pada akhirnya orang seperti ini hanya mementingkan diri sendiri,
keluarga dan kelompoknya saja.
Kondisi ini terlihat jika manusia ditimpa kesusahan ia selalu berkeluh kesah dan jika ia mendapat kebaikan selalu merasa kurang dan akan kikir untuk berbagi kepada sesama. Jika di dalam diri kita sudah ada sifat demikian, bagaimanakah kita harus bersikap sedangkan di lain sisi kita harus berbagi kepada fakir miskin atau wajib menunaikan hak Allah SWT melalui zakat, infaq, shadaqah. Kedua keadaan tersebut di atas akan ada selama ruh dan jasmani masih bersatu maka tarik menarik keduanya akan terjadi. Jika Nilai-Nilai Ilahiah yang berasal dari ruh dapat mengalahkan sifat-sifat jasmani yang berasal dari alam maka kita akan menjadi dermawan dan jika sebaliknya yang terjadi maka kikir dan bakhil serta mementingkan diri sendiri yang terjadi.
Selanjutnya apa yang akan terjadi jika sifat keluh kesah dan kikir sampai mempengaruhi diri kita atau jika ahwa (hawa nafsu) mempengaruhi diri kita melalui sifat keluh kesah dan kikir? Jika sifat ini mempengaruhi diri kita maka kita selalu merasa kekurangan sehingga tidak bisa menerima sesuatu secara ikhlas, selalu iri melihat orang lain sukses dan juga selalu mementingkan diri sendiri, susah untuk diajak berbagi untuk kepentingan bersama, demikian seterusnya yang kesemuanya berkesesuaian dengan kehendak syaitan. Kondisi ini sangat bertentangan dengan perintah Allah SWT kepada diri kita, seperti kita diharuskan ikhlas menerima sesuatu, mau berbagi, tidak mendahulukan kepentingan pribadi serta selalu bersyukur. Sekarang yang manakah perbuatan kita?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar